Tuesday, March 21, 2017

Cinta Bernoda Darah 02 - Mini Serial #40

Cinta Bernoda Darah 02 #40
Cerita Silat Kho Ping Hoo: Cinta Bernoda Darah 02 - Mini Serial #40
=========================================
“Ha-ha, Empek Gan, kau benar-benar mencari mampus. Nah, siaplah untuk menyerahkan kepalamu karena aku sudah dapat menjawabnya” seru Suma Boan dan para tamu menjadi berisik karena mereka itu pun masing-masing ikut pula mencari jawabannya.
Empek Gan mengangkat kedua tangannya ke atas dan berseru.
“Harap hadirin jangan berisik” Suaranya perlahan saja, akan tetapi gemanya berdengung di ruangan itu, membuat semua orang kaget dan diam. Para locianpwe yang hadir di situ diam-diam mengangguk-angguk. Betapapun gila dan tololnya Empek Gan datam ilmu sastra, akan tetapi dalam ilmu silat agaknya merupakan lawan yang tak boleh dipandang ringan. 

Suaranya yang disertai tenaga khikang tadi saja sudah membuktikan kelihaiannya.
“Harap Cu-wi sekalian dengarkan jawaban orang muda ini sebagai saksi”
Nah, bocah, bagimana jawabanmu?”
“Empek Gan, empat huruf yang kau ajukan itu amatlah sederhana dan dari
empat huruf itu aku dapat merangkai menjadi dua puluh empat macam kalimat.”
Semua orang yang hadir mengangguk-anggukkan kepala karena banyak
diantara mereka yang berpikir demikian pula. Agaknya pemuda pangeran di
utara ini akan menang, pikir mereka.
“Akan tetapi, di antara yang dua puluh empat macam kalimat, hanya ada dua
yang berarti, maka jawaban pertanyaanmu itu tentulah salah satu di antara yang
dua ini. Pertama adalah HARIMAU MAKAN TAHI KUDA”
Hening di ruangan itu karena semua orang mendengarkan dengan penuh
perhatian, maka kini suara ketawa Empek Gan terdengar lantang memenuhi
ruangan.
“Ha-ha-ha, kau benar-benar lucu. Yang ke dua bagaimana?”
“Yang ke dua adalah KUDA MAKAN TAHI HARIMAU”
Kini Empek Gak terpingkal-pingkal tertawa sambil memegangi perutnya.
“Hoah-hah-hah, siapa pernah mendengar ada harimau makan tahi kuda? Dan
ada kuda makan tahi harimau? Hoah-hah-hah, Suma Boan” Agaknya yang suka
makan tahi harimau adalah kudamu itu” Ia menudingkan telunjuknya ke arah
gambar kuda sumbangan Suma Boan tadi.
“Dan yang dimakan adalah tahi harimauku, kalau bukan kudamu mana suka
makan tahi harimau? Hoa-ha-ha”
“Empek Gan tidak perlu semua lelucon ini” teriak Suma Boan. “Sudah jelas
jawabanku betul, dan kau kalah. Semua yang hadir menjadi saksi”
111
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Empek Gan menyusut air matanya. Begitu keras ia tertawa sampai keluar air
matanya.
“Apa kau bilang? Betul? Eh, bocah, kau benar-benar melanggar aturan. Tadi
sudah kukatakan bahwa empat buah huruf itu harus dirangkai merupakan
kalimat yang berarti DAN MENGANDUNG KEBENARAN” Rangkaian
kalimatmu itu biarpun kedua-keduanya ada artinya akan tetapi semua bohong,
tidak benar sama sekali karena di dunia ini tidak ada kuda makan tahi harimau
atau harimau makan tahi kuda. Hayo, di antara yang hadir siapa bisa bilang
bahwa dua kalimat itu mengandung kebenaran?”
Empek Gan menoleh ke arah para hadirin dan kembali terdengar suara
berisik karena para tamu itu saling bicara untuk mempersoalkan benar salahnya
jawaban Suma Boan itu.
Tiba-tiba terdengar seruan nyaring,
“Jawaban itu bohong”
Demikian nyaring tapi merdu suara ini sehingga semua orang berhenti bicara
dan memandang. Kiranya Lin Lin yang berdiri dan menggerak-gerakkan tangan
kanan ke atas minta perhatian. Sekali lagi ia berkata, suaranya merdu tapi
nyaring sekali.
“Jawaban Suma Boan itu bohong semua” Kuda makanannya rumput, bukan
tahi harimau, sedangkan harimau makanannya daging mentah, bukan tahi kuda”
Siapa yang setuju, harap angkat telunjuk ke atas seperti saya ini” Dengan wajah
berseri dan bibir tersenyum manis Lin Lin mengangkat telunjuk kanannya ke
atas. Serentak semua tamu, sebagian besar, mengangkat tangan ke atas, malah
ada orang-orang muda yang mengangkat kedua tangan ke atas sambil berteriakteriak
gembira,
“Betul..” Ucapan Nona betul”
Memang sesungguhnya, siapa tidak tertarik melihat dara remaja yang jelita
itu dengan jenaka bicara seperti itu dan mengajak mereka mendukung
pernyataannya bahwa Suma Boan tidak benar dalam jawabannya? Apa pula
kalau dipikir bahwa memang sesungguhnya, dua kalimat itu biarpun ada artinya,
namun memang tidak benar.
Empek Gan berkata lagi setelah semua orang diam,
112
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
“Nah, Suma Boan. Jelas bahwa kau yang kalah, karena jawabanmu tidak
betul. Hayo kau berlutut dan mengangkat aku sebagai guru, tentu saja kalau aku
mau menerimamu. Kita lihat saja nanti”
Suma Boan melotot ke arah Lin Ling kemudian ia merengut dan menjawab.
“Empek Gan, kau orang tua penuh tipu muslihat” Kaukira aku mudah
kautipu begitu saja? Terus terang saja kukatakan bahwa dari empat hurufmu itu,
tak mungkin merangkai kalimat yang mengandung arti dan juga mengandung
kebenaran” Aku tidak mau menerima kalah kalau kau sendiri belum memberi
jawabannya. Tentu saja kau bisa mengemukakan pertanyaan yang tak dapat
dijawab. Aku bisa” Misalnya, berapa banyaknya ikan di laut?”
“Hoah” Pertanyaan begitu saja, apa sukarnya” Aku bisa menjawab” Ada lima
juta kurang satu banyaknya ikan di laut. Hayo, mau apa kau? Tidak percaya?
Boleh kau menyelam dan hitung sendiri”
Meledak suara orang tertawa mendengar ucapan ini, dan wajah Suma Boan
makin merah.
“Empek Gan, kau belum menjawab. Hayo kau rangkai kalimat dari empat
hurufmu itu sendiri, kalau kau bisa melakukannya, baru aku mengaku kalah,
tidak saja aku mengangkatmu sebagai guru, malah aku mau menyerahkan
kepalaku kepadamu”
Saking marahnya, Suma Boan mengeluarkan ucapan ini. Akan tetapi bukan
semata-mata karena marahnya, melainkan karena ia yakin bahwa kakek itu pun
takkan mungkin merangkai kalimat yang berarti dan benar.
Kembali keadaan hening. Semua orang memasang telinga baik-baik, ingin
mendengarkan jawaban Empek Gan. Tak seorang pun di situ merasa sanggup
untuk menjawab, bahkan Suling Emas sendiri tampak berbisik-bisik kepada
Beng-kauwcu yang mengerutkan kening dan menggeleng-geleng kepala. Raja
Nan-cao juga menggeleng-geleng kepala sambil mengangkat pundak, tanda
bahwa dia sendiri sebagai seorang jagoan sastra tidak sanggup pula.
“Betulkah? Dengar baik-baik kau, bocah ingusan” Juga para hadirin harap
sudi mendengarkan penuh perhatian. Dari empat buah huruf itu aku dapat
merangkai sebuah kalimat yang berarti dan juga yang mengandung kebenaran
seribu prosen. Kalimat itu berbunyi begini..”
113
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Ia sengaja berhenti sebentar sehingga semua mata memandang ke arah
bibirnya dan semua telinga memasang baik-baik, bahkan orang-orang itu tidak
berani bernapas terlalu keras, takut mengganggu pendengaran.
“HARIMAU MAKAN KUDA” Akhirnya Empek Gan berkata lantang,
“Tentu saja harimauku itu dan yang dimakan kuda bocah ini, ha-ha-ha”
Ia berpaling kepada Suma Boan.
“Nah, apanya yang salah dengan kalimat itu? HARIMAU MAKAN KUDA,
artinya sudah betul, juga kenyataannya begitu, harimau memang suka makan
binatang-binatang lemah, termasuk kuda”
“Tidak betul”, belum lengkap itu” Huruf TAHI belum dimasukkan”
“Sudah betul,” kata Empek Gan. “HARIMAU MAKAN KUDA” Nah, tidak
betulkah itu?”
“TAHI-nya bagaimana? TAHI-nya kautinggalkan”
Orang-orang berteriak-teriak,
“Ya, TAHI-nya bagaimana?”
Suma Boan mendengar banyak orang mendukungnya, tertawa-tawa dan
berteriak-teriak mengejek,
“Empek Gan orang tua tolol” HARIMAU MAKAN KUDA memang berarti
dan benar, akan tetapi TAHI-nya kau lupakan. TAHI-nya bagaimana?”
“Ha..ha..ha.. Cu-wi sekalian dengarlah” Dia bertanya tentang TAHI. Wah,
dia ini, Suma Boan, di sini untuk apa? Harimauku makan kudanya, adapun
TAHI-nya.. kuberikan kepadamu. Suma Boan. Kau makanlah, itu bagianmu”
Sejenak hening, banyak mata terbelalak. Kemudian bagaikan mendapat
komando, meledaklah suara ketawa memenuhi ruangan itu. Lin Lin terpingkalpingkal
sampai jatuh terguling dari bangku, memegangi perutnya dan terus
tertawa.
Sungguh tidak ada yang mengira bahwa akan begitulah jawaban Empek Gan.
Suasana yang tadinya tegang, perhatian yang dicurahkan sepenuhnya, pada
akhirnya hanya akan dihancurkan oleh sebuah kelakar yang sungguh-sungguh
tidak nyaman rasanya bagi telinga yang bersangkutan. Ini bukanlah semata-mata
lelucon, melainkan suatu kesengajaan yang dimaksudkan untuk mempermainkan
Suma Boan. Tidaklah aneh kalau Suma Boan berdiri dengan muka pucat,
kemudian merah sampai hampir hitam, tubuhnya bergoyang-goyang hampir tak
114
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
kuat ia menahan kemarahannya. Suara ketawa yang memenuhi ruangan itu
seakan-akan merupakan ribuan mata pedang yang menusuk-nusuk jantungnya.
Saking tak dapat menahan kemarahannya lagi, Suma Boan menerjang Empek
Gan dengan pedangnya. Hebat serangan ini, karena Empek Gan sedang tertawatawa
sambil memandang ke atas, memegangi perutnya yang bundar kecil.
Sedangkan penyerangan itu merupakan jurus berbahaya, pedang meluncur lurus
mengarah dada dan melihat kedudukan kedua kaki pemuda itu, jelas bahwa
jurus ini dapat segera diubah menjadi jurus apa saja, disesuaikan dengan cara
kakek itu menghadapi jurus pertama. Orang-orang yang menyaksikan
kedahsyatan serangan ini, menahan napas, apalagi kakek itu enak-enak saja
seperti tidak melihat datangnya pedang yang siap mencokel pergi nyawanya dari
badan”
Mendadak kakek itu membalikkan tubuhnya, membelakangi Suma Boan dan
memandang ke arah Lin Lin. Alisnya bergerak-gerak dan matanya dipicingkan
sebelah melihat Lin Lin tertawa-tawa terpingkal-pingkal.
“Eh, Nona, jangan terlalu keras ketawa, perutmu bisa kaku nanti. Apakah kau
sudah melihat tukang sate itu datang ke sini?”
Lin Lin yang tadinya tertawa geli, kini memandang terbelalak. Tidak hanya
Lin Lin, juga banyak tokoh-tokoh persilatan yang berada di situ memandang
heran dan tak mengerti. Kakek ini membelakangi Suma Boan, pantatnya megalmegol
seperti bebek berjalan, tanpa menggeser kaki hanya tubuh belakang itu
saja yang menonjol ke kanan kiri, cepat dan lucu sekali. Dan hanya dengan
gerakan ini saja, pedang di tangan Suma Boan tak pernah mengenai sasarannya”
Mula-mula Lin Lin merasa ngeri menyaksikan pedang itu berkelebatan di
sekeliling pantat Empek Gan. Sedikit saja menyerempet tentu akan merobek
daging mengiris kulit daging kelebihan di belakang itu. Akan tetapi melihat cara
Empek Gan mengegal-egolkan pantatnya secara lucu sekali, kembali Lin Lin
tertawa. Juga orang-orang mulai tertawa lagi.
“Hi-hik, pantas saja Liong-twako juga megal-megol kalau main pedang” Lin
Lin berkata sambil memukul-mukul lengan Suling Emas saking geli hatinya.
Suling Emas juga tersenyum dan mengangguk-angguk. Ia tahu bahwa justeru
gerakan itulah yang menjadi keistimewaan ilmu silat Empek Gan ketika kakek
ini dahulu merantau dan bertempat tinggal di sebuah pulau di sebelah selatan.
Penduduk aseli pulau ini suka sekali akan tari-tarian, memiliki tari-tarian khas
yang aneh dan juga menarik serta lucu karena semua penari, laki-laki maupun
115
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
perempuan, dalam menari selalu menggerak-gerakkan tubuh belakang mereka
(seperti tari Hula-hula)” Dan tari-tarian inilah yang dijadikan dasar keanehan
ilmu silat yang diciptakan Empek Gan, karena dia sendiri pun menjadi pecandu
tari-tarian itu. Sementara itu, ilmu silatnya hanya bisa dilakukan dengan
sempurna kalau disertai pantat megal-megol”
Suma Boan penasaran bukan main. Sudah tujuh kali ia menikam dan
menabas, namun setalu makan angin belaka. Tiba-tiba Empek Gan tertawa dan
mundur, entah bagaimana, tahu-tahu Suma Boan tak dapat mengelak lagi
dibentur pantat Empek Gan sehingga ia terlempar sampai lima meter lebih” Luar
biasa sekali”
“Ho-ho, manusia she Gan” Apakah di sini kau mau memamerkan diri?” tibatiba
terdengar suara nyaring menggetarkan anak telinga, biarpun suara itu parau
dan tak enak didengar.
“Heh-heh” It-gan Kai-ong, bukan aku memamerkan diri, melainkan bocah ini
tak dapat menjaga baik nama gurunya, heh-heh-heh..” kata Empek Gan sambil
memandang ke arah It-gan Kai-ong yang masih duduk di deretan bangku bagian
kaum kehormatan.
Melihat bahwa suasana menjadi tegang, Beng-kauwcu Liu Mo memberi
tanda dengan tongkatnya. Segera Kauw Bian Cinjin yang mewakili suhengnya,
melangkah maju dan menjura sambil berkata,
“Kauwcu mengharapkan dengan hormat agar keributan ini diakhiri untuk
memberi kesempatan kepada tamu lain, tak lupa sekali lagi menghaturkan
terima kasih kepada Gan-sicu dan Suma-kongcu atas ucapan selamat.”
Empek Gan menyengir sambil memandang ke arah It-gan Kai-ong yang
membalas dengan pandangan mengejek. Dengan langkah gontai dan pantat tetap
megal-megol, Empek Gan lalu melangkah maju menghampiri Lin Lin, lalu
tertawa”
“Wah, kau jempol sekali, Kakek Cebol” Lin Lin menyambutnya dengan
tertawa pula. “Pantas Lie Bok Liong twako kalau bersilat selalu megal-megol,
kiranya gurunya pun begitu. Kakek gagah, apakah ilmu silatmu itu namanya
ilmu silat bebek melenggang?”
Empek Gan tertawa senang karena banyak tamu yang mendengar ini ikut
tertawa. Dasar berjiwa badut, kalau ada orang mentertawakan kelucuannya,
kakek ini merasa girang dan puas sekali”
116
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Sementara itu, para tamu lain yang tadi sudah menanti-nanti tidak sabar
karena mereka terhalang oleh keributan sehingga mereka tiada kesempatan
memberi selamat dan sumbangan, kini mulai melangkah maju, menghampiri
tempat duduk Beng-kauwcu dan Raja Nan-cao. Antrian tamu itu cukup panjang
dan para tamu yang sudah duduk merasa jemu menyaksikan upacara itu, mereka
bercakap-cakap dengan teman masing-masing sambil mengganyang hidangan
yang berada di atas meja.
Lin Lin setelah puas tertawa menyaksikan pertunjukkan yang lucu dari
Empek Gan tadi, kini teringat akan janji Suling Emas. Ia menengok dan melihat
betapa Suling Emas sudah bangkit dari bangkunya, berdiri bersedakap, seperti
orang sedang menonton para tamu yang seorang demi seorang memberi selamat
dan menyerahkan barang sumbangan. Lin Lin cepat melangkah maju
menghampiri. Sejenak ia meragu, agak bingung. Perasaan ini selalu datang
selama ini kalau ia hendak bicara kepada Suling Emas, karena sesungguhnya ia
tidak tahu siapa nama pendekar itu. Tentu saja nama Suling Emas atau Kimsiauw-
eng hanyalah julukan saja. Jarang ia memanggil, atau kalau terpaksa ia
hanya menyebut “Suling Emas” begitu saja, sebutan yang sebetulnya kurang
enak. Sejenak ia meragu, berdiri di belakang punggung yang bidang itu.
“Kim-siauw Koko.” akhirnya ia berkata perlahan.
Suling Emas terkejut seperti baru sadar daripada lamunannya, menengok ke
belakang.
“Kau? Kau bilang apa tadi?”
“Tidak bilang apa-apa, belum lagi, baru memanggilmu. Susah memanggil
karena tidak tahu siapa namamu, biar kusebut kau Kim-siauw Koko saja.”
“Hemmm, ada apakah, Lin Lin?”
“Aku menagih janji”
“Janji apa?”
“Ihhh, masa kau lupa lagi? Bukankah kau bilang bahwa kau hendak
mencarikan musuh besarku dan Kakak Bu Song. Eh, kau sudah lupa atau purapura
lupa? Seorang gagah takkan menjilat.. eh, kau melihat apa?” Lin Lin gemas
sekali melihat Suling Emas tidak mempedulikannya dan sedang memandang
dengan kening berkerut ke arah kiri. Ia cepat menoleh dan sempat melihat
seorang gadis cantik jelita memberi isyarat dengan tangan kepada Suling Emas
dan gadis itu cepat membuang muka dan pura-pura tidak melihat ke arah mereka
117
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
ketika Lin Lin memandang. Gadis itu bukan lain adalah gadis jelita penyambut
tamu tadi, puteri ketua Beng-kauw yang bernama Liu Hwee. Entah mengapa ia
sendiri tidak tahu, Lin Lin merasa dadanya panas seperti dibakar dan ingin ia
meloncat dan menerjang gadis itu, menantangnya berkelahi sampai seribu jurus”
Tanpa disadari lagi kedua kakinya melangkah menuju ke kiri, ke arah gadis
puteri Beng-kauw itu.
“Lin-moi, ke sinilah..”
Lin Lin tersentak dan sadar bahwa ia terlalu menuruti nafsu hati panas
sehingga hampir saja ia menimbulkan keributan tanpa sebab. Panggilan Sian
Eng ini menyadarkannya maka cepat ia menengok dan membalikkan tubuh lalu
menghampiri encinya.
“Lin-moi, kau sudah tahu, kedatanganku ke sini adalah karena percaya akan
penuturan Suma Boan bahwa di sini aku akan dapat bertemu dengan kakak kita
Bu Song. Aku percaya akal hal itu, Lin-moi, karena itu aku ikut ke sini.”
“Ah, orang macam itu kau percaya, Enci Eng?”
“Hush, bukan tak beralasan aku percaya dia” jawab Sian Erg dengan muka
agak panas.
“Tak ingatkah kau akan penuturan sukouw (bibi guru) Kui Lan Nikouw? Ibu
tiri kita, isteri pertama Ayah yang bernama Tok-siauw-kui Lui Lu Sian adalah
puteri ketua Beng-kauw yang sudah meninggal dunia dan yang kematiannya
diperingati ke seribu harinya sekarang ini. Dengan demikian, maka kakak kita
Bu Song itu adalah cucu dari ketua Beng-kauw, atau cucu keponakan dari ketua
Beng-kauw yang sekarang. Kalau dia menghilang, agaknya di sinilah tempat ia
bersembunyi, di tempat ibunya”
“Wah, betul juga Enci Eng. Sekarang aku ingat akan hal itu” Kalau begitu,
biar aku tanya langsung saja kepada Beng-kauwcu..”
Tiba-tiba Lin Lin menghentikan kata-katanya sambil menoleh ke kiri.
Dilihatnya Suling Emas tidak berada di tempatnya lagi.
“Jangan, Lin-moi. Tidak baik begitu, lebih baik kutanyakan kepada Sumakongcu,
siapa tahu Kakak Bu Song sudah hadir sekarang.. eh, Lin-moi, kau ke
mana..?”
Kiranya Lin Lin sama sekali tidak mendengarkan ucapan saudaranya karena
ia telah lari meninggalkan tempat itu ketika melihat bahwa selain Suling Emas,
juga puteri ketua Beng-kauw tidak berada di tempatnya lagi. Entah apa yang
118
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
menyebabkan Lin Lin pergi, mungkin ia sendiri tidak tahu karena ia hanya
merasa bahwa ia harus pergi mencari Suling Emas yang tadi dilihatnya diberi
isyarat oleh Liu Hwee puteri ketua Beng-kauw. Juga ia tidak tahu mengapa
dadanya terasa makin panas”
Lin Lin keluar dari ruangan itu melalui pintu samping. Kiranya pintu itu
menembus ke sebuah taman bunga yang lebar. Sunyi di situ karena semua orang
mencurahkan perhatian ke ruangan tamu di mana sedang berlangsung upacara
penyambutan tamu dan penerimaan ucapan selamat. Lin Lin berjalan terus,
matanya memandang ke sana ke mari, mencari-cari. Tidak ada bayangan Suling
Emas maupun Liu Hwee. Namun di ujung taman tampak beberapa buah pondok
yang mungil, agaknya menjadi tempat peristirahatan, entah milik raja ataukah
milik ketua Beng-kauw. Akan tetapi ada sesuatu yang menarik, mungkin dugaan
bahwa Suling Emas berada di situ yang menarik hati Lin Lin, karena gadis ini
terus berlari-lari ke arah tiga buah pondok itu.
Setelah dekat, ia jalan berindap-indap, perlahan dan hati-hati. Apalagi ketika
ia melihat bayangan dua orang dan mendengar suara bisik-bisik yang dibawa
angin lalu, cepat ia menyelinap dan mengintai dari balik pondok. Kiranya Suling
Emas berada di belakang pondok ke dua.. dadanya makin panas seperti terbakar
ketika, ia melihat Suling Emas berdiri berhadapan dengan Liu Hwee. Begitu
dekat, dan keduanya berbisik-bisik” Lin Lin berusaha menangkap percakapan
mereka, akan tetapi karena mereka bicara lirih sekali ia hanya dapat menangkap
beberapa buah kata-kata saja yang tidak berarti. Akhirnya, ia mendengar ucapan
Liu Hwee lapat-lapat.
“.. ah, kau terlalu lemah..”
“.. cintaku takkan kunodai dengan darah..” terdengar jawaban Suling Emas
kemudian mereka berjalan pergi meninggalkan tempat itu.
Dalam tempat persembunyiannya, Lin Lin tidak berani bergerak, tidak berani
pula mengejar karena ia merasa malu kalau diketahui telah menjadi pengintai.
Ucapan mereka yang ia dengar tadi merupakan teka-teki baginya, menambah
rasa tidak enak di hatinya. Agaknya Suling Emas dan gadis jelita itu demikian
rukun dan ia takkan salah menduga kalau di antara mereka tentu ada hubungan
yang amat erat. Dan dia demikian dinginnya terhadap aku, pikirnya. Mendadak
air matanya menitik. Lin Lin kaget, cepat mengusap empat butir air mata dari
pipinya. Cintaku takkan kunodai dengan darah, demikian jelas terdengar ucapan
keluar dari mulut Suling Emas tadi. Apa artinya ini? Cintanya terhadap siapa?
119
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Ah, kiranya pendekar yang diam-diam dipujanya itu telah mencintai seseorang.
Siapa gerangan? Puteri ketua Beng-kauw itu?
Setelah dua orang itu tidak kelihatan bayangannya lagi, Lin Lin menarik
napas panjang, lalu membalikkan tubuh hendak pergi dari situ. Tiba-tiba ia
tersentak kaget, matanya terbelalak lebar, dan hampir ia menjerit. Di depannya
telah berdiri seorang.. iblis tengkorak berselubung hitam yang mengerikan”
Akan tetapi Lin Lin memiliki dasar watak yang pemberani tak kenal takut.
Hanya sebentar saja ia merasa ngeri saking kagetnya, akan tetapi segera ia
mengenal manusia bertopeng tengkorak seperti iblis ini.
Memang iblis, atau seorang di antara enam iblis. Biarpun baru sekarang ia
berhadapan, ia dapat menduga bahwa orang atau mahluk ini tentulah Hek-giamlo,
yang pernah menawan encinya.
“Harap jangan berteriak..” suara serak mendesis itu keluar dari mulut
tengkorak yang tidak bergerak.
“Hemmm, apa perlunya berteriak? Aku tidak takut padamu, Hek-giam-lo,”
kata Lin Lin, malah dagunya yang runcing itu ia angkat, bibirnya tersenyum
mengejek.
“Kau kenal padaku..?” Dalam suara yang menyeramkan itu terdengar
bayangan heran.
“Siapa tidak mengenal Hek-giam-lo kaki tangan Kerajaan Khitan yang buas
dan suka berlaku sewenang-wenang? Hemmm, agaknya tidak begitulah keadaan
Khitan di waktu ibuku masih hidup, di waktu Raja Besar Kulukan masih
berkuasa. Hek-giam-lo, kau secara sewenang-wenang telah mengubur hiduphidup
enci angkatku dan juga gadis-gadis lain. Hemm, kalau kakekku Raja
Besar Kulukan masih hidup, apa kau berani berbuat seperti itu jahatnya?”
Tercenganglah Hek-giam-lo, biarpun tidak dapat dilihat pada mukanya,
namun melihat ia diam tak bergerak, jelas bahwa ia tertegun.
“Kau.. kau.. betulkah kau orang yang kucari-cari..? Sudah berkali-kali aku
keliru..”
“Hek-giam-lo, kau berhadapan dengan puteri keturunan langsung dari Kakek
Kulukan. Ibuku adalah Puteri Mahkota Tayami yang gagah perkasa, dan aku

adalah Puteri Yalin”
Bersambung..

No comments:

Post a Comment