Sunday, January 29, 2017

Cinta Bernoda Darah 01 - Mini Serial #024

Cinta Bernoda Darah #24
Cerita Silat Kho Ping Hoo: Cinta Bernoda Darah 01 - Mini Serial #24
=========================================


Setelah Hek-giam-lo pergi, Sian Eng berpikir. Ia mengenang kata-kata
Raja Khitan terhadapnya dan teringatlah ia akan Lin Lin. Adiknya itu
bukanlah anak kandung ayah bundanya, melainkan anak angkat.
Ayahnya tidak pernah bicara tentang orang tua Lin Lin, akan tetapi adik
angkatnya itu wataknya aneh sekali dan ketika ia tadi melihat pengawalpengawal
dan dayang-dayang wanita di dalam gedung Raja Khitan,


Alangkah besar persamaan Lin Lin dengan para wanita itu. Terutama
sekali bulu mata dan hidungnya. Jantungnya berdebar. Jangan-jangan
Hek-giam-lo salah ambil, mengira dia Lin Lin. Dan besar kemungkinan
Hek-giam-lo menduga bahwa Lin Lin adalah keponakan raja. Betulkah
ini?
Tangis kedua orang gadis di sebelah depan dan belakangnya
mengganggunya dari lamunan. Ia menengok dan perasaan kasihan
memenuhi hatinya melihat dua buah kepala yang tidak berdaya dan
sedang menangis terisak-isak itu, sama sekali lupa bahwa keadaannya
sendiri pun tiada bedanya dengan mereka berdua. Ia tahu bahwa dia
dan mereka akan menghadapi kematian yang mengerikan dari penuh
sengsara. Dipendam sebatas leher dan dibiarkan sampai mati. Mungkin
besok hari menerima penghinaan dari para penyiksanya sebelum mati
kelaparan.
Tiba-tiba terdengar suara mengaum dari jauh. Dua orang gadis itu
makin keras menangis dan Sian Eng sendiri bergidik. Tak salah lagi,
itulah suara harimau yang mengaum dari dalam hutan. Bagaimana kalau
raja hutan itu datang dan menyerang mereka? Dengan hanya kepalanya
di atas tanah, Sian Eng dapat membayangkan betapa harimau itu akan
makan kepala mereka seenaknya tanpa mereka dapat membalas atau
pun melarikan diri. Siapa di antara mereka bertiga yang lebih dulu akan
digerogoti harimau?
“Hu-hu-huk, Ayah.. Ibu.. tolong..” Gadis yang berada di sebelah
belakang Sian Eng menjerit-jerit.
200
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
“Aku.. aku.. takut.. ya Tuhan cabutlah nyawaku..” Gadis cantik di
sebelah depan Sian Eng mengeluh dan menangis.
Sian Eng mengerutkan keningnya, penuh iba hati. Ia tak menyalahkan
dua orang gadis itu. Tentu saja mereka ketakutan. Mereka adalah gadisgadis
biasa yang lemah, oh, alangkah sengsaranya mati dalam keadaan
ketakutan seperti itu.
“Enci berdua, tenangkanlah hati kalian. Manusia hidup memang hanya
untuk menghadapi kematian yang sewaktu-waktu pasti akan tiba, cepat
atau pun lambat. Mengapa takut? Mati adalah biasa, semua manusia
akan mati, hanya waktu saja soalnya.”
Dua orang gadis itu menengok kepadanya, terheran-heran melihat
Sian Eng sama sekali tidak menangis dan sama sekali tidak nampak
takut.
“Aku.. aku tidak takut mati.. aku.. aku lebih baik mati. Yang kutakuti
adalah kengerian ini dan.. dan penghinaan.. ah, lebih baik aku mati, tapi
jangan.. jangan mati dimakan harimau..” kata gadis di depannya terisakisak.
“Sebelum hayat meninggaikan badan, tak boleh berputus asa,” kata
pula Sian Eng. “Enci harap tenang saja, kalau belum waktunya kita mati,
percayalah, kita takkan mati. Kalau sudah tiba waktunya mati, ah,
jangankan sudah setua kita, kanak-kanak pun bisa saja mati.”
Hiburan dan kata-kata Sian Eng yang keluar dengan suara penuh
ketabahan itu ternyata ada hasilnya juga. Dua orang gadis itu berhenti
menangis dan anehnya, auman binatang buas dari dalam hutan tidak
terdengar lagi. Kesempatan ini dipergunakan oleh Sian Eng untuk
mengajak dua orang teman “senasib sependeritaan” itu untuk bercakapcakap.
Dari mereka dia memperoleh keterangan bahwa seperti juga dia,
dua orang itu diculik oleh tokoh-tokoh Khitan karena disangka sang
puteri” Akan tetapi begitu tiba di depan raja, mereka ditelanjangi dan
diperiksa punggung mereka, karena katanya puteri itu mempunyai tanda
merah di punggungnya. Tentu saja, seperti juga Sian Eng, mereka tidak
memiliki tanda seperti itu karena memang mereka bukanlah puteri
Khitan. Kemudian dengan air mata bercucuran dua orang gadis itu
201
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
bercerita betapa selama tiga hari mereka menjadi permainan raja yang
kejam.
Sian Eng menjadi panas hatinya. Jiwa pendekar dalam hatinya
bergolak. Kalau saja ia mendapat kesempatan, tentu akan dibunuhnya
Raja Khitan itu. Dan menghadapi penderitaan dua orang gadis itu, ia
tidak dapat bicara banyak. Akan tetapi setidaknya percakapan mereka
itu juga merupakan hiburan yang lumayan untuk melewatkan malam
yang mengerikan ini. Tentu saja semalam suntuk mereka tak mampu
tidur semenit pun juga dan menjelang pagi, karena teringat bahwa para
penyiksa itu tentu akan menghabisi nyawa mereka dengan siksaansiksaan
keji, dua orang gadis itu mulai menangis lagi. Sian Eng tidak
mampu lagi menghibur mereka. Gadis ini mengambil keputusan bahwa
kalau ia diberi kesempatan satu kali saja terbebas dari kuburan itu, ia
akan mengamuk sampai mati”
Terdengar derap kaki kuda dari jauh, makin lama makin dekat. Dua
orang wanita itu menoleh ke arah Sian Eng dan air mata mereka
bercucuran.
“Adik Sian Eng, selamat berpisah..”
“Mudah-mudahan kematian segera datang menjemputku..” kata gadis
di belakang Sian Eng, menyambut ucapan gadis di depan.
Sian Eng terharu, akan tetapi ia malah memaksa diri tersenyum,
“Enci, kalau seorang di antara kita mati, tentu yang dua akan mati
pula. Bagaimana bisa bilang selamat berpisah? Kita takkan pernah
berpisah kurasa, mati pun akan bersama-sama. Bukankah itu
menyenangkan sekali? Kita akan ada teman selalu, biar di alam sana
pun.”
Derap kaki kuda sudah dekat sekali, datang dari arah belakang
mereka. Tiga orang gadis itu dapat menoleh ke kiri kanan, akan tetapi
tentu saja tidak mungkin menengok ke belakang, karena tubuh mereka
yang terpendam tanah itu sama sekali tidak dapat digerakkan. Oleh
karena itu, biarpun hati mereka sekali memandang, mereka tidak dapat
dan tidak tahu siapa gerangan penunggang kuda yang datang ini.
202
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Tak lama kemudian, seekor kuda yang besar dan kuat berlari
congklang dan berhenti dekat mereka. Seorang laki-laki berpakaian
serba hitam melompat turun. Dua orang gadis itu hanya mengerling
sebentar dan segera menutup mata dan menangis lagi. Pakaian orang ini
sama dengan Si Iblis Hitam, mengerikan.
Akan tetapi Sian Eng menoleh ke kiri dan memandang dengan mata
tajam dan kening berkerut. Darahnya berdenyut-denyut, jantungnya
berdebar, membuat ia merasa dadanya sesak sekali. Si Jubah Hitam itu
sama sekali bukan Hek-giam-lo, melainkan seorang laki-laki muda yang
berwajah gagah sekali, tampan dan memiliki sepasang mata yang sayu
di bawah lindungan sepasang alis yang tebal, hitam dan berbentuk
panjang gompyok. Seorang laki-laki yang tampan dan tinggi besar. Yang
membuat Sian Eng berdebar tidak karuan hatinya adalah jubah hitam
itu, mengingatkan ia akan laki-laki yang pernah ia lihat punggungnya
yang berjubah hitam dan topinya, topi pelajar yang mempunyai ekor dua
buah, yaitu tali hitam yang melambai ke bawah. Dan gambar pada baju
di dada itu. Suling Emas”
Celaka, pikirnya. Kiranya musuh besar ayah bundanya yang datang
ini? Orang yang sudah membunuh ayah bundanya, sudah tentu
mempunyai niat yang tidak baik terhadap dirinya.
Dan orang itu semenjak melompat turun dari kudanya, terus
memandangnya dengan sinar mata yang tajam penuh selidik” Akan
tetapi laki-laki itu segera melompat dekat, tangannya mencabut sebuah
benda panjang kuning mengkilap. Sebuah suling” Tak salah lagi, dialah
Suling Emas, karena yang dipegangnya itu apalagi kalau bukan suling
terbuat daripada emas?
Dengan gerakan cepat, ia mendekati Sian Eng, sinar kuning
berkelebat dan sebentar saja tanah di sekeliling Sian Eng terbongkar.
Setelah Sian Eng dapat membebaskan kedua tangannya, ia menekan
tanah di pinggirnya dan meronta, terus meloncat ke atas, sama sekali
tidak ingat bahwa pakaiannya tidak karuan macamnya karena pakaian
itu sudah robek-robek dan hanya ia pakai sekedar menutupi tubuhnya
203
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
saja. Begitu melompat dan berdiri, baru ia melihat keadaan dirinya,
maka cepat-cepat ia meoggerakkan kedua lengan menutupi dada”
Pemuda itu menyumpah,
“Keparat..”
Cepat ia membuka jubahnya yang hitam lebar itu, melemparnya ke
arah Sian Eng. Kain jubah itu tepat sekali menimpa Sian Eng dan
menyelimutinya dari leher sampai ke kaki” Kini Sian Eng berdiri
terlongong, memandang pemuda itu yang kini tampak lebih gagah
dengan pakaian dalam yang ringkas berwarna putih. Akan tetapi laki-laki
itu tanpa menoleh lagi sudah mengerjakan sulingnya, membongkar dari
menggali tanah untuk membebaskan dua orang gadis itu. Kembali ia
menyumpah karena kedua orang gadis itu malah dimasukkan ke dalam
sumur dalam keadaan hampir telanjang bulat.
“Benar-benar setan” ia menyumpah dan dengan gemas ia merenggut
kain bendera besar tanda Hek-giam-lo, merobeknya menjadi dua dan
menyerahkannya kepada dua orang gadis itu yang merasa berterima
kasih sekali dan terus saja mengerodongkan robekan kain hitam itu ke
atas tubuh mereka.
“Lekas, kalian naik ke atas kuda ini dan cepat pergi. Amat berbahaya
di sini.” Ia menoleh kepada Sian Eng, tersenyum sedikit dan berkata,
“Nona, kau yang terkuat di antara kalian bertiga, kau di depan dan
cepat larikan kuda ini keluar wilayah Khitan.”
Semenjak tadi Sian Eng hanya melongo, tidak tahu harus berbuat
apa.
“Kau.. kau.. Suling Emas..?” akhirnya dapat juga ia mengucapkan
kata-kata.
Wajah tampan dan mata sayu itu menjadi agak muram, tapi ia
mengangguk.
“Bukan waktunya bercakap-cakap, lekas pergi lebih baik,” katanya.
Akan tetapi pada saat itu, terdengar jerit ngeri dan dua orang gadis itu
roboh terguling. Kain hitam yang menyelubungi tubuh mereka terbuka
dan.. kulit tubuh yang putih bersih itu sekarang berubah menghitam,
204
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
mata mereka mendelik dan bibir yang tadinya merah segar kini menjadi
kering membiru”
“Ah, gobloknya aku..” Suling Emas menarik napas panjang.
“Ihhh, mereka kenapa?” Sian Eng berseru, cemas dan ngeri.
Suling Emas menunding ke arah robekan kain hitam tanda Hek-giamlo.
“Kain itu mengandung racun yang jahat. Mereka sudah mati. Agaknya
lebih baik begitu. Nah, mari kita pergi.”
Sian Eng tak sempat menjawab apalagi membantah, karena tahutahu
tangannya telah kena dipegang dan disendal. Sentakan ini demikian
kuat sehingga tak tertahankan olehnya dan tubuhnya melayang ke atas
punggung kuda” Pada detik berikutnya, kuda itu telah lari cepat sekali
dan Suling Emas telah duduk di belakang Sian Eng.
“Tapi.. jenazah mereka itu..?” Sian Eng berseru sambil menoleh ke
arah mayat dua orang gadis senasib yang menggeletak di atas tanah
dan ditinggalkan begitu saja.
“Mereka sudah mati, mau diapakan lagi?” jawab Suling Emas tak acuh
dan ia mengeluarkan kata-kata asing dari mulutnya kepada kuda itu
yang meringkik keras lalu membalap seperti terbang cepatnya.
Tidak karuan rasa hati Sian Eng. Memang ia telah terlepas daripada
ancaman bahaya maut di tangan orang-orang Khitan, maut yang amat
mengerikan. Akan tetapi ia terlepas dari bahaya yang satu untuk jatuh
ke dalam tangan yang lain. Ia kini terjatuh ke dalam tangan Suling
Emas” Apakah kehendak orang aneh ini? Sikapnya mencurigakan,
wataknya juga aneh. Ada kalanya tampak baik dan suka menolong, akan
tetapi di lain saat bisa berhati keras dan kejam. Jenazah dua orang gadis
itu dibiarkan begitu saja”
Ingin ia dapat memandang muka Suling Emas, akan tetapi ia duduk di
depan dan orang itu duduk di belakang. Sedikitnya ia merasa lega
bahwa Suling Emas agaknya bukan laki-laki yang ceriwis. Tidak ada
bukti-bukti yang membayangkan watak kotornya terhadap wanita.
Sekarang pun, biar mereka duduk berdua di atas punggung kuda,
205
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
namun Suling Emas duduknya agak jauh di belakang sehingga tidak
menyentuhnya. Kalau saja tidak tampak kedua tangan orang itu di
kanan kirinya memegangi kendali kuda, tentu ia mengira bahwa Suling
Emas sudah tidak berada di belakangnya lagi.
Ketika ia diculik Hek-giam-lo dan dibawa ke utara, Sian Eng
mengalami perjalanan yang amat aneh, dengan Hek-giam-lo sebagai
pelayan dan juga pengawasnya yang jarang mengeluarkan suara,
dengan maksud yang masih merupakan rahasia baginya. Sekarang,
dalam perjalanan kembalinya menuju ke selatan bersama Suling Emas,
Sian Eng mengalami perjalanan yang aneh pula. Seperti juga Hek-giamlo,
tokoh ini jarang sekali membuka mulut. Biarpun wajah yang tampan
itu ketihatan selalu sayu dan muram, namun membayangkan sesuatu
yang mengerikan bagi Sian Eng, tidak kalah seramnya oleh muka Hekgiam-
lo, muka iblis tengkorak itu. Bagaimana takkan ngeri dan seram
kalau melihat orang ini diam saja, tak pernah memandangnya, tak
pernah bicara, pendeknya, tidak pernah apa-apa seperti patung hidup”
Malam itu Suling Emas terpaksa menghentikan kudanya. Malam amat
gelap sehingga tak mungkin melanjutkan perjalanan. Mereka berhenti di
sebuah lereng bukit, di pinggir jalan. Kuda hitam belang putih itu tidak
diikat, dibiarkan terlepas begitu saja. Suling Emas lalu mengumpulkan
ranting dan daun kering, membuat api unggun di bawah pohon besar.
Mengambil roti kering dan tempat minum dari kantung yang tergantung
di punggung kuda, lalu duduk di dekat api unggun. Ia tidak berkata apaapa,
hanya menoleh ke arah Sian Eng dan sinar matanya saja yang
mengajak gadis itu duduk mendekati api. Sian Eng mendekat, lalu duduk
di atas rumput kering dekat api unggun. Tanpa berkata sesuatu, Suling
Emas memberi roti kering dan tempat minum.
Sian Eng menghela napas, akan tetapi menerima roti dan makan roti
itu, karena perutnya terasa amat lapar. Sehari suntuk mereka
menunggang kuda, tak pernah berhenti sebentar pun juga, tidak makan
tidak minum. Sudah lama Sian Eng tidak pernah menunggang kuda dan
sekarang, sekali naik kuda sehari penuh. Punggungnya terasa kaku dan
seluruh badan sakit-sakit”
206
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Mereka makan roti kering dan minum air tawar tanpa bicara. Sesudah
makan, Sian Eng melihat betapa Suling Emas hanya duduk termenung
memandang api yang bernyala-nyala, duduk tak bergerak dan mata itu
bersinar-sinar, hilang kesayuannya. Wajah yang tampan dan aneh itu
pun tidak muram lagi, malah agak berseri. Keindahan api itukah yang
mendatangkan semua ini? Ataukah karena di dalam nyala api ia melihat
atau teringat akan sesuatu? Diam-diam Sian Eng menatap wajah itu dari
samping. Wajah yang tampan, dengan guratan-guratan yang
membayangkan penderitaan hidup, guratan kematangan jiwa. Tidak
terlalu muda lagi biarpun tak mungkin mengatakan bahwa dia itu sudah
tua. Sukar menaksir usianya. Akhirnya Sian Eng tak dapat menahan lagi
kegelisahannya.
“Kau hendak membawaku ke mana?”
Suling Emas agaknya terkejut mendengar suara ini. Tadinya ia
melamun dan seakan-akan telah lupa bahwa di dekatnya terdapat
seorang manusia lain. Suara Sian Eng seperti menyeretnya turun dari
dunia lamunan dan gagap ia menoleh sambil bertanya.
“Apa..?”
Mendongkol juga hati Sian Eng. Orang ini terlalu memandang remeh
kepadanya, pikirnya. Dengan ketus ia bertanya.
“Dengan maksud apa kau menolongku, dan ke mana kau hendak
membawaku pergi?”
“Dengan maksud apa?”
Agaknya pertanyaan ini membuat Suling Emas kembali melamun
sebentar, mengingat-ingat setelah mengulang pertanyaan itu, kemudian
ia menjawab,
“Tentu saja agar kau bebas daripada ancaman bahaya, dan tentu saja
membawamu pergi dari daerah yang dikuasai orang-orang Khitan.”
Sian Eng tak dapat berkata apa-apa lagi. Memang alangkah bodohnya
pertanyaannya tadi. Tentu saja begitulah tujuan Suling Emas
menolongnya, tanpa bertanya pun seharusnya ia mengerti. Akan tetapi,
Suling Emas ini bukan orang biasa, melainkan musuh besarnya” Kembali
207
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
berdebar jantungnya dan dia memandang wajah yang sudah menoleh
kembali menatap api unggun.
“Kurasa bukan itu maksudmu,” ia berkata dengan suara tegas dan
ketus. “Suling Emas, kau telah membunuh ayah bundaku” Sekarang kau
pura-pura menolongku, tentu dengan maksud tertentu yang.. yang tidak
baik”
Suling Emas mengangguk-angguk, tetap memandang api, matanya
bersinar-sinar, wajahnya berseri, agaknya ia gembira sekali mendengar
ini.
“Hemmm.. itukah sebabnya mengapa kalian bertiga mencari-cari
Suling Emas? Pantas saja kalian menghujankan senjata rahasia
kepadaku di hutan itu..”
Sian Eng terkejut. Jadi orang ini sudah tahu bahwa dia dan dua orang
saudaranya mencari-carinya, malah tahu pula akan penyerangan di
dalam hutan itu” Benar-benar orang aneh dan lihai sekali. Akan tetapi ia
tidak takut.
“Memang betul. Biarpun kau berkepandaian tinggi, karena kau
membunuh ayah bunda kami, kami hendak menuntut balas. Malah
sekarang juga aku menantangmu untuk bertempur. Kau harus menebus
kematian orang tuaku dengan nyawamu, atau aku yang akan
mengorbankan nyawa dalam menuntut balas dendam” Sian Eng
meloncat bangun dan memasang kuda-kuda, mengambil keputusan
untuk mengadu nyawa dengan musuh besarnya walaupun ia cukup
maklum bahwa kepandaiannya sama sekali tidak ada artinya kalau
dibandingkan dengan tokoh aneh ini.
Suling Emas tetap tidak menoleh, malah menggunakan sebatang
ranting untuk mengorek api unggun sehingga nyala api membesar,
menerangi wajahnya yang tampan dan yang kini berkerut-kerut di
bagian jidatnya itu.
“Hemmm, kalian bodoh. Aku tidak membunuh orang tua kalian, tahu
pun tidak aku siapa mereka dan siapa kalian bertiga. Mana bisa aku
membunuh orang yang tak kuketahui siapa dan di mana tempat
tinggalnya?”
208
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Sian Eng ragu-ragu dan bimbang. Ketegangan yang sudah memenuhi
tubuhnya tadi mengendur,
“Tapi.. tapi.. sebelum meninggal, Ibu bilang.. tentang pembunuh itu..
menyebut-nyebut tentang suling..”
“Jangan bodoh. Duduklah dan ceritakan yang jelas. Kalau aku
membunuh orang, siapapun dia itu, aku takkan menyangkal. Suling
Emas tidak biasa menyangkal perbuatannya, tidak biasa bersikap
pengecut, berani berbuat harus berani bertanggung jawab.”
Biarpun Suling Emas tidak menengok dan masih memandang api
namun terasa oleh Sian Eng bahwa ucapannya itu keluar dari lubuk hati.
Kemarahannya melunak dan ia lalu duduk lagi dekat api, melirik ke arah
orang itu dengan bingung.
“Kalau bukan engkau, siapa..?” pertanyaan ini keluar dari bibirnya
tanpa ia sadari, seakan-akan suara hatinya yang terdengar melalui
bibirnya.
“Bukan aku” jawab Suling Emas pasti. “Kalau kau mau, ceritakanlah
tentang pembunuhan itu.”
Sian Eng percaya. Andaikata orang ini yang membunuh orang tuanya,
kiranya tak perlu menyangkal memang. Kepandaiannya tinggi dan dia
sendiri akan dapat berbuat apakah terhadap Suling Emas? Dan hatinya
menjadi agak lega. Syukur kalau bukan Suling Emas. Pertama, karena
kalau benar dia pembunuhnya, tentu sukar sekali membalas dendam.
Kedua, ia sudah ditolongnya terlepas daripada bahaya maut di tangan
orang-orang Khitan. Ke tiga, ia ingat sekarang, dan tahu bahwa dia
bersama dua orang saudaranya dahulu itu pun dibebaskan daripada
bahaya maut di tangan It-gan Kai-ong oleh Suling Emas. Kalau Suling
Emas pembunuh orang tua mereka dan sekaligus penolong mereka,
bukankah hal itu akan menimbulkan hal yang amat membingungkan?
“Ah, kalau begitu maafkan kami. Kami selalu mengira kaulah musuh
besar kami. Ah, kalau begitu benar dugaan Lin-moi..”
“Lin-moi? Siapa?”
“Adikku..”
209
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
“Ahhh, begitu? Kalau tidak keberatan, ceritakan tentang pembunuhan
itu.”
Sian Eng berpikir sejenak. Apa salahnya menceritakan hal itu kepada
Suling Emas yang sekarang bukan lagi merupakan musuh, malah
menjadi penolong? Siapa tahu dari tokoh ini ia akan dapat mengetahui

siapa gerangan pembunuh ayah bundanya.

Bersambung...

No comments:

Post a Comment