Saturday, January 14, 2017

Cinta Bernoda Darah 01 - Mini Serial #016

Cerita Silat Kho Ping Hoo: Cinta Bernoda Darah 01 - Mini Serial #016
==========================================
“Masih ada satu jalan untuk mencari orang itu. Pada empat belas
tahun yang lalu, yang menjabat sebagai kepala ujian adalah Pangeran
120
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Suma Kong yang sekarang tinggal di kota An-sui. Kalian coba saja
menghadap beliau dan mohon pertolongannya, karena kurasa pangeran
itu mempunyai catatan tentang para pengikut ujian dan siapa tahu
beliau akan dapat memberi keterangan di mana adanya Liu Bu Song itu.”

Wajah kakak beradik itu berubah dan mereka saling lirik ketika
mendengar kata-kata ini. Pangeran Suma di An-sui? Itulah keluarga yang
gedungnya mereka datangi, dan di sana pula Lin Lin lenyap. Di sana
malah terdapat It-gan Kai-ong dan pemuda lihai yang mereka dengar
disebut Suma-kongcu. Karena pikiran ini membuat merasa bingung dan
tegang, Bu Sin segera menghaturkan terima kasih dan minta diri.
Setelah keluar dari rumah kakek guru itu, Bu Sin menarik napas
panjang.
“Apakah kita harus pergi ke rumah itu? Tempat yang amat berbahaya
itu, bagaimana kalau mereka yang berada di sana, terutama It-gan Kaiong,
mengenal kita? Bukankah itu sama halnya dengan memasuki gua
naga dan harimau?”
“Sin-ko, dengan mereka kita tidak mempunyai permusuhan. Kalau
Pangeran Suma orang satu-satunya yang dapat menolong kita, mengapa
kita meragu? Lebih baik kita mencoba, siapa tahu pangeran tua itu
mengerti di mana adanya Kakak Bu Song. Kalau bukan bertanya dia,
siapa lagi? Kakek guru itu saja tidak dapat menolong kita, apalagi orang
lain?”
“Dengan keluarga Pangeran Suma memang kita tidak ada
permusuhan, akan tetapi kau harus ingat It-gan Kai-ong yang berada di
sana. Kita pernah ribut dengan para pengemis.”
“Bukankah dia sudah memaafkan kita setelah diberi uang perak oleh
Lin Lin? Kalau memang dia berniat jahat, kiranya dia sudah turun tangan
sejak dulu.”
Akhirnya Bu Sin mengambil keputusan dan berkata,
“Baiklah, kita ke An-sui, bertanya dan minta tolong kepada Pangeran
Suma Kong. Apapun yang akan terjadi, harus kita hadapi karena ini
menjadi kewajiban kita memenuhi pesan terakhir dari Ayah untuk
mencari Kakak Bu Song. Mari, Eng-moi, kita kembali ke An-sui.”
121
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Hanya semalam mereka di kota raja dan pada keesokan harinya,
kembali mereka melakukan perjalanan ke An-sui dengan cepat. Begitu
tiba di An-sui beberapa hari kemudian di waktu siang, mereka berdua
langsung menuju ke rumah gedung yang pernah mereka kenal di suatu
malam itu, memasuki halaman rumah yang luas. Hati mereka berdebar
tegang ketika pelayan yang mereka mintai tolong untuk melaporkan
kepada Pangeran Suma bahwa mereka berdua mohon menghadap,
memasuki pintu depan yang besar.
Akhirnya pintu terbuka dan alangkah kaget dan tegang hati mereka.
Yang muncul keluar bukanlah seorang pangeran tua, melainkan seorang
pemuda tinggi tegap dan tampan berhidung bengkok bermata tajam
seperti burung hantu. Ini adalah pemuda yang mereka lihat malam itu,
Suma-kongcu atau Suma Boan” Lebih-lebih Sian Eng tergetar hatinya
ketika melihat sepasang mata pemuda itu memandangmya seakan-akan
hendak menelannya bulat-bulat dan mulut yang membayangkan
kelicikan itu tersenyum-senyum. Di belakang pemuda ini keluar pula
belasan orang laki-laki tinggi besar dan sekali lihat saja dapat menduga
bahwa mereka adalah perajurit-perajurit pengawal karena pakaian
mereka seragam. Suma-kongcu memberi isyarat dan belasan orang
pengawal itu masuk kembali ke dalam, kemudian pemuda itu membalas
penghormatan kedua orang tamunya dengan menjura dan berkata.
“Menurut laporan pelayan, Nona dan saudara hendak menghadap
Pangeran Suma. Kebetulan sekali Ayah sedang tidur siang, akan tetapi
kalau ada urusan, boleh Ji-wi bicarakan dengan saya, karena semua
urusan Ayah telah diwakilkan kepada saya. Apakah keperluan Ji-wi
datang menghadap Ayah?”
Karena bagi Bu Sin sama saja, baik Pangeran Suma maupun
puteranya asal dapat memberi keterangan tentang kakaknya, maka ia
segera berkata dengan hormat.
“Maafkan kalau kami mengganggu waktu yang berharga, Sumakongcu.
Kedatangan kami mohon menghadap Pangeran Suma adalah
dengan maksud mohon pertolongan, karena untuk urusan kami ini,
kiranya hanya Pangeran Suma yang dapat menolong.”
122
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Wajah Suma Boan berubah ramah, tapi pandang matanya penuh
selidik dan seperti tadi, sekilas ia memandang ke arah pedang yang
tergantung di pinggang dan punggung kedua orang muda itu.
“Heran sekali, kami tidak pernah mengenal Ji-wi, pertolongan apakah
yang kami lakukan?”
“Begini, Kongcu. Kami mencari seorang pengikut ujian yang berada di
kota raja dan mengikuti ujian empat belas tahun yang lalu. Karena pada
waktu itu kami mendapat keterangan bahwa Pangeran Suma yang
menjabat kepala penguji, maka kiranya sudi memberi keterangan
kepada kami apakah beliau mengetahui di mana adanya pelajar itu
sekarang.”
“Siapakah namanya pelajar itu? Empat belas tahun yang lalu?
Hemmm, agaknya dapat dilihat dalam buku catatan tentang pelajar.”
“Pada waktu itu, ia memasukkan namanya sebagai Liu Bu Song..”
“Bu Song..?”
Suma-kongcu kelihatan kaget bukan main dan wajahnya seketika
berubah merah, matanya terbelalak lebar.
“Apamukah dia itu?” pertanyaannya kini tidak halus lagi.
Bu Sin dan Sian Eng kaget melihat perubahan ini, akan tetapi karena
tidak dapat menduga apa yang menyebabkan Suma-kongcu berubah
demikian, Bu Sin menjawab sejujurnya,
“Dia adalah kakak kami..”
“Bagus..” Suma-kongcu melompat bangun lalu tertawa bergelak. “Haha-
ha-ha, Bu Song” Kau telah mengirim dua orang adikmu, bagus” Adik
laki-laki boleh menggantikan hukumanmu, adik perempuan hemmm..
cukup cantik membayar penghinaanmu. Ha-ha-ha” Suma-kongcu
bertepuk tangan dan belasan orang pengawal muncul dengan cepat
sekali.
“Tangkap mereka”
Bukan main kagetnya Bu Sin dan Sian Eng melihat sikap Sumakongcu
dan mendengar perintah ini. Tanpa menanti lebih lama lagi
mereka segera meloncat mundur sambil mencabut pedang. Namun
123
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
gerakan Suma Boan bukan main cepatnya. Bagaikan seekor burung
elang menyambar ia telah menerjang Bu Sin dan Sian Eng, kedua
tangannya bergerak melakukan serangan. Bu Sin dan Sian Eng belum
sempat menarik pedang, terpaksa mereka menangkis karena serangan
ini cepat dan berbahaya sekali. Kedua tangan Suma Boan bertemu
dengan tangkisan tangan Bu Sin dan Sian Eng. Akibatnya, Bu Sin
terhuyung mundur dan Sian Eng terguling” Kaget sekali kakak beradik
ini. Sian Eng cepat hendak meloncat bangun, namun sebuah totokan
dengan dua jari tangan Suma Boan telah mengenai jalan darahnya
dengan cepat, membuat ia tidak mampu berkutik lagi” Sambil tertawatawa
Suma Boan menyambar tubuh Sian Eng dan memondongnya.
“Lepaskan adikku” Bu Sin membentak, pedangnya yang sekarang
sudah ia cabut menyambar ke arah Suma Boan. Permainan pedang Bu
Sin bukanlah lemah. Pedang itu meluncur cepat dan Suma Boan
terpaksa menghindarkan diri sambil melompat ke samping. Akan tetapi
pedang Bu Sin mengejar terus.
Pada saat itu, para pengawal sudah mengepung Bu Sin sehingga
pemuda ini tidak mampu lagi menolong adiknya. Terpaksa dengan
kemarahan meluap-luap ia memutar pedangnya melayani belasan orang
pengawal itu. Menghadapi para pengawal ini, biarpun dikeroyok, baru
tampak kelihaian ilmu pedang Bu Sin. Sebentar saja tiga orang pengawal
roboh terluka. Pengawal-pengawal lainnya menjadi gentar juga. Tak
mereka sangka ilmu pedang pemuda ini demikian hebat. Kini mereka
tidak berani mendekat rapat. Melihat ini, Suma Boan menjadi habis
sabar. Ia merebahkan tubuh Sian Eng ke atas dipan di sudut ruangan,
kemudian ia melompat ke medan pertandingan sambil membentak.
“Mundur kalian, orang-orang tiada guna dan lihat bagaimana aku
menangkap cacing ini”
Para pengawal menjadi lega hati mereka. Cepat mereka mundur
sambil menolong tiga orang kawan mereka yang terluka. Adapun Bu Sin
ketika melihat Suma Boan, segera membentak nyaring dan menerjang
maju. Ia bermaksud merobohkan kongcu itu untuk dapat menolong
adiknya yang ia lihat masih rebah di atas dipan, tak dapat bergerak.
124
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
“Orang jahat she Suma” Apa kesalahan kami maka kau melakukan
penangkapan?”
“Ha-ha-ha, Bu Song, kakakmu itu musuh besarku. Menyerahlah”
“Sebelum mati takkan menyerah. Lihat pedang.”
Suma Boan tetap tertawa sambil mengelak dari sambaran pedang. Di
lain saat kedua tangannya sudah bergerak menyodok dan menotok
sebagai penyerangan balasan. Putera pangeran ini menghadapi Bu Sin
dengan tangan kosong saja. Memang dia seorang ciang-hoat (silat
tangan kosong) yang amat lihat, mewarisi ilmu silat tinggi dari It-gan
Kai-ong, Bu Sin bukanlah lawannya, karena dibandingkan dengan putera
pangeran ini, ilmu kepandaian Bu Sin masih amat rendah, kalah
beberapa tingkat”
Tidaklah mengherankan apabila dalam beberapa belas jurus saja,
pergelangan tangan kanan Bu Sin kena disabet dengan tangan miring
sehingga pedangnya terpental jauh, kemudian sebelum Bu Sin sempat
menyelamatkan diri, ia telah tertotok roboh dan segera ditubruk dan
diringkus oleh para pengawal. Beberapa orang pengawal yang marah
karena pemuda ini sudah melukai tiga orang kawan mereka,
menghujankan pukulan-pukulan. Bu Sin tentu akan tewas kalau saja
Suma Boan tidak menghardik orang-orangnya.
“Jangan sentuh dia” Aku sendiri yang akan menghukumnya. Hemm,
orang-orang tiada guna, kalau kalian memukuli sampai mati, nyawa
kalian gantinya” Akan tetapi Bu Sin tidak mati, hanya pingsan saja.
Suma Boan menengok ke arah dipan dan alangkah kagetnya ketika
melihat dipan itu kosong. Sian Eng si cantik manis yang tadi telah
tertotok dan tak mampu bergerak, rebah di atas dipan, kini tidak tampak
lagi, lenyap dari tempat itu tanpa bekas”
“Keparat, di mana dia..?” Suma Boan dengan sekali lompat sudah tiba
di dekat dipan dan sepasang matanya melotot, mukanya pucat ketika ia
melihat sebuah benda tertancap di atas dipan sebagai ganti gadis cantik
itu. Benda ini adalah sebuah bendera kecil, gagangnya dari kayu hitam
menancap pada dipan, benderanya berbentuk segi tiga berdasar hitam
125
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
dengan gambar Hek-giam-lo si malaikat maut yang memegang sabit,
tersulam dengan benang warna kuning emas”
“Hek-giam-lo..” bibir Suma Boan berbisik, lalu ia menggertak gigi,
“lagi-lagi Hek-giam-lo mengganggu, keparat..”
Akan tetapi ia maklum bahwa tak mungkin ia dapat mengejar setan
itu yang telah menculik tawanannya. Kemarahannya ia tumpahkan
kepada Bu Sin. “Seret ia ke dalam kebun belakang”
Para pengawal menyeret tubuh Bu Sin yang sudah siuman dari
pingsannya tapi tidak berdaya lagi itu ke belakang. Atas perintah Suma
Boan, mereka mendirikan dua batang balok yang dipasang menyilang,
kemudian mengikat tubuh Bu Sin di atas balok bersilang itu.
Bu Sin sudah siuman, maklum akan bahaya maut yang mengancam
nyawanya. Namun ia seorang pemuda gagah perkasa, sedikit pun tidak
takut. Dengan pandang mata tajam ia menatap Suma Boan yang berdiri
di depannya dan di kanan kiri berdiri para pengawal.
“Orang she Suma” Kata Bu Sin dengan juara ketus dan nyaring.
“Antara kau dan aku tidak ada permusuhan, akan tetapi kaukatakan
bahwa kakakku Bu Song adalah musuh besarmu. Baik, aku sebagai
adiknya siap menerima hukuman apa saja. Sayang kepandaianku terlalu
rendah, kalau tidak tentu aku akan mewakili kakakku itu memberi
hajaran kepadamu, manusia rendah.”
“Ha-ha, kematian sudah di depan mata dan masih berlagak” dengus
Suma Boan dan sekali ia meroboh saku, ia telah mengeluarkan enam
batang anak panah. “Sebentar lagi kau mampus.”
“Siapa takut mati? Seorang gagah sekali-kali tidak berkedip
menghadapi kematian, asal saja ia mati dalam kebenaran” Akan tetapi,
ceritakan mengapa kakakku memusuhi orang macam kau, agar aku tahu
untuk apa aku mati.”
“Bu Song seorang jahanam besar. Ia telah ditolong oleh Ayah,
ujiannya diberi angka baik agar ia lulus, kemudian karena tertarik oleh
kepintarannya Ayah telah memberinya kedudukan baik sebagai
126
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
pembantu pribadi. Siapa kira, kakakmu manusia rendah itu tidak tahu
akan kedudukannya sebagai hamba, berani main gila dengan adik
perempuanku. Dia sudah kuikat seperti kau sekarang ini, mengalami
cambukan seratus kali, tapi agaknya tubuhnya yang sudah hampir
menjadi bangkai itu dibawa setan, atau mungkin juga dimakan setan
sampai habis. Ha-ha-ha, dan sekarang kau adiknya datang untuk
melanjutkan hukumannya. Tidak puas hatiku ketika itu, sekarang
barulah aku puas. Penghinaan atas diri adikku akan kubalas himpas
hemmm.. kalau saja perempuan itu tidak lenyap..”
“Di mana adikku, Sian Eng? Suma-kongcu, kita sama-sama lelaki, kau
mau membalas, silakan, aku akan menerima dengan mata melek. Akan
tetapi, kaubebaskan adikku. Dia wanita, tidak bertanggung jawab akan
perbuatan kakakku.”
“Ha-ha-ha, adikmu akan kurusak, kemudian kuserahkan kepada para
pengawal, penghinaan ini harus dibayar sampai habis, berikut
bunganya.”
Pucat wajah Bu Sin, akan tetapi ia tidak mau membuka mulut. Ia tahu
bahwa percuma saja membujuk orang macam ini, malah akan mendapat
penghinaan yang menyakitkan hati. Apapun yang akan dialami oleh Sian
Eng, paling hebat tentu kematian dan ia percaya bahwa Sian Eng tentu
akan mempergunakan setiap kesempatan untuk meloloskan diri atau
untuk membunuh diri dari pada dijamah tangan-tangan kotor itu.
“Pengecut, siapa takut ancamanmu? Mau bunuh lekas buhuh”
bentaknya.
Tangan kiri Suma Boan bergerak dan meluncurlah sebatang anak
panah, menancap ke paha kiri Bu Sin. Terasa nyeri dan perih, namun Bu
Sin tetap memandang dengan mata marah, berkedip pun tidak pemuda
perkasa ini.
“Kalian lihat, semua anak panah ini akan mengenai sasaran tanpa
membunuh korbannya. Dan hati-hati, dia harus dibiarkan tersiksa
sampai mati kehabisan darah, semua harus bergiliran menjaga malam
ini. Aku tidak mau kehilangan dia seperti belasan tahun yang lalu. Besok
pagi akan kulihat bangkainya tetap tergantung di sini.”
127
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
“Baik, Kongcu, hamba sekalian akan menjaganya, harap Kongcu
jangan khawatir.”
Serempak para pengawal menjawab sambil memberi hormat.
Dengan senyum keji dan mata berapi, Suma Boan lalu berturut-turut
melepaskan anak panah dengan kedua tangannya. Cepat anak-anak
panah itu meluncur dan dengan tepat menancap di paha kanan, kedua
lengan dan di kedua pundak. Dapat dibayangkan betapa hebat
penderitaan Bu Sin. Rasa nyeri pada kaki tangan den pundaknya masih
dapat ia pertahankan dengan menggigit bibir, sedikit pun keluhan tidak
ada yang keluar dari mulutnya. Namun penghinaan ini benar-benar amat
menyakitkan hatinya, hampir ia tidak kuat menahan hati untuk memakimaki
dan berteriak-teriak. Kalau ia terus dibunuh, itu masih tidak
mengapa. Akan tetapi dijadikan sasaran anak panah lalu dibiarkan
terpanggang di situ menjadi tontonan, benar-benar menyakitkan hati
sekali.
Suma Boan tertawa-tawa mengejek, lalu meludahi muka Bu Sin
sebelum pergi meninggalkan tempat itu. Bu Sin hanya membuang muka
ke samping, akan tetapi tak dapat mencegah pipi kirinya terkena
sambaran ludah. Ia merasa pipi itu panas dan sakit sehingga diam-diam
ia harus mengakui kehebatan putera pangeran ini yang memiliki lweekang
amat kuatnya. Namun sakit di hatinya lebih hebat.
“Jaga baik-baik, awas, jangan sampai ada yang mencuri calon mayat
ini,” pesan Suma Boan kepada anak buahnya. Mereka memberi hormat
lagi dengan sikap menjilat-jilat, menyatakan kesanggupan mereka.
Setelah kongcu itu pergi, para pengawal yang dua belas orang
banyaknya itu duduk mengelilingi balok bersilang di mana tubuh Bu Sin
tergantung. Mereka bercakap-cakap dan merasa yakin bahwa penjagaan
mereka amat kuat. Pedang dan golok mereka terletak di atas tanah,
dekat tangan, siap untuk dipergunakan sewaktu-waktu.
Bu Sin merasa seluruh tubuhnya sakit-sakit. Bagian yang tertusuk
anak panah terasa panas dan kejang. Akan tetapi ia segera melupakan
rasa nyeri ini, malah ia tidak mendengarkan percakapan para penjaga.
Pikirannya sibuk memikirkan kakaknya. Tahulah ia sekarang mengapa
128
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
kakaknya lenyap dari kota raja tak dapat ditemukan ayahnya. Kiranya
kakaknya itu tadinya diangkat oleh Pangeran Suma menjadi
pembantunya, kemudian kakaknya agaknya bermain cinta dengan puteri
pangeran, ketahuan dan ditangkap lalu disiksa seperti yang ia alami
sekarang. Akan tetapi kakaknya lenyap pada malam hari. Ke mana?
Benarkah sudah mati? Ah, masa dimakan setan? Ditolong setan juga tak
mungkin. Siapakah yang mau menolong kakaknya? Seperti juga dia
sendiri sekarang ini, siapa yang mau menolongnya?
Tiba-tiba matanya terbelalak kaget. Ia berusaha mengikuti sinar
berkelebatan dengan matanya, namun tetap saja matanya silau dan tak
dapat melihat apa yang berkelebatan itu. Tahu-tahu para penjaga yang
tadinya duduk bercakap-cakap sudah rebah malang-melintang, tak
bergerak lagi, entah mati entah masih hidup. Dan tahu-tahu, seperti
main sulap saja, bayangan berkelebat di dekatnya dan dalam sedetik
ikatan kaki tangannya terlepas, kemudian anak-anak panah yang enam
buah banyaknya itu tercabut. Darah bercucuran keluar dan Bu Sin tidak
ingat lagi. Ia pingsan dan tidak tahu apa yang telah terjadi atas dirinya.
Ketika Bu Sin sadar kembali, ia mendapatkan dirinya sudah berada di
sebuah hutan, dibaringkan di bawah sebatang pohon besar. Di dekatnya
ada sebuah api unggun yang masih bernyala, akan tetapi tidak seorang
pun manusia di situ. Bu Sin cepat bangkit duduk, memeriksa lukalukanya.
Kiranya enam buah luka di tubuhnya sudah diobati orang dan
dibalut dengan kain putih dan bersih, rasanya nyaman tidak nyeri lagi.
Cepat ia melompat berdiri, dilihatnya pedangnya terletak di dekat api,
segera dipungutnya. Ketika memungut pedang inilah pandang matanya
bertemu dengan tanah yang dicoret-coret merupakan huruf-huruf.
ADIKMU DIBAWA HEK-GIAM-LO, AKU BERUSAHA MENGEJARNYA.
Bu Sin terduduk kembali. Agaknya orang yang menolongnya ini sejak
tadi menjaganya di situ dan melihat ia siuman, baru orang itu pergi
sambil meninggalkan tulisan di dekat api dan pedang. Siapa gerangan
orang itu? Kepandaiannya hebat, tidak seperti manusia. Setankah dia?
Tiba-tiba ia teringat akan penuturan Suma-kongcu. Apakah setan ini pula
yang belasan tahun yang lalu telah menolong kakaknya, Bu Song? Ia
129
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
merasa menyesal sekali, mengapa penolongnya itu melakukan ini secara
bersembunyi sehingga ia sama sekali tidak dapat menduga-duga siapa
gerangan penolongnya. Lebih khawatir lagi hatinya ketika mendapat
kenyataan bahwa Sian Eng dibawa lari Hek-giam-lo. Ia tidak tahu siapa
itu Hek-giam-lo. Tiba-tiba ia teringat. Pernah ia mendengar nama ini
disebut orang. Ia mengingat-ingat, lalu terbayang dalam benaknya
pengalamannya bersama Lin Lin dan Sian Eng ketika mereka bertiga
bersembunyi di dalam hutan, di atas pohon besar kemudian mereka
terancam oleh It-gan Kai-ong. Betapa kemudian terdengar suara
melengking tinggi yang membuat It-gan Kai-ong agaknya lari ketakutan,
kemudian orang yang mengeluarkan lengking tinggi tampak
punggungnya dan menyebut-nyebut nama Hek-giam-lo, Siang-mou Sinni,
dan Bu Kek Siansu. Dan sekarang Hek-giam-lo yang disebut-sebut itu
telah membawa lari Sian Eng” Siapa dan apa itu Hek-giam-lo ia tidak
tahu, akan tetapi melihat namanya, Hek-giam-lo berarti Iblis Maut
Hitam”
Bu Sin termenung, bingung karena tidak tahu harus berbuat apa. Lin
Lin dibawa lari seorang sakti yang bernama Kim-lun Seng-jin, sekarang
Sian Eng dibawa lari Hek-giam-lo. Kedua orang adiknya tidak ia ketahui
bagaimana nasibnya dan berada di mana sekarang. Mencari kakaknya
belum juga bertemu, hanya mendengar nasibnya yang buruk, disiksa
hampir mati dan lenyap. Apa yang harus ia lakukan sekarang?
Dengan pikiran bingung dan gelisah sekali Bu Sin terpaksa
meninggalkan tempat itu, menyusup-nyusup hutan karena ia maklum
bahwa ia tentu dikejar oleh Suma-kongcu dan sekali lagi terjatuh di
tangannya berarti akan hilang nyawanya.
Ke mana lenyapnya Sian Eng yang tadinya berada dalam keadaan
tertotok jalan darahnya, tak dapat bergerak terbaring di atas dipan?
Gadis ini biarpun sudah tak dapat bergerak karena jalan darah thian-huhiat
tertotok membuatnya lemas kehilangan tenaga, namun ingatannya
masih berjalan baik dan panca inderanya tidak terpengaruh. Ia berusaha
sedapat mungkin untuk mengumpulkan tenaga lwee-kang untuk
membebaskan diri daripada totokan, namun usahanya belum juga
berhasil. Hatinya gelisah bukan main melihat kakaknya dikeroyok itu.

Bersambung...

No comments:

Post a Comment