Saturday, January 28, 2017

Cinta Bernoda Darah 01 - Mini Serial #023

Cinta Bernoda Darah 01 #23
Cerita Silat Kho Ping Hoo: Cinta Bernoda Darah 01 - Mini Serial #023
=========================================

“Liong-twako, jangan takut, pedangku akan mencabut nyawanya”
seru Lin Lin dan cepat ia menerjang. Sinar kuning berkelebat dan Suma
Boan mengeluh sambil membuang diri ke kiri lalu berjungkir balik. Pucat
wajahnya karena hampir saja ia menjadi korban sinar pedang yang
mengandung hawa dingin seperti es. Ia tadi terlalu memandang rendah.
Kiranya selain pemuda lawannya itu hebat, juga gadis itu amat lihai dan
ganas ilmu pedangnya.

Lin Lin hendak menerjang lagi, akan tetapi tangannya disambar Bok
Liong, ditarik dan pemuda itu berkata,
“Moi-moi, mari kita pergi, jangan bikin kacau rumah orang”
Lin Lin baru teringat bahwa sebetulnya bukan menjadi kehendak
mereka bertempur dengan orang-orang itu. Tadi ia terpaksa
merobohkan lawan karena ia dikeroyok. Sekarang, apa perlunya
bertanding terus? Ia tidak bermusuhan dengan pemuda bangsawan itu.
Malah pemuda itu telah berjasa dalam menyebut-nyebut Suling Emas
tadi. Ia tahu sekarang ke mana harus mencari Suling Emas, musuh
besarnya. Ke kota raja. Di dalam gedung perpustakaan istana” Hatinya
girang mengingat akan hal ini dan ia cepat meloneat pergi bersama Bok
Liong, menghilang ke dalam gelap. Suma Boan tidak mengejar. Pemuda
bangsawan ini cukup cerdik dan hati-hati. Dua orang itu lihai, dan belum
ia kenal siapa mereka. Tiga orangnya telah roboh, mengapa ia harus
mengejar tanpa bantuan yang kuat?
Setelah berlari jauh meninggaikan kota Pao-teng, Bok Liong dan Lin
Lin berhenti untuk mengatur napas.
“Wah, untung kebetulan It-gan Kai-ong tidak berada di sana bersama
Suma-kongcu. Kalau ada, bisa berbahaya tadi. Sama sekali tidak kuduga
bahwa gedung merah itu milik Suma Boan,” kata Bok Liong.
“Aku tidak takut” Biar ada gembel tua bangka setengah buta itu aku
tidak takut dan akan melawannya mati-matian” seru Lin Lin dengan
suara gagah.
190
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
“Kau memang hebat, Lin-moi. Memang tenaga kita digabung menjadi
satu, belum tentu si tua dapat berbuat sekehendak hatinya. Tapi Suma
Boan itupun tak boleh dipandang ringan. Dia lihai...”
Bok Liong menggeleng-geleng kepala dan ia maklum bahwa katakatanya
ini hanya untuk mencegah agar Lin Lin tidak menjadi marah.
Padahal ia tahu benar bahwa mereka berdua bukanlah lawan It-gan Kaiong.
Melawan Suma Boan saja, baru seimbang dengan kepandaiannya.
Pemuda bangsawan itu harus ia akui amat hebat ilmu pukulannya. Tadi
pun ia sudah kewalahan dan hampir mencabut pedangnya kalau saja Lin
Lin tak segera maju membantunya.
“Liong-ko, sekarang kita harus kembali ke kota raja. Suling Emas
berada di sana, di dalam gedung perpustakaan istana. Wah, kali ini dia
tidak akan dapat terlepas dari tanganku”
“Memang kurasa kali ini kita akan dapat bertemu dengannya. Akan
tetapi sebelumnya, kuminta kepadamu, Lin-moi. Jangan kau terburu
nafsu dan lancang menyerangnya kalau kita bertemu dengannya. Aku
yang akan bicara dengannya, dan aku dapat mengajukan pertanyaan
yang akan memaksanya mengaku apakah dia membunuh orang tua
angkatmu ataukah tidak. Tak boleh sembrono dan lancang terhadap
seorang seperti dia.”
“Aku tidak takut”
“Memang kau tidak takut, Moi-moi, akan tetapi bagaimana kalau
penyeranganmu itu salah alamat? Bagaimana kalau ternyata dia itu tidak
berdosa? Bukankah kau menyerang orang yang tidak bersalah
kepadamu dan kalau terjadi demikian maka berarti kaulah yang bersalah
kepadanya?”
“Baiklah, baiklah, aku akan menutup mulut dan mau menyerahkan
urusan kepadamu. Asal aku segera bertemu dengannya dan mendapat
kepastian, baru aku puas, Twako.”
Bok Liong tersenyum. Ia khawatir kalau-kalau sahabat barunya ini
marah dan mengambul.
“Marilah, Moi-moi. Kau suka melakukan perjalanan malam begini?”
191
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
“Biar malam udara terang, lihat bulan tersenyum di atas tuh”
Akan tetapi Bok Liong tidak memandang bulan, melainkan
memandang wajah yang tengadah, wajah yang baginya lebih daripada
bulan sendiri”
“Kau tidak lelah dan ngantuk nanti?”
Lin Lin menggeleng kepala. Maka berangkatlah dua orang muda itu,
berjalan kaki di bawah sinar bulan, berendeng mereka berjalan. Bagi Lin
Lin, hal ini adalah biasa saja dan tidak mendatangkan perasaan apa-apa.
Ia merasa seperti berjalan di samping Bu Sin. Terhadap Bok Liong ia
mempunyai perasaan persaudaraan yang tebal dan menganggap
pemuda ini seperti kakaknya sendiri. Tentu saja tidak demikian apa yang
berkecamuk di dalam rongga dada Bok Liong. Suasana romantis ini
mendorong-dorong hasratnya, menekan-nekan hatinya dan membakar
darahnya, membuat ia ingin sekali menjatuhkan diri berlutut di depan
Lin Lin menyatakan cinta kasihnya yang berkobar-kobar menghanguskan
jiwanya. Ingin ia memegang jari-jari tangan yang kecil halus itu. Ingin ia
mendekap kepala dengan wajah cantik dan rambut hitam halus harum
itu ke dadanya, ingin membisikkan sumpah cinta,ingin ia.. ingin..
“Plakkk”
“Eh, ada apa, Twako?”
Lin Lin berhenti dan menoleh ke samping, memandang heran kepada
pemuda yang baru saja menempiling kepala sendiri itu.
“Oh.. eh.. tidak ada apa-apa, ada nyamuk tadi menggigit pelipisku,”
jawabnya. Untung bayang-bayang pohon menyembunyikan sinar bulan
dari mukanya yang menjadi merah sekali.
“Kau bikin kaget orang saja. Masa menepuk nyamuk di pelipis sendiri
begitu kerasnya?”
Lin Lin mengomel karena tadi ia dikagetkan daripada lamunannya.
Sambil berjalan ia pun melamun, teringat akan cerita Kim-lun Seng-jin
akan keadaan dirinya. Betulkah ia seorang Puteri Khitan? Ia seorang
puteri, keturunan langsung dari Raja Khitan? Inilah yang ia lamunkan
dan ia seperti melihat dirinya dengan pakaian puteri yang indah sekali,
192
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
berada di dalam gedung istana seperti yang pernah ia lihat bersama
Kim-lun Seng-jin, disembah-sembah ribuan orang” Apalagi kalau ia yang
menjadi ratu dari bangsa Khitan, ia akan.. akan apakah dia? Inilah yang
baru ia pikir-pikir dan rencanakan dalam alam lamunannya ketika tibatiba
Bok Liong menempiling kepala sendiri dan mengagetkannya serta
menariknya turun daripada angkasa ke alam sadar.
“Sayang tidak ada kuda. Kalau kudaku masih ada, kau dapat naik
kuda, Lin-moi, dan tidak terlalu lelah.”
“Kenapa kau jual kudamu kalau begitu?”
“Perlu dijual.. perlu sekali.. saku sudah kosong, apa daya?”
Lin Lin menggerakkan tangan, sejenak menyentuh lengan pemuda
itu.
“Aku tahu. Kau terpaksa menjualnya untuk membelikan sarung
pedangku ini dan untuk makan dan sewa kamar, untuk biaya-biaya
perjalanan, bukan? Liong-ko, kau orang baik.”
Hati Bok Liong berdenyut-denyut girang, akan tetapi ia pura-pura
mendengus.
“Ah, yang begitu saja, mana patut diomongkan? Pula, dua orang
melakukan perjalanan hanya dengan seekor kuda, canggung sekali. Kita
berdua sudah sejak kecil berlatih ilmu lari cepat, untuk apa? Kalau kita
mau, kita tidak akan kalah oleh larinya seekor kuda.”
Mereka tertawa dan melanjutkan perjalanan sambil bercakap-cakap.
Kita tinggalkan dulu Lin Lin dan Lie Bok Liong yang melakukan
perjalanan malam menuju ke kota raja karena Lin Lin sudah tidak sabar
lagi menanti untuk segera dapat bertemu dengan orang yang dianggap
musuh besarnya, yaitu Suling Emas. Mari sekarang kita menengok
keadaan Sian Eng, gadis yang mengalami hal yang amat menyeramkan
hatinya itu.
Seperti telah dituturkan di bagian depan, Sian Eng tadinya berhasil
melarikan diri dari tempat rahasia di bawah kuburan yang menjadi
tempat tinggai Hek-giam-lo, yaitu pada saat Hek-giam-lo bertempur
melawan Siang-mou Sin-ni yang datang menyerbu untuk minta
193
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
dikembalikannya surat rahasia. Akan tetapi malang baginya, di dalam
sebuah hutan, selagi ia merasa lega dan mengira telah terlepas daripada
cengkeraman iblis itu, tiba-tiba si iblis itu sendiri muncul di depannya,
Hek-giam-lo telah berada di situ, seakan-akan telah lebih dulu datang
dan sengaja menanti kedatangannya. Ia berusaha menyerang, namun
apa dayanya terhadap Hek-giam-lo yang sakti?
Di lain detik ia sudah pingsan dan dipondong Hek-giam-lo, kemudian
dibawa lari secepat terbang” Kali ini si kedok iblis itu berlaku amat teliti,
tak pernah memberi kesempatan sedikit pun juga kepadanya untuk
dapat melepaskan diri daripada pengawasannya. Hek-giam-lo bersikap
amat menghormat kepadanya, menyebutnya tuan puteri, akan tetapi di
samping sikap menghormat ini terbayang sifat memaksa yang tak dapat
dibantah lagi. Memaksa agar Sian Eng ikut dengannya dan mentaati
segala permintaannya. Akhirnya gadis ini maklum bahwa tak mungkin ia
mampu membebaskan diri lagi, maka ia juga tidak lagi mencoba. Selama
iblis ini tidak mengganggunya dan memperlakukannya dengan sikap
menghormat dan baik-baik, ia pun menurut saja dan hendak melihat apa
yang akan terjadi selanjutnya dan ke mana ia akan dibawa.
“Hek-giam-lo, sudah berkali-kali kunyatakan bahwa aku bukanlah
puteri raja seperti yang kau sebut-sebut. Aku she Kam, namaku Sian
Eng. Kau salah lihat, karena itu harap jangan ganggu aku, biarkanlah
aku pergi.” Berkali-kali gadis itu mencoba dengan bujukannya ketika
mereka berjalan melalui sebuah bukit yang sunyi.
Hek-giam-lo memang pendiam dan tak banyak ia bicara selama dalam
perjalanan, sungguhpun ia amat memperhatikan keperluan Sian Eng dan
tak pernah terlambat untuk mencarikan makanan dengan pelayanan
penuh hormat. Permintaan berkali-kali dari Sian Eng hanya dijawabnya
singkat,
“Paduka puteri raja kami, memang sejak kecil diambil anak oleh
Jenderal Kam.” Hanya demikian jawabnya dan selanjutnya ia tidak mau
bicara lagi.
Melalui perjalanan yang amat cepat, kadang-kadang Hek-giam-lo
memondong dan membawanya lari seperti terbang setelah minta maaf
194
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
lebih dulu, mereka menuju ke arah timur laut dan pada suatu hari
tibalah mereka di daerah yang jauh dari kota, daerah penuh hutan yang
amat liar. Kemudian, di tengah-tengah daerah ini, tibalah mereka di
sebuah rumah perkampungan dengan rumah-rumah yang kelihatan
baru. Inilah perkampungan baru yang dijadikan pusat suku bangsa
Khitan, terletak dalam sebuah hutan liar dikelilingi hutan-butan kecil di
antara gunung-gunung di perbatasan Mancuria”
Dapat dibayangkan betapa heran dan berdebar hati Sian Eng ketika
Hek-giam-lo berteriak-teriak dalam bahasa yang ia tidak mengerti, para
penyambut menjatuhkan diri berlutut di sepanjang jalan yang mereka
lalui.
“Tengoklah, Tuan Puteri, rakyat kita memberi hormat kepada
Paduka,” kata Hek-giam-lo, nada suaranya gembira.
Sian Eng melihat orang-orang kasar yang bertubuh tegap dan kuat,
wanita-wanita cantik tapi sederhana, juga terdapat sifat-sifat gagah pada
para wanita yang berlutut di pinggir jalan itu.
“Kita sekarang ke mana, Hek-giam-lo?”
“Mari menghadap Sri Baginda, Paman Paduka.”
“Pamanku?” Sian Eng tidak mendapat jawaban, terpaksa ia berjalan
mengikuti Hek-giam-lo yang menuju ke sebuah rumah besar di tengahtengah
perkampungan itu. Di depan rumah besar ini terdapat banyak
penjaga, laki-laki berpakaian perang yang kelihatan gagah dan kuat,
dengan tombak di tangan dan golok besar di pinggang. Mereka berbaris
rapi dan memberi hormat dengan tegak ketika Hek-giam-lo dan Sian Eng
lewat. Juga di dalam rumah, di sepanjang lorong, berbaris pasukan
pengawal. Kiranya dalam rumah besar itu yang dari luar kelihatan
sederhana, sebelah dalamnya amat mewah. Bendera-bendera kecil
berkibar di mana-mana, bermacam-macam warnanya. Ketika mereka
sampai di ruangan sebelah dalam, pasukan pengawal berganti, kini
pasukan wanita yang cantik-cantik dan gagah serta bersinar mata tajam”
Namun, baik pasukan laki-laki maupun wanita, semua kelihatannya amat
takut dan menghormat Hek-giam-lo.
195
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Melalui pelaporan seorang penjaga yang seperti raksasa wanita, besar
dan bengis, mereka diperkenankan memasuki ruangan besar di mana
telah menanti seorang laki-laki tampan berpakaian indah, duduk di atas
sebuah kursi atau singgasana terbuat daripada gading. Laki-laki ini
usianya kurang lebih empat puluh tahun, berwajah tampan bermata
tajam.
Hek-giam-lo yang menuntun Sian Eng masuk, berkata singkat,
“Tuan Puteri, harap memberi hormat kepada Sri Baginda, Paman
Paduka.” Ia sendiri lalu menjatuhkan diri berlutut dan terdengar
suaranya nyaring.
“Hamba datang menghadap, dengan berkah Sri Baginda, hamba
berhasil mendapatkan Tuan Puteri yang sekarang ikut menghadap Sri
Baginda.”
Laki-laki itu ternyata adalah Raja suku bangsa Khitan yang bernama
Kubukan. Ia memandang wajah Sian Eng penuh perhatian. Sian Eng
yang tidak sudi berlutut, mengira bahwa raja yang tampan ini tentu akan
marah karena ia tidak mau memberi hormat, akan tetapi kiranya tidak
demikian. Raja itu memandang dengan sinar mata kurang ajar,
kemudian tertawa bergelak dan berkata kepadanya dalam bahasa Han
yang cukup lancar.
“Nona, marilah mendekat, biarkan aku memeriksa cermat apakah kau
benar keponakanku ataukah palsu.”
Sian Eng melangkah maju sampai berada dekat dengan raja itu
sambil berkata,
“Hek-giam-lo tahu bahwa aku bukan keponakanmu. Sudah
kuberitahukan berkali-kali tapi ia nekat saja membawaku ke sini. Siapa
pun adanya kau, harap kau suka berlaku murah dan bebaskan aku.”
Raja itu memandang lagi penuh perhatian, kemudian tertawa sekali
lagi. Dari mulutnya berhamburan bau arak yang keras.
“Ha-ha-ha, semua orang mengaku keponakanku, ha-ha. Alangkah
inginku dapat memeluk keponakanku, dapat meraba lehernya yang
halus. Untung kau bukan keponakanku, Nona, kau cukup cantik jelita.
196
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Ha-ha, untung..” Sian Eng terkejut sekali dan ia sudah merasa ngeri
ketika kedua tangan raja yang berbulu lengannya itu bergerak hendak
merabanya.
Akan tetapi pada saat itu Hek-giam-lo berkata dalam bahasa Khitan
yang tak dimengerti Siang Eng,
“Sri Baginda, kali ini tidak bisa salah lagi. Dia itu adalah anak Jenderal
Kam. Sayang Jenderal Kam sendiri sudah mampus ketika hamba sampai
di sana. Hamba mendengar bahwa anak-anaknya pergi ke kota raja,
maka hamba menyelidiki dan berhasil menangkap anak perempuannya
ini. Tak salah lagi, dia adalah puteri mendiang Tuan Puteri Tayami.”
“Hek-giam-lo, apa yang menyebabkan kau yakin benar bahwa dia ini
betul-betul keponakanku? Sudah ada dua orang gadis yang dibawa
datang dan perwira-perwira yang membawanya bersumpah bahwa
mereka adalah keponakanku. Tapi ternyata bukan. Kau boleh lihat
mereka, biarpun mereka berdua itu jauh lebih cocok menjadi keponakan
yang kucari-cari daripada gadis ini, toh mereka itu bukan keponakanku”
Raja memberi tanda dengan tepukan tangan dan tak lama kemudian
dua orang gadis digiring masuk. Dua orang gadis yang cantik jelita akan
tetapi wajah mereka pucat dan di kedua pipi yang halus tampak bekas
air mata. Mereka ini berdiri di depan raja dan menundukkan muka.
“Ha-ha-ha, mereka ini keponakanku? Akan tetapi biarpun bukan,
kedatangan mereka sedikit banyak menyenangkan hatiku, biarpun hanya
untuk beberapa malam. Hek-giam-lo, gadis yang kaubawa ini bukanlah
puteri Kakak Tayami.”
“Tapi Sri Baginda..”
“Kau mau bukti? Dengar, ketika masih bayi, pernah kulihat
keponakanku itu. Pada punggungnya terdapat sebuah tanda merah.
Coba kita periksa bersama” Ia memberi isyarat dan tiba-tiba Hek-giam-lo
menggerakkan tangannya. Tahu-tahu ia telah memegang senjatanya
yang hebat, yaitu sabit bengkok yang amat tajam itu.
Sinar berkilauan menyambar-nyambar, Sian Eng menjerit ngeri
karena merasa betapa tubuhnya dikurung sinar berkilauan. Kemudian,
hampir ia roboh pingsan ketika mendapat kenyataan bahwa pakaiannya
197
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
telah terbang ke kanan kiri disambar sinar itu dan beberapa detik
kemudian ia telah menjadi telanjang bulat”
Dapat dibayangkan betapa malu dan marahnya Sian Eng. Ingin ia
berlaku nekat dan menerjang mengadu nyawa, akan tetapi rasa malu
karena keadaannya yang telanjang itu membuat ia kehilangan tenaga,
malah ia lalu menjatuhkan diri berlutut dan setengah bertiarap di atas
lantai untuk menyembunyikan tubuhnya. Tentu saja dengan berbuat
demikian, punggungnya tampak jelas dan raja bersama Hek-giam-lo
melihat jelas kulit punggung yang putih bersih tiada cacad sedikit pun”
“Ha-ha-ha-ha, kaulihat, Hek-giam-lo? Dia bukan keponakanku, sayang
seribu sayang. Tapi lumayan juga, dia cantik manis”
“Ampun, Sri Baginda. Hamba telah berlaku ceroboh.” terdengar Hekgiam-
lo berkata, suaranya gemetar penuh sesal.
“Tidak apa, kau carilah lagi. Gadis ini pasti akan menyenangkan
hatiku. Eh, Nona, kau berdirilah.” Sian Eng terkejut sekali ketika merasa
betapa pundaknya diraba orang yang hendak menariknya berdiri. Ia
mengangkat muka memandang dan kiranya raja itulah yang sudah turun
dari singgasana untuk membangunkannya, matanya bersinar-sinar
penuh nafsu. Saking ngeri, malu, dan marahnya, Sian Eng tidak ingat
apa-apa lagi. Bagaikan seekor harimau betina, ia melompat dan
menerkam ke depan, memukul dengan kedua tangannya ke arah dada
dan perut raja itu”
Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya terpental ke samping, roboh
menumbuk dinding. Raja itu sendiri pucat mukanya dan terhuyung ke
belakang sampai tiga langkah. Hampir saja ia celaka kalau tidak Hekgiam-
lo yang cepat menolongnya tadi. Marahnya bukan main. Lenyap
keinginannya untuk mempermainkan Sian Eng, terganti rasa benci yang
meluap-luap.
“Hek-giam-lo, kuserahkan dia kepadamu. Hukum dia, juga dua orang
puteri palsu ini. Muak aku kepada mereka. Kubur mereka hidup-hidup,
jadikan tontonan, biar rakyatku melihat dan berkesempatan menghina
mereka yang menyebalkan hati rajanya” Setelah berkata demikian, raja
198
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
itu mendengus marah, lalu pergi memasuki kamarnya, diiringkan oleh
dayang-dayang cantik jelita dan muda-muda.
Sian Eng sudah bangun kembali dan cepat menyambar pakaiannya
yang robek menjadi beberapa potong. Sedapat-dapat ia membungkus
tubuhnya dengan pakaian itu dan untung bahwa pakaiannya terbuat
daripada kain yang lebar dan panjang sehingga biarpun robek-robek
namun masih cukup untuk menutupi ketelanjangannya.
Akan tetapi Hek-giam-lo tak memberi kesempatan lagi kepadanya.
Dengan pekik mengerikan, iblis ini bergerak dan tahu-tahu ia telah
menangkap Sian Eng dan dua orang gadis pucat itu, membawa mereka
bertiga seperti orang membawa tiga ekor ayam saja, kemudian
melangkah lebar keluar dari gedung itu.
Malam itu terang bulan, namun keadaan di luar perkampungan itu, di
pinggir hutan, amat menyeramkan. Apalagi kalau orang melihat ke arah
kiri, di mana terdapat tempat terbuka dan sinar bulan menyorot
langsung tidak terhalang ke atas tanah. Orang itu pasti akan bergidik
melihat apa yang tampak di sana.
Tiga buah kepala orang berada di atas tanah. Kepala tiga orang
wanita yang masih hidup” Yang dua buah adalah kepala dua orang
wanita cantik bermuka pucat dan terdengar mereka ini menangis terisakisak
dengan air mata bercucuran. Akan tetapi, kepala yang berada di kiri,
kepala Sian Eng, biarpun tampak agak pucat juga, namun sama sekali
tidak menangis, malah sepasang matanya bersinar-sinar penuh
kemarahan.
Memang hebat dan mengerikan sepak terjang Hek-giam-lo, si
manusia iblis itu, yang mentaati perintah rajanya. Ia menggali tiga buah
lubang-lubang yang sempit dan dalam macam sumur kecil, memasukkan
tiga orang gadis tawanan itu ke dalam sumur dan mengubur mereka
sebatas leher. Seluruh tubuh tiga orang gadis ini tidak tampak, hanya
kepala mereka sebatas leher yang keluar dari tanah. Kemudian iblis ini
memasang benderanya di atas pohon dekat tempat itu. Dengan adanya
tanda ini, tidak ada seorang pun manusia di perkampungan itu berani
199
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
mencoba menolong gadis-gadis bernasib malang ini. Siapakah berani

melawan Tengkorak Hitam yang menjadi tangan kanan raja?
Bersambung...

No comments:

Post a Comment