Monday, March 13, 2017

Cinta Bernoda Darah 02 - Mini Serial #35

Cinta Bernoda Darah #35
Cerita Silat Kho Ping Hoo: Cinta Bernoda Darah 02 - Mini Serial #35
=========================================
“Heh-heh-heh, Suling Emas. Tak usah repot-repot, aku sudah berada di sini”
tiba-tiba terdengar suara keras dan parau. Suling Emas dan Ouw-kauwsu cepat
memutar tubuh dan.. kiranya manusia iblis yang dijadikan bahan percakapan itu
60
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
telah berada di situ, duduk nongkrong di atas tiang melintang dekat langit-langit
rumah sambil menggerogoti daging dari tulang paha, entah paha apa”
Dan pada saat itu juga, terdengar suara orang mengomel,

“Nanti dulu.. tenanglah, kau ajak aku berlari-lari. Kalau betul dia Suling
Emas, mau apa? Mau suruh dia tiup suling? Eh, tidak enak memasuki rumah
orang seperti ini. Heee, tuan atau nyonya rumah. ke mana kalian? Wah, agaknya
rumah kosong..”
Munculiah orangnya yang berkata-kata itu. Kiranya dia seorang kakek
pendek, kumis dan jenggotnya jarang, sikapnya lucu dan selalu terkekeh. Di
belakangnya berjalan seorang gadis cantik yang bukan lain adalah Sian Eng.
Begitu memasuki ruangan itu, kakek lucu ini melihat Suling Emas dan Ouwkauwsu
berdongak memandang ke atas. Ia pun ikut memandang dan tiba-tiba ia
berseru kaget.
“Eh, eh, anak nakal.. kenapa kau naik ke sana? Hayo turun lekas.. wah, kalau
jatuh bisa pecah punukmu. Turun.. turun..” Ia menggapai-gapai tangannya
menyuruh turun. Akan tetapi Toat-beng Koai-jin hanya memandang sambil
menyeringai dan melanjutkan kesibukannya yaitu menggerogoti daging.
“Kau tidak turun? Celaka.. wah, aku paling ngeri melihat orang jatuh dari
tempat tinggi.. hayo turunlah..” Ia lalu menghampiri tiang dan mulailah ia
memanjat ke atas seperti seorang kanak-kanak memanjat pohon kelapa” Setelah
ia tiba di atas, hampir sama tingginya dengan tempat di mana Toat-beng Koaijin
duduk nongkrong matanya terbelalak ketakutan.
“Kau makan apa itu? Hiiiiihhh, daging itu masih mentah” Lihat ada
darahnya, wah-wah, kau memang bocah nakal. Bisa kembung perutmu. Eh,
bukankah kau ini si nakal Toat-beng Koai-jin? Ya, kukenal punukmu itu” Ihhh,
tentu daging manusia yang kau makan. Wah, serem.. serem..”
Bagaimanakah Sian Eng bisa datang bersama kakek pendek yang lucu ini
dan siapakah gerangan kakek itu? Seperti telah kita ketahui, Sian Eng pergi
bersama Suma Boan ke gedung indah milik adik Suma Boan yang bernama
Suma Ceng. Seperti telah diduga oleh Sian Eng, setelah berada di dalam kamar
berdua dengan bekas kekasih kakaknya ini, ia mendengar banyak tentang diri Bu
Song. Kiranya cerita yang ia dengar dari Suma Ceng tiada bedanya dengan yang
sudah didengarnya dari Suma Boan, hanya tentu saja, dari mulut Suma Ceng
61
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
terdengar berlainan. Terang bahwa nyonya muda cantik ini benar-benar
mencintai Bu Song.
“Dia meninggalkan aku..” Suma Ceng mengakhiri ceritanya sambil
menghapus air matanya.
“Tapi.. untung Boan-ko menolongnya dan ia tidak sampai tewas. Aku
dipaksa kawin.. sekarang sudah tiga orang anakku.. suamiku baik terhadapku..
aku berusaha melupakannya sedapat mungkin, tapi.. tapi..” kembali ia menangis
perlahan, “yang menyedihkan hatiku, aku tidak tahu bagaimana nasibnya
sekarang, di mana ia berada.. kalau saja dia sudah menikah dengan gadis lain
dan hidup bahagia.. akan terobatilah hatiku..”
Sian Eng ikut menangis. Terharu hatinya mendengar cerita yang
menyedihkan tentang asmara gagal yang diderita nyonya muda ini dan
kakaknya.
“Betapapun juga, kau sudah berumah tangga, sudah berputera, harap jangan
memikirkan kakakku lagi,” kata Sian Eng. “Dan kurasa kakakku juga berusaha
melupakan peristiwa itu..”
“Tak mungkin” Bu Song takkan dapat melupakan aku, sampai mati pun
takkan ia dapat melupakan aku” Kami.. kami.. ah..” kembali nyonya muda itu
menangis sedih.
“Siapa tahu.. ia malah telah membawa cinta kasihnya ke balik kubur..”
terisak-isak ia kini, “kalau aku tahu.. ah, aku pun lebih baik mati..”
Terkejut juga hati Sian Eng. Bukan main” Kiranya cinta kasih antara mereka
itu sudah demikian hebat.
“Enci, harap kau tenangkan hatimu. Kakakku Bu Song belum mati dan besok
aku diajak oleh Suma-kongcu menyusulnya. Aku akan sampaikan pesanmu
kepadanya kalau aku bertemu dengan kakakku, akan kubujuk dia supaya
menikah dengan gadis lain.”
“Betulkah? Benar-benar Boan-ko tahu di mana adanya Bu Song? Hati-hati,
Adik Sian Eng.. dia.. kakakku itu..”
Melihat keraguan ini, Sian Eng timbul curiga. “Ada apa dengan kakakmu?”
“Dia baik, baik sekali kepadaku dan aku amat sayang kepadanya. Kami
hanya berdua saudara dan dia amat sayang pula kepadaku. Tapi.. tapi.. ah,
bagaimana aku bisa membiarkan adik Bu Song menjadi korban? Adik Sian Eng,
terus terang saja, betapapun sayangku kepada kakakku, akan tetapi harus kuakui
62
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
bahwa dia itu.. dia mudah terjatuh oleh wanita cantik. Dan kau amat cantik,
adikku, kau cantik menarik. Aku khawatir kalau-kalau kau menjadi korbannya.
Sudah terlalu banyak gadis-gadis tak berdosa jatuh ke tangan kakak kandungku.
Kau adik Bu Song, aku harus memperingatkanmu, jangan kau bergaul
dengannya. Kecuali..” wajahnya menjadi bersinar, “ah, alangkah baiknya.
Kecuali kalau ia betul-betul cinta kepadamu dan mau mengambilmu sebagai
isteri. Ah, benar” Ini bagus sekali. Aku gagal berjodoh dengan Bu Song,
sekarang sebagai gantinya adiknya berjodob dengan kakakku, bukankah ini baik
sekali?”
Merah wajah Sian Eng. “Ah, Cici, omongan apakah ini? Siapa yang berpikir
tentang jodoh?” Sampai di sini percakapan mereka berakhir dan malam hari itu
Sian Eng tak dapat tidur nyenyak biarpun ia mendapatkan kamar yang indah dan
tempat tidur yang mewah. Hatinya merasa tidak enak.
Akan tetapi Suma Boan ternyata pintar sekali mengambil hati. Ia
memperlihatkan sikap sopan dan menghormat sehingga Sian Eng mulai percaya
lagi kepadanya. Peringatan Suma Ceng sudah hampir lenyap bekasnya di hati,
sungguhpun ia selalu masih berhati-hati dan tidak kehilangan kewaspadaannya.
Perjalanan jauh itu dilakukan dengan penuh kegembiraan karena sikap Suma
Boan yang baik, dan makin kagumlah Sian Eng ketika melihat betapa hampir di
setiap kota dan dusun, putera pangeran ini agaknya mempunyai sahabat-sahabat
yang amat hormat dan tunduk terhadapnya.
Akhirnya tibalah mereka di kota Ban-sin dan Suma Boan mengajaknya
bermalam di kota ini. Juga di sini Suma Boan mempunyai banyak hubungan.
Malah ia diterima oleh seorang pembesar, dipersilakan bermalam di sebuah
rumah gedung yang dijaga oleh perajurit-perajurit, diperlakukan dengan segala
kehormatan.
Yang membuat Sian Eng kaget bukan main adalah ketika ia melibat
bayangan It-gan Kai-ong si raja pengemis yang mengerikan itu” Ia melihat
pengemis tua ini tanpa sengaja. Ketika itu ia sudah memasuki kamarnya dan
langsung membaringkan tubuh di tempat tidur, karena ia merasa amat lelah.
Tiba-tiba ia mendengar suara Suma Boan di belakang rumah. Selama ini
kecurigaannya terhadap Suma Boan sudah hilang dan makin lama makin baiklah
kesan di hatinya terhadap putera pangeran ini. Kini mendengar suaranya, tibatiba
timbul keinginan hatinya untuk mengajaknya bercakap-cakap” Ia turun dari
63
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
pembaringan, membuka pintu kamar dan di saat itulah ia mendengar suara parau
yang membuat bulu tengkuknya berdiri.
“Sungguh kau sembrono sekali” kata suara parau itu. “Dia hanya berada
beberapa puluh li di belakangmu dan kau masih tidak tahu”
“Tapi, Suhu, Locianpwe Tok-sim Lo-tong juga tidak memberi tahu sesuatu”
terdengar suara Suma Boan, membantah.
“Uh, dasar sembrono” Biar kusiapkan sambutan, untungnya ada Toat-beng
Koai-jin di sini. Hati-hati, jaga baik-baik gadis itu, mungkin bisa dipergunakan
untuk menundukkannya”
Sian Eng cepat menyelinap ke balik daun pintu sambil mengintai. Dugaannya
tidak keliru, tak lama kemudian ia melihat bayangan It-gan Kai-ong berjalan
terbongkok-bongkok bersandarkan tongkat bututnya. Di bawah sinar lampu
yang suram muram itu kakek ini tampak makin buruk saja, dengan mata satunya
yang berair dan terhias kotoran kuning di ujung, rambutnya yang riap-riapan dan
mulutnya yang hanya bergigi satu. Sian Eng bergidik dan kedua kakinya
gemetar. Sukar untuk mengatakan siapa yang lebih mengerikan antara It-gan
Kai-ong, Hek-giam-lo, dan Tok-sim Lo-tong, juga wanita iblis Siang-mou Sinni”
Munculnya It-gan Kai-ong ini tentu saja membuyarkan lamunan Sian Eng
dan membatalkan niatnya untuk menemui Suma Boan. Akan tetapi agaknya
putera pangeran itu mengalami dorongan hasrat hati yang sama. Buktinya, tidak
lama setelah Sian Eng kembali melempar diri ke atas pembaringan, daun pintu
kamarnya diketok orang. Ketika Sian Eng yang berdebar-debar hatinya
membuka daun pintu, kiranya Suma Boan yang berdiri di situ sambil
tersenyum” Bukan main lega hati Sian Eng, karena tadinya ia sudah merasa
cemas dan ngeri, takut kalau-kalau ia akan berhadapan dengan It-gan Kai-ong.
Kelegaan hatinya ini memancing senyum manisnya.
“Sian Eng moi-moi, kau belum tidur?”
Sian Eng menggeleng kepala. Pertanyaan tentang It-gan Kai-ong berada di
ujung bibir, akan tetapi ia tahan.
“Apakah kedatanganku ini mengganggumu?” tanya pula Suma Boan dengan
suara halus.
“Tidak sama sekali. Kenapa kau begini sungkan, Koko? Dan kelihatan
gugup? Ada apa?”
64
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Senyum Suma Boan melebar, tetapi suaranya gemetar ketika ia menjawab.
“Tidak apa-apa.. hanya aku.. ah, sudah beberapa malam aku tak dapat
memejamkan mata, Moi-moi.”
“Kenapa? sakitkah engkau?” tanya Sian Eng, memandang tajam.
“Memang sakit, tapi bukan tubuhku yang sakit, melainkan hatiku. Moi-moi..
Sian Eng.. hatiku menderita rindu, mataku tak dapat tidur karena selalu
terbayang wajahmu. Ah, alangkah cantik manis engkau, Moi-moi, dam aku
tergila-gila kepadamu, aku cinta padamu..”
Seketika kedua kaki Sian Eng menggigil, mukanya panas rasanya tapi tangan
kaki merasa dingin, jantungnya berdegupan sehingga degup jantung itu
terdengar berdentam-dentam di kedua telinganya, darahnya berdenyutan sampai
terasa hampir memecahkan urat-urat di pelipisnya, ia menunduk, tak berani
memandang, mulutnya setengah tersenyum setengah menangis.
Sian Eng masih dalam keadaan setengah sadar ketika ia merasa betapa
pundaknya dirangkul orang, betapa rambut di kepalanya diciumi orang dan
betapa Suma Boan memeluknya sambil berbisik-bisik tak tentu ujung pangkal
atau pun isinya. Sejenak Sian Eng memejamkan matanya, menyandarkan kepala
pada dada pemuda itu, merasa bahagia dan napasnya terengah-engah sesak. Aku
juga cinta padamu, bisik suara hatinya. Akan tetapi tiba-tiba telinganya
mendengar bisikan-bisikan, itulah suara Suma Ceng ketika bicara kepadanya di
dalam kamar. “.. aku khawatir kalau-kalau kau menjadi korbannya.. sudah
terlalu banyak gadis-gadis tak berdosa jatuh oleh kakak kandungku..”
Dan tiba-tiba Sian Eng merasa betapa kurang ajar kedua tangan Suma Boan.
Ia meronta dan tangannya menampar, tepat mengenai pipi Suma Boan,
kemudian ia melompat ke belakang. Melihat betapa pemuda yang sebetulnya
telah merebut hatinya itu berdiri bengong dengan muka pucat, dan pipi yang
ditamparnya tadi merah sekali, Sian Eng menutupi muka dengan kedua
tangannya dan menangis.
“.. kenapa Moi-moi..? Kenapa kau menamparku? Bukankah.. bukankah kau
juga cinta kepadaku seperti cintaku kepadamu?”
Dengan mata berlinang air mata Sian Eng memandang, kemudian terdengar
ucapannya terpitus-putus,
“.. cintaku bukan untuk.. untuk.. menjadi permainanmu.. aku bukan.. bukan
perempuan.. yang boleh kauperlakukan sesukamu.. yang boleh kau hina..”
65
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
“Eng-moi, kau aneh.., biarlah kau pikir dan pertimbangkan betapa tidak
adilnya sikapmu terhadap aku yang mencintamu sepenuh hati..” setelah berkata
demikian, Suma Boan keluar dari kamar sambil menutupkan daun pintunya.
Sian Eng tak kuasa menahan kakinya yang lemas gemetar. Ia menjatuhkan
diri di atas pembaringan, duduk termenung mendengarkan langkah kaki Suma
Boan yang makin lama makin menjauhi kamarnya. Kemudian ia merebahkan
diri tertelungkup dan menangis di atas bantal.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Suma Boan sudah terdengar
memaki-maki para penjaga yang berdiri dengan muka pucat dan saling pandang.
“Kalian tikus-tikus goblok” Apa kerja kalian malam tadi? Tidur semua, ya?”
“Ampun, Suma-kongcu, mana kami berani tidur? Tak sedikit pun kami tidur
dan..”
“Bohong” Suma-kongcu menggerakkan tangannya dan pembicara itu roboh
tersungkur.
“Orang luar telah memasuki gedung, nona dibawa pergi dan kalian bilang
tidak tidur? Pemalas” Goblok”
“Eh, eh, apakah yang terjadi?” Suara serak ini disusul muncuinya It-gan Kaiong.
Melihat gurunya, Suma Boan menjadi agak tenang, akan tetapi
kemurungan masih membayangi mukanya yang tampan.
“Suhu, semalam ada musuh mendatangi rumah ini dan membawa pergi Sian
Eng. Sungguh teecu tak dapat menduga siapa dia. Akan tetapi dia meninggalkan
tanda tapak kaki di tembok”
“Apa katamu? Tapak kaki di tembok?” Si Raja Pengemis bertanya heran.
Memang luar biasa keterangan Suma Boan tadi. Mana bisa ada telapak kaki di
atas tembok?
“Mari, harap Suhu periksa sendiri” Pemuda itu mendahului suhunya menuju
ke ruangan tengah. Dan di atas tembok, dekat kamar Sian Eng, di atas sebuah
meja kecil, terdapat beberapa tapak kaki berlumpur di atas tembok.
“Inilah tanda itu, Suhu, Bukankah ini penghinaan yang amat besar? Entah
tapak kaki siapa ini?” kata Suma Boan sambil menudingkan telunjuk kirinya ke
arah tembok.
Beberapa orang penjaga yang tadi dimaki-maki Suma Boan memandang juga
dengan muka pucat. Pantasnya, hanya kaki binatang merayap sebangsa cecak
66
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
yang dapat meninggalkan jejak di atas tembok. Akan tetapi, jejak yang tampak
jelas di atas tembok itu adalah jejak kaki manusia”
Kaki yang pendek, jari-jarinya terbentang seperti biasanya jari kaki orang
yang tak pernah pakai sepatu. Jejak kaki itu kanan-kiri berjalan rapi seperti jejak
orang berjalan dengan langkah pendek-pendek. Akan tetapi bagaimana mungkin
seorang manusia berjalan di atas tembok seperti cecak? Mata tunggal It-gan Kaiong
melotot sebentar memandang tapak kaki itu.
“Hu-huh, Pek-houw-yu-chong (ilmu merayap di tembok seperti cecak)
tingkat tinggi. Manusia sombong bermaksud menakut-nakutimu atau memang
hendak memamerkan kepandaiannya yang tidak seberapa ini. Orangnya pendek,
tak pernah pakai sepatu..” Tiba-tiba It-gan Kai-ong berhenti bicara, matanya
bersinar-sinar.
“Pendek tak bersepatu? Hanya Kim-lun Seng-jin tokoh sakti yang pendek
dan tak pernah bersepatu” Suma Boan berkata. Gurunya mengangguk. Tapi
segera menggelengkan kepala, alisnya berkerut.
“Sudah tentu dia bisa melakukan hal ini, akan tetapi kurasa bukan dia. Kimlun
Seng-jin biarpun suka bergurau, akan tetapi tidak seperti anak kecil
meninggalkan jejak kaki di sini. Tentu seorang tokoh lain yang gila..” It-gan
Kai-ong kelihatan marah dan menyumpah-nyumpah di dalam mulutnya.
Ke manakah perginya Sian Eng? Ketika malam itu ia menangis di atas
pembaringannya, tiba-tiba ia mendapat perasaan bahwa ada sesuatu terjadi,
bahwa dia tidak sendirian di dalam kamarnya. Ia mengangkat mukanya dari
bantal dan dari balik air matanya ia mengerling. Alangkah kagetnya ketika ia
melihat bayangan seorang laki-laki tua pendek tersenyum-senyum di tengah
kamar, memandangnya. Sian Eng merasa seperti mimpi, digosok-gosoknya
kedua matanya, lalu ia bangkit dan duduk. Bayangan itu masih ada, malah kini
ia dapat memandang jelas di bawah sinar lampu meja.
Benar seorang laki-laki yang tua, pendek dan tersenyum-senyum. Sepasang
mata yang jenaka, kumis panjang kaku menunjuk ke kanan kiri, jenggotnya
jarang terurai ke bawah. Sama sekali bukan seorang kakek yang menyeramkan
seperti It-gan Kai-ong, namun caranya memasuki kamar cukup aneh sehingga
menyeramkan. Akan tetapi, sepasang mata itu terang bukanlah mata orang jahat.
“Siapakah.. kau..? Bagaimana bisa masuk..?” Sian Eng memandang ke arah
pintu kamarnya yang masih tertutup.
67
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
“Heh-heh, Nona Kam Sian Eng. Kau benar-benar bocah yang bodoh dan
nakal. Mana bisa kau mengharapkan kebaikan dari seorang macam Suma Boan?
Kau berada dalam bahaya, marilah ikut denganku.”
“Kau siapa? Apa artinya semua ini?”
Kakek itu tersenyum dan wajahnya benar-benar lucu kalau ia tersenyum,
seperti senyum seorang badut.
“Aku siapa? Panggil saja Empek Gan. Lie Bok Liong itu muridku. Di sini
kau terancam bahaya besar, mari ikut denganku keluar. Tiada banyak waktu
lagi.” Sambil berkata demikian kakek itu menggerakkan tangannya dan gadis ini
merasa tubuhnya melayang keluar dari jendela kamar yang ditendang terbuka
oleh kakek itu sambil melayang dan menariknya. Ia terkejut bukan main,
maklum bahwa kakek ini seorang sakti yang luar biasa. Akan tetapi hatinya lega
mendengar bahwa kakek ini adalah guru Lie Bok Liong sahabat baik adiknya
itu. Hatinya merasa berat meninggalkan tempat itu, atau lebib tepat,
meninggalkan Suma Boan. Akan tetapi kalau ia teringat akan peristiwa tadi,
betapa dengan penuh nafsu putera pangeran itu merayunya, ia menggigil. Benarbenar
berbahaya. Bagaimana kalau ia tidak kuat menahan? Tentu ia menjadi
korban” Berpikir sampai di sini, tiba-tiba mukanya menjadi merah sekali. Siapa
tahu, kakek aneh ini tadi melihat semua adegan memalukan itu”
Tanpa ia ketahui tujuannya, ia menurut saja dibawa pergi Empek Gan.
Akhirnya mereka memasuki sebuah kelenteng tua yang sudah rusak. Kelenteng
yang amat menyeramkan, penuh sarang laba-laba dan agaknya hanya patut
dijadikan tempat tinggal para siluman dan setan. Akan tetapi Sian Eng tidak
merasa takut, tidak merasa serem seperti ketika ia ditawan Hek-giam-lo. Empek
Gan ini ternyata telah membersihkan ruangan samping kelenteng itu, buktinya
lantainya bersih dan di situ tidak ada sarang laba-laba.
“Nah, kita melewatkan malam di sini. Nona, ketahuilah. Muridku ditangisi
adikmu yang nakal, yang minta supaya muridku mencarimu sampai dapat.
Ketika muridku mendengar bahwa kau pergi bersama Suma Bom dan si badut
Tok-sim Lo-tong, ia mencari aku dan memaksa si tua ini turun tangan. Aku
sudah lama mengikuti perjalananmu dan baru malam ini turun tangan setelah
melihat betapa besarnya bahaya yang mengancam dirimu. Besok kita
melanjutkan perjalanan, malam ini kau boleh mengaso. Tentu saja tidak seenak
tidur di kamar dalam gedung itu, akan tetapi di sini kau lebih aman. Aku sudah
tua, tidak bisa lagi membedakan mana cantik mana buruk, heh-heh”
68
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sian Eng sudah bangun. Memang
semalam ia hampir tak dapat memejamkan matanya di dalam kelenteng itu.
Pikirannya kacau-balau dan resah kalau ia teringat akan Suma Boan. Dengan
girang ia mendapatkan sebuah mata air di belakang kelenteng dan setelah
mencuci muka dan tubuh sehingga terasa segar, Sian Eng kembali ke dalam
kelenteng, akan tetapi, kakek pendek lucu itu ternyata masih mendengkur. Ia
tidak berani mengganggu, dan menanti. Akan tetapi sampai matahari naik tinggi,
kakek itu belum juga bangun. Akhirnya habislah kesabaran Sian Eng.
“Empek Gan.. Empek Gan..” Bangunlah” Ia mengguncang-guncang lengan
kakek itu.
Kakek itu kaget, geragapan bangun. “Ada apa..? Kebakaran..? Dunia kiamat?
Celaka.. aku masih ingin hidup” Ia melompat dan lari ke sana ke mari, kelihatan
bingung sekali sehingga Sian Eng menjadi geli melihatnya.
“Tidak ada apa-apa, Lopek,” katanya membantah.
Kakek itu menjatuhkan diri duduk di atas lantai, bersandar tembok, terengahengah
dan mengusap-usap kedua mata dengan belakang tangan seperti
kebiasaan anak kecil kalau bangun tidur.
“Aduh ampuuuuun.. sampai kaget setengah mampus hatiku. Puluhan tahun
hidupku ayem tenterem, sekali dekat wanita, tidur saja tidak nyenyak lagi”
Beratnya orang membela murid.. heeeiiii” Mana Bok Liong? Bocah tolol itu
belum juga muncul? Nona, kau melihat dia?”
Sian Eng mendongkol bukan main mendengar kata-kata kakek itu tentang
wanita. Akan tetapi maklum bahwa kakek ini termasuk orang aneh. Ia tidak mau
melayani dan pertanyaan terakhir ia jawab dengan gelengan kepala.
“Wah-wah, betul-betul dia tidak muncul? Celaka.. tentu ada apa-apa. Tak
mungkin dia berani tidak mentaati perintahku dan memenuhi janji. Wah, sudah
siang, hayo kita pergi”
Kali ini Empek Gan tidak menarik tangan Sian Eng seperti malam tadi.
Mereka berjalan keluar dari kelenteng dan Sian Eng mengikuti ke mana kakek
itu pergi. Tiba-tiba berkelebat bayangan orang, Sian Eng memandang ke depan
dan jantungnya berdebar ketika ia melihat jubah hitam dan topi sastrawan.
“Suling Emas..” Dia Suling Emas.. mari kejar dia” Sian Eng lalu lari
mengejar.
69
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
“Wah-wah, pagi-pagi belum sarapan kau ajak balapan lari. Dengar perutku
mengeluh panjang pendek. Tak usah kejar..” Akan tetapi kedua kakinya yang
pendek itu terpaksa mengikuti Sian Eng yang menggunakan ilmu lari cepat
mengejar Suling Emas.
“Dia Suling Emes, aku mau bertanya tentang kakakku..” Sian Eng tidak
pedulikan omelan kakek itu dan terus mengejar. Ketika melihat Suling Emas
yang sudah jauh itu lenyap ke dalam sebuah rumah yang sunyi, Sian Eng
berhenti di depan rumah itu, meragu sebentar lalu tanpa banyak cakap lagi ia
juga memasuki pekarangan rumah yang sunyi dan terus menerobos pintu depan
untuk mencari Suling Emas. Dari belakangnya Empek Gan berteriak-teriak
mencela.
Seperti sudah diceritakan di bagian depan, begitu memasuki ruangan rumah
yang ternyata adalah rumah guru silat Ouw-kauwsu, seorang guru silat di kota
Ban-sin yang cukup terkenal, mereka berdua melihat adegan yang aneh, yaitu
Ouw-kauwsu berdiri bengong. Suling Emas berdiri dengan alis berkerut
memandang ke atas di mana seorang kakek seperti anak hutan sedang duduk di
atas balok tiang melintang dekat atap rumah sambil makan daging paha yang
digerogoti. Melihat ini Empek Gan berlari menghampiri tiang dan memanjat
tiang itu seperti seekor kera memanjat kelapa, berteriak-teriak menyuruh turun
kakek seperti orang hutan itu.
“Wah, aku kenal kau sekarang. Tak salah lagil” Gundul pacul, punuknya
seperti lembu jantan, mukanya buruk seperti monyet, perutnya gendut seperti
babi, telanjang hanya pakai cawat, permakan daging manusia. Betul, biar
selamanya belum pernah bertemu, tapi aku sudah banyak mendengar tentang
dirimu. Kau Toat-beng Koai-jin” Empek Gan berteriak-teriak sambil

memandang dengan wajah memperlihatkan kengerian.

Bersambung..

No comments:

Post a Comment