Thursday, January 12, 2017

Cinta Bernoda Darah 01 - Mini Serial #014

Cerita Silat Kho Ping Hoo: Cinta Bernoda Darah 01 - Mini Serial #014
===========================================
“Adikku masih di atas..” Sian Eng berkata.
100
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
“Sssttt..” wanita yang tadi menyambar tubuhnya menarik tangan Bu
Sin dan Sian Eng berlindung dalam gelap. Mereka memandang ke atas
dan apa yang tampak di atas membuat Bu Sin dan Sian Eng seketika
pucat, hati mereka berdebar penuh kengerian. Apa yang tampak oleh
mereka?

Bukan hanya Suma Boan yang kini berdiri di atas genteng, melainkan
ada bayangan ke dua, bayangan mahluk yang mengerikan sekali, bukan
manusia bukan binatang melainkan tengkorak memakai pakaian hitam”
Muka tengkorak putih dengan sepasang lubang mata hitam besar dan
gigi berjajar kacau itu benar-benar amat menyeramkan tertimpa sinar
lampu yang menyinar dari pinggir gedung, dari atas diterangi bintangbintang
di langit.
Agaknya suma Boan juga kaget melihat mahluk ini, terdengar ia
berseru keras,
“Suhu.. Hek-giam-lo di sini”
Akan tetapi tiba-tiba ia terjengkang di atas genteng dan bayangan
muka tengkorak itu berkelebat lenyap dari situ. Sebuah bayangan lain
yang gerakannya seperti setan menyambar dari bawah, disusul bentakan
It-gan Kai-ong.
“Hek-giam-lo mayat busuk, jangan lari kau”
Suma Boan tidak terluka hebat. Dia merangkak bangun dan berdiri
lagi di atas genteng, meraba bajunya dan dengan suara marah ia
berseru.
“Celaka..” Hek-giam-lo keparat, surat itu diambilnya..”
“Bagaimana, Kongcu? Apa yang terjadi..?” Bayangan si jenggot
panjang yang naik ke atas genteng.
“Celaka, kita tertipu” kata Suma Boan. “Tadinya dua orang bocah itu
menuduh kita menangkap adiknya, ketika mereka dijatuhkan Suhu, eh,
tahu-tahu muncul Hek-giam-lo. Ia tidak berkata apa-apa aku didorong
roboh dan ketika Suhu muncul ia melarikan diri, kini dikejar Suhu. Akan
tetapi surat itu tidak ada lagi di dalam saku bajuku. Lihat, bajuku robek,
101
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
siapa lagi yang mampu merampasnya secara begini kalau bukan Hekgiam-
lo?”
“Wah, sial betul. Tapi, tak usah khawatir, Kongcu. Kalau Ong-ya
sudah mengejarnya, masa tidak akan dapat merampasnya kembali?”
“Belum tentu.. belum tentu..” Suma Boan menggeleng kepalanya,
“dia lihai sekali. Heran aku, siapakah dua orang bocah tadi? Apakah kaki
tangan orang Khitan?”
Sambil bersunggut-sunggut dan menyumpah-nyumpah Suma Boan
melompat turun diikuti oleh si jenggot panjang, Ciok Kam, masuk ke
dalam gedung. Sebentar saja para pelayan menyambutnya, keadaan
menjadi ribut karena orang-orang mendengar tentang penyerbuan
musuh di atas genteng. Akan tetapi, Suma Boan membentak,
“Tidak ada apa-apa, mundur semua” Pelayan-pelayan itu, kecuali
selirnya yang melayani minum, mundur ketakutan, kembali ke tempat
masing-masing.
Suami isteri bersama Bu Sin dan Sian Eng yang bersembunyi melihat
semua itu. Bu Sin dan adiknya amat bingung memikirkan Lin Lin, akan
tetapi laki-laki itu berkata.
“Adikmu tidak berada di dalam gedung. Tadi kami melihat dia dibawa
lari Seng-jin. Lebih baik kalian lekas pergi dari sini, amat berbahaya di
sini. Kami berterima kasih bahwa kalian sudah menaruh perhatian akan
urusan kami. Biarpun kalian anak-anak keluarga Kam, tidak percuma
kalian menjadi orang-orang dari wilayah Hou-han. Nah, kita berpisah di
sini.”
“Nanti dulu..” Bu Sin mencegah. “Siapakah Seng-jin yang membawa
adik kami? Dan siapa kalian ini? Urusan apakah yang menimbulkan
semua keributan ini?”
Wanita itu yang menjawab kini, tersenyum duka,
“Dituturkan tidak ada gunanya, juga tidak ada waktu. Kau takkan
mengerti, orang muda. Tentang adikmu, dia tadi dibawa Kim-lun Sengjin,
seorang sakti yang aneh. Percuma kau mencarinya, tak mungkin
mengikuti jejak seorang seperti Kim-lun Seng-jin. Tentang kami..
102
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
hemmm, cukup kau ketahui bahwa kami adalah orang-orang Hou-han
dan bekerja untuk Kerajaan Hou-han. Selamat tinggal, jangan lama-lama
berada di sini, pergi cepat. Berbahaya”
Setelah berkata demikian, suami isteri itu berkelebat dan menghilang
di dalam gelap. Bu Sin dan Sian Eng saling pandang, mereka bingung
sekali memikirkan tentang diri Lin Lin. Akan tetapi mereka pun tahu
bahwa kepandaian mereka masih jauh daripada cukup untuk dapat
mencari Lin Lin yang katanya dibawa lari Kim-lun Seng-jin. Sedangkan
menghadapi si jenggot panjang dan orang muda jangkung di dalam
gedung ini saja sudah terlalu berat bagi mereka, apalagi It-gan Kai-ong
ada di situ” Tidak ada jalan lain bagi Bu Sin dan adiknya kecuali segera
menyelinap pergi dari tempat itu, lari keluar menyelinap-nyelinap di
dalam kegelapan malam.
Dengan hati pepat dan gelisah mereka kembali ke kamar rumah
penginapan dan alangkah heran akan tetapi juga lega hati mereka ketika
mereka melihat tulisan Lin Lin di atas meja, tulisan dalam sebuah kertas
berlipat yang singkat saja.
Sin-ko dan Eng-cici,
Terpaksa aku pergi dulu berpisah dengan kalian. Kakek gundul yang
menolongku memaksa aku ikut dia sendiri saja. Akan tetapi dia baik dan
bilang bahwa dia dapat membawaku ke tempat pembunuh orang tua
kita.
Sampai jumpa pula,
Lin Lin
Bu Sin menarik napas panjang, lega hatinya. Tentu yang
dimaksudkan di dalam surat, yang disebut oleh Lin Lin “kakek gundul”
itu adalah Kim-lun Seng-jin yang tadi diceritakan oleh suami isteri dari
Hou-han. Ia tersenyum geli. Kakek gundul yang bernama Kim-lun Sengjin
boleh saja disebut aneh, akan tetapi kakek itu akan “ketemu batunya”
kalau melakukan perjalanan bersama Lin Lin. Adik angkatnya ini kadangkadang
mempunyai perangai yang luar biasa sekali, sukar dikendalikan,
aneh dan tentu kakek gundul itu akan menjadi banyak pusing olehnya.
103
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
“Dia diberi petunjuk orang sakti akan jejak musuh besar kita, baik
sekali. Mudah-mudahan dia berhasil dan selamat,” katanya sambil
merobek-robek surat itu.
“Kita sendiri bagaimana, Sin-ko? Ke mana kita harus mencari atau
mengikuti Lin Lin?”
“Dia sendiri saja kalau sudah minggat mana kita mampu
mengejarnya, apalagi sekarang bersama seorang sakti. Kita tidak perlu
mencarinya, kita melanjutkan perjalanan ke kota raja. Agaknya akan
lebih baik kalau kita mencari Kakak Bu Song lebih dulu, karena sebagai
seorang yang lama tinggal di kota raja, tentu dia mempunyai banyak
pengalaman dan akan dapat memberi petunjuk kepada kita.”
Demikianlah, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Bu Sin dan Sian
Eng sudah meninggalkan kota An-sui, menuju ke kota raja.
Apakah yang terjadi dengan Lin Lin? Gadis remaja ini mengalami hal
yang amat luar biasa. Seperti kita ketahui, ketika Bu Sin dan Sian Eng
mengintai ke dalam ruangan gedung itu dengan cara menggantungkan
kaki dengan kepala di bawah, Lin Lin berjongkok di atas genteng sambil
melihat kedua saudaranya itu. Kaget ia ketika melihat Bu Sin dan Sian
Eng berloncatan ke atas kemudian kedua orang itu roboh ke bawah
genteng.
Akan tetapi, selagi ia kebingungan dan khawatir, tiba-tiba serangkum
angin pukulan yang dilontarkan oleh It-gan Kai-ong menyerangnya,
membuat dia terlempar dan tentu ia pun akan terguling roboh ke bawah
kalau saja tidak terjadi hal yang amat aneh. Ia tidak tahu mengapa dan
bagaimana, akan tetapi tubuhnya yang sudah terjengkang itu tiba-tiba
dapat terapung ke atas, lalu tubuhnya itu seperti dibawa angin terbang
melalui genteng, cepat bukan main. Tentu saja ia takut sekali dan
berusaha memulihkan keseimbangan tubuhnya agar kalau jatuh ke
bawah tidak terbanting, namun ia sama sekali tak dapat menggerakkan
kaki tangannya dan ia “terbang” dengan tubuh telentang. Kalau ia tidak
mengalami sendiri, tentu ia tidak akan mau percaya bahkan pada saat
itu ia mengira bahwa ia sedang mimpi.
104
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Entah berapa lama ia berada dalam keadaan melayang ini, namun ia
merasa bahwa ia diterbangkan tubuhnya dan ketika kedua kakinya
menginjak tanah, ia telah berada di luar kota An-sui”
“Heh-heh-heh, untung kau tidak menjadi korban It-gan Kai-ong,”
terdengar suara terkekeh bicara.
Lin Lin membalikkan tubuh, ke kanan kiri, memutar tubuh melihat ke
sekelilingnya. Akan tetapi tidak tampak seorang pun manusia. Bulu
tengkuknya mulai berdiri dan kedua lututnya gemetar. Ia seorang gadis
yang tabah dan menghadapi siapa pun juga ia takkan mundur, takkan
mengenal takut. Namun kejadian kali ini membuat ia yakin bahwa ia
sedang diganggu iblis dan dongeng-dongeng tentang iblis yang pernah
ia dengar membuat ia ketakutan.
“Siapa kau?”
“Siapa aku? Aku siapa? Heh-heh, aku sendiri tidak kenal siapa aku ini
dan dari mana asalku, apalagi kau bocah ingusan. Heh-heh-heh” Aku
dan kau sama saja”
Suara itu tepat di belakangnya, maka secepat kilat Lin Lin memutar
tubuh dengan gerakan Hek-yan-tiauw-wi (Burung Walet Sabet Buntut),
gerakannya cepat bukan main dan ia sengaja mengerahkan ginkangnya.
Akan tetapi, kembali ia hanya melihat tempat kosong, tidak
ada bayangan, apalagi orangnya”
“Heh-heh-heh, siapa aku? Siapa aku? Hayo cari dan tebak, di mana
dan siapa aku, heh-heh-heh” Suara itu tertawa-tawa geli seperti seorang
kanak-kanak bermain kucing-kucingan.
Panas juga dada Lin Lin. Ia yakin sekarang bahwa yang bicara itu
tentu seorang manusia biasa, biarpun seorang manusia yang memiliki
kepandaian yang luar biasa. Masa aku tidak dapat mencarimu? Demikian
pikirnya dengan gemas. Cepat ia melompat lagi, berputaran dan
mengeluarkan kepandaiannya untuk membalik sana berputar sini, lari
berputaran seperti kitiran cepatnya. Namun tak pernah ia dapat melihat
bayangan di sekeliling dirinya, padahal suara itu terus-menerus
berbunyi, tertawa-tawa di belakang, kanan dan kirinya”
105
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
“Heh-heh-heh” Kau seperti seekor anjing hendak menggigit buntut
sendiri berputaran. Heh-heh.. lucu.. lucu.. lagi, Nona. Sekali lagi, lucu
benar..”
Tentu saja Lin Lin tidak sudi berputar lagi, malah ia cepat berhenti
dan membanting kakinya. Hampir ia menangis.
“Kau ini setan apa manusia? Kalau manusia perlihatkan dirimu. Kalau
setan minggat dari sini, aku tidak butub setan” bentaknya sambil
bertolak pinggang.
“Heh-heh, lebih baik jadi setan, biarpun selalu melakukan kejahatan
akan tetapi memang itu kewajibannya, kalau tidak melakukan yang
jahat-jahat mana disebut setan? Setidaknya setan mengakui
kejahatannya, sebaliknya manusia banyak yang pura-pura suci dan
bersih, padahal lebih jahat dan kotor daripada setan sendiri. Heh-heh,
Nona, aku di belakangmu, masa kau tidak dapat melihat?” Lin Lin
membalikkan tubuhnya dan.. tidak melihat apa-apa.
“Kau main kucing-kucingan? Aku tidak sudi main-main denganmu.”
“Lho, aku di sini, lihat baik-baik.”
Lin Lin menurunkan pandang matanya dan benar saja. Di depannya
berdiri seorang kakek yang.. tubuhnya pendek, hanya setinggi dadanya
dan karena kakek itu tadi jongkok tentu saja tidak kelihatan. Sekarang
kakek ini berdiri, kedua kakinya yang pendek itu tidak bersepatu, lucu
sekali tampaknya. Badannya agak gemuk, kepalanya bundar seperti bola
karet, licin tidak berambut sehelai pun juga. Tapi alisnya tebal sekali,
dan rambut alisnya itu berdiri menjulang ke atas. Kumis dan jenggotnya
panjang melambai sampai ke dada. Kedua daun telinganya lebar seperti
telinga area Ji-lai-hud dihiasi sepasang anting-anting perak. Melihat
orang seperti itu anehnya, Lin Lin tak dapat menahan ketawanya.
“Hi-hi-hik, kau ini golongan apa? Apakah pemain wayang?” Lin Lin
tertawa dan menutupi mulutnya.
“Memang dunia ini panggung wayang dan kita anak wayangnya.
Bagaimana lakonnya dan apa peran apa yang harus kita pegang terserah
Sang Sutradara. Heh-heh-heh, dan agaknya Sang Sutradara
106
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
menghendaki supaya aku menjalankan peran menolong kau dari
ancaman It-gan Kai-ong si pengemis busuk.”
“Kakek pendek, bagaimana kau tadi bisa membawa aku terbang? Dan
bagaimana kau tadi bisa menghilang? Aku sudah belajar ilmu gin-kang
bertahun-tahun akan tetapi belum ada sekuku hitam dibandingkan
dengan gerakanmu. Apakah kau tadi menggunakan ilmu sihir?”
“Heh-heh, bocah nakal seperti kau ini, baru belajar jalan sudah berani
mendaki gunung menyeberangi lautan” Aku tanggung, dengan
kepandaianmu yang baru kelas nol itu, kau akan selalu bertemu bahaya
dan akhirnya kau akan roboh” Gerakanmu masih begitu kaku dan
lambat, kau namakan itu ilmu gin-kang? Ho-heh-hoh, lucu amat”
Panas perut Lin Lin, bibirnya cemberut, matanya bersinar marah.
Akan tetapi kakek itu malah tertawa-tawa, memegangi perut dan
berjingkrakan seperti tak dapat menahan lagi kegelian hatinya.
“Dan pedang itu.. heh-heh-heh, bawa-bawa pedang macam itu untuk
apa? Apakah untuk mengiris bawang ataukah untuk menyembelih ayam?
Heh-heh, untuk itupun kurang tajam, baiknya untuk menakut-nakuti
tikus. Heh-heh, kau takut tikus, kan?”
Lin Lin membanting kakinya.
“Kakek pendek, cebol, gundul pacul” Sudah tua ompong masih
sombong..”
Kakek itu tiba-tiba meringis, memperlihatkan isi mulutnya. Hebat
giginya berderet rapi seperti gigi Lin Lin sendiri.
“Kau lihat, siapa ompong? Gigiku tidak kalah dengan gigimu? Hayo
kau meringis, kita lihat gigi siapa lebih putih, lebih mengkilap”
Geli juga hati Lin Lin. Memang gadis inipun wataknya aneh, mudah
marah, mudah gembira. Mudah menangis mudah tertawa. Melihat
betapa kakek itu meringis memamerkan giginya, mau tidak mau ia
tertawa juga.
“Ihhh, jijik ah” Gigimu kuning-kuning begitu”
“Masa? Ah, mana bisa? Sedikitnya dua kali sehari kugosok dengan
bata. Kau bohong..”
107
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Tampak oleh Lin Lin kakek itu mengulur tangan kepadanya. Ia cepat
melangkah mundur, akan tetapi tahu-tahu gelung rambutnya sebelah kiri
yang terbungkus sutera itu terlepas karena tusuk kondenya dari perak
telah berada di tangan kakek itu. Untuk apa kakek itu merampas tusuk
kondenya? Untuk bercermin” Bunga perak pada tusuk konde itu sebesar
kuku jari dan kakek itu berusaha untuk bercermin memeriksa giginya
dari pantulan sinar bintang yang menimpa bunga perak. Tentu saja
hasilnya sia-sia.
Diam-diam Lin Lin terkejut bukan main. Bagaimana kakek itu dapat
merampas tusuk kondenya sedemikian cepatnya sehingga sama sekali
tidak terasa olehnya? Terang bahwa kakek ini memiliki kesaktian yang
hebat. Kalau saja mau menurunkan kepandaian itu kepadanya”
“Kek, mengapa kau menolong aku dari tangan It-gan Kai-ong? Mau
apa kau membawa aku ke sini?” akhirnya dia bertanya.
Kakek itu mengomel, “Gigiku putih.. tidak kuning..”
“Mengapa kau menolong aku?”
“Siapa bilang gigiku kuning, memalukan” Kakek itu bersungut-sungut.
Lin Lin hendak marah, akan tetapi melihat sikap kakek itu seperti
seorang anak kecil merajuk, ia tertawa lagi.
“Memang gigimu putih, siapa bilang kuning?”
“Kau tadi yang bilang”
“Dan kau percaya? Ih, bodohmu sendiri mengapa percaya. Gigimu
putih seperti.. seperti kapur.”
Kakek itu nampak girang. Kapur memang putih sekali, maka ia girang
mendengar ucapan ini. Tangannya bergerak dan sinar putih berkelebat
menyambar ke arah kepala Lin Lin. Gadis ini tak sempat mengelak,
ketika ia meraba gelungnya, tusuk konde itu sudah berada di tempatnya
lagi dan ia sama sekali tidak merasakannya” Makin kagum hatinya.
“Kek, kenapa kau menolongku dan mau apa kau membawa aku ke
sini?”
“Karena kau cantik, seperti anakku dahulu.”
Rasa haru sejenak menyelinap di hati Lin Lin.
108
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
“Di mana anakmu, Kek?”
“Di mana? Di.. mana, ya? Sang Sutradara sudah lama
membebaskannya daripada tugas di panggung wayang. Dia tidak MAIN
lagi.”
Makin terharu hati Lin Lin. “Anakmu sudah mati?”
Kakek itu tidak menjawab, melainkan tertawa lagi.
“Kau gadis bangsaku heh-heh, tak salah lagi, karena itu aku suka
kepadamu, aku menolongmu dan kalau kau mau, biar kuberi bekal
padamu agar kelak tidak ada orang berani menghinamu.”
“Aku bangsamu? Bangsa apa Kek?”
“Lihat hidungmu, coba kan sama dengan hidungku? Juga gigimu,
sama dengan gigiku. Kau bangsa Khitan, tidak salah lagi.”
Otomatis, terpengaruh oleh ucapan itu, Lin Lin memandang ujung
hidungnya. Tentu saja, biarpun kedua matanya sampai juling ke tengah
semua, tetap saja ia tidak berhasil memandang hidungnya sendiri.
Apalagi memandang giginya” Betapapun juga, ucapan ini menusuk
perasaannya, membuat jantungnya berdebar tegang. Dia terang bukan
anak keluarga Kam karena ia hanya anak pungut. Ayahnya atau siapa
pun juga tidak pernah memberi tahu kepadanya, siapa gerangan ayah
ibunya yang sejati. Karena ini pula ia amat ingin bertemu dengan Bu
Song, anak sulung ayah angkatnya itu karena ia menduga bahwa Bu
Song tentu tahu akan hal dirinya. Sekarang mendengar kakek ini
menyatakan bahwa dia bangsa Khitan, biarpun ia tidak bisa percaya dan
tidak percaya, hatinya berdebar juga. Akan tetapi, yang paling
menggirangkan hatinya adalah pernyataan kakek itu hendak
memberinya bekal kepandaian.
“Kau betul-betul hendak mengajarku ilmu kepandaian, Kek? Wah,
terima kasih sebelumnya. Aku amat membutuhkan itu, untuk
mengalahkan musuh besarku.”
“Heh-heh, tiada musuh besar di dunia ini yang lebih besar daripada
nafsu sendiri. Siapa musuh besarmu?”
109
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
“Sayang, aku sendiri tidak tahu Kek,” Lin Lin menggeleng kepalanya.
“Ayah angkat dan sekeluarganya dibunuh orang yang tidak dikenal. Ibu
angkatku hanya meninggalkan ucapan terakhir bahwa musuh besar itu
bersuling.”
Tiba-tiba kakek itu melompat tinggi sekali, lenyap dari depan Lin Lin.
Ketika Lin Lin mendongak dan hendak memanggil, tubuh pendek itu
melayang turun dari atas dan sudah berdiri di depannya lagi.
“Suling Emas? Suling Emas membunuh orang tuamu? Siapa orang
tuamu?”
“Orang tua angkat, Kek. Ayah angkatku namanya Kam Si Ek..”
“Ha-ha-ha-ha, Kam Si Ek Jenderal Hou-han?”
“Kau kenal Ayah angkatku, Kek?”
Kakek itu menggeleng kepalanya. Alisnya yang amat tebal itu
berkerut dan bergerak-gerak. Bibirnya juga bergerak-gerak, lalu
terdengar kata-katanya.
“Aneh tapi nyata. Mungkin sekali Suling Emas..” Jantung Lin Lin
berdegupan.
“Apa? Musuh besarku betul Suling Emas itu, Kek? Kau tahu di mana
dia? Kalau betul dia, akan kuajak bertanding mengadu nyawa.”
Seketika kakek itu memandang kepadanya seperti terkejut, kemudian
ia tertawa terkekeh-kekeh sambil memegangi perutnya, terbungkukbungkuk
saking kerasnya ia tertawa. Lin Lin marah.
“Apa yang lucu? Jangan mentertawai aku, Kek. Tak enak melihat kau
tertawa, gigimu kuning..”
Seketika kakek itu berhenti tertawa. “Apa kau bilang? Gigiku putih
seperti.. seperti..”
“.. seperti kapur” kata Lin Lin tersenyum. “Nah, jangan tertawa saja,
apa sih yang lucu?”
“Kau hendak bertanding dengan Suling Emas? Aha, biar kau peras
dan kuras habis kepandaianmu, belum tentu kau bisa"

Bersambung...

No comments:

Post a Comment