Sunday, January 22, 2017

Cinta Bernoda Darah 01 - Mini Serial #018


Cerita Silat Kho Ping Hoo: Cinta Bernoda Darah 01 - Mini Serial #018
==========================================

Kalau saja Siang-mou Sin-ni tahu betapa sepeninggalnya patung yang
dihantamnya tadi dapat bergerak-gerak, tentu ia tidak akan lari malah
akan diserang mati-matian” Setelah iblis wanita rambut panjang itu
pergi, “patung” itu menarik napas panjang, melemparkan selubung kain
putih dan tampaklah seorang pemuda tinggi besar berpakaian seperti
sastrawan, pakaian berwarna hitam. Suling Emas” Seperti juga Siang-
139
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
mou Sin-ni, Suling Emas yang menyamar sebagai patung itu berkelebat
lenyap ke arah perginya Hek-giam-lo.

Sian Eng sudah girang hatinya dapat terbebas. Ia lari sekuat tenaga
dan memasuki hutan besar. Napasnya terengah-engah dan setelah
masuk di bagian hutan yang gelap, merasa dirinya aman, gadis ini
memperlambat langkahnya untuk mengaso dan mengatur napas. Akan
tetapi, dapat dibayangkannya betapa kagetnya, sampai mukanya
menjadi pucat tak berdarah lagi, ketika ia menoleh di depannya berdiri..
Hek-giam-lo”
“Paduka hendak ke mana, Sang Puteri? Harap hati-hati, tanpa hamba
yang melindungi, sebaiknya Paduka jangan pergi ke mana-mana. Banyak
berkeliaran musuh-musuh kita,” terdengar Hek-giam-lo berkata dengan
suaranya yang menyeramkan.
“Tidak.. tidak.. biarkan aku pergi sendiri. Jangan ganggu aku” teriak
Sian Eng yang ketakutan, dan ia hendak lari.
Akan tetapi iblis itu sekali berkelebat telah berada di depannya. Sian
Eng menjadi nekat dan menggunakan pedangnya membacok. Akan
tetapi entah bagaimana pedangnya seperti bertemu benda keras dan
terpental jauh kemudian tubuhnya terangkat dan ia sudah dibawa lari
seperti terbang cepatnya tanpa dapat meronta sedikit pun. Sian Eng
menggigil ketakutan dan pingsan dalam pondongan Hek-giam-lo.
***
Lin Lin membanting-banting kedua kakinya seperti anak kecil tidak
dituruti permintaannya.
“Kek, kau membohongi aku” Kau bilang dia berada di kota raja, mana
dia sekarang? Hayo katakan, mana dia? Sudah sepekan kita berada di
sini, setiap malam berkeliaran semalam suntuk, kalau siang tidur di kuil
tua, persis seperti kelelawar, malam berkeliaran siang tidur. Dan Suling
Emas belum juga tampak batang hidungnya”
140
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Kakek gundul pelontos itu, Kim-lun Seng-jin, duduk di atas lantai kuil
tua yang kotor, bersandar dinding yang sudah retak-retak, tertawa lebar
memperlihatkan giginya yang putih dan mengkilap tertimpa sinar api
unggun yang dibuatnya, sehingga keadaan dalam kuil yang gelap itu
menjadi terang.
“Heh-heh-heh, Lin Lin, sudah kukatakan kepadamu bahwa orang
macam Suling Emas itu sukar dipegang buntutnya.”
“Apa dia bukan manusia, Kek?”
“Heh? Manusia tapi seperti iblis. Ya, dia manusia seperti kita.”
Melihat dara remaja itu mengajukan pertanyaan dengan muka
sungguh-sungguh, meledak ketawa Kim-lun Seng-jin.
“Uuhh, kau benar-benar masih hijau. Masa tidak mengerti apa yang
kumaksudkan? Sukar dipegang buntutnya berarti sukar diikuti ke mana
perginya.”
“Wah, kalau begitu, sia-sia saja kita berkeliaran di kota raja ini, Kek?”
Lin Lin kembali timbul marahnya dan membanting kaki.
“Tidak ada yang sia-sia di dunia ini, semuanya berguna dan ada
manfaatnya, asal saja kita tahu bagaimana mempergunakannya dan
memetik manfaatnya. Kita sudah berada di kota raja, bukalah matamu
baik-baik. Bukankah kau menemui keadaan yang baru bagimu? Tidakkah
kau ingin melihat istana raja dari dalam? Aku selalu singgah di istana
kalau datang ke sini dan tak pernah lupa menjenguk dapurnya. Heh-heh,
sudah lama tidak kunikmati masakan istana.”
Seketika kemurungan hati Lin Lin lenyap. Wajahnya yang jelita
berseri, matanya berkilat dan seketika itu juga perutnya mendadak
menjadi lapar sekali.
“Wah, mari kita ke sana, Kek, ada masakan apa saja di sana? Aduh
perutku lapar sekali”
Kakek itu tertawa terpingkal-pingkal agaknya senang sekali melihat
watak yang mudah berubah dan aneh dari gadis remaja itu.
“Heh-heh-heh, serupa benar kau, serupa benar.”
“Serupa siapa, Kek?”
141
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
“Serupa dengan orang yang sudah tidak ada. Lin Lin, kau boleh ikut
aku ke istana dan menikmati masakan dapur yang selama hidupmu
belum pernah kaumakan atau lihat. Akan tetapi amat berbahaya, banyak
penjaganya yang pandai.”
“Aku tidak takut”
“Bukan soal berani atau takut, melainkan kepandaianmu yang
kuragukan.”
“Eh, eh, kau mencela aku sama dengan mencela dirimu sendiri, Kek.
Bukankah kau sudah memberi pelajaran serba kosong itu?” cela Lin Lin.
Kakek itu tersenyum masam. Cara gadis itu menyebut ilmu yang ia
ajarkan benar-benar amat memandang rendah. Disebutnya “serba
kosong”, memang nama ilmu yang ia turunkan adalah Khong-in (Mega
Kosong).
“Biarpun kau sudah menerima pelajaran dariku, akan tetapi aku
belum yakin apakah kau sudah berlatih sampai matang betul.”
Marah Lin Lin. Kepalanya dikedikkan, dadanya dibusungkan.
“Pagi siang sore malam kau suruh aku berlatih, tak pernah
membiarkan aku mengaso, sampai lupa makan lupa tidur lupa tempat,
masih kau bilang aku belum berlatih matang, Kek? Kau benar-benar
seorang yang kurang terima sekali. Wah, celaka, dapat seorang teman
satu kali saja begini tak ingat budi dan jerih payah orang”
“Huah-ha-ha-ha” Kakek itu terpingkal-pingkal. Benar-benar gila. Dia
yang mengajar ilmu kesaktian, eh, bocah ini malah memarahinya dan
seakan-akan bocah ini yang memberi sesuatu kepadanya karena sudah
rajin berlatih. Benar-benar pintar memutarbalikkan kenyataan.
“Ya sudahlah, aku setuju kau berlatih keras selama ini. Akan tetapi,
untuk dapat menyelinap masuk ke dapur istana, harus benar-benar
mahir Khong-in-ban-kin. Coba kauperlihatkan padaku sekali lagi ilmu
Khong-in-liu-san yang kaupelajari sambil mengerahkan tenaga dan ginkang.
Kau kurasa sudah cukup, sekarang juga kita pergi ke istana,
makan besar, pesta-pora tanpa bayar”
142
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Lin Lin girang sekali, lalu mencabut pedangnya dan besilat penuh
semangat. Akan tetapi pada jurus ke tujuh, ia terlalu keras
menggunakan tenaga sin-kang dan
“krakkk” pedang yang diayunnya patah menjadi tiga potong” Gadis itu
terkejut dan berdiri tertegun, kecewa dan menyesal melihat tangan
kanannya hanya memegang gagang pedang sedangkan pedangnya
sudah runtuh ke bawah.
Akan tetapi Kim-lun Seng-jin bersorak dan bertepuk tangan sambil
menari-nari kegirangan. Lin Lin mengerutkan kening, mulutnya
cemberut, matanya merah, mengira bahwa kakek itu mengejeknya.
“Bagus, bagus..” Kaulihat sendiri, cucuku, dengan tenaga Khong-inban-
kin, pedangmu yang buruk itu patah menjadi tiga potong. Ha-ha-ha,
sudah hebat tenagamu, hanya belum mampu kau mengendalikan
sehingga membikin rusak senjata sendiri. Cukup dan marilah ikut ke
istana, tidak hanya pesta besar kita, juga kau akan bisa memilih sendiri
sebatang pedang pusaka dalam kamar pusaka.”
Seketika lenyap kemarahan Lin Lin seperti awan tipis disapu angin. Ia
meloncat dekat kakek itu merangkul pundaknya.
“Betulkah, Kek? Hayo, lekas kita berangkat kalau begitu”
Sambil tertawa riang keduanya lalu berkelebat lenyap dalam
kegelapan malam. Kim-lun Seng-jin tidak membual ketika ia menyatakan
bahwa setiap kali datang ke kota raja ia pasti mampir ke istana dan
memasuki dapur istana. Memang, kesukaan kakek ini hanya makan,
makan enak, apalagi masakan-masakan lezat mahal di dapur istana yang
dapat dipilihnya tanpa bayar”
Kakek itu membuktikan omongannya dengan pengetahuannya yang
luas tentang seluk-beluk istana. Hafal betul ia akan jalan menuju ke
istana, malah ia dapat memilih dinding pagar mana yang tidak begitu
keras penjagaannya. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa ia memang
sudah menjadi “langganan” tempat terlarang itu. Dari sebelah selatan,
tembok yang mengurung kompleks istana memang amat sunyi. Pintu
gerbang sudah tertutup dan beberapa orang penjaga bercakap-cakap di
143
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
dalam gubuk penjagaan. Ada pula yang meronda pagar tembok,
membawa tombak dan pedang.
Jengkel juga Kim-lun Seng-jin melihat para penjaga itu terus-menerus
meronda pagar tembok yang dipilihnya untuk melompat masuk. Pagar
tembok itu amat tinggi, tidak kurang dari tujuh meter tingginya. Akan
tetapi yang ia pilih itu adalah tempat di mana tumbuh sebatang pohon
tidak jauh dari tembok, hanya dua meter jaraknya dari cabang terdekat
dengan tembok. Kalau saja ia tidak pergi bersama Lin Lin, tentu saja ia
bisa memilih tembok yang mana saja.
Diambilnya sebuah batu dan disambitnya ke arah kiri. Terdengar
suara orang mengaduh di sebelah kiri. Ternyata seorang penjaga yang
sedang berdiri tegak di dekat pintu gerbang, terkena sambitan batu itu,
tepat pada tulang keringnya di kaki, membuat ia meloncat-loncat dan
mengaduh-aduh sambil memegangi tulang kering yang dicium batu.
Teman-temannya segera lari menghampiri, termasuk mereka yang
meronda. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kim-lun Seng-jin, memberi
isyarat kepada Lin Lin untuk melompat dan mengikutinya.
Mula-mula kakek itu melompat ke atas cabang pohon terdekat
dengan tembok, ia melompat ke atas tembok. Lin Lin agak ngeri juga
melihat dari tempat yang tinggi itu.
Akan tetapi ia mengeraskan hati dan melompat bagaikan seekor
walet. Ia heran mendapat kenyataan bahwa lompatannya amat ringan
dan mudah. Mengertilah ia sekarang bahwa ini adalah hasil latihan Ilmu
Khong-in-ban-kin, maka diam-diam ia amat berterima kasih kepada
kakek itu.
Dengan mudah mereka melompat ke sebelah dalam dari atas tembok
dan tibalah mereka di daerah istana.
“Siapa tahu di sini kita akan bertemu dengan Suling Emas, Kek,” kata
Lin Lin, mengagumi bangunan-bangunan besar yang dihias lampu-lampu
beraneka warna.
“Boleh jadi, boleh jadi..” Kakek itu mengangguk-angguk. “Orang
macam dia itu bisa berada di manapun juga.”
144
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
“Apa dia itu hebat sekali, Kek? Apakah kau pernah bertempur dengan
dia?”
Kakek itu menggeleng kepala. “Belum pernah, bertemu pun belum.
Akan tetapi dalam beberapa tahun ini, ia telah membuat nama besar,
jauh melebihi aku yang sudah puluhan tahun berkecimpung di dunia
kang-ouw. Aku.. aku tidak suka membuat nama besar, bikin repot saja.
Nah, itu di sana dapurnya, mari”
Kim-lun Seng-jin memegang tangan Lin Lin dan keduanya melompat
naik ke atas genteng. Tanpa mengeluarkan suara seperti dua ekor
kucing saja, kakek dan dara remaja itu berloncatan di atas genteng.
Kakek itu mengajak berhenti di atas genteng yang agak rendah,
membuka genteng, mematahkan kayu penyangga genteng, lalu
menytisup ke dalam, diikuti oleh Lin Lin. Mereka telah berada di atas
langit-langit dapur. Dengan gerakan perlahan, Kim-lun Seng-jin
membuka langit-langit di pojok yang agaknya memang sudah lama
terbuka.
“Ini pintu rahasiaku, kubuat belasan tahun yang lalu,” bisiknya sambil
tersenyum lebar. Lin Lin menjadi geli juga hatinya. Kakek ini benar-benar
seperti seekor kucing hendak mencari daging, pikirnya. Dari lubang itu
mereka mengintip ke bawah dan bau yang sedap masuk melalui lubang
itu menyambut hidung mereka.
“Ehhhmmmm, waaahhhhh, sedapnya..” Kim-lun Seng-jin menyedotnyedot
dengan hidungnya. Juga Lin Lin merasa amat lapar sekarang.
“Di bawah tidak ada orang, sisa-sisa hidangan Kaisar sudah
dipanaskan lagi, mari” Ia membuka lubang itu dan melayang ke bawah,
diikuti oleh Lin Lin.
Dapur itu tidak menyerupai dapur bagi Lin Lin. Terlalu bersih, terlalu
mewah. Lebih bersih daripada kamar tidurnya di rumah orang tuanya
sana. Yang begini disebut dapur? Lantainya mengkilap, dindingnya dari
batu marmer putih, lemari-lemarinya yang indah berdiri berjajar di
sudut, penuh dengan panci-panci dan mangkok-mangkok besar.
145
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Tempat perapian untuk masak berada di sebelah kiri. Betul kata
kakek itu, panci dan mangkok-mangkok itu masih nampak mengebulkan
uap, tanpa bahwa isinya masih panas.
Kakek itu sudah tidak mau memperhatikan atau mempedulikan Lin Lin
lagi karena ia sudah sibuk membuka dan memeriksa isi panci dan
mangkok. Di tangannya sudah terdapat sepasang sumpit gading yang ia
ambil dari sebuah lemari. Sekarang tangan yang memegang sumpit ini
kewalahan melayani mulutnya yang melalap dan cepat menghabiskan
segala yang dimasukkannya. Nyumpit sana, nyumpit sini, lari ke lemari
sana, kemudian ke lemari sini, kakek itu benar-benar berpesta-pora”
Tangan kirinya menyambar guci arak yang berada di atas lemari
terciumlah bau arak wangi ketika ia mendorong makanan di mulutnya itu
dengan arak. Mulutnya mengeluarkan bunyi seperti babi makan ketika
mengunyah makanan, bibirnya mengecap-ngecap penuh nikmat.
Lin Lin juga ikut berpesta-pora sungguhpun tidak selahap kakek itu.
Namun ia pun gembira bukan main karena banyak sekali macamnya
masakan yang luar biasa di situ. Karena ia tidak mengenal masakanmasakan
itu, ia menyumpit masakan yang disebut oleh kakek itu sebagai
masakan istimewa.
“Ini sop sarang burung, ini tim lidah harimau, ini sop hiu masak
kecap, dan ini.. wah, ini panggang ikan lele” Tiada hentinya ia menyebut
nama-nama masakan dan Lin Lin harus akui bahwa yang disebut oleh
kakek itu memang benar nikmat dan lezat. Saking gembiranya, Lin Lip
juga ikut-ikutan minum arak merah yang tidak begitu keras, namun
hangat di perut. Tanpa mereka sadari perut mereka menjadi penuh dan
sang perut yang tak sanggup mengikuti selera lidah.
Lin Lin yang minta ampun lebih dulu duduk terhenyak di atas kursi,
terengah kekenyangan. Dasar dara remaja yang masih kekanakan, tanpa
malu-malu ia membelakangi kakek itu untuk mengendurkan tali
pinggang dalam dan luar”
“Heh-heh-heh, puas sekali ini. Wah, Kaisar amat royal hari ini, ada
apa gerangan? Dasar rejekimu besar, Lin Lin” Kakek itupun tak mampu
lagi mengisi perutnya. Agaknya makanan sudah memenuhi perutnya
146
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
sampai ke leher sehingga tiada ruangan kosong lagi untuk menampung
masakan. Ia menjatuhkan diri di lantai, bersandar dinding dan minum
arak keras sedikit demi sedikit sambil mengecap-ngecapkan bibirnya.
Terdengar suara orang bicara dan langkah kaki mendatangi. Cepat
bagaika maling konangan (ketahuan orang) Lin Lin sudah melompat dan
menerobos ke dalam lubang di atas langit-langit. Kakek itu mengikutinya
sambil terkekeh dan sambil mengintai dari atas ia berbisik.
“Ihhh, kenapa kau begini penakut?”
Lin Lin tidak menjawab, mukanya merah. Bukan takut, tapi siapa
tidak menjadi malu kalau mencuri makanan ketahuan pemiliknya?
Hatinya berdebar-debar gelisah. Selama hidupnya, baru kali ini ia
melakukan pencurian. Menjadi maling makanan, alangkah rendahnya
dan memalukan” Dengan muka masih merah ia ikut mengintai, hendak
melihat siapakah mereka yang memasuki dapur itu. Apakah kaisar
sendiri? Ataukah permaisuri? Makin berdebar jantungnya.
Tiga orang memasuki dapur istana itu. Kiranya hanyalah tukangtukang
dapur saja, melihat pakaian mereka. Begitu memasuki dapur,
ketiganya berhenti bicara dan memandang ke arah lemari dengan mata
terbelalak. Seorang di antara mereka lari mendekati lemari dan
terdengarlah ia berseru kaget.
“Celaka, masakan-masakannya ada yang curi” Ada yang makan, lihat
nih, ada yang tumpah di lantai”
“Wah-wah, celaka, tentu ada yang mencuri masuk”
Tiga orang itu mencari sana-sini, memandang ke seluruh penjuru, lalu
berdongak ke atas. Lin Lin makin berdebar jantungnya, merasa seakanakan
tiga orang itu telah mengetahui tempat persembunyiannya.
“Agaknya kucing” Kalau orang, mana berani main gila di dapur istana”
“Masa kucing bisa mengganyang habis begini banyak masakan?”
“Siapa tahu kucing siluman”
Ribut-ribut tiga orang tukang masak itu.
“Lekas laporkan kepada penjaga, eh.. ke komandan jaga saja, biar
dikerahkan semua pengawal menangkap kucing laknat. Kalau tidak
147
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
tertangkap yang makan masakan-masakan ini, celaka kita, tentu
mendapat hukuman dari Sri Baginda”
Seorang di antara mereka lari keluar, agaknya hendak melapor. Lin
Lin makin gelisah, akan tetapi ia lihat Kim-lun Seng-jin malah tidur
mendengkur perlahan di bawah genteng” Agaknya kakek ini
kekenyangan dan tertidur, sama sekali tidak tahu akan keributan di
dalam dapur.
“Tentu kucing, entah berapa ekor yang masuk dan mencuri
masakan,” kata lagi tukang masak yang gendut perutnya. “Hemmm,
kalau tertangkap, akan kusembelih dia, kutarik keluar jantungnya,
kumasak dengan jahe dan tape ketan. Baik untuk menguatkan jantung
menambah darah.”
Pucat muka Lin Lin mendengar ancaman ini dan saking gelisahnya,
ketika menggeser lebih dekat ke arah lubang untuk mengintai lebih jelas,
kepalanya terantuk genteng mengeluarkan bunyi. Dua tukang masak di
bawah mendengar ini dan mereka berdongak memandang penuh curiga.
“Wah, kucingnya di atas sana” seorang menuding.
“Mana bisa? Tidak ada lubang, dari mana dia masuk?”
“Siapa tahu kucing siluman?”
Si gendut menudingkan telunjuknya ke atas, tepat ke arah Lin Lin,
lalu membentak, “He” Siapa di atas sana? Kucing atau manusia, atau
setan?”
Tidak ada jawaban.
“Agaknya pencuri” kata temannya.
“Lebih baik panggil para pengawal, biar ditangkap dan dihujani anak
panah.”
“Nanti dulu, siapa tahu kalau hanya tikus atau kucing.” Kembali ia
memandang ke arah Lin Lin sambil berseru, “Heee” Siapa sembunyi di
atas langit-langit? Kalau setan atau manusia, jangan jawab. Kalau
kucing, jawablah”
148
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Lin Lin mendengarkan penuh perhatian, dengan seluruh perasaan,
menegang dan jantung berdebar. Mendengar pertanyaan ini, otomatis
mulutnya menjawab, “.. kucing.., eh
meeooonggg..” Ia gugup sekali sehingga jawabannya kacau-balau.
“Lho” Kucing bisa bicara” Wah, celaka.. setan..” Dua orang tukang
masak itu lari tunggang-langgang dan di ambang pintu mereka
bertabrakan sampai jatuh bangun.
“Heh-heh-heh” Kim-lun Seng-jin tertawa dan menarik tangan Lin Lin,
diajak melompat naik ke atas genteng. “Kau lucu sekali, masa kucing
bisa berkata seperti manusia”
Merah muka Lin Lin, mulutnya cemberut. “Aku tidak sengaja. Habis,
aku bingung, kau enak-enak ngorok sih, Kek”
“Mari kita ke gudang pusaka”
Gudang pusaka dijaga kuat. Memang gudang ini selalu dijaga, siang
malam, karena di dalamnya terdapat simpanan senjata-senjata pusaka
dan bendera-bendera milik istana.
“Kau yang masuk, biar aku merobohkan lima orang penjaga itu, dan
sementara kau di dalam, aku yang menjaga di luar. Lekas pilih pedang
yang kausukai, tapi hati-hati, banyak jebakan di sana. Aku percaya kau
mampu menjaga diri.”
Lin Lin mengangguk dan bagaikan dua ekor burung walet, kakek dan
dara remaja itu melayang turun. Lima orang penjaga serentak melongo
ketika tiba-tiba di depan mereka berdiri seorang kakek gundul yang
berjenggot panjang bersama seorang wanita muda secantik bidadari.
Sedetik mereka mengira bahwa mereka dikunjungi sebangsa iblis dan
peri, akan tetapi pada detik lain mereka sudah bergerak hendak
menangkap. Namun mereka kalah cepat. Kedua tangan kakek itu
bergerak dan lima orang itu roboh tertotok, tak berkutik lagi. Dengan
dorongan tangannya, Kim-lun Seng-jin berhasil membuka daun pintu

yang terkunci.

Bersambung...!

No comments:

Post a Comment