Friday, March 10, 2017

Cinta Bernoda Darah 02 - Mini Serial #34

Cinta Bernoda Darah #34
Cerita Silat Kho Ping Hoo: Cinta Bernoda Darah 02 - Mini Serial #34
=========================================
“Ceritamu itu baik sekali. Tapi, mengapa lalu terjadi permusuhan, Kongcu?”
“Nona, amatlah tidak enak mendengar suaramu yang merdu lewat mulutmu
menyebutku Kongcu..”
“Akan tetapi, kau seorang putera pangeran..”
“Dan kau pun puteri seorang goan-swe (jenderal). Setelah kuketahui bahwa
kau ini adik Bu Song yang pernah menjadi sahabat baikku, perlukah kita saling
bersikap sungkan? Apalagi kita akan mengadakan perjalanan jauh bersama,
alangkah tidak enaknya kalau kau menyebut Kongcu dan aku menyebut Siocia.”

Jantung dalam dada Sian Eng bergelora, membuat mukanya terasa panas.
Biarpun mereka berjalan di bawah sinar bulan yang remang-remang karena
terhalang awan sehingga mukanya takkan tampak, namun Sian Eng menunduk,
khawatir terlihat wajahnya yang membayangkan gelora hatinya.
“Habis.. bagaimana..?” katanya setengah berbisik.
Suma Boan menatap wajah yang tunduk itu, hatinya girang bukan main.
Gadis ini cantik manis, biarpun kepandaiannya hanya lumayan saja, namun
wataknya gagah berani, dan puteri jenderal besar pula, lebih penting lagi, dia ini
adik Bu Song”
“Karena kau terlalu sungkan tadi, aku sendiri sampai takut menanyakan
nama. Bolehkah aku mengetahui namamu dan selanjuthya kupanggil kau adik,
sedangkan kau menyebutku kakak?”
Makin panas kedua pipi Sian Eng. Tiba-tiba kakinya tersandung batu dan ia
hampir terguling. Suma Boan cepat-cepat menangkap lengannya untuk
mencegah gadis itu jatuh.
“Hati-hati..” serunya. Agak lama juga baru lengan ini dilepas kembali.
Padahal, seorang dengan kepandaian seperti Sian Eng, tak mungkin bisa jatuh
hanya karena tersandung batu kakinya” Hal ini keduanya cukup maklum.
“Namaku Kam Sian Eng..”
“Nama yang indah. Adik Sian Eng, kau tentu sudi menyebutku kakak,
bukan?”
Dengan suara lirih dan kepala tetap tunduk Sian Eng menjawab.
“Tentu saja, akan tetapi, kita baru saja berkenalan.. dan.. aku masih belum
tahu apakah kau ini terhitung sahabat ataukah musuh..”
“Ha-ha-ha-ha, kau lucu..” Tapi benar juga, memang ceritaku tadi belum
selesai. Nah kau dengarlah, Bu Song bekerja pada Ayah sampai lebih dari tiga
tahun. Pada suatu malam.. ah, malam celaka itu.. kakakmu tertangkap basah
sedang berduaan dengan adikku perempuan bernama Suma Ceng..”
Hening sejenak dan terdengar Sian Eng memprotes,
“Ah.. tapi.. tapi tentu adikmu.. eh, suka kepadanya.”
51
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
“Itulah soalnya” Kiranya sudah lama juga agaknya, lebih setahun, mereka itu
saling mencinta di luar tahu semua orang. Akan tetapi kau tahu sendiri, tak
mungkin Ayah menyetujui hal ini. Pertama, adikku itu sudah ditunangkan
dengan Pangeran Kiang. Ke dua, kakakmu yang mengaku she Liu itu
memperkenalkan diri sebagai seorang sebatangkara yang tak berayah ibu lagi,
bahkan katanya datang dari sebuah dusun kecil, sama sekali tidak berdarah
bangsawan. Maka tadi kukatakan, sayang kami tidak tahu bahwa dia itu putera
seorang jenderal”
“Kemudian bagaimana? Lalu kakakku itu.. diapakan dia?” Suara Sian Eng
mengandung was-was, juga berada di pinggir jurang kemarahan dan dendam.
Tentu saja seorang yang berpengalaman cukup macam Suma Boan tahu akan hal
ini dan ia sudah berhati-hati.
“Aku tidak dapat menyalahkan Ayahku dalam hal ini. Ayah marah dan malu
bukan main. Kalau tidak kucegah, agaknya adikku itu sudah dibunuhnya malam
hari itu juga. Baiknya dapat kudinginkan hatinya, adikku diampuni dan Bu Song
dimasukkan dalam penjara. Sebagai seorang yang dianggap tak kenal budi,
sudah ditolong oleh Ayah sampai tiga tahun lebih, kiranya membalas dengan
penghinaan yang mencemarkan nama baik keluarga. Ayah tak dapat
mengampuninya, lalu menyerahkan kepadaku untuk membunuh Bu Song..”
“Ahhhhh..” Sian Eng menghentikan langkahnya, membalik dan memandang
wajah Suma Boan dengan mata berapi.
“Tidak, Adik Sian Eng. Jangan kau sangka bahwa aku mau begitu saja
membunuh seorang yang sudah tiga tahun menjadi sahabat baikku? Tidak”
Tentu saja di depan Ayah aku tidak berani membantah, karena aku pun dapat
menyelami perasaan Ayah dan secara jujur aku harus membenarkan hukuman
itu. Namun, betapapun juga, aku tidak tega untuk melakukan perintah Ayah.
Aku lalu mendatangi Bu Song di kamar tahanan, dan berunding dengannya. Aku
hendak menjalankan siasat, menyuruh teman-teman dari luar kota yang pandai
untuk tiga hari kemudian, malam-malam menyerbu dan membebaskan Bu Song.
Dengan akal demikian Bu Song akan tertolong dan aku sendiri tidak disalahkan
Ayah karena memang tahanan diserbu penjahat-penjahat pandai.” Kembali
pemuda bangsawan itu berhenti, menjadi ragu-ragu.
“Kemudian bagaimana.. Koko?” Diam-diam Suma Boan tersenyum girang
karena jalan ceritanya telah membuat hati gadis itu kembali mesra terhadapnya,
sehingga menyebutnya koko (kanda) dengan suara demikian merdu dan mesra.
52
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Tentu saja Sian Eng takkan berani menyebutnya koko kalau saja ia tidak
mendahului menyebut gadis itu adik.
“Untuk memudahkan rencanaku itu, pada malam hari ke tiganya, di depan
Ayah aku mencambuki Bu Song dan mengikatnya pada balok bersilang..”
“Seperti yang kau lakukan terhadap kakakku Bu Sin itu? Apakah kau juga
menyiksa kakak Bu Song dengan anak panahmu?”
Bukan main kagetnya hati Suma Boan mendengar pertanyaan ini. Hampir
saja ia melompat menjauhi, seakan-akan pertanyaan itu merupakan seekor ular
berbisa yang menyerangnya tiba-tiba. Akan tetapi melihat sikap Sian Eng masih
biasa, hanya pada suaranya terkandung kegetiran, ia dapat menguasai
perasaannya dan berkata.
“Dari mana kau bisa tahu tentang kakakmu Bu Sin? Apakah kau sudah
berjumpa dengannya?”
“Belum. Akan tetapi aku mendengar dari Suling Emas..”
“Ahhh” Kiranya dia pula yang telah membawa pergi Bu Sin? Heran sekali..”
“Mengapa heran? Dia seorang pendekar yang sakti.”
“Aneh sekali.. dia benar-benar orang aneh..” Suma Boan berkata lirih,
kepada diri sendiri.
“Memang dia aneh, akan tetapi sakti dan kalau tidak ada dia, agaknya aku
dan Kakak Bu Sin tentu telah tewas.”
“Kau tidak tahu akan urusannya, Moi-moi. Dengarlah baik-baik, dan kau
akan mengerti mengapa aku menjadi marah dan benci kepada Bu Song sehingga
ketika kau dan Bu Sin muncul, aku tidak dapat menahan kemarahanku. Telah
kuceritakan tadi, aku menyiksa Bu Song hanya untuk main sandiwara di depan
Ayah saja. Terang saja aku hanya mencambukinya agar Ayah percaya. Lalu aku
dan Ayah pergi meninggalkan Bu Song terikat di taman dan aku mengerti bahwa
menjelang tengah malam, tentu teman-temanku yang sudah siap akan datang
menyerbu dan membawanya lari keluar kota. Akan tetapi, apa yang terjadi?
Teman-temanku benar menyerbu, akan tetapi.. Bu Song sudah tidak ada lagi di
sana” Kegagalan ini membuka rahasiaku sehingga Ayah marah bukan main
kepadaku dan hampir aku diusirnya kalau saja Ibu tidak turut campur. Nah,
karena melanggar janji dalam rencana itulah aku menjadi benci kepada Su Song.
Apalagi setelah beberapa tahun kemudian, adikku sudah menikah dengan
53
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
pangeran tunangannya, Bu Song secara sembunyi muncul lagi dan bahkan
berani mengunjungi taman adikku, mengadakan pertemuan di sana”
“Apa..?” Sian Eng berseru dengan hati tidak karuan. Heran, penasaran, juga
terharu sekali. Demikian besarkah cinta kasih kakaknya terhadap Suma Ceng
sehingga kakaknya tidak melihat kenyataan bahwa kekasihnya itu sudah
menjadi isteri orang lain?
“Itulah sebabnya mengapa aku tidak dapat menahan sabar lagi ketika melihat
kau dan Bu Sin muncul dan mengaku sebagai adik dari Bu Song. Apalagi
terhadap Bu Sin yang ketika kuceritakan hal ini malah membela kakaknya,
sehingga kemarahanku menjadi-jadi. Baiknya aku masih ingat dan tidak
membunuhnya, dan bukan main bingung hatiku ketika melihat kau lenyap.
Syukur kau telah tertolong dari tangan Hek-giam-lo yang mengerikan.”
“Kalau begitu.. agaknya.. Kakak Bu Song memang keterlaluan. Kalau
kekasihnya, adikmu itu sudah menjadi isteri orang lain, tidak semestinya ia
datang mengunjunginya. Akan tetapi, bagaimana kau bisa tahu bahwa kita akan
dapat bertemu dengan dia di Nan-cao?”
“Dia mempunyai hubungan dengan Kerajaan Nan-cao, kita pasti akan
bertemu dengannya di sana. Kau percayalah kepadaku Adik Sian Eng.”
“Kalau aku tidak percaya kepadamu, masa aku suka ikut?”
Mereka memasuki pekarangan sebuah gedung indah. Beberapa orang
penjaga segera maju menghadang, akan tetapi mereka cepat memberi hormat
ketika melihat Suma Boan membuka pintu depan dan seorang di antara mereka
berlari-lari ke dalam untuk melaporkan kedatangan mereka. Suma Boan
mengajak Sian Eng terus ke dalam, malah dengan ramah ia menggandeng
tangan gadis itu.
Di ruangan tengah mereka disambut oleh seorang wanita yang cantik sekali
dan mengenakan pakaian mewah. Sejenak Sian Eng tercengang dan kagum.
Wanita itu lebih tua beberapa tahun daripadanya, wajahnya yang cantik jelita
membayangkan keagungan, rambutnya yang panjang hitam itu digelung indah
dan dihias permata mutu manikam. Sepasang matanya yang bersinar-sinar,
dagunya yang runcing dan tubuhnya yang langsing padat mengingatkan ia akan
Lin Lin. Akan tetapi, tentu saja berlainan sekali karena Lin Lin mempunyai
kecantikan yang asing, sedangkan wanita ini adalah seorang yang cantik seperti
54
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
dewi dalam gambar. Ia cepat-cepat menjura dengan hormat ketika wanita itu
berkata, suaranya halus dengan gerak-gerik yang lemah gemulai.
“Twako, malam-malam begini kau datang mengunjungiku, dari manakah dan
ada keperluan apa? Dan adik ini, siapa?”
Sian Eng kini memandang sekali lagi, dengan penuh perhatian setelah
mengerti bahwa inilah kiranya wanita yang menjadi kekasih hati kakaknya. Ah,
pantas saja kakak sulungnya tergila-gila, karena memang wanita ini hebat.
Diam-diam ia menaruh kasihan kepada kakaknya, juga kepada wanita ini, yang
ternyata telah gagal dalam percintaan.
“Ceng-moi aku mempunyai urusan di kota raja sehingga agak terlambat
datang ke sini. Besok pagi-pagi aku akan berangkat ke selatan, menghadiri pesta
Agama Beng-kauw di Nan-cao bersama Nona Sian Eng ini. Maafkan kalau aku
mengganggu, tapi mana suamimu?”
Pandang mata Sian Eng yang tajam menangkap wajah yang tiba-tiba muram
itu, dan suaranya yang halus merdu tadi berubah tergetar membayangkan batin
yang tertekan,
“Ah.. dia tidak berada di rumah, semenjak sore tadi pergi bersama temantemannya..”
kemudian suaranya meninggi, wajahnya berseri lagi seakan-akan ia
memaksa diri melupakan hal itu dan mengubah percakapan.
“Adik ini tentu lihai sekali ilmu pedangnya. Adik, kau murid siapa, Twako,
biarkan dia tidur bersamaku agar kami dapat bercakap-cakap, kau sendiri
pakailah kamar di sebelah timur. Akan kuperintahkan pelayan
membereskannya.”
Suma Boan tersenyum, menyatakan baik lalu meninggalkan dua orang
wanita itu. Akan tetapi sebelum lenyap di ruangan lain, terdengar suaranya.
“Asal kau tahu saja bahwa Adik Sian Eng adalah adik dari Bu Song.”
Suma Ceng menahan seruannya dengan menaruh tangan kiri di depan mulut,
matanya terbelalak memandang Sian Eng, wajahnya menjadi pucat” Sian Eng
makin kasihan melihat ini dan maklumlah ia bahwa biarpun wanita ini sudah
bersuamikan orang lain namun tetap mencinta kakaknya. Ia cepat memegang
tangan Suma Ceng dan berkata,
“Enci, harap kau jangan kaget. Pertemuan ini tidak kusengaja, hanya
kebetulan saja. Baru saja aku mendengar tentang kakakku dan kau. Selama
hidupku belum pernah aku bertemu dengan Kakak Bu Song dan sekarang aku
55
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
sedang mencarinya. Suma-kongcu menyatakan bahwa kalau aku ikut dengannya
ke Nan-cao, pasti aku akan dapat bertemu dengan Kakak Bu Song di sana.”
Suma Ceng menarik tangan Sian Eng. “Adik Sian Eng, marilah kita bicara di
dalam kamarku..” Dari suaranya, tahulah Sian Eng bahwa wanita itu menahan
isak, agaknya menjadi amat terharu. Maka ia pun mengikutinya dengan hati
berdebar karena ia merasa yakin bahwa dari mulut yang mungil ini ia akan dapat
mendengar banyak tentang diri kakaknya.
***
“Heeeiiiii” Dengar kalian semua” Aku Si Suling Emas selamanya tidak
pernah bermusuhan dengan orang-orang Nan-ping maupun Nan-han dan
kerajaan-kerajaan di selatan lainnya. Mundurlah dan biarkan kami lewat, kami
sedang menuju ke Nan-cao untuk menghadiri perayaan Beng-kauw di sana.
Mundur, aku tidak suka membunuh kalian”
Biarpun teriakan Suling Emas itu bagaikan halilintar dan sulingnya
digerakkan menjadi segulungan awan kuning yang hebat, ditambah pula di
sebelahnya terdapat Lin Lin yang juga menggerakkan pedangnya sehingga
gulungan sinar kuning yang lebih muda menyilaukan mata dan mengandung
hawa dingin mengancam para pengurung, namun puluhan orang yang
mengurung mereka itu tidak mau mundur, malah mendesak makin hebat.
“Jangan kira aku takut, tikus-tikus tak tahu diri” Suling Emas membentak
dan terdengarlah bunyi senjata yang patah-patah ketika sulingnya bergerak
membabat pedang dan golok yang malang-melintang di depannya, “Lin Lin,
serang dan robohkan mereka, tapi jangan bunuh”
Akan tetapi jumlah pengeroyok makin banyak dan mereka berteriak-teriak,
“Bunuh anjing pengkhianat” Jangan percaya omongan anjing penjilat Sung
Utara”
Suling Emas dan Lin Lin dalam perjalanan mereka tiba di luar kota Ban-in di
pinggir Sungai Yang-ce-kiang, dan di tempat inilah mereka dihadang kemudian
dikeroyok oleh banyak sekali orang yang kesemuanya mahir ilmu silat dan
membawa senjata. Hal ini saja cukup membayangkan bahwa mereka ini
memang sudah berjaga di situ, dan bahwa pencegatan terhadap Suling Emas dan
Lin Lin memang sudah diatur lebih dulu.
Biarpun puluhan orang pengeroyok itu adalah orang-orang yang melihat
gerakan-gerakannya, ternyata pandai mainkan senjata tajam, namun mereka
56
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
bukanlah lawan Lin Ling apalagi Suling Emas. Sebentar saja, golok-golok dan
pedang-pedang berpelantingan, dan tubuh-tubuh terluka roboh saling tindih.
Tiba-tiba terdengar suara gerengan yang menggetarkan bumi. Agaknya suara ini
merupakan komando karena para pengeroyok makin nekat dan mendesak,
kemudian muncullah di antara para pengeroyok itu dua orang yang hebat-hebat.
Mereka adalah dua orang laki-laki tua yang hampir telanjang. Hanya cawat dan
celana yang menutupi tubuh mereka. Biarpun keduanya sama menjijikkan
seperti binatang atau manusia hutan yang liar, namun keadaan mereka jauh
berbeda.
Yang seorang bertubuh gemuk dan di tengkuknya terdapat daging punuk
yang besar seperti punuk di punggung sapi jantan. Kedua lengannya panjang
berbulu, kelihatan kuat sekali sedangkan sepuluh jari tangannya berkuku
panjang dan kotor. Kepalanya gundul, mata dan mulutnya membayangkan
kebuasan yang mengerikan. Orang ke dua tinggi kurus, juga tak berbaju, hanya
bercawat, juga gundul dan mukanya sama buas dan mengerikan. Kita pernah
bertemu dengan yang tinggi kurus itu, karena ia bukan lain adalah Tok-sim Lotong,
sahabat baik It-gan Kai-ong yang melakukan perjalanan bersama Suma
Boan. Adapun yang gendut itu juga bukan tokoh sembarangan, karena dia
adalah kakak Si Tinggi Kurus, berjuluk Toat-beng Koai-jin (Manusia Aneh
Pencabut Nyawa)” Seperti juga Tok-sim Lo-tong, Toat-beng Koai-jin ini
termasuk seorang di antara Thian-te Liok-koai Si Enam Jahat.
Melihat munculnya dua orang kakak beradik ini, kagetlah Suling Emas, akan
tetapi ia pun menjadi marah sekali.
“Aha, kiranya Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong dua manusia buas
yang berdiri di belakang semua ini? Kalian mau apa?”
“Heh-heh, Suling Emas, menyerah kau dan gadis itu”
Toat-beng Koai-jin menggeram, air liurnya menetes dari pinggir mulut. Lin
Lin mengkirik penuh kengerian.
“Suling Emas, menyerahlah menjadi tawananku kalau mau selamat”
Si Tinggi Kurus Tok-sim Lo-tong mengeluarkan suaranya yang tak enak
didengar.
Tiba-tiba Suling Emas tersenyum lebar dan Lin Lin yang menoleh kepadanya
menjadi bengong. Baru kali ini ia melihat Suling Emas tersenyum lebar.
57
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Wajahnya berubah sekali, kemuraman lenyap, wajah itu berseri-seri menjadi
amat tampan. Alangkah inginnya dapat melihat Suling Emas seperti itu selalu”
“Kalian kira aku manusia macam apa, bisa kalian ancam untuk menyerah?”
“Heh-heh, aku tahu kau tentu melawan. Lebih baik lagi, tinggal menyeret
bangkaimu kubawa pulang”
Toat-beng Koai-jin terkekeh lalu menerjang maju, menubruk Lin Lin.
Gerakannya kelihatan lambat, tubuhnya begitu besar dan kaku akan tetapi entah
bagaimana, tubrukan ini hampir tak terhindarkan oleh Lin Lin” Baiknya ia cepat
mengayun pedang yang menjadi sinar kuning berkelebat di depan tubuhnya,
merupakan senjata yang amat kuat dan agaknya Toat-beng Koai-jin maklum
pula akan keampuhan pedang pusaka ini maka ia menggeram dan mengubah
gerakan menubruk menjadi gerakan mencengkeram dari samping bawah”
Sementara itu, Tok-sim Lo-tong juga sudah mengeluarkan senja istimewa,
yaitu seekor ular yang besar dan panjang. Ular dilibatkan di leher dan pinggang,
ia sendiri memegang leher ular dan bersilatlah ia dengan kacau-balau menerjang
Suling Emas. Biarpun kelihatannya ia berjingkrak dan bersilat kacau-balau
seperti itu, namun Suling Emas yang sudah mengenalnya maklum bahwa Si
Tinggi Kurus ini amat hebat kepandaiannya. Justeru di dalam kekacau-balauan
gerakan inilah terletak kekuatannya, apalagi “senjata” ular hidup itu bisa mulur
dan mengkeret, amat sukar diduga perkembangannya. Angin pukulan yang
menyambar-nyambar disertai bau amis dan berbisa, membayangkan teraga sinkang
yang mujijat, bercampuran dengan hawa ilmu hitam dan hawa beracun. Di
samping ini, masih banyak sekali orang yang mengeroyok Suling Emas dari
kanan kiri dan belakangnya.
Mendapat lawan Tok-sim Lo-tong yang lihai ditambah banyak pengeroyok
itu sama sekali tidak membikin gentar hati Suling Emas, akan tetapi yang
membuat ia khawatir sekali adalah keadaan Lin Lin. Ia maklum bahwa
betapapun lihainya Lin Lin dengan ilmu warisan dari Kim-lun Seng-jin, namun
gadis itu masih jauh belum cukup kuat untuk menandingi seorang lawan yang
seperti Toat-beng Koai-jin, seorang di antara Thian-te Liok-koai.
“He, Toat-beng Si Lembu Edan, tidak malukah kau melawan seorang gadis
cilik? Hayo kau sekalian maju mengeroyokku” bentak Suling Emas seraya
mainkan sulingnya sedemikian rupa sehingga gulungan sinar sulingnya itu
menahan semua pengeroyok.
58
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Akan tetapi, kiranya malah Lin Lin yang menjawab,
“Siapa gadis cilik? Aku bukan kanak-kanak lagi. Monyet gundul liar
menjemukan, jangan dengarkan dia, hayo kaulayani pedangku kalau memang
berani” Lihat, ujung pedangku akan mendodet perutmu yang gendut kebanyakan
makan itu”
Lin Lin menerjang hebat sambil memutar pedangnya dan dengan hati-hati,
karena maklum akan kelihaian lawan, ia mainkan ilmunya Khong-in-liu-san
sambil mengerahkan tenaga sakti dengan Ilmu Khong-in-ban-kin.
Toat-beng Koai-jin yang tadinya memandang rendah dan menyerbu gadis itu
sambil tertawa-tawa, diam-diam kaget juga karena ini. Biarpun ia kelihatan buas
dan liar seperti orang hutan, namun dalam hal ilmu silat di dunia kang-ouw,
sebagian besar telah dikenalnya, maka ia mengenal pula Ilmu Khong-in (Awan
Kosong) ini.
“Heh, kau murid Kim-lun Seng-jin? Bagus, tentu gurih dagingmu dibakar
setengah matang. Heh-heh” Tiba-tiba kakek liar ini menyambar dua orang
pengeroyok suling Emas, memegang pada kakinya dan menggunakan dua
“senjata hidup” ini menerjang Lin Lin.
Lin Lin kaget setengah mati. Terpaksa ia menggerakkan pedang menangkis.
“Crak” Crak” Darah menyembur karena tubuh dua orang itu terbabat putus
oleh pedangnya” Kakek itu tertawa-tawa dan.. menggelogok darah yang
tersembur keluar itu ke dalam mulutnya, seperti orang kehausan minum air es”
Kemudian ia melemparkan dua mayat itu dan sekali lagi ia menyambat kaki
dua orang pengeroyok.
Lin Lin meramkan matanya melihat kakek itu minum darah, wajahnya
menjadi pucat dan kakinya menggigil. Tapi kembali Toat-beng Koai-lojin sudah
menerjagnya dengan dua “senjata hidup”. Lin Lin kewalahan, terpaksa kembali
ia menangkis dan kembali dua orang itu mati seketika dengan perut dan dada
terbelah. Tangan Lin Lin yang memegang pedang gemetar dan sebelum ia tahu
apa yang terjadi, tiba-tiba kakek itu telah menubruknya dan sebuah ketukan
keras pada pergelangan tangannya membuat Lin Lin terpaksa melepaskan
pedangnya. Tubuhnya tiba-tiba menjadi lemas dan ia sudah disambar oleh Toatbeng
Koai-jin yang tertawa terkekeh-kekeh sambil membawa lari tubuh tin Lin
yang lemas.
59
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
“Toat-beng Koai-jin, kalau kau mengganggu dia, aku bersumpah akan
menyiksamu dan memotong-motong dagingmu sekerat demi sekerat” Bentakan
Suling Emas ini keras sekali dan tiba-tiba sulingnya melakukan gerakan-gerakan
aneh sekali, begitu halus akan tetapi mengandung kekuatan yang bukan main
sehingga dalam sekejap mata enam orang pengeroyok terguling roboh
sedangkan Tok-sim Lo-tong sendiri terdorong mundur sampai lima langkah.
“Ihhhhh.. ilmu apakah ini..?” Tok-sim Lo-tong berseru kaget, akan tetapi ia
mendesak lagi, dibantu oleh para pengeroyok yang nekat, menghalangi Suling
Emas mengejar Toat-beng Koai-jin. Memang hebat gerakan Suling Emas tadi.
Dalam kemarahan dan kegelisahannya melihat Lin Lin tertawan, ia tadi mainkan
jurus dari ilmu silat yang ia terima dari Bu Kek Siansu. Girang hatinya melihat
hasil ini, dan tahulah ia bahwa ilmu silat sastra ini sama sekali tidak dikenal
Tok-sim Lo-tong sehingga tentu saja hasilnya amat baik. Cepat sulingnya
bergerak lagi, membuat huruf KOK (Negara). Huruf ini mengandung gerakan
dalam yang rumit, akan tetapi dilingkari garis-garis segi empat yang
melengkung. Kembali empat orang pengeroyok roboh dan ketika tubuh Suling
Emas melayang dalam pembuatan gerakan melingkar, tahu-tahu ia telah bebas
dari pengepungan dan cepat ia berkelebat mengejar ke arah larinya Toat-beng
Koai-jin. Akan tetapi yang dikejar telah lenyap, tidak tampak bayangannya lagi.
Suling Emas memasuki kota Ban-sin, langsung menuju ke rumah Ouwkauwsu,
seorang guru silat di kota itu yang dikenalnya. Ouw-kauwsu terkejut
dan girang bukan main melihat munculnya pendekar sakti ini. Cepat ia menjura
dengan hormat dan dengan wajah berseri-seri ia berkata.
“Wah, tak pernah mimpi siauwte akan menerima kehormatan besar dengan
kunjungan Taihiap “
“Ouw-kauwsu, ada urusan penting. Maaf, aku ingin singkat saja. Tahukah
kau di mana aku dapat menjumpai Toat-beng Koai-jin? Lekas, sekarang juga”
Berubah wajah Ouw-kauwsu, terang bahwa dia menjadi ketakutan.
“Memang.. memang kulihat dia dalam bulan ini berada di Ban-sin, biasanya

dia di.. di dalam kuil..”

Bersambung...

No comments:

Post a Comment