Monday, March 20, 2017

Cinta Bernoda Darah 02 - Mini Serial #39

Cinta Bernoda Darah #39
Cerita Silat Kho Ping Hoo: Cinta Bernoda Darah 02 - Mini Serial #39
=========================================
Lin Lin teringat akan kakaknya, menengok. Sejenak ia menatap wajah cantik yang namanya amat terkenal sebagai seorang di antara Liok-koai dan ia tercengang. Wanita begitu cantik jelita, rambutnya hitam panjang, biarpun bebas riap-riapan namun harus diakui amat indah, malah menonjolkan kecantikan aseli. Wanita seperti itu disebut iblis jahat? Dan diakah yang menahan kakaknya, Bu Sin?
“Aku akan tanya kepadanya” Lin Lin sudah bangkit dari kursinya, hendak
langsung menghampiri Siang-mou Sin-ni dan bertanya terang-terangan tentang kakaknya. Melihat ini, Suling Emas menggerakkan tangannya, memberi isyarat kepada Sian Eng. Sian Eng maklum dan cepat ia pun berdiri dan menyambar lengan adiknya, terus ditarik dekat dan diajak duduk di kursi sebelahnya.

“Lin Lin, jangan bikin kacau. Kita ini tamu, malah tamu yang tidak
diundang. Kita harus menghormati tuan rumah yang begitu ramah. Kalau kau
bikin ribut, kan memalukan sekali? Biarlah kita serahkan kepada Taihiap. Pula,
wanita itu lihai bukan main, jangan kau berlaku sembrono.”
Lin Lin dapat dibujuk dan mereka saling menceritakan pengalaman masingmasing
semenjak berpisah. Tentu saja Sian Eng tetap merahasiakan perasaan
hatinya terhadap Suma Boan. Ia hanya menceritakan bahwa Suma Boan
mengajaknya ke Nan-cao karena di tempat ini tentu akan muncul kakaknya,
yaitu Kam Bu Song”
“Betulkah itu? Wah, kalau begini hebat” Dia..” ia mengerling ke arah Suling
Emas, “dia ini berjanji akan mencarikan musuh besar kita di sini. Kalau betul di
sini kita bisa bertemu dengan Kakak Kam Bu Song, berarti sekali tepuk
mendapatkan dua ekor lalat. Apalagi kalau Kakak Bu Sin selamat dan dapat
muncul pula. Alangkah baiknya.”
“Karena itu, kita menanti gerakan Taihiap, jangan bertindak sendiri secara
sembrono. Jangan-jangan malah akan menggagalkan semuanya.”
Pada saat itu, dari luar terdengar suara orang tertawa dan Kauw Bian Cinjin
muncul mengiringkan seorang kakek pendek yang menimbulkan tertawa itu.
Kiranya dia ini adalah Gan-lopek, kakek lucu itu. Tidak hanya tingkah lakunya
dan sikapnya yang lucu, akan tetapi yang membuat para tamu tertawa adalah
benda yang dibawanya. Ia membawa sebuah pigura, akan tetapi bukanlah
lukisan yang berada di atas kain putih, melainkan kain putih yang kosong. Akan
tetapi mulutnya tiada hentinya mengoceh.
“Aku membawa sumbangan terindah untuk Beng-kauwcu. Lukisan terindah
tiada bandingnya di seluruh dunia” Sambil berkata demikian ia mengacungacungkan
pigura itu di tangan kanan dan sepoci tinta bak hitam di tangan kiri.
100
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Kauw Bian Cinjin agaknya mengenal tokoh ini, maka biarpun kakek pendek
itu kelihatannya malah tidak normal otaknya, ia menyambut penuh kehormatan
malah ia antarkan sendiri sampai di ruangan tengah, baru ia tinggalkan keluar
pula.
Sambil tertawa ha-hah-he-heh Empek Gan menoleh ke kanan kiri,
mengangguk-angguk kepada para tamu seperti tingkahnya seorang pembesar
yang memasuki ruangan di mana para hadirin menghormatinya, kemudian ia
melangkah langsung ke hadapan Beng-kauwcu dan Raja Nan-cao.
Akan tetapi ia tidak segera maju memberi hormat, melainkan menengok ke
kanan kiri dengan sinar mata mencari-cari. Sikapnya yang seperti orang tolol ini
memancing gelak tawa para tamu muda. Akan tetapi Gan-lopek tidak peduli,
lalu ia mengomel.
“Di mana sih ditaruhnya meja sembahyang? Paling penting aku harus
menghormat abu jenazah Pat-jiu Sin-ong, mendiang orang tua yang hebat itu”
Mendengar ini, terdengar Liu Mo ketua Beng-kauw berkata lembut,
“Gan-sicu, hari ini sengaja kami merayakan ulang tahun Beng-kauw, untuk
penghormatan abu mendiang Pat-jiu Sin-ong baru dilakukan besok di dalam kuli
istana.”
“Ohhhhh, begitukah? Tidak apalah. Nah, Beng-kauwcu dan Baginda Raja
Nan-cao, perkenankan aku orang she Gan yang bodoh ikut mengucapkan
selamat kepada Beng-kauw dan aku orang she Gan yang miskin hanya dapat
memberi hadiah lukisan yang akan kubuat sekarang juga.”
“Gan-sicu, keahlianmu melukis terkenal di seluruh jagat. Lukisanmu
merupakan hadiah yang tak ternilai harganya. Akan tetapi, kau membikin kami
menjadi tidak enak, karena membikin kau repot saja,” kata Beng-kauwcu tanpa
mengubah air mukanya.
Akan tetapi Raja Nan-cao, seorang yang amat suka akan kesenian, terutama
seni sastra, sajak dan lukis. Dengan wajah berseri segera berkata,
“Silakan.. silakan..”
Empek Gan tanpa banyak sungkan lagi lalu merentang kain putih itu di atas
lantai, kemudian ia memasukkan jari-jari tangan kanannya ke dalam poci terisi
tinta bak yang hitam kental. Ketika ia mencabut kembali jari tangannya, tentu
saja tangan kanan itu hitam semua. Tiba-tiba ia memasang kuda-kuda dan
tubuhnya tergetar semua, matanya tajam memandang ke atas kain putih, makin
101
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
lama sepasang mata itu makin melotot lebar. Di sana-sini sudah terdengar tamu
bergelak tawa dan menganggap sikap kakek pendek itu seperti seorang badut
yang miring otaknya. Akan tetapi mereka yang sudah mendengar nama Ganlopek
sebagai seorang sakti aneh yang pandai melukis, menonton dengan degup
jantung berdebar penuh ketegangan karena sekarang mereka mendapat
kesempatan menyaksikan orang sakti itu mendemonstrasikan keahliannya
melukis.
Empek Gan mengeluarkan suara keras seperti harimau menggereng dan
tangan kanannya menyambar ke bawah, ke atas kain putih, kemudian jari-jari
tangannya bergerak cepat sekali, coret sana coret sini, melompat mundur dengan
mata melotot, menubruk maju lagi dan kembali jari-jari tangannya mencoret
sana-sini. Berkali-kali tangan kanannya masuk ke dalam poci terisi bak hitam,
dan berkali-kali ia melompat maju mundur. Maju untuk melukis dengan coretancoretan
jari tangan yang digerakkan dengan tenaga sin-kang sepenuhnya
sehingga jari-jari tangan itu menggetar, melompat mundur untuk meneliti dan
memandang hasil coretannya dengan penuh perhatian.
Para tamu yang hanya berani menonton dari tempat duduk masing-masing,
agak jauh dari situ, tidak dapat melihat jelas. Akan tetapi para tamu yang duduk
di golongan tamu agung, lebih dekat dan karenanya mereka dapat menikmati
demonstrasi yang memang luar biasa ini. Mula-mula coretan-coretan itu tidak
dapat diduga akan berbentuk apa, akan tetapi lambat laun mulailah tampak
bentuk yang amat hidup dan indah luar biasa dari seekor harimau” Mata harimau
yang seakan-akan bergerak hidup, mulut yang seakan-akan gemetar meringis
dengan taringnya yang runcing dan lidahnya yang menjulur ke luar. Kulitnya
lorek-lorek seakan-akan tampak bulunya. Begitu indah harimau itu, seperti
seekor binatang hidup saja, hanya bedanya tidak bernapas. Dan semua itu dibuat
hanya dengan dua warna, hitam dan putih saja dan hanya mempergunakan jarijari
tangan. Benar-benar hasil seni yang mendekati penciptaan”
“Bagus.. indah sekali..” Raja Nan-cao seorang penggemar lukisan telah
berseru girang berkali-kali, menahan diri untuk tidak bangkit mendekati dan
memandang lebih jelas.
Gan-lopek tiba-tiba mengangkat poci yang kini tinggal sedikit baknya itu,
lalu menuang isinya ke dalam mulutnya seperti seorang pemabuk minum arak
yang wangi” Tentu saja hal ini menimbulkan keheranan besar, bahkan raja
sendiri sampai memandang bengong dan menahan seruan. Hanya tokoh-tokoh
102
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
besar yang termasuk orang-orang sakti, juga ketua Beng-kauw, memandang
dengan tenang.
Gan-lopek berlutut lagi menghadapi lukisannya dan kini mulutnya
menyembur-nyemburkan uap hitam ke arah gambar itu. Memang hebat kakek
lucu ini dan cara melukisnya juga istimewa. Semburan uap hitam itu demikian
tepatnya menempel pada kain putih di sebelah atas lukisan harimau, membentuk
sebuah lingkaran bulat dan biarpun hanya merupakan titik-titik hitam di atas
bulatan putih, jelas bahwa semburan itu telah menciptakan sebuah matahari
yang gemilang”
Gan-lopek kini bangkit berdiri, wajahnya agak pucat dan napasnya agak
memburu, akan tetapi ketika ia tertawa, tak setitik pun warna hitam berada di
dalam mulutnya” Ia mengambil lukisan itu dari atas lantai, lalu
mempersembahkannya kepada Beng-kauwcu sambil berkata.
“Kauwcu yang baik, terimalah persembahanku yang tidak berharga ini”
“Terima kasih, Gan-sicu, terima kasih,” kata Beng-kauwcu Liu Mo sambil
menerima lukisan itu.
“Indah sekali, harap gantungkan di dinding agar semua orang dapat
menikmati keindahannya,” kata Raja Nan-cao dengan wajah berseri. Bengkauwcu
memberi tanda dengan gerakan mata. Dua orang anak murid segera
maju, menerima lukisan pada dinding, agak tinggi sehingga semua orang dapat
memandang. Semua mata tertuju ke arah lukisan dan semua mulut
mengeluarkan pujian. Bahkan orang-orang yang tadi mentertawai Gan-lopek,
kini menjadi keheran-heranan. Lukisan itu merupakan seekor harimau yang
amat besar dan ganas, terbayang kekuatan yang menakutkan dan sepasang mata
yang seakan-akan mengandung pengaruh melumpuhkan lawan. Harimau ini
dalam keadaan siap menerjang maju, di bawah sinar matahari yang gemilang
menyilaukan mata. Sungguh sukar dipercaya lukisan seindah itu dilukiskan
hanya dengan coret-coret jari tangan dan semburan mulut saja”
Selagi orang-orang mengagumi kakek aneh itu dan lukisannya, tampak
seorang pemuda melangkah maju. Dengan sikap angkuh ia memandang kepada
Empek Gan, melirik sekilas pandang ke arah lukisan harimau, lalu ia menjura di
depan Raja Nan-cao dan Ketua Beng-kauw.
“Hamba Suma Boan mewakili keluarga Suma di An-sui. Mengingat akan
hubungan yang amat erat antara Kerajaan Nan-cao dan kerajaan besar Sung di
103
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
utara, kami keluarga Suma yang masih terhitung keluarga Kaisar di Sung Utara,
menghaturkan selamat kepada Agama Beng-kauw, terutama kepada Bengkauwcu
dan kepada Sri Baginda dengan harapan semoga hubungan antara
selatan dan utara akan menjadi lebih erat lagi.” Sampai di sini, Suma Boan
berhenti sebentar dan banyak kepala para tamu mengangguk-angguk sebagai
tanda setuju dan kagum akan kepandaian orang muda itu berpidato.
“Kami sekeluarga Suma di An-sui tidak memiliki sesuatu yang amat mahal
harganya, melainkan hanya sebuah lukisan kuno yang selama puluhan tahun ini
menjadi penghias rumah kami sebagai barang pusaka, sekarang dengan hati rela
kami menghaturkan kepada Beng-kauwcu dan Sri Baginda agar menjadi
kenang-kenangan.” Dengan bangga Suma Boan membuka gulungan lukisan
yang tadi dibawanya, memperlihatkan kepada tuan rumah.
“Wah, ini lukisan pelukis besar Yen Li Pun tiga ratus tahun yang lalu” seru
Raja Nan-cao.
Sambil tersenyum Suma Boan berkata,
“Sri Baginda ternyata berpemandangan tajam sekali, dapat mengenal barang
pusaka. Hal ini menandakan bahwa Sri Baginda memiliki pengetahuan yang
amat tinggi tentang seni lukis. Untuk lukisan ini, hamba mempunyai sajak untuk
menerangkannya, mohon supaya lukisan ini digantung di tempat yang layak.”
Kini raja sendiri yang memberi perintah kepada dua orang pengawal untuk
menggantungkan lukisan itu dan karena tempat yang paling baik adalah di
dinding yang sekarang terhias lukisan harimau buatan Gan-lopek, terpaksa
lukisan itu digantung di sebelah lukisan Gan-lopek. Setelah digantung, barulah
para tamu dapat melihat lukisan itu dan semua orang berseru kagum. Lukisan itu
melukiskan seekor kuda yang amat indah dan gagah, kuda yang berlari cepat
sehingga bulu pada leher dan ekornya melambai-lambai indah sekali. Seakanakan
para tamu melihat keempat kaki kuda itu bergerak lari cepat dan telinga
mendengar derap dari jauh”
Ukuran lukisan kuda ini lebih besar daripada lukisan harimau dan biarpun
cara melukis harimau itu aneh sekali, akan tetapi dalam hal keindahan, kiranya
sukar menandingi lukisan kuda ini yang menggunakan warna aseli. Dengan gaya
angkuh dan mengejek Suma Boan mengerling ke arah Gan-lopek, lalu ia
berkata.
104
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
“Perkenankan hamba mengucapkan sajak sebagai timpalan lukisan pusaka
itu.”
Raja yang suka akan lukisan dan sajak, segera berseru,
“Silakan, orang muda yang pintar, silakan.”
Suma Boan berdiri tegak, mengangkat dada, mengerling sejenak ke arah Lin
Lin dan Sian Eng yang duduk dekat Suling Emas, lalu mengucapkan sajak
dengan suara nyaring.
“Kuda sakti, lambang keindahan, kegagahan, dan kecepatan” Semoga Nancao
di bawah bimbingan Beng-kauw, akan maju secepat larinya kuda sakti”
“Bagus” Raja bertepuk tangan memuji dan banyak di antara para tamu ikut
pula memuji sambil bertepuk tangan, membuat Suma Boan makin bangga dan
dadanya makin membusung. Ketika tepuk tangan sudah mereda, tiba-tiba
terdengar suara keras dan nyaring. Semua orang menengok ke arah Gan-lopek
karena tak salah lagi pendengaran mereka, itu adalah suara.. kentut” Ada yang
sampai pucat mukanya mendengar ini, karena perbuatan Gan-lopek kali ini
benar-benar merupakan sebuah kekurangajaran yang melewati batas” Suma
Boan juga sampai pucat mukanya, bukan karena kaget melainkan karena marah.
Ia merasa dihina bahwa sajak yang dideklamasikan tadi disambut dengan bunyi
kentut oleh Gan-lopek”
“Gan-lopek, apa kau memandang rendah kepada sajakku tadi?” Suma Boan
memancing kakek itu yang masih duduk di lantai. Kakek itu bangkit berdiri dan
tersenyum lebar. Pemuda she Suma itu memang cerdik sekali, kata-katanya
sengaja ia ucapkan untuk memancing. Sajaknya tadi merupakan pujian terhadap
Nan-cao dan Beng-kauw, maka kalau kakek pendek ini berani memandang
rendah, berarti Gan-lopek memandang rendah Nan-cao dan Beng-kauw pula dan
ia pasti akan mempergunakannya untuk menekan kakek yang menyakitkan
hatinya ini.
“Ha..ha.., bocah, siapa memandang rendah? Kentutku tadi hanya
memperingatkan bahwa begitu kau muncul dengan gambarmu, aku lalu
dianggap seperti angin saja. Ha-ha-ha, kaulah orangnya yang menghina Nan-cao
dan Beng-kauw dengan lukisan itu” Ia menuding ke arah gambar kuda.
Beng-kauwcu Liu Mo memang sudah maklum bahwa di antara para tamunya
terdapat pertentangan-pertentangan, akan tetapi ucapan Gan-lopek kali ini
benar-benar membuat ia tidak mengerti.
105
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
“Gan-sicu, lukisan ini adalah lukisan aseli dari pelukis besar Yen Li Pun,
merupakan pemberian yang amat bernilai, sama sekali tidak menghina kami”
Ketua Beng-kauw biarpun termasuk orang sakti yang aneh, namun sebagai
kepala agama, tentu saja ia tidak berandalan dan ugal-ugalan, apalagi
dibandingkan dengan Empek Gan yang aneh itu. Tadi mendengar Empek Gan
menyambut sajak yang dideklamasikan oleh pemuda itu dengan bunyi kentut, ia
merasa tak senang, sekarang mendengar kata-kata Empek Gan yang menuduh
pemuda itu menghina Beng-kauw, tentu saja ia tidak setuju.
“Heh-heh-heh, penghinaan tidak langsung, tentu saja Kauwcu tidak tahu.”
“Gan-lopek, jangan menuduh sembarangan” Kau yang membuang kentut di
depan orang-orang terhormat, kaulah yang menghina semua orang, bagaimana
kau bisa menyebar fitnah kepadaku?” Suma Boan menudingkan telunjuknya.
“Melepas kentut apa salahnya? Ini tandanya jujur” Siapa di antara semua
orang yang hadir di sini tak pernah kentut? Kalau angin sudah datang, tidak
dilepas, bukankah mendatangkan perut kembung dan penyakit? Kalau dilepas
perlahan-lahan agar jangan berbunyi dan jangan diketahui orang, itu pura-pura
dan palsu namanya. Tidak ada bunyinya, tahu-tahu menyerang hidung orang lain
sampai membikin hidung menjadi hijau” Orang kentut bukan menghina karena
semua orang juga suka kentut. Tapi lukisanmu itu. Hemmm, Kauwcu, sama
sekali bukan berarti bahwa aku memandang rendah lukisan Yen Li Pun. Aku
kagum akan lukisannya dan dibandingkan dengan dia, aku bukan apa-apa. Akan
tetapi kalau orang sudah menyamakan Nan-cao dan Beng-kauw seperti kuda,
benar-benar membikin panas perutku” Kuda itu binatang apakah? Boleh liar
ganas dan sakti, akhirnya hanya akan menjadi binatang tunggangan manusia”
Dan senjatanya hanya pada kakinya yang dapat berlari cepat. Bukankah itu sifat
pengecut yang hanya pandai lari karena tidak berani menentang lawan? Apakah
Nan-cao boleh disamakan dengan kuda yang boleh ditunggangi orang lain dan
akan lari tunggang-langgang dengan kecepatan kilat kalau diserang musuh?”
Beng-kauwcu Liu Mo tertawa. Para tamu terheran karena tak pernah mengira
bahwa wajah yang serius seperti patung itu dapat tertawa.
“Gan-sicu, kau lucu sekali” Lucu dan berbahaya, akan tetapi kami sama
sekali tidak menganggap Suma-kongcu ini menghina kami. Kau pandai
memutarbalikkan arti sesuatu. Dan bagaimanakah artinya lukisanmu itu, kalau
kami boleh mendengar keterangannya?”
106
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
“Nan-cao dan Beng-kauw disamakan dengan binatang yang kejam dan
ganas” Suma Boan berseru, tak dapat menahan kemarahannya akan tetapi
hatinya lega, juga mendengar kata-kata ketua Beng-kauw, karena tadinya ia
sudah merasa bingung dan kaget mendengar tuduhan Gan-lopek yang hebat.
Kini Gan-lopek yang tersenyum-senyum, lalu berkata nyaring,
“Harimau terkenal sebagai raja di antara sekalian binatang hutan” Terkenal
akan keberaniannya, tak pernah mundur menghadapi siapa pun juga. Itulah sifatsifat
yang patut dimiliki oleh Nan-cao, biarpun besar tubuh harimau tidak
sebesar kuda, namun kecil-kecil memiliki keberanian yang besar. Harimau siap
menerjang lawan jahat di bawah naungan matahari yang terang benderang.
Apakah yang lebih terang daripada matahari? Beng-kauw adalah Agama Terang,
maka boleh diumpamakan Sang Matahari yang menaungi harimau Nan-cao.
Nah, itulah arti lukisanku yang buruk, Kauwcu”
Tepukan tangan menyambut keterangan ini, dilakukan oleh sementara tamu
yang merasa kagum dan suka kepada Empek Gan. Akan tetapi Suma Boan
makin mendongkol dan ia berkata mengejek.
“Gan-lopek boleh jadi pandai dalam ilmu silat, boleh jadi pandai dalam hal
melukis, akan tetapi tak mungkin ia lebih pandai dari mendiang Yen Li Pun
pelukis besar, dan dalam hal sastra dan sajak, aku yang muda berani bertanding
dengan dia”
Inilah sebuah tantangan yang terang-terangan, dilakukan di depan Raja Nancao
yang suka akan sajak dan di depan Beng-kauwcu pula” Bukan tantangan
silat, melainkan tantangan mengadu kepandaian bun (sastra). Tentu saja Suma
Boan seorang yang amat cerdik sudah cukup tahu bahwa biarpun pandai
melukis, Empek Gan ini bukanlah seorang ahli sastra, apalagi ahli sajak”
Biarpun tantangan Suma Boan itu bukanlah tantangan mengadu ilmu silat,
melainkan tantangan mengadu ilmu sastra, namun bahayanya tidak kalah hebat.
Malah agaknya lebih hebat karena dalam mengadu ilmu silat, yang kalah
mungkin akan tewas” Sebaliknya, dalam mengadu ilmu sastra, biarpun yang
kalah tidak akan terluka apalagi mati, namun ia akan menjadi buah tertawaan
dan nama besarnya akan dijadikan bahan ejekan.
Akan tetapi, Gan-lopek adalah seorang sakti yang aneh. Memang dalam hal
ilmu sastra, biarpun pernah ia mempelajarinya, pengetahuannya tidaklah begitu
mendalam seperti pengetahuannya tentang seni lukis. Namun ia memiliki
107
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
kelebihan yang sering kali menguntungkan dirinya, yaitu di samping ilmu
kepandaiannya yang tinggi, ia juga pandai sekali berkelakar dan pandai pula
bicara. Dengan tiga ilmunya ini, di samping ilmu-ilmu yang lain, yaitu ilmu
silat, ilmu seni lukis dan melawak, biasanya ia dapat menyelamatkan diri
daripada ancaman bahaya. Kini menghadapi tantangan Suma Boan, tidak ada
jalan lain baginya selain menerimanya. Menolak berarti kalah dan
mengorbankan namanya sebagai pecundang, karena tentu seluruh dunia akan
segera mendengar betapa Empek Gan yang terkenal pandai itu sekarang “mati
kutu” terhadap Suma Boan”
“Ho-hah, omonganmu lebih jahat dari pada kentut” Terlalu keras dan bau”
Bocah macam engkau ini menantang tua bangka macam aku mengadu
kepandaian tentang sastra dan sajak? Ho-ho, biar semua gurumu kaupanggil ke
sini, aku tidak takut menghadapi mereka. Kau ini apa? Kutanggung menulis pun
belum jelas, apalagi merangkai kata-kata dalam kalimat atau sajak, pasti belum
becus. Berani aku mempertaruhkan kepalaku yang lapuk ini kalau kau mampu
merangkai empat buah huruf yang kupilih menjadi sebaris kalimat yang
mempunyai arti dan mengandung kebenaran. Hayo, berani tidak kau?”
Suma Boan bukanlah seorang pemuda bodoh. Pengertiannya tentang sastra
dan sajak, sungguhpun belum boleh dibandingkan dengan sastrawan-sastrawan
dan para penyair, namun ia yakin takkan kalah oleh Empek Gan ini. Apalagi
merangkai empat buah huruf saja, menjadi sebaris kalimat, apa sukarnya? Empat
buah huruf itu kalau diatur bergiliran letaknya, diubah-ubah, dapat menjadi dua
puluh empat baris kalimat yang berlainan. Apakah sukarnya memilih di antara
dua puluh empat baris kalimat itu yang merupakan kalimat paling berarti dan
mengandung kebenaran? Segera ia menjura kepada Beng-kauwcu dan Raja Nancao
sambil berkata.
“Mohon maaf sebanyaknya, terpaksa hamba melayani kakek buta huruf yang
pura-pura pintar ini.” Kemudian setelah raja dan ketua Beng-kauw yang juga
amat tertarik ingin menyaksikan pertandingan yang lucu dan tidak berbahaya ini
mengangguk tanda setuju, Suma Boan lalu menoleh ke arah para tamu dan
berkata nyaring.
“Mohon Cu-wi sekalian sudi menjadi saksi. Gan-lopek yang terhormat ini
mempertaruhkan kepalanya kalau siauwte dapat merangkai empat buah huruf
yang ia pilih menjadi sebaris kalimat yang mempunyai arti dan mengandung
kebenaran. Bukankah begitu, Gan-lopek?”
108
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
“Betul, betul” Gan-lopek mengangguk-angguk. “Kalau kau betul dapat dan
kalimat itu oleh hadirin dianggap mengandung arti dan kebenaran, aku akan
menyerahkan kepalaku agar kau pakai dalam sembahyangan roh leluhurmu”
“Gan-lopek, mulailah” Keluarkan empat buah hurufmu itu yang merupakan
empat buah kata-kata” Suma Boan menantang.
Hening di tempat yang tadinya ramai itu. Tidak terdengar sedikit pun suara
berisik. Suasana menjadi tegang karena semua orang, tiada kecuali, memasang
telinga untuk mendengarkan baik-baik apakah empat buah kata-kata yang akan
dikeluarkan oleh Gan-lopek. Juga Suling Emas, sebagai seorang ahli dalam hal
bu dan bun (silat dan sastra), memandang penuh perhatian. Lin Lin merasa geli
menyaksikan tingkah-polah dan sepak terjang Gan-lopek, akan tetapi juga agak
khawatir karena ia pun merasa sangsi apakah kakek ini betul-betul akan dapat
menandingi Suma Boan dalam hal ilmu sastra.
Karena keadaan yang hening itu, suara Gan-lopek terdengar lantang ketika ia
berkata,
“Bocah she Suma, enak saja kau mau menipu orang tua” Aku sudah
mempertaruhkan kepalaku kau bisa memenuhi syaratku tadi, akan tetapi apa
taruhanmu kalau kau kalah?”
“Kakek she Gan” Semua orang terhormat yang hadir di sini mendengar
belaka bahwa kau sendirilah yang menjanjikan kepalamu, bukan aku yang
minta. Akan tetapi, kalau sampai aku tidak bisa merangkai empat buah katakatamu
menjadi kalimat yang berarti dan benar, biarlah aku mengangkat kau
sebagai guru”
“Ho-hah, boleh.. boleh.. akan tetapi aku sangsi apakah aku akan cukup sabar
mempunyai murid sastra yang tolol seperti engkau. Nah, buka telingamu baikbaik,
Suma Boan, dan juga hadirin yang menjadi saksi. Huruf pertama yang
kupilih adalah huruf TAHI”
Pecah suara ketawa di sana-sini, bahkan ada yang terkekeh-kekeh. Akan
tetapi banyak pula, terutama mereka yang mengerti tentang ilmu sastra,
mengerutkan kening. Kakek she Gan ini benar-benar berani mati, di depan
begitu banyaknya tokoh kang-ouw yang terhormat dan terhitung tokoh kelas
atasan, berani main-main sampai begitu hebat. Semua ahli sastra itu tahu belaka
bahwa huruf yang artinya kotor ini tak mungkin dirangkai menjadi sajak. Orang
109
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
gila saja yang dapat memasukkan kata-kata “tahi” ke dalam sebuah sajak, tentu
menjadi sajak orang gila” Akan tetapi Suma Boan tidak tampak khawatir. Dia
cerdik dan dia sudah berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan, maklum bahwa
kakek ini mempunyai banyak tipu muslihat dan akal. Biarpun ia sendiri takkan
mampu merangkai huruf yang kotor ini ke dalam sajak, namun masih tidak
sukar untuk menggunakan huruf ini untuk melengkapi sebuah kalimat.
Setelah suara ketawa mereda, Gan-lopek mengangkat tangan kanan,
memperlihatkan dua buah jari tangan.
“Sekarang huruf nomor dua, yaitu huruf MAKAN”
Kembali orang-orang pada tertawa. Gila benar kakek ini. Masa merangkai
huruf tahi dengan huruf makan? Satu-satunya rangkaian yang berarti hanya
“makan tahi” Benar-benar orang sinting dia” Juga Raja Nan-cao tersenyumsenyum
tapi keningnya berkerut, seperti hainya Beng-kauwcu dan yang lainlain,
karena mereka sendiri merasakan keanehan Empek Gan ini. Hanya Suma
Boan yang nampak tenang-tenang saja, akan tetapi diam-diam otaknya
dikerjakan.
“Huruf nomor tiga adalah KUDA dan huruf nomor empat adalah
HARIMAU. Nah, bocah she Suma, sekarang kauputar-putarlah otakmu,
kaurangkai empat huruf itu menjadi sajak atau kalimat yang berarti dan
mengandung kebenaran. Aku tunggu sampai kau menyatakan tidak sanggup,
lalu berlutut di depan kakiku, mengangkat aku sebagai gurumu. Itu pun kalau
aku mau menerimamu, hoh-hoh”
Suma Boan tidak mempedulikan kelakar ini karena ia sudah memutar otak
dan memikir-mikir. Ujian atau teka-teki yang gila, pikirnya. Keempat huruf itu
adalah TAHI MAKAN KUDA HARIMAU yang harus dirangkai menjadi
kalimat, biarpun dapat dibolak-balik sampai dua puluh empat macam kalimat,
namun agaknya hanya ada dua macam kalimat yang berarti, yaitu pertama
adalah KUDA MAKAN TAHI HARIMAU atau HARIMAU MAKAN TAHI
KUDA. Selain dua ini, kalimat-kalimat lain tidak ada artinya. Alangkah
mudahnya” Benar-benar kakek goblok yang miring otaknya. Belum sampai lima
menit ia berpikir, ia sudah membolak-bolik empat huruf itu menjadi dua puluh

empat kalimat dan hanya dua itulah yang ada artinya.

Bersambung..

No comments:

Post a Comment