Saturday, March 25, 2017

Cinta Bernoda Darah 02 - Mini Serial #42

Cinta Bernoda Darah #42
Cerita Silat Kho Ping Hoo: Cinta Bernoda Darah 02 - Mini Serial #42
=========================================
“Kalian semua dengarlah baik-baik,” katanya sambil memasukkan Pedang
Besi Kuning ke dalam sarungnya.
“Untuk menjunjung nama besar Khitan dan memberi peringatan kepada Nancao
negara kecil ini agar lain kali tidak berani memandang rendah kepada kita,
aku telah memerintahkan Hek-giam-lo untuk mencuri atau merampas tongkat
ya-beng-cu dari tangan Beng-kauwcu. Sekarang aku minta kalian membantuku
untuk dua urusan lain, pertama, menangkap dan menawan Suling Emas hiduphidup,
kita bawa dia ke Khitan.”

Lin Lin tidak pedulikan betapa orang-orang itu saling pandang dengan muka
kaget, malah ia melanjutkan kata-katanya,
“Ke dua, kalian bantu aku menangkap Suma Boan putera pangeran dari
Kerajaan Sung itu untuk dipaksa mengaku siapa sebetulnya orang yang bernama
Kam Bu Song, dan di mana sekarang ia berada. Setelah ia menunjukkan di mana
adanya Kam Bu Song, kalian boleh siksa ia sekedarnya tapi tak usah dibunuh,
lalu dilepaskan dia kembali. Mengerti?”
“Hamba mengerti, Tuan Puteri,” jawab Pak-sin-tung mewakili anak buahnya.
“Biarlah hamba yang menemani Paduka, adapun saudara-saudara ini siap
secara bersembunyi, tentu sewaktu-waktu dapat datang jika hamba panggil.”
“Baiklah, Pak-sin-tung. Dan mari kita kembali ke kota raja.” Dua puluh
empat orang itu tetap berlutut ketika Lin Lin dan Pak-sin-tung berangkat,
kembali ke pintu gerbang dari mana tadi mereka keluar.
Kita tinggalkan dulu Lin Lin yang kini berubah menjadi seorang Puteri
Khitan yang berpengaruh itu, untuk menengok keadaan Kam Bu Sin yang sudah
terlalu lama kita tinggalkan. Kenapa Siang-mou Sin-ni muncul di Nan-cao
seorang diri saja? Bukankah tadinya Bu Sin berada di dalam cengkeramannya
dan pemuda itu menjadi seperti boneka hidup dan barang permainan Siang-mou
Sin-ni setelah diminumi racun perampas semangat?
Memang demikianlah, Siang-mou Sin-ni yang merasa sayang akan
ketampanan dan kegagahan Bu Sin, tidak membunuh pemuda ini seperti yang
biasa ia lakukan, melainkan mengambil pemuda itu sebagai teman dan
kekasihnya. Tadinya ia bermaksud membawa Bu Sin ikut dengannya ke Nancao
dan di sana akan ia pergunakan sebagai bukti daripada kelihaiannya bahwa
ia telah dapat menundukkan putera dari Jenderal Kam yang terkenal. Akan tetapi
pada suatu hari ketika ia bersama Bu Sin berjalan melalui sebuah hutan di lereng
130
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Gunung Burung Dara, tiba-tiba ia mendengar suara alat musik khim. Ia kaget
dan heran sekali, apalagi ketika mendadak Bu Sin roboh pingsan dan ia sendiri
merasa dadanya tergetar hebat. Cepat Siang-mou Sin-ni mengeluarkan sebuah
alat musik khim yang dulu ia rampas dari tangan Bu Kek Siansu, cepat ia duduk
bersila dan mainkan alat musik yang diletakkan di depannya. Terdengar bunyi
nyaring suara kawat-kawat khim itu dan terjadilah “perang” antara suara khim
pertama dan suara khim yang dimainkan Siang-mou Sin-ni.
Iblis wanita rambut panjang ini ternyata dahulu tidak sia-sia belaka
merampas khim dari Bu Kek Siansu. Karena ia seorang berilmu tinggi dan
memiliki kecerdasan luar biasa, ia telah mempelajari alat musik ini dan
menggabungkan kesaktiannya ke dalam permainannya sehingga alat yang
sebetulnya merupakan alat kesenian untuk menghibur hati duka lara ini dapat ia
pergunakan sebagai senjata yang ampuh sekali. Banyak sudah lawan-lawan lihai
roboh oleh bunyi khimnya yang dapat dimainkan sedemikian rupa sehingga
merupakan “jurus-jurus” yang dapat merusak semangat, membikin putus urat
syaraf mengaduk berantakan isi perut dan menghancurkan isi dada lawan”
Betullah kata-kata para budiman bahwasanya apa pun alat kebaikan atau pun
kejahatan, tergantung daripada si pemakai.
Akan tetapi alangkah kaget hati Siang-mou Sin-ni ketika semua jurus suara
khimnya yang menerjang dan menyerang ganas itu, mental kembali oleh suara
khim yang halus lembut penuh damai dan yang suaranya mendatangkan
ketenangan itu. Ia mengerahkan semangat dan sin-kang, menyentil kawat-kawat
khimnya lebih tekun dan lebih keras. Akan tetapi tiba-tiba “cringgg” sebatang
kawat khimnya putus”
“Keparat..”
Siang-mou Sin-ni melompat dan bagaikan kilat menyambar tubuhnya
melesat ke arah suara khim, rambutnya berkibar tertiup angin, siap untuk
mencekik dan mencambuk lawan. Akan tetapi tiba-tiba ia berhenti, tertegun
berdiri dan mukanya berubah pucat. Kiranya yang duduk bersila di bawah pohon
besar yang mainkan khim dengan tenang sambil menundukkan kepala, adalah
Bu Kek Siansu” Bagaimanakah kakek yang dulu sudah terjerumus ke jurang itu
dapat berada di sini? Siang-mou Sin-ni adalah seorang tokoh sakti, seorang yang
dijuluki iblis wanita, akan tetapi sekarang ia menjadi pucat ketakutan.
131
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
“Kau.. kau.. setan..” teriaknya, membalikkan tubuh dan.. lari meninggalkan
kakek itu, kembali menuju ke tempatnya tadi. Tangan kirinya menyambar alat
khimnya yang putus sehelai kawatnya, tangan kanan menyambar tubuh Bu Sin
yang masih menggeletak pingsan. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara khim
yang melengking tinggi dan.. Siang-mou Sin-ni terjungkal seperti didorong
tenaga mujijat dari samping. Ia berteriak marah, menyimpan khim-nya,
kemudian menubruk maju lagi untuk memondong tubuh Bu Sin. Untuk kedua
kalinya terdengar suara khim melengking dan kembali ia roboh terjengkang.
“Kurang ajar..” Siang-mou Sin-ni berteriak lagi dengan marah, kini ia
meloncat bangun, rambutnya bergerak menyambar ke arah tubuh Bu Sin yang
sudah bergerak-gerak siuman dari pingsannya. Kembali terdengar suara khim
dan kini amat nyaring. Rambut panjang yang sudah menyambar ke depan untuk
merenggut tubuh Bu Sin itu tiba-tiba seperti tertiup angin keras, berkibar dan
membalik menyerang muka Siang-mou Sin-ni sendiri. Wanita ini menjerit
kaget, cepat meloncat ke belakang berjungkir balik beberapa kali, kemudian
sambil mengeluarkan suara melengking setengah tertawa setengah menangis
seperti kuntilanak kesiangan, ia lari meninggalkan tempat itu”
Suara khim berhenti dan tubuh kakek tua renta Bu Kek Siansu nampak
mendatangi, kedua kakinya melangkah perlahan menghampiri Bu Sin. Sebuah
alat musik khim yang amat sederhana dan tua tersembul keluar dari balik
punggungnya yang agak bongkok. Kemudian ia berdiri di dekat Bu Sin,
memandang pemuda itu yang bergerak perlahan dan mulai bangkit. “Kasihan..”
bibir itu berbisik, “anak baik, putera seorang patriot ternama, begini nasibnya..”
Bu Sin menengok, sepasang matanya yang sayu memandang, tidak mengenal
kakek itu. “Mana.. mana dia..?” bibirnya yang agak pucat bertanya, suaranya
agak gemetar, mengandung takut dan mesra.
Bu Kek Siansu menggeleng-geleng kepala. Sekali pandang saja kakek sakti
ini maklum sudah apa yang telah menimpa diri pemuda ini. Tangannya bergerak
menyentuh tengkuk Bu Sin, menekan sebentar lalu berbisik lagi.
“Belum terlambat.. anak baik, kau ikutilah aku..”
Seperti linglung Bu Sin bangkit berdiri. Biarpun ia telah menjadi korban
racun perampas semangat, namun sikap hormatnya terhadap seorang tua yang
patut dihormat tetap ada padanya. Ia segera mengangkat tangan dan
membungkuk sambil bertanya,
132
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
“Bolehkah saya bertanya siapakah Locianpwe yang mulia? Dan saya berada
di mana, apa yang telah terjadi?” Ia mengerutkan keningnya, mengingat-ingat
namun ia masih lupa segala. Sentuhan pada tengkuknya oleh Bu Kek Siansu tadi
sudah banyak menolong, namun belum mampu menyembuhkannya sama sekali.
“Kau menjadi korban Siang-mou Sin-ni. Telanlah ini, kau akan dapat
mengingat kembali.” Kakek itu mengeluarkan sebutir obat bulat sebesar kacang
tanah berwarna kuning.
Bu Sin menerimanya dan menelannya, terasa amat pahit, akan tetapi ia tetap
menelannya. Tiba-tiba kepalanya menjadi pening, perutnya terasa panas seperti
terbakar dan pemuda ini terhuyung-huyung lalu jatuh terduduk. Kepalanya
terasa berputaran sehingga ia menggunakan kedua tangan memegangi
kepalanya, bibirnya mengeluh. Entah berapa lamanya ia berhal seperti ini ia
sendiri tidak tahu. Tiba-tiba ia melompat bangun dan berseru.
“Iblis betina, boleh kau bunuh aku, jangan harap aku sudi tunduk kepadamu”
Akan tetapi terpaksa Bu Sin harus meramkan matanya karena kembali ia
merasa pusing. Ketika ia membuka kedua matanya, ia melihat seorang kakek tua
renta di depannya yang memandang dengan senyum penuh kesabaran.
Teringatlah ia sekarang. Kakek ini telah memberi obat kepadanya, dan dia.. dia
tadinya menjadi tawanan Siang-mou Sin-ni, disiksa hampir mati. Serta-merta ia
menjatuhkan diri berlutut, dapat menduga bahwa tentu kakek ini yang telah
menolongnya dari tangan Siang-mou Sin-ni, sungguhpun ia tidak tahu
bagaimana caranya.
“Locianpwe tentu telah membebaskan teecu dari tangan Siang-mou Sin-ni.
Teecu menghaturkan terima kasih..” Ia berhenti dan mengerang. Tubuhnya
serasa lemas dan dadanya agak sakit.
“Anak baik, mari kau ikut denganku agar kesehatanmu pulih kembali.”
Kakek itu mengulurkan tangan dan di lain saat tubuh Bu Sin sudah ia bawa pergi
dari situ. Bu Sin hanya merasa betapa tubuhnya seperti melayang cepat sekali,
kedua telinganya mendengar suara angin dan matanya pedas, tak dapat dibuka,
hidungnya sukar bernapas karena angin sehingga ia meramkan mata dan
membalikkan muka agar dapat membelakangi angin.
“Kita sudah sampai” Suara halus kakek itu menyadarkannya. Bu Sin merasa
seperti baru bangun tidur dari mimpi. Ia membuka matanya dan kiranya ia sudah
berdiri di depan air terjun yang amat bening dan air yang terjun itu seperti perak,
133
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
putih berkilauan tertimpa sinar matahari. Kembali ia menjatuhkan diri berlutut
di depan kakek itu yang kini ia tahu tentulah seorang tua yang memiliki
kesaktian luar biasa.
“Locianpwe, teecu mengerti bahwa Locianpwe menolong teecu. Teecu
sendiri tidak mengerti mengapa tubuh teecu terasa sakit-sakit dan lemas, dan
mengapa pula Locianpwe membawa teecu ke tempat ini? Mohon petunjuk..”
“Orang muda, kau telah menjadi korban keganasan Siang-mou Sin-ni, kau
diberi minum racun perampas semangat dan selama beberapa pekan kau menjadi
barang permainannya. Baiknya di dalam sanubarimu sebelum kau minum racun
kau telah mempunyai perasaan tidak suka dan membencinya, dan hatimu tidak
dikotori nafsu, maka masih dapat tertolong. Hanya sin-kang di dalam tubuh
yang menjadi lemah. Orang muda, sekarang katakan, apakah cita-cita yang
terkandung dalam hatimu?”
Bu Sin diam-diam terkejut sekali mendengar bahwa dia telah menjadi korban
Siang-mou Sin-ni. Ia dapat menduga apa artinya “menjadi permainannya” dan ia
merasa malu, juga gemas terhadap iblis wanita itu.
“Locianpwe, mohon Locianpwe sudi menolong teecu. Teecu telah terpisah
dari dua orang adik teecu yang masih belum teecu ketahui bagaimana nasibnya.
Teecu masih belum dapat menemukan musuh besar yang telah membunuh ayah
bunda teecu. Teecu juga masih belum berhasil mencari kakak teecu untuk
memenuhi pesan Ayah. Sekarang ditambah lagi dengan perbuatan Siang-mou
Sin-ni si iblis betina yang harus teecu balas” Akan tetapi teecu yang begini
lemah dan bodoh, bagaimana akan dapat memenuhi tugas itu semua? Mohon
Locianpwe sudi menolong.”
“Aku akan lebih suka kalau kau melepaskan semua itu dan ikut dengan aku
ke puncak untuk menjadi seorang pertapa.
“Akan tetapi, hal demikian tak dapat dipaksa, harus keluar dari dalam
sanubari sendiri. Orang muda, aku bersedia membantumu, akan tetapi berhasil
atau tidaknya seluruhnya tergantung kepadamu sendiri. Kalau hatimu cukup
kuat, kalau kemauanmu cukup keras, kalau kau tahan menderita dan tidak takut
menghadapi maut dalam mengejar cita-cita, agaknya Tuhan pasti akan
mengabulkannya. Nah, kau duduklah di atas batu itu, biarkan air terjun itu
menimpa di atas kepalamu, duduk bersila dan curahkan perhatianmu kepada apa
yang akan kuajarkan kepadamu. Mulailah”
134
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Bu Sin sudah membulatkan tekadnya. Ia maklum bahwa kakek ini bukan
manusia biasa dan hanya dengan pertolongan kakek ini ia dapat mengharapkan
semua cita-citanya tercapai. Hanya ada dua jalan terbuka baginya. Berhasil atau
mati. Bukankah ia baru saja terbebas daripada kematian yang amat hebat di
tangan Siang-mou Sin-ni? Apa artinya lagi kematian baginya? Tanpa ragu-ragu
ia lalu melompat ke atas batu besar yang tengahnya menjadi berlobang karena
terus menerus ditimpa air terjun. Lalu ia duduk bersila, menyatukan panca
indera dan membuka telinganya untuk mendengarkan.
Akan tetapi, air yang menimpa kepalanya mendatangkan suara bergemuruh
yang memekakkan kedua telinganya di samping mendatangkan rasa dingin yang
menyusup ke tulang sumsum. Mula-mula memang terasa segar dan enak, akan
tetapi lambat-laun rasa dingin hampir tak tertahankan lagi, kepalanya terasa
sakit seperti ditimpa batu godam ratusan kati beratnya. Bu Sin meramkan
matanya, wajahnya pucat sekali dan hampir ia tidak kuat menahan, tubuhnya
sudah bergoncang.
Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba ia mendengar suara kakek tadi, dekat
sekali suara itu, berbisik-bisik di dekat telinganya,
“Orang muda, kerahkan sisa tenaga dari pusar, biarkan berkumpul dan desak
ke atas melalui dada, terus salurkan ke jalan darah tiong-cu-hiat.”
Otomatis Bu Sin melakukan perintah ini, akan tetapi karena ia merasa amat
lemah, sukar baginya untuk menyalurkan tenaga dalam ke arah jalan tiong-cuhiat
di belakang leher. Mendadak belakang lehernya itu seperti disentuh sesuatu
dan aneh, dengan mudah kini tenaga dalamnya menjalar ke tiong-cu-hiat”
Girang hatinya karena kakek sakti itu membantunya.
“Lindungi tiong-cu-hiat dengan sisa sin-kang itu agar kuat menahan serangan
air. Kini mulailah mengatur pernapasan menurut aturan Im Yang, sedot masuk
berikut hawa pukulan air, kumpul di dada, tekan ke pusar sambil keluarkan
napas.”
Dengan kata-kata yang halus berbisik-bisik dan seperti diucapkan dekat
kedua telinga Bu Sin, kakek itu mulai menurunkan ilmunya kepada Bu Sin yang
mendengarkan dengan amat tekun.
Seluruh perhatiannya tercurah kepada semua kata-kata ini sehingga ia lupa
akan segala hal lainnya, bahkan ia tidak tahu lagi di mana ia berada, apa yang
135
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
terjadi dengannya, dan dia tidak lagi merasai pukulan air yang menimpa di atas
kepalanya.
Begitu tekun Bu Sin mendengarkan wejangan kakek tua renta itu yang
dengan sabar sekali mengulangi ajaran-ajarannya. Pemuda ini sampai tidak tahu
lagi keadaan sekelilingnya, tidak tahu bahwa siang telah berganti malam dan
malam berganti siang lagi. Tidak tahu bahwa kakek itu sudah tidak
membisikkan pelajaran-pelajaran lagi, akan tetapi bahwa yang didengarnya
sekarang hanyalah gema suara kakek itu yang seakan-akan masih terus berbisikbisik
di dekat telinganya mengulang pelajaran gaib tentang siulan dan
membentuk sin-kang di tubuh, pelajaran yang sudah dihafalnya benar-benar.
Setelah suara itu makin menghilang, barulah perlahan-lahan ia sadar bahwa
kakek itu tidak berbisik lagi dan mulailah ia sadar akan keadaan di
sekelilingnya, akan keadaan dirinya. Akan tetapi, begitu panca inderanya buyar,
hampir ia terjungkal karena kepalanya serasa pecah dan air yang menimpa
kepalanya serasa bukan air lagi melainkan ratusan ribu batang jarum-jarum yang
runcing”
Cepat ia mengerahkan hawa dalam tubuh seperti tadi sebelum buyar dan
lenyaplah rasa sakit di kepalanya. Akan tetapi kini rasa dingin yang amat hebat
menyusup ke dalam tubuhnya. Ia menggigil kedinginan, giginya sampai
berbunyi, perutnya serasa kaku dan mengkal. Cepat ia mengingat isi
pelajarannya itu, ia berhasil mengatasi serangan hawa dingin. Akan tetapi karena
belum pandai benar ia menjalankan ilmu itu, hawa dingin segera terganti hawa
panas yang amat luar biasa. Dadanya serasa sesak, sukar bernapas, perutnya
seperti dibakar api neraka, telinganya terngiang-ngiang dan kepalanya serasa
hampir meledak. Kembali dengan mengingat pelajaran tadi, ia berhasil
menundukkan rasa panas ini.
Bu Sin dengan kebulatan tekad yang luar biasa, terus melatih diri dengan
ilmu yang ia terima dari kakek sakti. Entah berapa kali cuaca di balik pelupuk
matanya menjadi gelap pekat dan terang kembali, ia tidak ingat lagi, juga tidak
memperhatikan. Makin lama ia merasa tubuhnya makin nyaman dan ringan,
ingatannya menjadi terang, dadanya lapang dan ia merasa bahwa tenaga di
dalam tubuhnya pulih kembali, malah kini lebih kuat daripada biasa. Hanya
kelemahan karena terlalu lama tidak mengisi perutnya yang terasa olehnya,
kelemahan yang wajar. Karena khawatir kalau-kalau kelemahan ini akan
membuatnya tidak kuat menahan, beberapa kali Bu Sin membuka mulutnya dan
136
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
menerima percikan air memasuki mulutnya untuk diminum. Akan tetapi
kebutuhan jasmaninya tidak dapat hanya ditutup oleh air tawar itu. Akhirnya ia
membuka mata. Dari balik air yang muncrat setelah menyiram kepalanya, ia
memandang. Tidak tampak bayangan kakek tua. Hati-hati ia membuka lipatan
tangan dan kakinya. Kini tubuhnya gemetar, bukan main lemah dan lunglai
tubuhnya akibat perut kosong berhari-hari. Baru kini terasa hebatnya badan
menanggung kelaparan. Hampir saja ia dibuai oleh kelemahannya dan kalau ia
tidak cepat-cepat membuang diri ke kanan lalu merangkak turun dari atas batu,
kiranya ada bahayanya ia terjungkal ke kiri atau ke depan, ke dalam air”
Bu Sin bangkit berdiri dengan kedua kaki gemetar. Ia mengingat-ingat,
memandang ke arah air terjun yang kini kembali menimpa batu yang tadi
menjadi tempat duduknya. Mimpikah ia? Di mana adanya kakek itu? Tidak, ia
tidak mimpi, pikirannya terang sekali. Ia ingat semuanya. Ingat bahwa ia tadinya
menjadi tawanan Siang-mou Sin-ni, dan menurut kakek sakti itu, ia minum
racun perampas semangat dan dijadikan permainan oleh si iblis betina. Untung
ada kakek sakti itu yang menolongnya, kemudian kakek sakti itu yang
menurunkan ilmu siulian yang ajaib sehingga ia tahan bersamadhi di bawah air
terjun sampai berhari-hari lamanya. Entah berapa hari, ia tidak dapat
menghitungnya karena ia tekun dalam bersamadhi sambil mencurahkan segala
daya ingatannya untuk menghafal dan melatih diri dengan ilmu itu.
Tak perlu bersusah payah mencari kakek itu, pasti tidak akan dapat bertemu.
Sayang ia tidak tahu nama kakek itu. Yang perlu sekarang mencari adikadiknya.
Ia sendiri tidak tahu di mana ia berada. Harus ia selidiki hal ini dan
sekarang yang paling perlu adalah mencari pengisi perut atau kalau terlambat ia
akan mati kelaparan. Hutan di depan itu penuh pohon, tentu ada bahan pengisi
perut, buah-buahan, binatang hutan, atau setidaknya tentu ada daun-daun muda”
Tak lama kemudian, dengan hati lapang Bu Sin sudah menggerogoti buahbuah
yang segar dan manis dan perutnya menerima dengan lahapnya, seakanakan
tidak mengenal kenyang. Agaknya akan berbahaya bagi Bu Sin kalau ia
melanjutkan makannya, mengisi sepenuhnya perut yang sudah terlalu lama
dikosongkan itu. Baiknya sebelum terlalu banyak ia makan, tiba-tiba ia
mendengar auman yang menggetarkan hutan, disusul pekik kesakitan seorang
manusia. Cepat reaksi Bu Sin. Buah di tangannya yang belum sempat digigit ia
buang dan tubuhnya sudah berlari cepat sekali ke arah utara.
137
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Untung tidak terlalu jauh tempat itu, atau mungkin karena lari cepat Bu Sin
kini memperoleh kemajuan secara menakjubkan dan tidak disadari oleh
orangnya sendiri. Ia melihat seorang laki-laki berpakaian ringkas seperti seorang
pemburu, sedang bergulat mati-matian melawan seekor harimau. Bukan bergulat
dalam perkelahian lagi namanya, melainkan bergulat untuk memperpanjang
hidupnya atau lebih tepat, untuk menahan mulut yang penuh taring meruncing
itu merobek tubuhnya. Darah sudah memenuhi sekitar dada, pundak dan kedua
lengan, namun pemburu itu dengan kedua tangannya mati-matian mendorong
moncong harimau. Perlawanan yang sia-sia. Melihat sebatang tombak masih
menancap di perut harimau, tahulah Bu Sin bahwa pemburu itu kurang tepat
menombak harimau sehingga binatang itu tidak roboh, sebaliknya sempat
menubruk dan agaknya si pemburulah yang akan tewas terlebih dahulu kalau ia
tidak segera turun tangan.
Bu Sin melompat dekat, tangannya diayun dan.. “krakkk” tubuh harimau
terguling, kepalanya pecah. Laki-laki itu merangkak keluar dari bawah perut
harimau, terbelalak keheranan. Juga Bu Sin berdiri terbelalak keheranan.
Bagaimana mungkin dengan sekali pukul saja ia berhasil membunuh seekor
harimau besar? Bukan hanya membunuh, lebih tak masuk di akal lagi,
memecahkan kepalanya” Tiba-tiba pemuda ini menjatuhkan diri berlutut,
menumbuk-numbukkan dahinya pada tanah sambil berkata berulang-ulang.
“Locianpwe, beribu terima kasih atas kurnia Locianpwe..”
Si pemburu yang sudah bangkit duduk, makin melebarkan mata dan
mulutnya. Akhirnya ia mengeluh dan roboh pingsan. Ia banyak kehilangan
darah, lalu melihat munculnya seorang pemuda yang sekali pukul memecahkan
kepala harimau, ditambah lagi melihat pemuda penolongnya itu tiba-tiba
berlutut dan seakan-akan menghaturkan terima kasih kepadanya, atau kepada
bangkai harimau. Hal ini terlalu banyak baginya, terlalu hebat, tak tertahankan
sehingga ia roboh pingsan”
Bu Sin baru sadar akan terluapnya kegembiraan dan rasa syukurnya ketika
mendengar pemburu itu mengeluh dan melihatnya roboh pingsan. Cepat ia
bangkit dan menghampiri. Tidak hebat luka-luka itu, hanya di pundak kanan
yang agak besar, akan tetapi darah keluar terlalu banyak. Bu Sin cepat merobek
baju pemburu itu untuk membalut luka di pundak dan menotok jalan darah.
Kemudian mencari air menyiram muka pemburu itu yang segera siuman
kembali, menggosok-gosok mata sambil bangkit duduk, pandang matanya
138
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
bertemu dengan bangkai harimau, bergidik dan menoleh memandang Bu Sin,
matanya terbelalak dan agaknya ia akan roboh pingsan lagi kalau saja Bu Sin
tidak segera memegang pundaknya dan berkata.
“Tidak ada bahaya lagi, sahabat. Tenanglah, harimau itu sudah mati.”
“Kau.. kau.. Manusia atau..?”
Mau tidak mau Bu Sin tersenyum dan mengangguk-angguk.
“Kau gagah sekali sobat. Sudah berada di ambang maut masih melakukan
perlawanan hebat. Kau seorang pemburu, bukan? Kebetulan aku lewat dan
sempat membantumu.” kata Bu Sin merendah karena ia maklum betapa orang
ini kagum kepadanya.
Pemburu itu segera menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Sin yang segera
mengangkatnya bangun.
“Tak perlu segala kekosongan ini” katanya. “Marilah kita bicara secara
sewajarnya. Aku tidak akan lama mengganggumu, hanya ingin bertanya, tempat
apakah ini? Hutan mana dan berada di daerah mana? Aku.. aku tersesat jalan,
harap kau sudi memberi petunjuk.”
“Taihiap tentu hendak berkunjung ke kota raja untuk menghadiri pesta
perayaan Beng-kauw, bukan? Wah, kalau tidak cepat-cepat, Taihiap bisa
terlambat. Pesta dimulai esok hari dan, dari sini ke Kota Raja Nan-cao masih
jauh, dua hari perjalanan”
Kaget hati Bu Sin ia sudah berada di dekat Kota Raja Nan-cao di selatan?
Hebat” Kiranya iblis betina itu membawanya ke Nan-cao” Tentu ada maksud
tertentu. Lebih baik ia teruskan kunjungan ke Nan-cao. Ia mengangguk dan
berkata.
“Betul, aku hendak ke Nan-cao. Masih dua hari perjalanan? Tolong kau
tunjukan jalannya agar aku tidak sesat lagi.” Pemburu itu lalu memberi
petunjuk, menggurat-gurat tanda gunung dan sungai di atas tanah.
“Terima kasih, sekarang juga aku akan berangkat agar tidak terlambat.” Ia
bangkit berdiri.
“Nanti dulu, Taihiap. Kau telah menolong nyawaku, bolehkah saya
mengetahui nama besar Taihiap? Saya seorang pemburu, Lai Teng nama saya,
dan..” akan tetapi ia tidak melanjutkan kata-katanya karena pemuda di depannya
139
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
sudah berkelebat pergi dan sebentar saja sudah amat jauh. Ia hanya dapat
memandang dengan mata terbelalak kagum sampai bayangan Bu Sin lenyap
diantara pohon-pohon.
Bu Sin benar-benar merasa girang sekali ketika ia mendapat kenyataan
bahwa keadaan dirinya jauh berbeda daripada dahulu. Kalau saja tadi ia tidak
memukul kepala harimau, agaknya ia tidak atau belum dapat mengetahui
perubahan ini. Sekarang, ia dapat berlari cepat, demikian ringan tubuhnya.
Sebagai seorang yang cerdik dan memiliki darah pendekar, tentu saja ia tahu
bahwa semua ini adalah hasil daripada ilmu siulian ajaib yang ia terima dari
kakek tua renta tak bernama itu.
Dengan melakukan perjalanan cepat tiada pernah mengaso, pada keesokan
harinya menjelang senja sampailah ia di perbatasan Nan-cao. Ia tidak mengenal
jalan, maka tanpa ia sadari ia telah memasuki tanah kuburan yang amat luas,
dengan kuburan yang angker dan indah-indah bangunan nisannya, malah ada
yang dihias lukisan atau ukiran pada batu-batu nisan. Inilah tanah pekuburan
para pembesar dan keluarga raja di Nan-cao.
Tiba-tiba Bu Sin menyelinap dan bersembunyi di balik sebuah kuburan besar
yang letaknya di pinggir jalan. Dari depan ia melihat tiga orang laki-laki
berjalan cepat sekali, kemudian setelah sampai di daerah kuburan, mereka
memperlambat jalan dan bercakap-cakap. Seorang di antara mereka, yang
kumisnya tipis panjang dan matanya juling, menggendong sebuah karung hitam
di punggungnya, memegangi mulut karung yang diikat dengan kedua tangan,
tampaknya berat isi karungnya itu. Yang dua orang lagi adalah orang-orang
setengah tua yang wajahnya membayangkan kekejaman, apalagi orang ke tiga
yang mukanya cacat, bolong-bolong oleh penyakit cacar. Orang ke dua
kepalanya besar dan ada jendolan daging di atas dahinya. Yang menyolok
adalah bawah ketiga orang laki-laki ini semua berpakaian pengemis.
“Ha di sinilah tempatnya. Pangcu berpesan agar kita menanti di sini sampai
datang Suma-kongcu. Ihhh, memilih tempat saja di tanah kuburan. Ngeri juga”
kata orang bermata juling sambil menurunkan karung hitam dari punggung,
meletakkahnya di atas tanah. Karung itu terguling akan tetapi isinya tidak keluar
karena mulut karung diikat. Mereka lalu berjongkok dan menghapus peluh,
agaknya mereka tadi telah berlari-lari cepat. Apalagi si penggendong karung

peluhnya membasahi leher dan mukanya.

Bersambung...

No comments:

Post a Comment