Sunday, March 19, 2017

Cinta Bernoda Darah 02 - Mini Serial #37

Cinta Bernoda Darah #37
Cerita Silat Kho Ping Hoo: Cinta Bernoda Darah 02 - Mini Serial #37
=========================================
Lin Lin takut setengah mati. Takut dan ngeri. Mana bisa ia menjadi
penonton? Menonton Bok Liong dipanggang hidup-hidup kemudian dagingnya
diganyang kakek liar itu? Ia melirik ke arah Bok Liong. Pemuda ini sama sekali
tidak bergerak, tubuhnya tergantung di atas balok seperti telah mati. 

Agaknya
pingsan, Lin Lin kembali berusaha mati-matian untuk membebaskan diri
daripada belenggu akar pohon. Akan tetapi ternyata akar pohon itu istimewa
kuatnya. Matanya melirik ke sana ke mari, mencari-cari. Ia harus bertindak
cepat, harus depat membebaskan diri sebelum siluman itu kembali, harus
dicegah siluman itu memanggang tubuh Bok Liong.

Dengan hati penuh kengerian dan ketegangan, Lin Lin menggulingkan
tubuhnya ke arah sebuah batu besar tak jauh dari situ. Ia melihat batu itu
mempunyai begian-begian yang tajam. Karena kaki tangannya diikat, ia hanya
dapat mencapai batu dengan cara menggulingkan tubuh, lalu sedikit demi sedikit
menggeser tubuh mendekatkan kedua pergelangan tangan yang dibelenggu di
belakang tubuhnya kepada bagian batu yang tajam. Ia menggosok-gosokkan
akar yang mengikat tangan itu pada batu sambil mengerahkan tenaga.
Benar-benar kuat sekali akar itu, ulet bukan main. Kini ia tidak melihat Lie
Bok Liong lagi, terhalang batu. Ada seperempat jam ia berusaha mematahkan
pengikat tangannya dan ia hampir berhasil. Peluhnya bercucuran dan hatinya
makin tegang. Kalau sudah bebas dari belenggu, ia akan membebaskan Bok
Liong dan mengajaknya melarikan diri.
Akan tetapi tiba-tiba Lin Lin merasa tubuhnya lemas, tenaganya lenyap sama
sekali ketika ia melihat bayangan Toat-beng Koai-jin mendatangi dari jauh”
Mata Lin Lin terbelalak, harapannya lenyap bagaikan embun terbakar matahari.
Tentu saja ia tidak melanjutkan usahanya, malah dengan tubuh terasa lelah dan
lemas ia bersandar kepada batu besar itu, menyerahkan nasib ke tangan Tuhan
karena dia sendiri sudah tak berdaya.
Dilihatnya kakek liar itu dengan gerakan cepat mendatangi, di kedua
tangannya membawa dua potong kayu kering yang digosok-gosok sampai
mengeluarkan api” Setelah api menyala dan kakek itu datang dekat,
dilemparkannya kayu berapi itu ke tumpukan daun dan kayu yang berada di
bawah tubuh Bok Liong. Sebentar saja daun kering itu terbakar” Lin Lin
membuang muka, menengok ke lain jurusan dan matanya tak dapat ditahannya
lagi mengucurkan air mata. Kasihan Liong-twako, pikirnya.
81
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
“Heh-heh, kau hendak lari ke mana?” tiba-tiba suara kakek itu terdengar
dekat dan Lin Lin merasa pundaknya dicengkeram lalu tubuhnya diangkat dan
dilempar kembali ke tempat semula. Kakek itu sendiri menjatuhkan diri duduk
di atas batu sambil terkekeh-kekeh berkata.
“Ha-ha, kau mau melarikan diri? Tak mungkin, bocah tolol. Akar yang
mengikat kaki tanganmu itu berlumur racun kelabang hijau, sekali melukai
kulitmu kau akan mampus” Kau lihat baik-baik sahabatmu ini, lihat betapa
kulitnya makin lama merah diciumi api, makin lama makin matang dan baunya
gurih. Heh-heh, kalau sudah masak nanti, boleh kau pilih bagian mana yang
paling gurih untukmu.. ha-ha”
Toat-beng Koai-jin memandang ke arah Lin Lin sambil tertawa-tawa dan air
liurnya muncrat-mucrat dari mulutnya yang lebar, bibirnya yang tebal dan
giginya yang besar-besar. Dengan hati berdebar penuh kengerian Lin Lin
mengerling ke arah Bok Liong dan tiba-tiba matanya terbetalak lebar. Yang
terikat seperti babi kebiri hendak dipanggang hidup-hidup itu sama sekali bukan
Bok Liong” Tadi memang Bok Liong yang diikat di situ, akan tetapi sekarang
sama sekali bukan pemuda itu, biarpun keadaannya juga sama, setengah
telanjang. Bukan Bok Liong melainkan seorang kakek yang pringas-pringis dan
matanya meram melek seakan-akan keenakan tiduran di atas nyala api yang
hangat”
Agaknya sikap dan wajah Lin Lin yang jelas membayangkan kekagetan dan
keheranan ini menarik perhatian Toat-beng Koai-jin, kakek ini segera menengok
ke arah “panggangannya” dan alangkah kagetnya ketika ia bertemu dengan
muka yang meringis, muka yang berjenggot jarang berkumis panjang, tubuh
yang pendek, bukan lain adalah si kakek lucu yang tadi ia jumpai di rumah
Ouw-kauwsu”
Kakek yang menggantikan kedudukan Bok Liong di atas api itu terkekeh dan
berkata,
“Ahhhhh.. nikmatnya” Hangat dan enak” He, Toat-beng Koai-jin, apakah
kau sudah begitu kelaparan sehingga kau doyan dagingku yang alot dan kulitku
yang keras? Hati-hati kau, daging tuaku sudah demikian alotnya sehingga
kaupanggang seratus tahun pun takkan bisa menjadi empuk”
“Demi Iblis” Siapakah kau ini orang gila?” Toat-beng Koai-jin sudah
melompat berdiri dan siap bertempur. Kakek ini sekarang baru insyaf bahwa
82
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
orang lucu yang sikapnya gila-gilaan itu sebenarnya memiliki kepandaian hebat.
Maka tahulah ia bahwa ia menghadapi lawan yang tangguh.
“Hua-ha-hah, Toat-beng Koai-jin, kita memang baru tadi saling berjumpa.
Tak perlu tanya namaku, tapi kau sudah melakukan dosa besar terhadapku. Kau
tua bangka yang tak lama lagi mampus, tidak tahu malu, beraninya hanya
mengganggu orang-orang muda yang masih hijau. He, pemakan bangkai,
tahukah kau bahwa pemuda yang akan kau panggang hidup-hidup tadi adalah
muridku?”
Toat-beng Koai-jin menggereng seperti seekor singa kelaparan.
“Bagus” Mari tua sama tua mengadu kepandaian” serunya sambil menerjang
maju, sepuluh buah kuku-kuku yang runcing tajam itu mencengkeram.
“Tak tahu malu” Empek Gan, kakek lucu itu, berseru. Benar-benar sepak
terjang Toat-beng Koai-jin kali ini amat licik, masa menerjang lawan yang
masih terikat dan terpanggang di atas api? Empek Gan cepat menggulingkan
dirinya dan kaki tangannya bergerak, kayu-kayu dan daun-daun yang masih
terbakar itu kini terbang berhamburan ke arah Toat-beng Koai-jin”
Si kakek liar terkejut bukan main, cepat ia mengibaskan kedua lengannya.
Biarpun serangan kakek pendek itu tidak berbahaya, namun api merupakan
senjata yang tak terlawan dan sedikit banyak tentu akan melukai kulitnya.
Ketika kayu dan daun yang menyala itu runtuh semua, Empek Gan kini telah
berdiri tegak, telah memakai pakaiannya dengan lengkap. Benar-benar kakek
yang luar biasa, pikir Lin Lin yang masih duduk sambil menonton dengan hati
tertarik. Begitu mendengar bahwa kakek itu adalah guru sahabatnya, guru Lie
Bok Liong, hatinya begitu girang sehingga ia lupa akan penderitaannya sendiri.
Kalau orang aneh itu guru Bok Liong, berarti bahwa sahabatnya itu tentu telah
tertolong, dan dia sendiri juga ada harapan besar tertolong. Apalagi ketika
melihat betapa kakek pendek yang aneh dan lucu itu dapat menyerang lawannya
dengan api kemudian dalam sekejap mata saja sudah memakai kembali
pakaiannya, ia makin heran dan kagum.
Segera kedua orang kakek sakti itu bertempur hebat. Entah dari mana
dapatnya, Gan-lopek atau Empek Gan sudah memegang hek-mou-pit (pensil
bulu hitam) di tangan kanan dan pek-mou-pit (pensil bulu putih) di tangan
kirinya dan ketika kedua tangannya bergerak, yang tampak hanya dua gulungan
sinar putih dan hitam yang kecil panjang dan kuat, saling libat dan kemudian
bersama-sama menerjang Toat-beng Koai-jin.
83
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
“Ho-ho, tahan dulu” Kiranya kau Ini si badut gila Gan-lopek?” terdengar
Toat-beng Koai-jin berseru kaget, akan tetapi ia sendiri tidak menghentikan
gerakannya.
“Hi-hi-hik, setan bangkotan pemakan bangkai” Kita sama-sama tua, samasama
terkenal sebagai tua bangka gila, hayo keluarkan semua kepandaianmu,
kerahkan segala kekuatanmu, selagi aku ada kegembiraan untuk melayanimu”
Sepasang senjatanya, pencil butu hitam dan putih, bergerak secara aneh, seperti
orang sedang melukis, akan tetapi nyatanya si kakek liar menjadi sibuk sekali
menghindar ke sana ke mari, malah lalu mundur-mundur sampai mepet batu
besar. Sinar hitam dan putih terus mengurung dirinya, kakek liar itu mendengusdengus
dan akhirnya menggereng-gereng lalu melarikan diri, atau bertempur
sambil berlari, dikejar terus oleh Gan-lopek yang masih terdengar suaranya
terkekeh-kekeh.
“Lin-moi, kau mengalami banyak kaget?”
Lin Lin terkejut, cepat menengok dan giranglah hatinya melihat bahwa yang
menegurnya itu adalah Lie Bok Liong. Pemuda ini sudah memakai pakaian lagi,
akan tetapi masih tampak betapa pakaiannya robek di sana-sini. Cepat Bok
Liong membebaskan Lin Lin daripada ikatan kaki tangan dan mulut.
“Berbahaya sekali..” Lin Lin mengeluh, “Twako, siapa menolongmu?”
“Suhu..”
“Wah, Suhumu hebat” Memang badut dia, tapi hebat”
Muka Bok Liong menjadi merah, ia tersenyum dan menjawab,
“Memang Suhu paling suka main-main. Menurut kata Suhu sendiri, hidup ini
adalah main sandiwara, dunia ini panggungnya dan kita manusia anak-anak
wayangnya. Bagi Suhu, main sandiwara yang paling menyenangkan adalah
menjadi pelawak, hidup satu kali harus pandai tertawa dan mengajak orang lain
tertawa, tak perlu mengisinya dengan tangis. Lihat, setelah Suhu menggantikan
aku dipanggang, dalam bertempur melawan Toat-beng Koai-jin yang lihai itu
pun Suhu masih main-main” Dalam kata-katanya ini jelas terdengar bahwa ia
merasa bangga sekali akan kelihaian gurunya. Lin Lin memandang dan ia
menjulurkan lidahnya keluar saking kagumnya. Memang hebat Gan-lopek,
lawannya demikian sakti, akan tetapi masih ada kesempatan untuk membadut
dan memamerkan keahliannya, yaitu melukis” Bagaimana tidak mengagumkan?
Di atas batu karang di mana tadi Toat-beng Koai-jin bertempur membelakangi
84
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
batu, tampak lukisan hitam putih yang amat hidup, yaitu lukisan Toat-beng
Koai-jin sendiri” Begitu bagus lukisan ini, persis aselinya, punuknya,
gendutnya, air liurnya yang muncrat-muncrat”
“Wah, Suhumu jago menggambar” Kau tentu pandai pula, Twako?”
“Ah, kepandaian Suhu melukis memang tiada bandingnya, akan tetapi ilmu
itu tak pernah diturunkannya kepada siapa pun juga. Suhu amat pelit dengan
ilmunya melukis ini, katanya, kalau diturunkan kepada murid, tiada artinya
malah merugikan. Kalau muridnya menjual hasil gambarannya bukankah itu
meremehkan dirinya? Kalau tidak pun apa gunanya?”
“Twako, apakah kau sudah berhasil menemukan Enci Sian Eng?”
“Baru saja aku mendengar dari Suhu. Kau tahu, setelah kuselidiki, ternyata
Nona Sian Eng ikut bersama Suma Boan pergi menuju ke Nan-cao pula, dan..”
“Apa? Bagaimana? Enci Sian Eng ikut Suma Boan? Mana mungkin” Tentu
diculik”
“Aku pun masih heran, tapi kenyataannya encimu itu melakukan perjalanan
bersama Suma Boan. Karena mereka berdua dikawani Tok-sim Lo-tong yang
amat lihai, sedangkan kepandaian Suma Boan sendiri pun sudah terlalu tinggi
bagiku, maka terpaksa aku lalu mohon bantuan Suhu. Kami mengejar dan
sampai di sini, Suhu turun tangan mengajak pergi encimu dari samping Suma
Boan.”
“Di mana sekarang Enci Sian Eng?” Lin Lin bertanya, hatinya penuh
penasaran dan tak mengerti mengapa encinya bisa melakukan perjalanan
bersama putera pangeran itu.
“Baru saja Suhu memberi tahu bahwa Nona Sian Eng kini sudah berada
dengan Suling Emas, melakukan perjalanan ke Nan-cao.”
“Kalau begitu mari kita cepat menyusul ke sana, Twako. Wah, tadinya
kuharapkan kau dapat bertemu dengan Enci Eng dan melakukan perjalanan
bersamanya, siapa kira, sekarang malah aku yang melakukan perjalanan
bersamamu, sedangkan Enci Eng kembali bersama.. eh, dia” Diam-diam Lin Lin
mendongkol dan teringat akan pedangnya, ia makin gemas. “Celaka, pedangku
lenyap ketika bertanding melawan kakek ibils yang gila tadi”
“Kalau perlu kau boleh pakai pedangku ini, Moi-moi. Mari kita berangkat,
siapa tahu kalau kita melakukan perjalanan cepat, akan dapat menyusul
mereka.”
85
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Berangkatiah dua orang muda ini, menuju ke Nan-cao yang tidak jauh lagi
dari situ. Lin Lin menjadi pendiam kali ini, tidak saja ia masih bingung dan
heran memikirkan bagaimana encinya dapat melakukan perjalanan bersama
Suma Boan, juga diam-diam ia merasa penasaran karena sikap Suling Emas
terhadapnya masih terlalu dingin dan tidak acuh. Alangkah jauh bedanya antara
sikap Suling Emas terhadapnya dan sikap Lie Bok Liong. Kalau saja sikap
Suling Emas terhadapnya semanis sikap Bok Liong, ah..” Andaikata begitu, ada
apa? Tidak apa-apa, hanya.. alangkah akan senang hatinya”
***
Tiongkok pada masa itu masih dalam keadaan terpecah-pecah menjadi
banyak sekali kerajaan-kerajaan kecil di samping beberapa buah kerajaan besar.
Kerajaan Sung setelah dapat mempersatukan Lima Dinasti yang batasnya dari
utara sampai ke tembok besar, dari selatan sampai ke Sungai Yang-ce-kiang,
dari barat sampai ke Propinsi Kan-su dan ke timur sampai ke laut, merupakan
kerajaan terbesar. Seperti diketahui, pendiri Kerajaan Sung Cau Kwan Yin,
hanya berhasil menyatukan lima kerajaan utara itu. Akan tetapi kerajaankerajaan
kecil di selatan Sungai Yang-ce-kiang, masih amat banyak.
Di luar tembok besar sebelah utara terus ke timur masih dalam kekuasaan
bangsa Khitan yang amat kuat. Di Se-cuan terdapat Kerajaan Shu, di sebelah
timurnya ada kerajaan kecil yang disebut Nan-ping sebelah timur lagi Kerajaan
Nan-tang, lalu disambung Kerajaan Wu-yueh di pantai timur. Di sebelah selatan
Kerajaan Nan-ping dan Kerajaan Shu inilah terdapat Kerajaan Nan-cao, di
sebelah selatan lagi Kerajaan Nan-han dan Kerajaan Min.
Cao Kwan Yin atau setelah menjadi kaisar berjuluk Kaisar Sung Thai Cu,
tidak berhasil menundukkan kerajaan-kerajaan di selatan ini dan biarpun
Kerajaan Sung tidak lagi melakukan perang secara terbuka, akan tetapi sering
kali terjadi bentrok dan di antara mereka terjadilah “perang dingin”.
Akan tetapi kaisar pertama dari Kerajaan Sung ini adalah seorang yang amat
bijaksana. Pada tahun pertama dari pemerintahannya, ia pada suatu pagi yang
cerah mengumpulkan semua jenderal-jenderainya yang telah berjasa dalam
membantunya mendirikan Kerajaan Sung, berkatalah Sang Kaisar ini”
“Para panglimaku, setiap malam aku tidak dapat tidur nyenyak.”
86
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Tentu saja para panglima itu terheran dan bertanya apa yang menyebabkan
demikian.
“Jelas sekali sebabnya,” jawab Kaisar Sung Thai Cu. “Siapakah di antara
kalian yang tidak merindukan singgasana dan mahkotaku?”
Para panglima itu berlutut dan membantah. Seorang di antara mereka yang
tertua mewakili teman-temannya,
“Duhai Sri Baginda yang mulia. Tuhan telah menentukan Paduka menjadi
Kaisar, bagaimana Paduka masih menyangsikan hal ini? Siapakah di antara
hamba sahaya yang berani menentang dan memiliki hati khianat?”
“Aku percaya akan kesetiaan hati kalian, para panglimaku yang gagah. Akan
tetapi, andaikata pada suatu pagi yang buruk, seorang di antara kalian
dibangunkan dari tidur dan dipaksa mengenakan pakaian kuning (pakaian raja),
betapapun tidak setuju hatimu bagaimana kamu akan dapat menghindarkan
pemberontakan?”
Sibuklah para panglima itu menghibur dan menjamin bahwa tak seorang pun
di antara mereka memiliki hati seperti itu, juga tidak ada di antara mereka yang
cukup berharga untuk menjadi kaisar. Kemudian yang tertua berkata dengan
sembah.
“Ampun, Sri Baginda yang mulia. Apabila hal itu mengganggu ketenteraman
hati Paduka, mohon Paduka mengambil langkah-langkah yang Paduka anggap
terbaik untuk mencegah terjadinya kemungkinan itu. Hamba sekalian akan taat
dan tetap setia kepada Paduka yang mulia.”
Kaisar Sung Thai Cu tersenyum, mengelus-elus jenggotnya yang hitam lalu
bersabda, suaranya nyaring dan kata-katanya lancar karena memang hal ini
sudah direncanakan lebih dahulu.
“Hidup di dunia ini amatlah pendek. Yang disebut bahagia adalah memiliki
harta dan kesempatan untuk menikmati hidup, kemudian meninggalkan
kemuliaan itu kepada anak cucu. Karena itu, para panglimaku yang setia,
pilihlah jalan ke arah kebahagiaan ini. Kalian kuperkenankan melepas pakaian
panglima, mengundurkan diri ke daerah pedalaman, di sana memilih tempat
tinggal yang paling menyenangkan, menikmati hidup di hari tua penuh
ketenteraman. Bukankah ini jauh lebih baik daripada hidup tak berketentuan
nasibnya dan selalu di lingkungan bahaya? Dengan demikian, di antara kita
tidaklah terdapat bayangan kecurigaan, tidak akan ada fitnah-memfitnah, curiga
87
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
mencurigai. Kita akan saling mengikat dengan pernikahan-pernikahan antara
keturunan kita sehingga antara raja dan pembantunya terdapat persababatan dan
persatuan yang kokoh kuat.”
Mendengar ini, para jenderal dan panglima segera tentu saja, menyatakan
persetujuan mereka dan pada hari-hari berikutnya, mereka mengajukan surat
permohonan pengunduran diri. Kaisar menerima semua permohonan ini,
membagi-bagi tanah dan jasa kehormatan berupa hadiah-hadiah dan titel.
Demikian, dengan cara yang cerdik dan halus ini Sung Thai Cu
membersihkan istana daripada kemungkinan-kemungkinan terjadi perebutan
kekuasaan dan pemberontakan-pemberontakan. Dan agaknya siasat yang
dijalankan kaisar pertama Kerajaaan Sung ini menarik dan menundukkan pula
hati raja-raja kecil yang berkuasa di luar daerah yang dikuasai Kerajaan Sung.
Mereka merasa suka dan memperlihatkan sikap damai, kecuali Kerajaan Khitan,
Nan-cao, dan Wu-yueh yang agaknya merasa bahwa mereka terlampau kuat
untuk bersikap mengalah terhadap Kerajaan Sung”
Sungguhpun Sung Thai Cu memiliki banyak keturunan, di antaranya adalah
putera-putera, namun mereka itu masih kecil-kecil. Karena itulah, mentaati
perintah yang dipesankan ibu suri menjelang kematiannya, yang diangkat
menjadi pangeran mahkota, yaitu calon pengganti kaisar, adalah adik kaisar
sendiri yang kelak terkenal dengan sebutan Sun Thai Cung, kaisar ke dua. Ahala
Sung. peristiwa ini pun tercatat dalam sejarah, merupakan pelajaran yang amat
baik bagi para kaisar khususnya dan para pemimpin negara pada umumnya dan
dianggap sebagai kebijaksanaan ibu suri. Beginilah kurang lebih percakapan
yang terjadi di dalam kamar ibu suri ketika ibunda kaisar ini berada di ambang
kematian karena usia tua.
“Puteraku Baginda, apakah yang menyebabkan puteranda berhasil
menduduki tahta kerajaan?”
Sebagai seorang anak berbakti yang selalu menjunjung tinggi nama baik dan
nama besar leluhurnya, Kaisar Sung Thai Cu menjawab,
“Ibunda yang mulia, ananda menerima anugerah Tuhan dengan kemuliaan ini
semata-mata mengandalkan kebijaksanaan dan budi kebaikan yang sudah
ditanam oleh para leluhur kita, terutama sekali karena kebijaksanaan Ibunda.”
Senang juga hati nenek yang sudah lemah jasmaninya namun masih amat
kuat ingatannya itu.
88
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
“Anakku, kau selalu berusaha mengangkat tinggi orang tua..” Puteranda
sayang, bukan.. bukan aku, bukan pula leluhurmu yang memungkinkan
puteranda berhasil menduduki tahta kerajaan. Satu-satunya sebab yang
memungkinkan puteranda hari ini menjadi Kaisar Kerajaan Sung Utara, bukan
lain adalah karena kebodohan kaisar terakhir dari Kerajaan Cao” Puteranda
harus dapat belajar dari sejarah, harus dapat mengenal kelemahan bekas lawan
agar diri sendiri jangan sampai mengulangi kebodohan dan kelemahan bekas
lawan itu. Kaisar terakhir dari Cou telah begitu bodoh untuk menyerahkan tahta
kerajaan kepada puteranya yang masih kecil untuk menggantikan
kedudukannya. Kebodohan itulah yang memungkinkan puteranda berhasil
menduduki tahta kerajaan. Tak mungkin sekarang puteranda akan mengulangi
kebodohan seperti itu.”
Inilah ucapan ibu suri yang sudah berada di ambang kematian itu. Kaisar
tertegun dan termenung. Terbayanglah ia akan sejarah Lima Wangsa yang telah
lalu. Setelah Kerajaan Tang roboh oleh pemberontak, lahirlah Kerajaan Liang
yang hanya bertahan selama tujuh belas tahun. Segera digulingkan oleh seorang
panglima perang lain yang mendirikan Kerajaan Tang Muda yang lebih pendek
lagi umurnya, hanya empat belas tahun. Kemudian diganti oleh Kerajaan Cin
Muda, hanya dua belas tahun umurnya. Kerajaan ke empat yang
menggantikannya adalah Kerajaan Han Muda, kerajaan ini malah hanya empat
tahun umurnya dan kemudian sekali, lahirlah Kerajaan Cao yang bertahan hanya
sepuluh tahun lamanya. Demikianlah sedikit sejarah tentang Lima Wangsa yang
terbayang di dalam ingatan Kaisar Sung Thai Cu. Semua kaisar dari Lima
Wangsa itu adalah panglima-panglima perang belaka, yang memperebutkan
kedudukan dan saling menggulingkan.
Memang tepat ucapan ibunya. Kaisar terakhir dari Kerajaan Cao telah
menyerahkan kedudukannya kepada puteranya yang masih kecil, di bawah
pimpinan ibu tiri. Itulah yang memungkinkan dia, dahulu masih Jenderal Cao
Kwan Yin, melakukan pemberontakan dan merampas singgasana.
Pengalamannya ini pula yang membuat Cao Kwan Yin setelah menjadi Kaisar
Sung Thai Cu, selalu gelisah dan menyindirkan keadaannya kepada para
panglimanya. Karena sesungguhnya, pemberontakan itu terjadi karena dia
“terpaksa” pula. Pada pagi hari, para panglima membangunkannya dari tidur dan
“memaksanya” mengenakan pakaian kuning, pakaian raja. Dia diangkat sebagai
raja atau kaisar baru dan terjadilah pemberontakan melawan Kerajaan Cao yang
dirajai seorang anak-anak itu.
89
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Dan ini sebabnya mengapa pangeran mahkota dari Kerajaan Sung bukan
putera kaisar, melainkan adiknya. Dan ini pula yang membuat kaisar pertama
Kerajaan Sung ini dikenal sebagai seorang kaisar bijaksana, tidak mementingkan
diri atau keturunan sendiri.
Cukup kiranya sekelumit tentang keadaan Kerajaan Sung Utara yang
mempunyai ibu kota atau kota raja di Kai-teng (sebuah kota di Propinsi Honan),
dan marilah kita meninjau keadaan Kota Raja Nan-cao di sebelah selatan
yang sedang menghadapi perayaan besar itu.
Kerajaan kecil yang wilayahnya meliputi satu propinsi ini keadaannya lebih
tenteram daripada kerajaan-kerajaan lain yang berada di seluruh negeri.
Rakyatnya tunduk kepada pimpinan dan jarang terjadi kejahatan-kejahatan yang
menyolok. Hal ini sesungguhnya adalah berkat pengaruh Agama Beng-kauw
yang boleh dibilang menguasai pimpinan kerajaan. Raja sendiri bukan hanya
pemeluk Agama Beng-kauw, akan tetapi lebih daripada itu, malah terhitung
keponakan dari ketua Beng-kauw dan juga amat tekun serta aktip dalam
memajukan agama ini. Ketua Beng-kauw sendiri atau disebut kauwcu (ketua
agama) mempunyai kedudukan tinggi di dalam istana karena dia menjadi koksu
(guru atau penasehat negara). Ketua Beng-kauw bernama Liu Mo, adik dari
mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan yang sudah meninggal dunia seribu hari yang
lalu dan yang akan diperingati kematiannya tak lama lagi. Seperti juga mendiang
kakaknya, Liu Mo ini memiliki kesaktian dan boleh dibilang untuk waktu itu, ia
adalah tokoh nomor satu di Nan-cao, dihormati oleh raja sendiri dan ditakuti
oleh semua orang.
Usia Liu Mo sudah amat tua, tak seorang pun di Nan-cao dapat mengetahui
berapa tuanya, akan tetapi tubuhnya masih kelihatan sehat dan wajahnya masih
segar dan penuh semangat, biarpun ia terkenal sebagai seorang yang pendiam
dan hanya bicara seperlunya saja. Ada yang mengatakan bahwa usianya tentu
lebih dari seratus tahun. Tak seorang pun dapat membuktikan kebenaran atau
kebohongan kata-kata ini. Akan tetapi Liu Mo tidak peduli akan usianya dan
buktinya, ia mempunyai empat orang isteri yang cantik-cantik” Hanya seorang
di antara isteri-isterinya, yang paling tua, mempunyai anak seorang, Liu Hwee,
anak perempuan tunggal ini telah menjadi seorang gadis remaja yang cantik
jelita dan mewarisi kepandaian ayahnya. Selain terkenal akan kecantikan dan

kelihaiannya, juga Lie Hwee ini tidak kalah semangatnya.

Bersambung..

No comments:

Post a Comment