Friday, January 20, 2017

Cinta Bernoda Darah 01 - Mini Serial #017

Cerita Silat Kho Ping Hoo: Cinta Bernoda Darah 01 - Mini Serial #017
==========================================
Tiba-tiba sesosok bayangan nitam berkelebat dan tahu-tahu ia
merasa dirinya diterbangkan dari tempat itu. Demikian cepatnya gerakan
yang menolongnya sehingga ia tidak dapat melihat orang ataukah setan
penolongnya itu. Ia dipondong dan karena masih dalam keadaan
tertotok, ia tidak dapat menggerakkan kepala untuk memandang
pemondongnya. Pakaian orang ini dari sutera hitam dan ia mengingatingat.
Tiba-tiba jantungnya berdebar keras. Orang yang dahulu
melengking tinggi mengejar It-gan Kai-ong, yang hanya terlihat
punggungnya, juga berpakaian hitam. Orang yang membawa suling dan
yang mereka duga adalah Suling Emas, dan juga pembunuh orang tua
mereka”

Celaka, pikirnya, kalau pembunuh orang tuanya, musuh besar ini
yang sekarang menculiknya pergi, tentu tidak bermaksud baik. Ia tidak
tahu dibawa ke jurusan mana, cepat sekali larinya seperti terbang saja.
Menjelang senja mereka tiba di lereng gunung.
Sian Eng sekarang sudah mampu menggerakkan kepala karena urat
lehernya sudah mulai terbebas daripada totokan, jalan darahnya sudah
mulai mengalir kembali. Akan tetapi biarpun ia menengok dan memutar
leher, tetap saja ia tidak dapat memandang muka pemondongnya yang
berjubah hitam, karena kepalanya berada di punggung orang itu. Ketika
ia memandang ke sekitarnya melalui kedua pundak pemondongnya, ia
terkejut dan merasa ngeri.
Kiranya mereka telah berada di sebuah tempat kuburan kuno yang
amat luas. Agaknya kuburan orang besar, karena selain luas, juga amat
indah. Bongpai (batu nisan) besar-besar dan megah berdiri di sana, di
dalam lingkungan pagar tembok dan di sana sini berdiri patung-patung
yang terukir indah. Jalan menuju ke batu nisan itu menanjak. Agaknya
penolongnya hendak membawanya ke batu nisan itu. Akan tetapi
ternyata tidak. Ia dibawa memasuki sebuah terowongan melalui sebuah
pintu rahasia di balik batu nisan. Terowongan yang gelap sekali. Tak
lama kemudian sampailah mereka di sebuah ruangan bawah tanah yang
cukup luas dan tidak gelap, agaknya sinar matahari dapat masuk ke
ruangan ini. Sian Eng dilempar ke atas sebuah bangku panjang, akan
tetapi ia tidak terbanting, melainkan jatuh terduduk. Ini kembali
131
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
membuktikan bahwa penolong atau penculiknya itu adalah seorang yang
amat tinggi kepandaiannya.
Sian Eng yang sudah dapat bergerak lagi cepat menoleh dan.. gadis
itu hampir saja menjerit kalau tidak lekas-lekas menutupi mulut dengan
kedua tangannya. Ia hanya duduk dengan mata terbelalak lebar
memandang ke depan, kepada orang yang memondongnya tadi. Sehelai
demi sehelai bulu di tubuhnya berdiri, dan gadis ini hampir pingsan
karena kaget, takut, dan ngeri. Ternyata yang memondongnya tadi
bukanlah manusia” Tengkorak hidup” Jubah hitam itu menutup sampai
kepalanya, yang tampak hanya muka tengkorak dengan kedua lubang
mata yang lebar, lubang hidung yang kecil dan bekas mulut yang amat
lebar, masih bergigi. Mengerikan” Di tempat seperti itu, yakni di bawah
tanah, bawah kuburan bertemu dengan mahluk seperti ini, benar-berar
membutuhkan syaraf membaja untuk tidak menjerit-jerit ketakutan.
Kemudian mahluk itu yang berdiri tak bergerak seperti patung,
mengeluarkan suaranya yang terdengar bergema namun seperti dari
jauh datangnya, suara yang tidak pantas menjadi suara manusia hidup,
“Nona datang dari Ting-chun, di kaki Gunung Cin-ling-san puteri
Jenderal Kam Si Ek?”
Karena masih dicekam kengerian, Sian Eng belum mampu
mengeluarkan suara, hanya mengangguk dan sepasang matanya yang
bening itu terbelalak lebar, beberapa kali menelan ludah untuk
membasahi kerongkongannya yang mendadak menjadi kering sekali.
Mendadak terjadi hal yang aneh dalam pandangan Sian Eng. Mahluk
itu, yang kini ia dapat menduga tentulah seorang manusia yang
memakai topeng tengkorak, tiba-tiba menjatuhkan dirinya berlutut di
depan bangku itu, di mana Sian Eng sudah bangkit berdiri”
“Aduhai Sang Puteri.. bertahun-tahun hambamu seluruh rakyat
menanti kehadiran Paduka Puteri, bertahun-tahun hamba yang hina
mencari dengan susah payah. Akhirnya hamba mendapatkan jejak
Jenderal Kam di Ting-chun, akan tetapi Paduka sudah pergi.. ah, siapa
duga hamba dapat bertemu dengan Paduka di sini. Rakyat telah menanti
untuk menjemput Paduka sebagai ratu..”
132
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Sampai di sini, si kedok tengkorak itu lalu menangis sesenggukan.
Dapat dibayangkan betapa Sian Eng melongo keheranan, bulu
tengkuknya berdiri kaku karena ia menganggap bahwa kedok iblis ini
tentulah seorang yang miring otaknya” Akan tetapi suara tangisan kedok
iblis itu demikian mengharukan hati sehingga dalam takutnya Sian Eng
ikut terharu dan tak dapat menahan lagi membanjirnya air matanya. Ia
ikut pula menangis”
Kedok iblis itu segera membentur-benturkan jidat tengkoraknya ke
atas lantai sambil berkata,
“Wahai, Paduka Puteri junjungan hamba.., betapa bahagianya hati
hamba, betapa bahagianya rakyat kita, setelah bertahun-tahun dikuasai
raja yang tak berhak. Kini Paduka telah muncul, bagaikan Sang Matahari
muncul untuk mengusir awan hitam yang gelap. Jangan Paduka
khawatir, ada hamba Hek-giam-lo yang akan membantu Paduka
merampas kembali mahkota dan singgasana yang memang menjadi hak
Paduka..”
Tentu saja Sian Eng makin tidak mengerti dan menganggap orang
yang miring otaknya ini sedang kambuh gilanya maka bicaranya makin
tidak karuan. Pada saat itu terdengar suara mirip tangisan yang
melengking tinggi menembus sampai ke ruangan di bawah tanah itu.
Lapat-lapat terdengar suara memanggil nama Hek-giam-lo disusul makimakian.
Hek-giam-lo mengangguk-anggukkan kepala tengkoraknya di depan
kaki Sian Eng, lalu berkata halus,
“Mohon perkenan Paduka untuk menghalau pengacau yang berada di
luar istana.”
Mau tak mau Sian Eng menggigil. Tempat kuburan mengerikan
seperti ini dianggap istana dan ia hendak dijadikan ratunya. Celaka”
Akan tetapi untuk membantah, ia tidak berani karena maklum bahwa
orang gila yang menyeramkan ini memiliki kepandaian yang luar biasa
tingginya. Ia hanya mengangguk dan agar orang gila itu tidak kecewa
dan marah ia berkata lirih,
“Pergilah..”
133
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Tampak bayangan hitam berkelebat dan tahu-tahu Hek-giam-lo telah
lenyap dari depannya. Sian Eng menggosok-gosok kedua mata dengan
punggung tangan. Mimpikah ia? Ataukah semua itu tadi peristiwa yang
benar terjadi? Kalau begitu, agaknya bukan manusia si kedok tadi,
jangan-jangan memang benar tengkorak hidup. Kalau manusia, masa
pandai menghilang seperti itu?
Di sebelah atas, depan bongpai (batu nisan) yag besar dan megah
itu, berdiri seorang wanita yang rambutnya panjang riap-riapan sampai
ke kaki. Seorang wanita cantik sekali, rambutnya hitam halus dan
mengeluarkan keharuman yang mewakili taman bunga, baju luarnya
putih bersih dari sutera halus. Seorang wanita cantik namun
menyeramkan. Sukar mengira-ngira usianya. Melihat wajah halus mata
jeli bibir merah itu orang akan mengira ia masih amat muda, akan tetapi
sikap, gerak-gerik dan pandang matanya membayangkan kematangan
lahir batin di samping watak yang mendirikan bulu roma. Siang-mou Sinni
(Wanita Sakti Rambut Harum)”
Telah kita kenal wataknya yang aneh dan kekejamannya yang
melewati batas pada permulaan cerita ini. Ia sekarang berdiri di depan
batu nisan besar sambil memaki-maki dengan suara nyaring, diseling
lengking tinggi seperti orang menangis.
“Hek-giam-lo, tengkorak busuk bau bangkai” Keluarlah jangan
sembunyi seperti cacing tanah” Kalau kau tidak lekas keluar, lihat saja
kau” Batu nisan yang bagus-bagus ini kubikin remuk. Hendak kulihat
apakah kau masih tidak akan muncul”
Tentu saja ucapan ini membikin marah Hek-giam-lo yang tepat
muncul dari sebuah lubang di depan batu nisan setelah membuka
penutup lubang itu dari bawah. Orang biasa tentu akan kaget setengah
mati dan lari terkencing-kencing ketakutan kalau melihat mahluk seperti
Hek-giam-lo tiba-tiba muncul dari lubang di depan batu nisan itu. Akan
tetapi Siang-mou Sin-ni bukanlah orang biasa. Ia segera menyambut
munculnya Hek-giam-lo dengan makian sambil menudingkan telunjuk
kirinya yang runcing dan tangan kanan bertolak pinggang.
134
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
“Hek-giam-lo tengkorak busuk” Hayo lekas kau serahkan padaku
surat yang kau curi dari gerombolan It-gan Kai-ong si gembel tua
bangka”
Hek-giam-lo tidak menjawab akan tetapi segera melompat keluar dan
menghadapi Siang-mou Sin-ni dengan marah.
“Sin-ni, antara kita sudah terdapat saling pengertian, karena jalan
hidup kita tidak bersimpangan. Kau tahu bahwa aku harus membela
negaraku, surat itu amat penting bagi negaraku. Kerajaan Sung selalu
memusuhi Khitan, dan sekarang, setelah aku menemukan kembali Puteri
Mahkota calon ratu, surat itu terlebih penting. Dengan
memperlihatkannya kepada Kerajaan Sung, tentu mempererat hubungan
antara Khitan dan Sung. Mau apa kau pinta surat itu?”
“Tengkorak busuk” Kau kira hanya kau seorang yang mau mengambil
peran sebagai patriot pembela bangsa dan negara? Cih, bangsa Khitan,
perantau tak tentu tanah airnya, berlagak patriot segala” Surat itu
adalah surat persekutuan antara Nan-cao dan Hou-han. Apa sangkutpautnya
dengan Khitan? Dan kau harus tahu bahwa aku adalah pembela
Hou-han. Surat itu harus kudapatkan kembali dan kuserahkan kembali
kepada yang berhak yaitu Kerajaan Hou-han atau Nan-cao yang wajib
menerimanya. Biarpun untuk itu aku harus mengadu ilmu dengan
patriot-patriot Khitan, aku tidak akan undur setapak pun”
“Hemmm, kau perempuan mau main politik segala? Siang-mou Sin-ni,
namamu cukup terkenal sebagai seorang di antara Thian-te Liok-koai.
Lebih baik kaupertahankan nama itu dan jangan mencampuri urusan
negara. Urusan ini adalah bagian laki-laki.”
“Cerewet” Kau ini selamanya pakai kedok tengkorak, siapa tahu kau
perempuan atau laki-laki? Hayo kembalikan” Siang-mou Sin-ni
menggertak dan rambut-rambut hitam panjang di kepalanya itu sudah
bergoyang-goyang. Rambutnya merupakan senjatanya yang paling
ampuh dan memang rambutnya itulah yang amat ditakuti di dunia kangouw.
Bagi wanita biasa, agaknya rambut yang hitam panjang halus dan
harum itu akan menjadi kebanggaan dan akan disukai banyak orang,
terutama kaum pria. Akan tetapi rambut Siang-mou Sin-ni yang harum
135
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
ini merupakan cengkeraman-cengkeraman maut yang entah sudah
menewaskan nyawa beberapa banyak orang”
“Sin-ni, kau tahu aturan antara kita. Surat ini aku dapatkan dengan
jalan menggunakan kepandaian, tentu saja tidak mungkin kuberikan
kepadamu begini saja.”
Sambil berkata demikian, Hek-giam-lo sudah mengeluarkan sabitnya,
juga tangan kirinya mengeluarkan sehelai surat yang ia rampas dari
tangan Suma Boan tanpa diketahui orangnya.
Melihat surat itu di tangan Hek-giam-lo, Siang-mou Sin-ni
mengeluarkan lengking tangis yang menggetarkan kalbu, rambutnya
seakan-akan hidup menyambar untuk merampas surat sedangkan
sebagian rambutnya yang lain lagi menyambar ke arah jalan darah di
dada, leher, pangkal lengan dan pergelangan yang maksudnya selain
merobohkan lawan juga merampas sabit”
“Uhhh” Hek-giam-lo membentak, surat itu sudah lenyap di saku
bajunya lagi dan sabitnya hilang, berubah menjadi sinar putih yang
menyilaukan mata, tubuhnya menjadi bayangan hitam yang bergulunggulung
dengan sinar sabitnya. Pada detik-detik berikutnya, Hek-giam-lo
dan Siang-mou Sin-ni sudah saling terjang dengan ganas sehingga
terjadilah perkelahian yang luar biasa. Kalau kebetulan ada orang
melihat pertempuran ini, tentu mengira bahwa iblis-iblis kuburanlah yang
sedang bertanding ini. Kadang-kadang mereka bertanding di atas lantai
depan batu bisa, kadang-kadang dengan gerakan ringan dan cepat
keduanya berlompatan dan berkejaran di atas bongpai (batu nisan),
melayang di antara pohon-pohon untuk kembali ke lantai lagi,
melanjutkan pertandingan yang amat hebatnya.
Namun keduanya sama kuat. Pertahanan masing-masing terlampau
kokoh dan rapat sehingga sukar bagi mereka untuk mencari lubang dan
memasuki serangan mematikan.
“Hi-hik, tengkorak busuk. Mana pelajaranmu dari Bu Kek Siansu?
Untuk apa kau rampas setengah kitabnya? Hayo keluarkan, kulihat jurusjurusmu
adalah yang dulu juga, sudah lapuk dan kuno” ejek Siang-mou
Sin-ni.
136
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Hek-giam-lo mendengus dan memutar sabitnya.
“Kau merampas alat tetabuhan khim untuk apa pula? Tidak perlu
cerewet, rampaslah suratmu kakau kau memang becus”
“Keparat, hari ini Hek-giam-lo mampus di tanganku” Siang-mou Sin-ni
memperhebat gerakannya dan kini mereka bertanding lebih seru lagi,
berusaha mencari kemenangan dengan mengeluarkan jurus-jurus
mematikan.
Sementara itu, Sian Eng ketika melihat dirinya ditinggalkan sendiri
oleh Hek-giam-lo, segera timbul keberaniannya. Kesempatan baik sekali
untuk melarikan diri. Cepat ia melompat turun dari atas bangku panjang,
menyambar pedangnya yang tadi dibawa pula agaknya oleh Hek-giamlo,
dan berjalanlah ia melalui lorong di bawah tanah yang gelap.
Seberapa kali ia salah jalan. Kiranya lorong itu mempunyai banyak jalan
simpangan yang menyesatkan. Setelah meraba sana, merayap ke sini,
akhirnya Sian Eng berhasil melihat sinar matahari melalui sebuah lubang.
Pengharapannya menebal dan cepat ia merayap ke arah sinar itu yang
ternyata masuk dari sebuah lubang yang cukup besar. Ia mengerahkan
gin-kang dan melompat keluar dari lubang.
Sejenak kedua matanya silau dan terpaksa ia berdiri sambil
memejamkan mata. Baru saja keluar dari tempat gelap ke tempat terang
memang amat menyilaukan mata, hampir ia tak dapat percaya apa yang
dilihatnya. Ternyata ia telah berada di depan batu-batu nisan besar dan
di situ berkelebatan dua orang yang sedang bertanding dengan hebat
dan aneh. Yang seorang adalah Hek-giam-lo, yang mempergunakan
sebuah sabit yang mengerikan.
Orang ke dua adalah seorang wanita cantik sekali, akan tetapi cara
bertempur wanita itu aneh karena wanita itu selalu menggunakan
rambutnya yang panjang dan gemuk hitam sebagai senjata”
Sian Eng tidak tahu apa yang harus dilakukannya menghadapi
pertandingan itu. Hek-giam-lo dianggapnya seorang miring otak yang
menganggap dia sebagai seorang Puteri calon ratu, akan tetapi ia masih
tidak tahu apakah iblis hitam itu mengandung niat baik ataukah buruk
terhadap dirinya. Adapun wanita cantik yang bertempur melawan Hek-
137
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
giam-lo itupun ia tidak kenal, tidak tahu pula mengapa bertempur
melawan Hek-giam-lo. Oleh karena ini, Sian Eng tidak mempedulikan
pertempuran itu dan mendapatkan kesempatan baik ini ia segera
melarikan diri.
Akan tetapi Sian Eng benar-benar keliru kalau dia mengira bahwa dua
orang itu tidak melihatnya dan tidak tahu bahwa ia melarikan diri. Dua
orang itu adalah orang-orang sakti yang tentu saja melihat dia keluar
dari lubang tadi. Belum jauh Sian Eng melarikan diri, Hek-giam-lo
mendengus.
“Sin-ni, lain waktu kita lanjutkan. Aku harus mengejar dia.”
“Hik-hik, tinggalkan dulu surat itu, baru aku memberi ampun padamu”
Sabit di tangan Hek-giam-lo menyambar sepenuh tenaga, namun
dengan mudah Siang-mou Sin-ni mengelak dan membalas dengan
sambaran rambutnya.
“Keparat kau” Aku perlu sekali dengan gadis itu” kembali Hek-giam-lo
berkata, minta pertandingan dihentikan.
“Aku pun perlu sekali dengan surat itu. Sebelum kauserahkan
kepadaku, jangan harap kau bisa mendapatkan gadis itu. Hi-hik.”
Kewalahan Hek-giam-lo menghadapi lawannya yang selain pandai
bertempur, juga amat pandai berdebat ini.
“Nah, kaumakanlah suratmu” Hek-giam-lo sudah mengeluarkan surat
itu dan melemparkannya ke arah Siang-mou Sin-ni, kemudian melompat
jauh untuk mengejar Sian Eng.
Adapun Siang-mou Sin-ni melihat menyambarnya benda putih, segera
ditangkapnya dan ia terkekeh girang melihat bahwa benda itu memang
benar merupakan surat persekutuan antara Pemerintah Nan-cao dan
Pemerintah Hou-han. Sambil tersenyum manis ia memasukkan surat itu
ke dalam saku jubahnya, kemudian bersenandung lirih dan membalikkan
tubuh hendak pergi dari tempat itu. Akan tetapi ketika ia membalikkan
tubuh, matanya memandang ke arah sebuah di antara jajaran patung
yang kebetulan berada di depannya. Sebuah patung sebesar patung
138
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
seorang sastrawan kuno. Wajah patung itu amat halus buatannya,
seperti manusia hidup saja.
“Ih, tampan juga kau” Siang-mou Sin-ni tersenyum. “Sayang kau
hanya batu, tidak punya darah dan daging. Ih, matamu terlalu tajam,
lebih baik lehermu kupatahkan sebelum aku pergi.”
Siang-mou Sin-ni menggerakkan kepalanya, segumpal rambut
panjang menyambar ke arah leher patung.
“Plakkk” Rambut itu terpental kembali dan leher patung tidak apaapa.
Jangankan patah, gempil pun tidak.
Sepasang mata jeli bening itu terbelalak. Biasanya, hantaman
rambutnya akan mampu memecahkan batu hitam, masa sekarang
mematahkan leher patung saja tidak kuat? Sekali lagi ia menggerakkan
kepala, kini setengah rambutnya semua menyambar, merupakan
gumpalan yang cukup besar.
“Plakkk” Kali ini tubuh Siang-mou Sin-ni tergetar karena kekuatan
yang ia pergunakan tadi lebih besar sehingga ketika terpental, lebih
hebat pula terasa olehnya.
Wanita ini berubah wajahnya. Matanya melirik ke arah patung itu, lalu
kepada patung-patung lain yang berjajar di situ. Kalau semua patung itu
sekuat ini, agaknya memiliki kesaktian, hiiiiih, Siang-mou Sin-ni merasa
bulu tengkuknya bangun dan ia cepat-cepat meninggalkan tempat itu”
Seorang wanita yang terkenal ganas seperti iblis sekarang lari ketakutan,
mengira bahwa patung-patung itu sudah menjadi iblis. Mungkin
menghadapi sesama manusia, iblis wanita rambut panjang itu tidak akan
gentar seujung rambut pun, akan tetapi menghadapi patung batu yang
dapat tahan menghadapi dua kali hantaman rambutnya, benar-benar
melewati batas ketabahannya.

Bersambung..

No comments:

Post a Comment