Tuesday, January 31, 2017

Cinta Bernoda Darah 01 - Mini Serial #25

Cinta Bernoda Darah #25
Cerita Silat Kho Ping Hoo: Cinta Bernoda Darah 01 - Mini Serial #25
=========================================
“Kami adalah keluarga Kam, tinggal di dusun Ting-chun di kaki
Gunung Cin-ling-san. Ayah kami..”
“Jenderal Kam.”
Sian Eng terkejut dan kembali ia menjadi curiga.
“Bagaimana kau bisa tahu?”
Masih tetap merenung dan memandang api, Suling Emas menjawab
tak acuh.

“Banyak tokoh kukenal. Jenderal Kam bukanlah orang yang tidak
ternama. Teruskanlah.”
Sian Eng melanjutkan penuturannya, semenjak munculnya Giam Sui
Lok sampai dengan terbunuhnya Kam Si Ek suami isteri dan juga Giam
Sui Lok dalam keadaan mengerikan. Ia menceritakan semuanya, malah
urusan kakaknya, Kam Bu Song yang harus mereka cari itu pun ia
ceritakan kepada Suling Emas. Panjang ceritanya, memakan waktu
seperempat jam untuk menceritakan semua dengan jelas. Dan selama
itu, Suling Emas duduk menghadapi api tanpa bergerak. Tak pernah
menoleh kepadanya, tak pernah pula memotong ceritanya sehingga
kadang-kadang Sian Eng meragu apakah ia didengar orang. Ia merasa
seperti bercerita kepada sebatang pohon atau kepada sebuah patung”
“Begitulah, kami bertiga berangkat meninggalkan kampung halaman,
pergi menuju ke kota raja untuk mencari musuh besar kami dan juga
kakak kami Kam Bu Song. Akan tetapi, belum tercapai maksud kami dan
belum selesai tugas kami, musuh belum terdapat, kakak belum bertemu,
kami sudah cerai-berai tertimpa malapetaka.”
Dengan ringkas Sian Eng menceritakan betapa adiknya, Lin Lin,
lenyap di atas gedung keluarga bangsawan Suma di An-sui. Kemudian
210
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
betapa dia dan kakaknya, Bu Sin, yang mendatangi keluarga Suma
untuk bertanya tentang kakak mereka, diserang dan ditangkap oleh
Suma Boan.
“Tak tahu aku bagaimana akan nasib Sin-ko.” Ia mengakhiri ceritanya
dengan suara penuh kegelisahan.
“Tak perlu gelisah. Dia selamat.”
“Bagaimana kau tahu?” Sian Eng bertanya, nada suaranya gembira
dan lega bukan main. Tadinya ia mengira bahwa kakaknya itu mungkin
sekali tewas dalam tangan putera pangeran yang jahat dan lihai itu. “Ah,
tentu kau telah menolongnya pula, bukan?”
“Menolong sih tidak, hanya aku melihat dia diikat, luka-luka oleh anak
panah Suma Boan. Tak dapat aku membiarkan dia mati begitu, kuambil
dia dan sekarang dia sudah bebas daripada bahaya. Kalian bertiga
sungguh tak tahu diri..”
Sian Eng mengerutkan kening. Kalau saja ia tidak ingat bahwa orang
ini sudah menolongnya, juga sudah menyelamatkan Bu Sin, tentu ia
akan marah sekali. Kata-kata yang tidak hanya mencela, akan tetapi
juga sifatnya memandang rendah, bahkan menghina.
“Kau sudah menolong kami, patut aku berterima kasih kepadamu.
Akan tetapi, mengapa kau melakukan semua ini? Mengapa kau
menolong kami apa pula maksud kata-katamu tadi bahwa kami adalah
tiga orang yang tak tahu diri?”
Suling Emas bangkit berdiri untuk mengumpulkan ranting di sekitar
tempat itu, kemudian ia membanting ranting-ranting kering itu dekat api
unggun dan berkata, suaranya seperti orang marah,
“Kalian bertiga dengan kepandaian yang tidak berarti begitu berani
mati melakukan perantauan untuk mencari musuh besar yang belum
diketahui siapa” Sungguh menyia-nyiakan usia muda. Apa yang kalian
dapat lakukan kalau bertemu dengan orang-orang jahat? Bagaimana
seandainya bertemu dengan orang yang membunuh ayah bundamu?”
Sian Eng maklum akan maksud kata-kata Suling Emas, tahu bahwa
kepandaian mereka bertiga memang masih jauh jika dibandingkan
211
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
dengan kepandaian beberapa orang tokoh besar dalam dunia kang-ouw.
Akan tetapi tadinya ketika mereka melakukan perantauan, mereka sama
sekali tidak mengira akan hal ini, sama sekali tidak pernah mengira
bahwa di dunia ini begitu banyaknya orang pandai, orang aneh dan
orang jahat. Betapapun juga, ia tetap tidak menjadi jerih.
“Kalau bertemu, biar kepandaiannya setinggi langit, aku akan
melawannya dan mengajaknya bertanding mati-matian” Sian Eng
menjawab dengan suara lantang.
Suling Emas mendengus.
“Huh, mudah saja bicara. Kau anak kecil..”
Sian Eng mau marah, tapi tidak dapat. Betapapun jugat ia memang
merasa seperti anak kecil di depan pemuda yang aneh ini, yang bersikap
begitu alim, pendiam dan serius.
“Memang aku anak kecil, biarlah, memang tidak setua engkau,” katakata
ini untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya. Suling Emas
menoleh, agak tersenyum dan aneh sekali. Mendadak saja kemarahan
Sian Eng lenyap dan ia merasa seakan-akan sudah lama mengenal orang
ini, sudah sering kali bertemu. Hal yang tidak mungkin. Barangkali
bertemu dalam alam mimpi”
“Dan kenapa kau menolongku, menolong Sin-ko?”
“Siapa menolong siapa? Aku tidak menolong siapa-siapa, hanya
melakukan kewajiban sebagai manusia. Kesembronoan kalian bertiga
sudah membawa korban. Adikmu yang paling kecil itu hilang, kaubilang
tadi ia meninggalkan surat dan menyatakan bahwa ia dibawa pergi Kimlun
Seng-jin? Untung bertemu dengan Kim-lun Seng-jin. Kalau yang
membawa itu seorang di antara Thian-te Liok-koai (Enam Setan),
apakah tidak celaka sekali?”
Sian Eng memandang heran. Orang ini tidak mau disebut menolong,
sikapnya acuh tak acuh, tidak peduli, akan tetapi kadang-kadang bisa
marah-marah. Memang aneh sekali, membuat ia bingung. Ah, kalau saja
ada Lin Lin di sini, pikirnya, tentu kau akan tahu rasa. Lin Lin wataknya
tidak kalah anehnya, dan adiknya itu pandai sekali bicara, pandai
berdebat dan andaikata di situ ada Lin Lin, agaknya keadaannya akan
212
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
berubah. Suling Emas ini tentu akan menjadi gelagapan dan gagap
gugup menghadapi serangan bicara Lin Lin.
“Tak perlu kau marah-marah kepadaku,” akhirnya ia berkata, “kau
mau menolong atau tidak, terserah. Juga kau mau memberi tahu
kepadaku, kalau kau mengetahuinya, siapa adanya pembunuh ayah
bundaku dan di mana pula adanya kakakku Bu Song, terserah.”
Suling Emas kembali membuang muka memandang api unggun.
Wajahnya yang tadi agak berseri dan tampak sekali ketampanannya,
sekarang kembali menjadi suram-muram seperti wajah patung mati.
Setelah menarik napas beberapa kali dan menambah ranting pada api, ia
berkata.
“Siapa yang membunuh ayah bundamu, aku tidak tahu. Terang
bukanlah aku. Akan tetapi karena kau dan saudara-saudaramu
menuduhku, aku akan berusaha mendapatkan siapa pembunuh itu.
Tentang pelajar bernama Bu Song itu, setahuku dia sudah mati”
Kaget sekali hati Sian Eng mendengar berita terakhir ini, apalagi
Suling Emas kelihatannya tidak senang ketika bicara tentang kakaknya,
Bu Song.
“Bagaimana kau bisa tahu? Kenalkah kau dengan kakakku Bu Song?
Bagaimana matinya? Harap kau suka bercerita kepadaku.”
“Tidak ada yang dapat diceritakan tentang diri pemuda tolol itu.
Kenyataan bahwa dia meninggalkan ayahnya dan tak pernah kembali
atau memberi kabar membuktikan bahwa dia tidak berharga untuk
dipikirkan lagi. Mengapa kau bersama saudara-saudaramu bersitegang
hendak mencarinya?”
Sian Eng tidak menjawab dan mendengar bahwa kakak sulung yang
sedang dicari-cari itu telah meninggal dunia, tak dapat ditahannya lagi ia
menangis terisak-isak. Suling Emas membiarkan ia menangis sampai
lama. Baru kemudian terdengar ia berkata.
“Sudahlah, ditangisi air mata darah sekalipun tiada gunanya. Lebih
baik kau memikirkan keadaan saudara-saudaramu yang masih ada.
Kakakmu Bu Sin selamat dan tentu berada di tempat tidak jauh dari kota
raja. Besok kita pergi ke sana dan aku akan mengantarmu sampai di
213
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
kota raja. Kemudian, kalau aku dapat bertemu dengan orang aneh Kimlun
Seng-jin, akan kupesan agar dia mengembalikan adikmu yang
bernama Lin Lin itu. Kemudian kalian bertiga lebih baik pulang ke Tingchun
di kaki Gunung Cin-ling-san. Sekarang kau tidurlah.” Setelah
berkata demikian, Suling Emas duduk menjauhi Sian Eng, kembali
merenung dekat api unggun.
Sian Eng maklum bahwa percuma mengajak bicara orang aneh ini,
maka ia pun membaringkan tubuh. Sampai jauh malam masih terdengar
beberapa kali ia mengisak. Akan tetapi kelelahan dan kedukaan
membuat ia tertidur.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sian Eng sudah terbangun
dan alangkah herannya ketika ia melihat pakaian terletak di dekatnya. Ia
cepat bangkit duduk. Suling Emas telah menggosok-gosok tubuh
kudanya dan tak jauh dari situ terdapat api unggun. Sian Eng tertegun
memandang. Orang aneh yang telah menolongnya itu sedang
bersenandung. Entah apa yang dinyanyikannya karena terlalu periahan
untuk dapat ditangkap pendengarannya, akan tetapi Sian Eng
mendengar suara yang menggetar penuh perasaan dalam lagu sedih
yang disenandungkan itu. Bau hangus membuat ia cepat memandang
api unggun dan kiranya di atas api itu terpanggang sepotong besar
daging.
“Daging hangus..” Otomatis Sian Eng melompat, menutupkan jubah
hitam yang terbuka di bagian dada, lari menghampiri daging itu dan
membaliknya.
Suara senandung menghilang.
“Wah, aku lupa..” Rusakkah dagingnya?” Suling Emas sudah
mendekat.
“Tidak, hanya hangus sedikit.., Pakaian itu.. punya siapa?”
“Kau pakailah. Malam tadi kudapatkan dari dusun di sana.”
Setelah berkata demikian, Suling Emas meninggalkan Sian Eng,
kembali pada kudanya dan melanjutkan menggosok-gosok tubuh
kudanya, berdiri membelakangi gadis itu. Sian Eng memandang
wajahnya agak merah, dadanya berdegup aneh. Orang yang selama ini
214
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
disangkanya musuh besar pembunuh ayah bundanya, kiranya seorang
penolong dan seorang yang amat baik, orang yang menarik hatinya. Tak
mungkin, Sian Eng membantah di dalam hatinya, dia jauh lebih tua
dariku, dia orang aneh. Gadis ini mengusir perasaan tertarik di hatinya,
bersembunyi di belakang sebatang pohon besar untuk mengganti
pakaian. Beberapa menit kemudian ia telah bersalin pakaian. Jubah
hitam milik Suling Emas ia lipat baik-baik, kemudian ia menghampiri
daging panggang yang sudah masak.
“Dagingnya sudah matang” ia berteriak pada punggung yang lebar
itu.
Suling Emas membalikkan tubuhnya, memandang dan tersenyum
sedikit melihat Sian Eng telah berganti pakaian. Sian Eng yang
mengharapkan datangnya ucapan pujian dari mulut Suling Emas,
kecewa karena orang itu tidak berkata sesuatu.
“Ini jubahmu, terima kasih,” Sian Eng mengembalikan lipatan jubah
hitam. Suling Emas menerimanya tanpa berkata sesuatu, terus jubah itu
dipakainya.
“Kita sarapan daging panggang lalu berangkat ke kota raja,” katanya
singkat. Sian Eng hanya mengangguk dan keduanya lalu makan daging
panggang dan kue kering yang menjadi bekal Suling Emas.
Setelah selesai makan, Suling Emas berkata, suaranya serius,
“Jangan menyangka yang bukan-bukan. Kau harus membonceng
kuda di depanku agar perjalanan dapat dilakukan lebih cepat. Mudahmudahan
sesampainya di kota raja, kau akan dapat bertemu dengan
kakakmu Bu Sin. Silakan”
Kalau saja kata-kata itu tidak diucapkan demikian serius dan wajah
Suling Emas yang tampan itu kelihatan angker, tentu Sian Eng akan
menjadi malu dan mungkin tak sudi ia berboncengan di atas seekor kuda
dengan orang ini. Akan tetapi karena ia ingin segera bertemu kembali
dengan saudaranya, ia tidak mau membantah. Dengan ringan ia
bergerak, tubuhnya meloncat ke atas punggung kuda. Tiba-tiba kuda itu
melonjak dan berlari cepat sekali seperti terbang. Sian Eng terkejut. Di
mana Suling Emas? Apakah ia dibawa kabur kuda dan Suling Emas
215
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
tertinggal di belakang? Dalam gugupnya ia menengok dan.. hampir saja
dia beradu hidung dengan orang yang duduk di belakangnya”
Kiranya Suling Emas sudah duduk di belakangnya, agak di belakang
sehingga tubuh mereka tidak bersentuhan. Agaknya orang ini demikian
ringan gerakannya sehingga ia sama sekali tidak tahu bahwa dia sudah
berada di belakangnya tadi. Cepat Sian Eng membalikkan mukanya yang
menjadi merah sekali dan diam-diam ia amat kagum akan kehebatan
kepandaian orang ini, juga kagum akan kesopanannya. Biarpun ia duduk
berboncengan seperti itu, namun ia tidak merasa kikuk karena Suling
Emas benar-benar berlaku sopan, duduknya agak jauh di belakang.
Memang benar ucapan Suling Emas. Kuda itu luar biasa larinya, cepat
seperti terbang dan andaikata mereka melakukan perjalanan tanpa
kuda, tentu akan lebih melelahkan, juga lambat. Suling Emas melakukan
perjalanan cepat dan terus-menerus, hanya berhenti dua kali sehari.
Bahkan kadang-kadang di malam hari mereka melanjutkan perjalanan.
Makin lama, makin percaya Sian Eng kepada orang aneh ini. Di dekat
Suling Emas, ia merasa aman tenteram, kecurigaannya lenyap sama
sekali dan ia memandang orang ini sebagai seorang pendekar besar
yang amat mengagumkan. Yang ia sayangkan, Suling Emas orangnya
pendiam, tak pernah mau bicara kalau tidak ditanya. Menjawab
pertanyaan pun hanya singkat-singkat seperlunya saja. Hal ini
mengecewakan hati Sian Eng karena gadis ini ingin sekali mendengar
riwayat hidup orang aneh yang mengagumkan hatinya ini.
Ketika memasuki pintu gerbang kota raja pagi hari itu, banyak orang
memandang mereka dengan kagum dan heran. Kagum karena melihat
kuda besar bagus ditunggangi sepasang orang muda yang elok dan
gagah. Agaknya Suling Emas hendak menyembunyikan dirinya karena ia
telah menggunakan sehelai saputangan untuk menutupi gambar suling
di dadanya. Namun telinga Sian Eng masih dapat menangkap beberapa
orang di pinggir jalan berbisik,
“Dia.. Suling Emas..”
Suling Emas menghentikan kudanya di dalam pekarangan lebar
sebuah kelenteng, mengajak Sian Eng turun. Di ruangan depan mereka
216
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
disambut oleh beberapa orang hwesio yang segera memberi hormat
kepada Suling Emas.
“Harap para Losuhu sudi menerima Nona Kam ini sebagai tamu
terhormat dan membantunya dalam usahanya menjumpai saudaranya di
kota raja.”
“Omitohud.. tentu saja, Taihiap” Silakan masuk, Nona.. dan
anggaplah di sini sebagai tempait tinggalmu sendiri,” kata hwesio tua itu
dengan ramah tamah. “Apakah Taihiap tidak keberatan untuk singgah
dulu dan minum teh?”
“Terima kasih, Losuhu. Saya masih mempunyai banyak urusan.”
Kemudian ia menoleh kepada San Eng dan berkata. “Di kelenteng ini,
kau berada di tempat yang aman, dan dengan bantuan para Losuhu di
sini, kalau saudaramu berada di kota raja, tentu kau dapat bertemu
dengannya. Ingat, kalau kalian bertiga sudah saling bertemu dan
berkumpul, satu-satunya hal terbaik bagi kalian adalah kembali ke Tingchun.
Nah, selamat berpisah.” Suling Emas memberi hormat kepada
pendeta kepala, lalu meloncat di atas punggung kudanya yang lari cepat
meninggalkan tempat itu.
Sian Eng berdiri bengong, tak dapat berkata sesuatu. Apa yang dapat
ia katakan? Berkumpul dengan orang itu, melakukan perjalanan bersama
beberapa hari, telah membuktikan keluhuran budi Suling Emas,
kesopanannya, akan tetapi juga keanehannya. Agaknya ada sesuatu
yang menekan perasaan orang itu, ada sesuatu yang dideritanya di
dalam batin, yang membuatnya tampak pendiam, tidak pedulian, dan
wajahnya yang tampan selalu muram seperti matahari yang selalu
tertutup mendung di musim hujan. Tiba-tiba ia menoleh kepada pendeta
kepala hwesio yang gendut peramah itu.
“Losuhu, dia itu.. Suling Emas itu.. orang macam apakah dia?”
pertanyaan yang aneh ini keluar begitu saja dari mulut Sian Eng,
langsung sebagai peluapan hatinya. Untung yang diajak bicara adalah
seorang hwesio tua, kalau orang lain tentu akan memalukan sekali.
Hwesio itu hanya tertawa, kemudian menjawab.
217
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
“Bukan hanya kau yang mengajukan pertanyaan seperti ini, Nona.
Banyak orang, di antaranya pinceng sendiri” Tapi, siapa dapat
menjawab? Kalau pinceng yang menjawab hanya begini: dia itu seorang
pendekar besar yang berwatak aneh, kalau sedang menolong orang
bijaksana seperti dewa, kalau menghadapi lawan ganas seperti iblis.
Itulah Suling Emas, dan tidak pernah ada orang yang dapat
menceritakan siapa dia. Tapi bagi kami, sudah cukup kalau mengetahui
bahwa dia itu seorang yang baik, selalu berpihak kepada yang benar
biarpun kadang-kadang amat sulit untuk dimengerti, Nona, kami
menerima perintahnya, harus kami kerjakan baik-baik. Silakan masuk,
Nona, ada sebuah kamar yang bersih untukmu. Tentang saudaramu,
nanti kita bicarakan dan tentu para murid di sini siap untuk
membantumu mencarinya, kalau betul dia itu berada di dalam kota raja.”
Lega hati Sian Eng, sungguhpun keterangan tentang diri Suling Emas
itu membuat hatinya makin penasaran dan ingin tahu. Ia memasuki
kelenteng dan memang benar, para hwesio melayaninya penuh
penghormatan dan kesopanan sehingga Sian Eng tidak ragu-ragu untuk
mengajak mereka itu merundingkan tentang kedua saudaranya yang
berpisah darinya. Ia memberi gambaran tentang diri Bu Sin dan Lin Lin
dan memesan agar para hwesio yang melihat kedua orang ini di kota
raja, segera memberi tahu kepadanya. Para hwesio itu tampak
bersemangat sekali membantu Sian Eng, dan gadis ini maklum bahwa
semangat ini timbul karena keyakinan bahwa membantu Sian Eng berarti
membantu Suling Emas dengan melaksanakan perintahnya”
Makin kagumlah hatinya terhadap orang rahasia yang sanggup
membikin orang-orang alim seperti hwesio-hwesio ini demikian tunduk
dan setia. Tentu saja dia tidak tahu bahwa para hwesio itu, juga banyak
sekali orang-orang di kota raja, telah berhutang budi besar kepada
Suling Emas.
Di bagian depan telah kita ketahui bahwa Lin Lin yang ditemani Lie
Bok Liong, dengan penuh harapan melakukan perjalanan ke kota raja.
Hatinya girang sekali karena memang amat ingin ia bertemu dengan
Suling Emas yang disangka menjadi pembunuh dari Jenderal Kam Si Ek
dan isterinya. Untung ia mendengar percakapan antara Suma-kongcu
218
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
dan para tokoh pengemis yang menyatakan bahwa Suling Emas berada
di gedung perpustakaan istana. Kita ikuti kembali perjalanan mereka
berdua.
Mereka telah berhasil melarikan diri dari gedung keluarga Suma di Ansui
sebelah barat kota raja, dan melanjutkan perjalanan di malam hari
terang bulan. Mereka berjalan seenaknya, bercakap-cakap gembira.
Begitu gembira, begitu aman seakan-akan tidak ada bahaya sesuatu
yang mengintai.
Memang Lin Lin seorang gadis remaja yang gembira dan masih belum
berpengalaman, maka ia pun enak saja melakukan perjalanan dan
bercakap-cakap bersama Lie Bok Liong. Gadis yang masih hijau ini sama
sekali tidak tahu akan bahaya yang mengancam. Adapun Lie Bok Liong,
dia adalah seorang pendekar muda yang sudah kenyang pengalaman,
biasanya amat hati-hati, waspada dan berpandangan luas dan jauh,
berwatak jujur dan berhati mulia. Akan tetap pada malam hari itu,
hatinya rusak, kacau-balau oleh juita di sampingnya. Sudah dua kali ia
menempiling jidatnya sendiri karena timbul pikiran yang bukan-bukan
terhadap Lin Lin. Malam terlalu indah, bulan terlalu terang, dan gadis di
sampingnya terlalu cantik jelita. Bok Liong berjalan di samping Lin Lin
dengan hati dan perasaan mawut (berantakan), maka ia pun tidak dapat
terlalu disalahkan kalau dia sendiri menjadi kurang hati-hati, hilang
kewaspadaannya. Di samping Lin Lin, dunia menjadi terlampau indah
baginya sehingga sementara itu ia lupa akan bahaya-bahaya yang
mengancam kehidupan dari segenap penjuru.
Biarpun Suma Boan atau Suma-kongcu tidak mengejar sendiri karena
ia maklum bahwa menghadapi dua orang muda yang lihai itu seorang
diri saja ia tidak akan menang, namun sudah tentu saja Suma-kongcu
tidak membiarkan penghinaan terjadi di rumahnya begitu saja. Ia diamdiam
menitah seorang pengawal untuk menghubungi para ketua kaipang
dan tak lama kemudian, para tokoh perkumpulan pengemis yang
kebetulan berada di situ dan dapat dihubungi sudah mengatur rencana
penghadangan terhadap Lin Lin dan Bok Liong. Ada tiga orang pengemis
lihai yang kebetulan dapat dihubungi Suma-kongcu dan yang segera
membawa teman-temannya melakukan pengejaran.
219
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Yang pertama adalah ketua dari perkumpulan pengemis Hui-houwkai-
pang (Harimau Terbang). Hui-houw-pangcu ini sudah tua, usianya
kurang lebih enam puluh tahun, rambutnya sudah putih semua dan
senjatanya sebatang tongkat baja. Selain lihai sekali ilmu tongkatnya,
juga ia amat terkenal dengan senjata rahasia yang ia sebut bulu
harimau. Sebetulnya senjata ini adalah jarum-jarum halus yang diberi
racun, siapa terkena akan menjadi gatal-gatal yahg menjalar ke seluruh
tubuh dan berakhir dengan kematian yang mengerikan. Hui-houwpangcu
pergi melakukan pengejaran bersama barisannya yang paling ia
banggakan, yaitu Hui-houw-tin (Barisan Macan Terbang). Barisan ini
terdiri dari tiga belas orang tokoh pengemis yang berkepandaian tinggi
dan yang khusus dilatih untuk membentuk Hui-houw-tin.
Besarlah hati Hui-houw-pangcu mengajak barisannya ini, biarpun ia
mendengar dari Suma-kongcu bahwa dua orang muda itu lihai, namun ia
yakin bahwa Hui-houw-tin akan dapat mengalahkan mereka dan dapat
menawan mereka seperti yang diminta oleh Suma-kongcu.
Lewat tengah malam, Lin Lin dan Bok Liong menunda perjalanan
karena mereka merasa lelah dan mengantuk. Bok Liong yang sudah
beberapa kali melakukan perjalanan lewat daerah ini, tahu bahwa di luar
hutan terdapat sebuah kuil kuno yang kosong dan tidak terpakai lagi.
Mereka lalu menuju ke kuil itu dan girang hati Lin Lin dapat mengaso di
tempat yang terlindung sehingga hawa tidak terlalu dingin. Bok Liong
segera membuat api unggun dan mereka duduk di ruangan depan yang
agak bersih setelah keduanya menyapu lantai dengan daun-daun kering.
“Kau mengaso dan tidurlah, Lin-moi, biar aku menjaga di sini.”
“Mana bisa aku tidur kalau dijaga orang? Twako, jangan kira aku
seorang yang mau enak sendiri, tidur pulas membiarkan kau digigiti
nyamuk dan mengantuk. Tidak, kalau kau tidak tidur, aku pun tidak mau
tidur.”
Bok Liong tersenyum lebar, dalam hati amat bersyukur bahwa gadis
ini memiliki watak yang demikian baik. Memang, kalau orang sedang
jatuh cinta, segala yang dilakukan orang yang dicintanya selalu baik,
220
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
setiap gerak-gerik menyenangkan. Ia maklum bahwa kalau ia
bersitegang, gadis yang keras hati ini tentu betul-betul tidak mau tidur.
Bersambung...

No comments:

Post a Comment