Thursday, March 23, 2017

Cinta Bernoda Darah 02 - Mini Serial #41

Cinta Bernoda Darah #41
Cerita Silat Kho Ping Hoo: Cinta Bernoda Darah 02 - Mini Serial #41
=========================================
Tiba-tiba sikap Lin Lin berubah sama sekali, ia kelihatan agung dan angkuh,
sikap seorang puteri raja aseli. Entah dari mana datangnya sikap ini, akan tetapi
120
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Lin Lin merasa bahwa sudah semestinya ia bersikap seperti ini, sikap seorang
junjungan terhadap hamba sahayanya”
Seluruh tubuh Hek-giam-lo yang mengerikan itu tiba-tiba menggigil dan
seperti orang yang tiba-tiba menjadi lemas, kedua kakinya ditekuk dan ia sudah
berlutut” 

Akan tetapi suaranya masih membayangkan keraguan ketika ia
berkata.
“Be.. betulkah ini..? Tidak tertipu lagikah.. tidak keliru lagikah..?”
“Hek-giam-lo” Aku tahu kau orang kepercayaan paman tiriku, Kubukan Raja
Khitan sekarang. Beranikah kau, yang hanya seorang hamba, tidak percaya
kepada aku, puteri yang sebetulnya menjadi puteri mahkota? Apakah aku harus
membuka bajuku memperlihatkan tanda merah pada punggungku kepadamu?
Berani kau menghina aku seperti itu?” Bukan main sikap Lin Lin ini. Agaknya
darah ibunya yang membuat ia seperti itu dan sekiranya Bu Sin dan Sian Eng
menyakslkan sikapnya dan mendengar kata-katanya ini, tentu kedua orang
saudara angkat itu akan terheran-heran.
“Ampun, Tuan Puteri” Ampunkan hamba, Tuan Puteri Yalin yang mulia”
Alangkah bahagia hati hamba telah dapat menemukan Tuan Puteri yang telah
belasan tahun dicari-cari. Marilah hamba antarkan Tuan Puteri pulang kepada
bangsa kita, menghadap paman Paduka.”
Diam-diam Lin Lin terkejut juga. Dia seorang gadis yang cerdik sekali, dan
maklumlah ia bahwa seorang aneh dan sakti seperti Hek-giam-lo ini, takn
mungkin dapat ia pengaruhi hanya mempergunakan kedudukannya. Ia sudah
mendengar cerita encinya tentang tokoh ini dan ia tahu bahwa mau ataupun
tidak, ia pasti akan dibawa ke Khitan oleh si tengkorak hidup. Bukannya ia tidak
suka, sebaliknya, ada sesuatu yang mendorong hatinya, yang membuat ia ingin
sekali mengunjungi bangsa Khitan, seakan-akan ada panggilan darah yang
secara gaib memanggil-manggilnya. Akan tetapi tidak sekarang, pula ia merasa
berat untuk.. berpisah dari Suling Emas” Menolak permintaan Hek-giam-lo,
berarti ia akan dibawa ke utara secara paksa dan hal ini amatlah tidak baik,
berarti menghilangkan atau mengurangi sikap yang demikian tunduk dari tokoh
ini terhadapnya.
“Tentu saja, Hek-giam-lo. Aku pun ingin sekali mengunjungi Pamanku, dan
melihat kampung halaman serta keluarga Ibuku. Akan tetapi apa perlunya
tergesa-gesa? Kelak kalau sudah selesai semua urusanku, aku pasti akan pergi ke
utara bertemu Paman..”
121
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
“Tidak bisa, Tuan Puteri. Paman Paduka sudah amat mengharap-harap dan
perintahnya, kapan saja hamba bertemu dengan Paduka, harus hamba ajak
Paduka pulang. Karena itu, marilah sekarang juga kita berangkat.”
Lin Lin berdebar jantungnya. Tak salah dugaannya, manusia iblis ini tentu
akan memaksanya berangkat sekarang juga. Ia harus mencari akal..
“Sekarang? Tapi kita masih berada di sini sebagai tamu.. perayaan Bengkauw
masih belum habis..”
“Ampun, Tuan Puteri. Urusan kita jauh lebih penting daripada urusan negara
Nan-cao dan Beng-kauw. Diketemukannya kembali Tuan Puteri merupakan
kejadian yang maha penting bagi bangsa kita, hal-hal lain sama sekali tidak ada
artinya, apalagi urusan negara lain.., marilah kita berangkat, Tuan Puteri Yalin”
Tubuh yang mengerikan itu bergerak maju. “Ijinkan hamba memondong Paduka
agar perjalanan dapat dilakukan cepat, Tuan Puteri.”
Lin Lin bergidik. Ia dapat merasa betapa di balik sikap dan kata-kata
menghormat ini tersembunyi ancaman dan paksaan yang tak boleh dibantah lagi.
Ia menjadi serba salah. Untuk melawan, berarti ia akan menghilangkan
keagungan sebagai puteri mahkota, dan ia takkan senang juga kalau melihat
tokoh aneh dan sakti ini kehilangan sikapnya yang begitu merendah dan
menghormat terhadapnya.
“Hek-giam-lo, aku memang juga amat ingin segera bertemu dengan Paman
dan semua keluargaku di Khitan. Akan tetapi, Hek-giam-lo, sebagai seorang
Puteri Mahkota Khitan, mana bisa aku mendiamkan saja orang menghinaku
tanpa membalas?”
Sepasang mata di balik kedok tengkorak itu memancarkan cahaya yang
membuat bulu tengkuk Lin Lin meremang. Seakan-akan ia melihat ada sinar api
keluar dari situ.
“Tuan Puteri Yalin, siapakah gerangan berani menghina Paduka? Jangan
khawatir, hamba Hek-giam-lo yang akan menghukumnya, sekarang juga” Harap
Paduka sebutkan, siapa si bedebah itu?”
“Ada dua orang yang telah menghinaku, Hek-giam-lo. Pertama adalah tuan
rumah di Nan-cao ini. Kau tidak tahu, tadi ketika aku mengagumi permata yabeng-
cu yang berada di ujung tongkat ketua Beng-kauw, Raja Nan-cao
menyatakan bahwa kalau aku mau tinggal di sini selamanya, aku akan diberi
hadiah permata ya-beng-cu. Nah, kaupikir, apakah ini bukan penghinaan besar?
122
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Aku, Puteri Mahkota Khitan, pujaan bangsa Khitan yang terkenal gagah
perkasa, disuruh tinggal di sini, selamanya? Bukankah itu berarti bahwa aku
akan dijadikan budak atau selir? Hek-giam-lo, kau rampas tongkat Beng-kauw
itu untukku. Dengan membawa tongkat itu, baru aku mau pergi ke Khitan dan
hal ini selain akan memberi hajaran kepada Beng-kauwcu dan Nan-cao, juga
akan membuka mata dunia akan kebesaran Khitan yang tak boleh dipermainkan
bangsa lain.”
“Tongkat Beng-kauwcu..?” Terang bahwa Hek-giam-lo, biarpun dia seorang
tokoh besar malah seorang di antara enam iblis, kaget juga mendengar perintah
ini.
“Kenapa? Apakah kau takut? Ihhh, jagoan Khitan takut terhadap ketua
Bengkauw?”
“Hamba tidak takut terhadap siapapun juga. Akan tetapi tongkat itu adalah
lambang kekuasaan ketua Beng-kauw, juga sekaligus merupakan barang
keramat dari Kerajaan Nan-cao. Kalau kita ambil, bukankah hal itu akan
menimbulkan sengketa antara Khitan dan Nan-cao?”
“Khitan tidak bermaksud bermusuhan dengan negeri lain, akan tetapi juga
tidak sudi menelan penghinaan begitu saja” Tongkat itu hanya kita pinjam dan
kita bawa ke Khitan. Kalau Beng-kauwcu dan Raja Nan-cao sudah menginsyafi
kesalahan mereka yang menghinaku, baru kita kembalikan dan kita juga
menyatakan maaf. Dengan demikian, baru kejayaan negara dapat dipertahankan.
Kalau tidak, bagaimana kelak rendahnya nama Khitan kalau terdengar bahwa
Raja Nan-cao pernah membujuk Puteri Mahkota Khitan menjadi bujang atau
selir?”
Kena juga akhirnya tokoh iblis ini “dibakar” oleh Lin Lin yang memang
semenjak kecil pandai sekali bicara. Tampak si kedok tengkorak itu
mengangguk-angguk, kemudian berkata singkat.
“Tuan Puteri betul, hamba menurut, tongkat akan hamba curi.”
“Bagus” Sekarang musuhku yang ke dua, Hek-giam-lo. Kau tahu, aku sedang
mencari seorang musuh besarku, yaitu pembunuh ayah bunda angkatku di kaki
Gunung Cin-ling-san tahun yang lalu. Menurut persangkaanku, pembunuhnya
tentulah Suling Emas, biarpun ia menyangkal. Kau tangkap dia, jadikan tawanan
dan kita bawa bersama ke Khitan.”
123
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Suara ah-uh-ah-uh yang keluar dari mulut di balik tengkorak itu menyetop
kata-kata Lin Lin lebih lanjut.
“Kenapa, Hek-giam-lo? Kau takut kepada Suling Emas ini? Aku sih tidak
takut”
“Hamba juga tidak takut, akan tetapi.. urusan ini.. tidaklah begitu mudah,
malah agaknya lebih sukar daripada mengambil tongkat Beng-kauwcu. Siapakah
ayah pungut Paduka yang terbunuh itu?”
“Ayah angkatku adalah Jenderal Kam Si Ek di..”
Tiba-tiba tubuh berselubung hitam itu bergoyang-goyang, entah bagaimana
tarikan muka di belakang kedok itu, akan tetapi yang terang kata-katanya
terdengar amat ketus,
“Kam Si Ek? Musuh besar kita itu” Tuan Puteri Yalin, Kam Si Ek itulah
pembunuh banyak bangsa kita. Dialah musuh besar orang Khitan”
Sejenak Lin Lin bingung, akan tetapi gadis yang cerdik ini teringat akan
cerita yang pernah ia dengar, baik dari bibi gurunya maupun dari kakek Kim-lun
Seng-jin, betapa mendiang ayah angkatnya itu dahulu memimpin pasukan
menggempur bangsa Khitan dan bahwa dia sendiri mungkin sekali dipungut
anak dalam peperangan itu di mana ibunya gugur. Hanya sejenak ia bingung,
kemudian berkata.
“Sudahlah kalau begitu, sekarang kau pergilah curi tongkat pusaka itu, aku
akan menanti di sini.” Tentu saja tiada niat di hati Lin Lin untuk menanti di
tempat itu. Ia hanya ingin supaya mahluk yang mengerikan ini pergi
meninggalkannya.
“Paduka akan berangkat sekarang juga..”
Ucapan Si Tengkorak Hitam itu benar-benar membuat wajah Lin Lin
menjadi pucat.
“Apa kau bilang? Lebih dulu ambil tongkat..” Akan tetapi Hek-giam-lo tidak
mempedulikannya. Tengkorak Hitam ini berdongak ke atas dan tiba-tiba
terdengar suara yang amat tinggi, hampir tidak kedengaran, terdengar terusmenerus
dan sambung-menyambung.
“Mau apa kau? Hek-giam-lo, apa yang kau lakukan ini..?” berkali-kali Lin
Lin bertanya. Akan tetapi Hek-giam-lo hanya mengangkat tangan kiri ke atas
dan suara yang keluar dari balik kedoknya tak pernah berhenti. Lin Lin tiba-tiba
merasa betapa jantungnya seperti berdetik, tubuhnya panas dingin dan kepalanya
124
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
pening. Ia sudah bergoyang-goyang dan hampir terhuyung karena kedua kakinya
juga menjadi lemas, telinganya seperti penuh dengan suara mendesis tinggi.
Terkejutlah Lin Lin dan ia dapat menduga bahwa iblis di depannya ini tentulah
mengeluarkan suara yang mengandung penuh tenaga khi-kang tinggi semacam
ilmu ho-kang (auman) yang hanya dapat dilakukan oleh orang sakti yang amat
tinggi ilmunya.
Cepat Lin Lin meramkan kedua matanya dan menahan napas, memusatkan
panca indera, mengerahkan sin-kang untuk diputar-putar di seluruh tubuh
melindungi dirinya daripada serangan tak langsung tapi cukup hebat itu. Benar
saja, segera semua rasa tidak enak tadi lenyap, tapi ia kini dapat mendengar
suara mendesis tinggi yang bergema di seluruh penjuru, seakan-akan dunia ini
penuh oleh suara itu. Dan lapat-lapat terdengar desis yang agak rendahan dari
sebelah barat, seakan-akan ada yang menjawab suara Hek-giam-lo itu.
Lewat sepuluh menit kemudian, suara mendesis-desis itu berhenti. Lin Lin
membuka kedua matanya dan.. bukan Hek-giam-lo yang kini berada di
depannya, melainkan seorang kakek yang buntung kedua kakinya” Kakek ini
usianya tentu lebih enam puluh tahun, wajahnya biasa saja, alisnya tebal kasar
dan mulutnya selalu tersenyum mengejek. Kakek ini berdiri di atas kedua
tongkatnya yang berfungsi sebagai pengganti kaki tongkat dari logam putih yang
terkempit di kedua ketiaknya.
“Kau.. kau siapa?” Lin Lin bertanya gugup dan memandang ke sana ke mari
mencari Hek-giam-lo yang tiba-tiba lenyap. Apakah Hek-giam-lo membuang
kedok dan selubung hitamnya dan menjadi kakek ini?
“Mana Hek-giam-lo?”
Kakek itu membungkukkan tubuhnya.
“Tuan Puteri Yalin, hambamu ini adalah Pak-sin-tung (Tongkat Sakti Utara)
yang bertugas mengantar Paduka kembali ke Khitan. Adapun Suheng Hek-giamlo
pergi untuk melaksanakan perintah Paduka. Marilah, Tuan Puteri, tak baik
berlama-lama di sini, Suheng memesan agar supaya hamba mengajak Paduka
sekarang juga.”
Sejenak Lin Lin tertegun. Ah, kiranya suara mendesis-desis tadi adalah suara
Hek-giam-lo memanggil sutenya ini untuk mewakilinya mengantar dia ke utara.
Celaka, tak disangkanya Hek-giam-lo demikian cerdiknya dan mempunyai
pembantu. Dengan sinar mata tajam penuh selidik Lin Lin menatap kakek di
125
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
depannya itu. Seorang kakek yang kedua kakinya buntung, agaknya di ales lutut.
Mengerikan dan juga menimbulkan kasihan. Kakek begini disuruh
mengantarnya ke Khitan? Hemmm, apa susahnya memisahkan diri,
meninggalkan kakek ini? Tentu sebagai sute dari Hek-giam-lo, Pak-sin-tung ini
memiliki ilmu kepandaian pula, dan menilik julukannya, tentu ahli main
tongkat. Namun, betapa seorang yang tidak mempunyai kaki dapat bersilat
dengan baik? Agaknya terhadap orang ini tidak perlu dikhawatirkan.
“Baiklah, Pak-sin-tung. Mari kita berangkat.” kata Lin Lin, di dalam hatinya
mengambil keputusan kalau mereka sudah tiba di luar kota yang sunyi di mana
tidak ada Hek-giam-lo yang akan merintanginya, ia akan melarikan diri dari
pengawasan si buntung ini. Akan tetapi, melihat senyum mengejek pada wajah
kakek ini, Lin Lin merasa tidak enak hati sekali.
“Mari, Tuan Puteri, hamba iringkan. Kita keluar dari pintu utara saja.”
Berangkatlah kedua orang ini. Pintu gerbang kota raja sebelah utara ini
memang sunyi, juga merupakan daerah pegunungan. Girang hati Lin Lin.
Agaknya kakek ini menghendaki perjalanan yang paling pendek, akan tetapi
sungguh kebetulan bagi Lin Lin yang menghendaki tempat sunyi di mana ia
dapat melarikan diri tanpa ada yang menghalanginya. Akan tetapi, melihat
betapa sepasang tongkat itu mewakili fungsi kaki demikian baiknya, malah lebih
baik agaknya, begitu cepat dan ringan serta gesit, diam-diam Lin Lin merasa
gelisah juga. Memang kakek itu “berjalan” agak terpincang-pincang dan
terbongkok-bongkok, akan tetapi harus ia akui amat cepat. Setelah tiba di jalan
sunyi Lin Lin sengaja mengerahkan kepandaiannya berlari cepat. Akan tetapi
alangkah kagetnya ketika ia melihat betapa kakek buntung itu dengan enak saja
dapat bergerak cepat di belakangnya, sedikit pun tidak ketinggalan”
Ketika ia menoleh, kakek itu tersenyum lebar dan berkata,
“Untung sekali Paduka dapat berlari secepat ini, kalau tidak, terpaksa
hambamu ini akan menggendong Paduka agar perjalanan dilakukan lebih cepat.”
Lin Lin tidak menjawab. Mereka melalui pintu gerbang yang dijaga oleh
beberapa orang tentara Nan-cao. Karena hari itu adalah hari besar dan para
penjaga maklum akan banyaknya tamu-tamu aneh dari luar kota, mereka tidak
mengganggu Pak-sin-tung dan Lin Lin, akan tetapi tak dapat dicegah lagi
pandang mata mereka melotot penuh kekaguman memandang Lin Lin yang
cantik jelita. Agar tidak memancing keonaran, Lin Lin pura-pura tidak melihat
126
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
pandang mata kurang ajar itu, malah ia melangkah makin cepat keluar dari Kota
Raja Kerajaan Nan-cao.
Sebentar saja mereka sudah tiba di luar tembok kota dan Lin Lin segera
mempergunakan ilmunya Khong-in-ban-kin untuk berlari cepat dengan maksud
meninggalkan Pak-sin-tung.
“Heiiiii” Wah, ilmu lari cepat Paduka ini hebat sekali..” seru si buntung kaki
itu, akan tetapi alangkah kaget hati Lin Lin ketika melihat betapa kakek buntung
itu tetap saja dapat mengikutinya.
“Pak-sin-tung, aku tidak mau berangkat sekarang” Tiba-tiba Lin Lin berhenti
berlari. Mereka sudah jauh dari tembok kota, akan tetapi tembok itu masih
tampak dari situ.
“Apa maksud Paduka?”
“Kau pergilah sendiri, aku tidak mau pergi ke Khitan sekarang. Aku masih
banyak urusan yang harus kuselesaikan sendiri. Kelak saja aku pasti akan datang
ke Khitan berkunjung kepada Paman Baginda.”
Akan tetapi senyum mengejek itu tak pernah meninggalkan muka Pak-sintung,
malah ia berkata dengan suara tenang.
“Ampun Tuan Puteri. Hamba sudah menerima tugas, harus membawa
Paduka ke Khitan, apa pun yang akan terjadi.”
“Kalau aku tidak mau?” bentak Lin Lin.
“Terpaksa akan hamba dukung sampai ke Khitan.”
“Srattt” Lin Lin sudah mencabut pedangnya yang tadi ia terima kembali dari
tangan Suling Emas di tempat pesta. Pedangnya itu dahulu lenyap ketika ia
bertanding melawan Toat-beng Koai-jin, akan tetapi ketika ia bertemu dengan
Suling Emas, kiranya pedang itu dibawa oleh pendekar itu dan dikembalikan
kepadanya.
“Pak-sin-tung, kau boleh coba kalau bisa” Kini Lin Lin menantang.
“Pedang pusaka Besi Kuning..” Pak-sin-tung meratap, wajahnya pucat dan
kedua tongkatnya melangkah-langkah mundur. “Tidak.. hamba tidak berani..
tidak berani..”
Besar hati Lin Lin dan sekarang tahulah ia bahwa Kakek Kim-lun Seng-jin
tidak bohong ketika berkata bahwa Pedang Besi Kuning itu dahulunya adalah
pusaka Khitan. Agaknya kakek buntung ini mengenal pusaka itu dan karenanya
127
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
menjadi ketakutan. Akan tetapi ia harus memperlihatkan kelihaiannya di
samping pengaruh pedang pusaka itu, maka ia membentak.
“Kau masih berani membantah perintah junjunganmu? Rasakan ini” Dengan
gerakan cepat Lin Lin menerjang dengan pedangnya.
“Ti.. tidak, hamba tidak berani..” Kakek buntung itu meloncat ke atas,
tongkatnya bergerak-gerak dan ke manapun juga pedang itu menerjang, selalu
dapat dihalau tongkat. Hebat sekali kakek ini, biarpun kedua kakinya buntung,
namun kelincahan gerakannya tidak kalah oleh orang yang berkaki utuh.
Pertemuan senjata pedang dengan tongkat itu saja sudah membuktikan kepada
Lin Lin bahwa kakek buntung ini benar-benar tak boleh dipandang rendah,
karena setiap kali bertemu senjata, tangannya menjadi tergetar hebat, padahal ia
sudah mengerahkan Khong-in-ban-kin”
“Ampun, Tuan Puteri, hamba percaya sekarang, harap jangan marah..”
Lin Lin seorang cerdik. Ia maklum bahwa kalau dilanjutkan mendesak kakek
ini, dalam pertempuran sungguh-sungguh, belum tentu ia akan mampu menang,
apalagi kalau datang jago-jago lain dari Khitan, siapa tahu? Orang-orang sakti
yang begini lihai, sebaiknya ditarik menjadi kawan daripada didesak menjadi
lawan. Ia membutuhkan bantuan mereka, terutama bantuan Hek-giam-lo, untuk..
menawan Suling Emas” Hasrat hati ini timbul ketika ia mulai merasa cemburu
terhadap Liu Hwee dan sekaligus timbul bencinya terhadap Beng-kauw.
Terhadap Suling Emas ia juga benci, bukan benci kepada orangnya, melainkan
benci kalau mengingat betapa pendekar itu mencinta orang lain. Ia ingin
memberi “hajaran” kepada Suling Emas, ingin menawannya, membawanya ke
Khitan. Di samping ini, juga dengan bantuan jagoan-jagoan Khitan ini ia ingin
menemukan dan menghukum pembunuh ayah bunda angkatnya, ingin pula
menemukan kakak angkatnya, Kam Bu Song.
“Pak-sin-tung, kalau kau menurut perintahku dan tidak melawang aku pun
mana suka bertentangan dengan orang sendiri? Percayalah, aku ingin sekali
pergi menghadap Paman Baginda di Khitan. Akan tetapi, aku baru mau pergi
setelah semua urusanku di sini selesai. Dan aku mengharapkan bantuanmu,
bantuan Hek-giam-lo dan saudara-saudara lain lagi untuk menyelesaikan
urusanku itu. Bagaimana? Apakah selain kau dan Hek-giam-lo, masih ada
teman-teman lain yang dapat membantuku di sini?”
128
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Kini kakek buntung itu duduk di atas tanah, kedua tongkatnya dilonjorkan
kanan kiri tubuhnya, matanya memandang takjub kepada Pedang Besi Kuning di
tangan Lin Lin.
“Ajaib..” katanya perlahan. “.. pedang pusaka Besi Kuning sudah berada di
tangan Paduka pula.. ajaib.. agaknya inilah isyarat dan tanda dari langit..”
“Apa maksudmu? Pak-sin-tung, kau tidak menjawab pertanyaanku, bicara
tidak karuan”
“Maaf, Tuan Puteri. Hamba bersumpah akan membantu Paduka dengan setia,
akan mentaati semua perintah Paduka. Sri Baginda telah mengutus Pek-binciangkun
(Perwira Muka Putih), mewakili Khitan memberi selamat kepada Nancao
dan Beng-kauw sambil menyerahkan barang sumbangan. Hambamu ini dan
Suheng Hek-giam-lo mengawal secara sembunyi. Juga seregu pasukan pendam
terdiri dari dua losin orang perajurit pilihan mengawal secara berpencar dan
sembunyi, semua siap mentaati perintah Paduka.”
“Bagus” Panggil mereka berkumpul di sini, aku hendak memberi penjelasan
tentang rencanaku, supaya jangan gagal.”
Pak-sin-tung mengangguk-angguk, lalu mulutnya diruncingkan dan
terdengarlah desis yang makin lama makin tajam sehingga kembali Lin Lin,
seperti halnya ketika Hek-giam-lo tadi memanggil Pak-sin-tung, merasa
dadanya sesak. Cepat gadis ini meramkan mata dan mengerahkan sin-kang
untuk melawan getaran hebat itu. Ada seperempat jam suara itu mendesis-desis
dan tiba-tiba terhenti. Lin Lin mendengar gerakan banyak orang dan ketika ia
membuka matanya, kiranya di situ sudah berkumpul dua puluh empat orang
laki-laki yang beraneka ragam pakaiannya. Ada yang berpakaian seperti
pedagang, pengemis, pelajar, dan lain-lain, akan tetapi kesemuanya bersikap
gagah perkasa dan kini mereka sudah berlutut dengan hormat di depannya
dengan barisan berjajar di belakang Pak-sin-tung”
“Hamba sekali sudah berkumpul dan siap menanti perintah Tuan Puteri
Yalin” kata Pak-sin-tung. Tak dapat dicegah oleh Lin Lin rasa bangga dan
mekar di dalam dadanya. Inilah hebat, pikirnya dan yang luar biasa adalah
kenyataan bahwa tidak merasa hal ini aneh, malah seperti sudah sewajarnya dan

sudah seharusnya demikian”

Bersambung..

No comments:

Post a Comment