Tuesday, January 10, 2017

Cinta Bernoda Darah 01 - Mini Serial #013

Cerita Silat Kho Ping Hoo: Cinta Bernoda Darah 01 - Mini Serial #013
===========================================
“Ah, mana bisa, Sin-ko? Kau pun manusia dari darah daging saja,
mana tidak lelah dan ngantuk? Biarlah aku dan Cici Sian Eng berjaga,”
kata Lin Lin sambil menambah ranting kering pada api unggun sehingga
keadaan menjadi hangat.
“Biarlah kita bercakap-cakap dulu, aku tadi merenungkan hasil
kepergian kita ke kota raja. Bagaimana kalau kita tidak dapat
menemukan saudara tua kita di sana?”

“Sin-ko, jangan khawatirkan hal yang belum kita hadapi. Tentu dia
berada di sana. Andaikata tidak ada di sana pun, kurasa mencari
seorang bernama Kam Bu Song, putera dari mendiang ayah Kamgoanswe,
seorang pelajar yang datang dari Ting-chun di kaki Gunung
Cin-ling-san, tidak akan sukar. Tentu ada yang mengenalnya di kota
raja. Nah, tenang dan tidurlah Sin-ko.”
Bu Sin tersenyum. Adiknya yang sulung ini memang besar hati dan
kalau mendengarkan bicaranya memang ia tidak perlu gelisah. Seorang
gagah tidak menakuti hal yang belum dihadapi, bahkan hal yang sudah
dihadapi sckalipun tidak boleh mendatangkan rasa takut, harus dihadapi
dengan tenang dan waspada, demikian pesan ayahnya dahulu.
“Lin Lin, kau benar. Biar kucoba tidur agar besok kuat kupakai jalan
jauh.” Bu Sin lalu merebahkan tubuhnya, miring menghadapi api
unggun.
Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas, juga dua orang
gadis itu meloncat berdiri. Mereka berdiri dan saling pandang, penuh
rasa kejut dan seram. Suara melengking tinggi itu masih terdengar
mengiang-ngiang ke telinga mereka. Lengking tinggi menusuk telinga,
suara suling. Lalu disusul suara pekik ketakutan, atau mungkin pekik
kesakitan, betapapun juga, pekik ini susul-menyusul dan amat
mengerikan. Akhirnya, tiga orang itu tidak dapat menahan lagi, telinga
serasa pecah oleh lengking itu. Dengan kedua tangan menutupi telinga,
Bu Sin memberi isyarat kepada adik-adiknya. Mereka lalu duduk bersila,
87
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
menutupkan kedua telapak tangan ke telinga, meramkan mata dan
bersamadhi, mengerahkan lwee-kang untuk menjaga isi dada yang
terguncang hebat oleh suara itu.
Dapat dibayangkan hebatnya suara itu karena biarpun mereka sudah
menutupi telinga dan mengerahkan lwee-kang masih saja suara itu
menyerbu masuk ke dalam telinga dan tubuh mereka gemetaran. Akan
tetapi berkat lwee-kang mereka, tiga orang muda itu dapat
mempertahankan diri dan tidak terluka dalam.
Hanya sepuluh menit kurang lebih suara itu melengking-lengking, lalu
sunyi, sunyi seperti kuburan. Mereka menurunkan kedua tangan.
Bergidik ketika saling pandang. Sinar mata mereka saling mufakat
bahwa yang bersuara tadi tentulah Suling Emas, karena mereka masih
ingat akan suara suling yang pernah menusuk telinga mereka ketika
mereka terancam oleh It-gan Kai-ong. Akan tetapi suara suling kali ini
amatlah mengerikan.
Sampai pagi tiga orang muda itu tak dapat tidur lagi. Malah mereka
duduk bersila mengumpulkan tenaga, siap sedia menanti datangnya
bahaya dan mengambil keputusan untuk mempertahankan diri matimatian
biarpun akan datang serangan orang sakti sekali pun. Akan tetapi
tidak terjadi sesuatu dan kesunyian yang mencekam itu segera
dipecahkan oleh kicau burung dan kokok ayam hutan.
“Mari kita segera pergi dari sini,” kata Bu Sin. Kedua orang adiknya
dapat menangkap pandang mata dan suara hati yang tersembunyi
dalam ucapan ini, seakan-akan berkata,
“Untung tidak terjadi apa-apa pada kita, lebih cepat pergi dari sini
lebih baik.”
Biasanya dalam perjalanan yang lalu, sebelum pergi tentu mereka
bertiga akan mencari mata air atau sungai untuk mencuci muka atau
mandi, terutama Lin Lin yang suka sekali bermain di air. Akan tetapi kali
ini ketiganya agaknya lupa untuk cuci muka dan tergesa-gesa pergi dari
situ.
“Ha, Sin-ko, lihat mereka itu”
88
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Ketiganya memandang. Dari jauh tampak enam orang pemburu itu
masih rebah, ada yang meringkuk, ada yang telentang atau telungkup,
sedangkan api unggun sudah lama padam.
“Malas amat pemburu-pemburu itu, mengapa belum juga bangun?”
kata Sian Eng.
“Mari kita lihat, agak aneh sikap mereka.” kata Bu Sin. Ketiganya
berlari mendekat dan tak lama kemudian mereka bertiga berdiri dengan
muka pucat dan bengong. Kiranya enam orang itu sudah tak bernyawa
lagi dan kepala mereka, tepat di ubun-ubun, semua telah bolong
sehingga tampak otaknya”
Tahulah mereka bertiga sekarang bahwa yang menjerit-jerit malam
tadi adalah mereka inilah, jerit ketakutan dan kengerian.
“Ahhhhh..” Sian Eng menutupi mukanya, perutnya tiba-tiba terasa
mual dan ingin muntah. Lin Lin cepat merangkulnya.
“Tenang, Cici.” Akan tetapi dia sendiri gemetar dan kaki tangannya
menjadi dingin.
“Mari kita pergi,” ajak Bu Sin, juga pemuda ini suaranya gemetar.
“Nanti dulu Sin-ko. Tak mungkin kita meninggalkan begitu saja enam
mayat ini. Mereka tentu akan dirobek-robek binatang buas.”
“Habis kau mau apa?”
“Kita kubur dulu mereka. Lupakah kepada pesan Ayah bahwa melihat
orang kesusahan harus menolong, terhadap orang tua harus
menghormat, terhadap anak-anak harus melindungi, dan melihat mayat
tak terurus harus menguburnya?”
Seketika wajah Bu Sin menjadi merah.
“Terima kasih, Lin-moi. Hampir saja aku lupa akan pesan Ayah karena
ngeri dan seram. Mari”
Sekarang Sian Eng telah dapat menguatkan hatinya dan tiga orang
muda ini lalu menggunakan pedang mereka untuk menggali lubang yang
cukup besar untuk mengubur enam orang itu. Karena Lin Lin dan Sian
Eng merasa enggan mengangkat mayat-mayat lelaki itu, Bu Sin yang
turun tangan dan mengangkat mayat-mayat itu seorang demi seorang,
89
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
dimasukkan ke dalam kuburan bertumpuk, lalu mereka bertiga
menguruk lubang itu dengan tanah.
Hari telah siang ketika mereka selesai melakukan tugas ini dan cepatcepat
mereka meninggalkan tempat hutan besar itu, menuju ke arah
munculnya matahari. Lega hati mereka bahwa mereka tidak menemui
gangguan di jalan sampai mereka keluar dari hutan dan melalui dusundusun.
Rumah makan itu masih sunyi. Agaknya hari masih terlampau pagi
untuk makan. Bu Sin dan dua orang adiknya sudah amat lapar. Maklum
semalam berjalan terus di bawah sinar bulan. Asap berbau sedap yang
melayang keluar dari dalam dapur rumah makan menyerang hidung,
membuat mereka tak dapat menahan lapar lagi.
Hanya ada dua meja yang dihadapi tamu. Kebetulan agaknya, dua
meja itu adalah meja di ujung kiri dan meja di ujung kanan. Yang
sebuah dihadapi seorang laki-laki berjenggot panjang, empat puluhan
tahun usianya, duduk bersunyi sendiri. Meja ke dua dihadapi dua orang,
agaknya suami isteri, kurang lebih tiga puluhan tahun. Sikap kedua
orang ini gagah, baik si suami maupun si isteri. Mereka duduk
berhadapan, makan bubur panas-panas dengan sumpit, cepat sekali
seakan-akan mereka tergesa-gesa. Di punggung mereka tergantung
gagang dua buah senjata. Tadinya Bu Sin dan adik-adiknya mengira
bahwa mereka itu masing-masing membawa siang-kiam (pedang
pasangan), akan tetapi mereka terheran melihat bahwa dua buah
senjata itu tidaklah sama. Sebuah pedang dan sebilah golok”
Bu Sin dan dua orang adiknya belum sempat memilih tempat, karena
pada saat mereka memasuki ruangan depan rumah makan itu, tiba-tiba
terdengar bentakan keras.
“Pencuri-pencuri bangsa Hou-han hendak sembunyi ke mana kalian?”
Muncullah empat orang laki-laki yang nampak gesit-gesit dan kuat,
berlompatan ke dalam dan mereka segera mengurung suami isteri itu.
Seorang mencabut pedang, seorang lain mengeluarkan sepasang siangkek
(tombak pendek sepasang), orang ke tiga mengeluarkan sebuah
cambuk baja yang ujungnya seperti jangkar kecil, sedangkan orang ke
90
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
empat yang agaknya pemimpin rombongan ini, juga yang tadi
membentak, memasang kuda-kuda dengan tangan kosong.
“Lebih baik kalian menyerahkan kembali benda itu kepada kami,
mungkin kami akan dapat mengampuni nyawa kalian,” kata pula yang
bertangan kosong.
Suami isteri itu saling lirik. Ketika si suami menurunkan mangkoknya,
isterinya mencela,
“Makan dulu sampai habis, baru layani anjing-anjing ini. Mengapa
tergesa-gesa?”
Keduanya lalu makan terus dengan tenangnya, menghabiskan bubur
di dalam mangkok. Bu Sin dan adik-adiknya amat kagum menyaksikan
sikap dua orang ini. Amat tenang dan amat gagah. Namun mereka
bertiga tak dapat bersimpati kepada sepasang suami isteri ini karena
bukankah tadi rombongan itu mengatakan bahwa mereka berdua adalah
orang-orang Hou-han? Berarti orang yang sekampung dengan Bu Sin
bertiga, akan tetapi siapa tahu mereka itu adalah pembantu-pembantu
dari Kerajaan Hou-han, yang memusuhi mendiang ayah mereka?
Keluarga Kam terkenal sebagai keluarga yang tidak mau tunduk kepada
Kerajaan Hou-han, bahkan dianggap setengah pelarian.
Suami isteri itu sudah selesai makan. Tiba-tiba mereka bergerak dan
dua pasang sumpit di tangan meluncur bagaikan anak panah. Empat
batang sumpit itu menyerang empat orang yang mengurung mereka.
Namun para pengurungnya juga bukan orang sembarangan. Dengan
mudah mereka mengelak dan sumpit-sumpit itu menancap sampai
separohnya lebih pada dinding.
“Bagus” Pujian ini keluar dari mulut laki-laki jenggot panjang yang
sejak tadi masih duduk di sudut, menghadapi meja dan tenang-tenang
saja sambil makan daging goreng dan nonton adegan di depannya itu.
Matanya bersinar-sinar wajahnya berseri-seri, agaknya ia gembira sekali
dapat makan sambil menikmati tontonan gratis ini.
Melihat betapa sambitan mereka dengan sumpit-sumpit itu tidak
mengenai sasaran, suami isteri itu melempar mangkok kosong ke lantai
sambil meloncat dan begitu kedua tangan mereka bergerak, kedua
91
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
tangan mereka sudah mencabut senjata dan kini tangan kiri memegang
pedang sedangkan tangan kanan memegang golok. Mereka membuat
gerakan memutar dan sudah berdiri saling membelakangi siap dengan
senjata di tangan. Cerdik mereka, pikir Bu Sin yang menonton di dekat
pintu. Suami isteri itu berdiri berhadapan punggung, dengan kedudukan
demikian mereka dapat mencegah serangan gelap dari belakang.
Pertandingan dimulai tanpa kata-kata. Empat orang itu segera
menyerbu, yang bersenjata pedang dan si pemegang siang-kek
mengeroyok si suami, sedangkan wanita itu dikeroyok oleh si pemegang
cambuk dan yang bertangan kosong. Para pelayan rumah makan itu lari
berserabutan keluar sambil berteriak-teriak ketakutan.
Bu Sin dan adik-adiknya menjadi kagum setelah pertempuran itu
berlangsung seru. Kepandaian empat orang itu cukup tinggi, apalagi
yang bertangan kosong, akan tetapi gerakan mereka biasa. Sebaliknya,
suami isteri itulah yang mendatangkan kagum. Si suami bergerak
dengan tenang, namun kedudukannya kokoh kuat seperti batu karang.
Sebaliknya, isterinya lincah bukan main, berloncatan ke sana ke mari
seakan-akan seekor burung walet yang gesit, mendesak kedua orang
lawannya.
Pertempuran itu makin lama makin hebat dan tahulah Bu Sin bertiga
bahwa kepandaian mereka itu rata-rata lebih tinggi daripada tingkat
kepandaian sendiri. Diam-diam ia merasa khawatir sekali dengan warisan
ayahnya yang ia miliki, juga kedua orang adiknya, bagaimana mereka
bertiga akan dapat merantau di dunia kang-ouw dan lebih-lebih lagi,
bagaimana mereka akan mampu mencari dan membalas sakit hati orang
tua mereka? Makin dekat dengan kota raja, agaknya makin banyak
terdapat orang-orang yang kepandaian silatnya amat tinggi.
Tiba-tiba nyonya muda itu mengeluarkan jeritan nyaring, tubuhnya
melayang ke atas dan goloknya menyambar lawannya yang paling
tangguh, yaitu laki-laki yang bertangan kosong. Pada saat itu cambuk
dari lawannya ke dua telah melayang dan melecut, dengan gerakan
cepat sekali meluncurlah jangkar kecil runcing itu ke arah lehernya”
92
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
“Roboh dia..” Lin Lin berseru perlahan. Sejak tadi perhatian Lin Lin
terpusat pada wanita ini. Ia amat kagum karena maklum bahwa dalam
ilmu silat, wanita itu jauh melampauinya, baik dalam permainan senjata
maupun ilmu meringankan tubuh. Akan tetapi karena ia tidak tahu apa
persoalannya maka terjadi pertempuran itu, hatinya tidak berpihak
mana-mana. Betapapun juga, melihat ujung cambuk yang seperti
jangkar kecil itu menyambar leher, ia berseru dengan hati tegang.
Namun wanita yang masih meloncat di udara itu tiba-tiba
menggerakkan pinggulnya dan.. seperti seekor ular hidup, sabuknya
yang panjang itu melayang ke belakang dan ujungnya tepat sekali
melibat ujung cambuk. Terjadi saling libat dari tarik-menarik sehingga
jalannya pertempuran di pihak wanita itu agak kaku.
Mendadak laki-laki berjenggot pendek yang duduk di sudut itu
tertawa dan tahu-tahu tubuhnya sudah mencelat ke dalam gelanggang
pertempuran. Bu Sin dan dua orang adiknya kaget sekali, tidak mengira
bahwa laki-laki penonton yang aneh itu dapat bergerak secepat itu.
Tahu-tahu laki-laki ini sudah mengulur tangannya membetot ujung
sabuk dan cambuk yang saling libat sambil berkata.
“Tidak ramai kalau begini”
Hebat orang ini. Sekali renggut saja, libatan dua macam senjata itu
terlepas dan kelihatan tangan kirinya tadi bergerak cepat ke arah tubuh
laki-laki yang dikeroyok dari belakang. Kemudian setelah cambuk dan
sabuk terlepas, sambil tertawa terkekeh-kekeh laki-laki berjenggot ini
sudah meloncat keluar dari tempat itu.
Suami isteri yang menghadapi pengeroyokan berat itu agaknya tidak
begitu memperhatikan ikut campurnya laki-laki berjenggot, akan tetapi
Bu Sin yang sejak tadi memandang tajam, dapat melihat betapa tangan
laki-laki berjenggot itu memegang sesuatu ketika tadi bergerak di
belakang laki-laki yang dikeroyok.
“Mari, ikuti dia..” katanya perlahan memberi isyarat kepada Sian Eng
dan Lin Lin. Ketiganya cepat meloncat keluar pula dan menyusup di
antara banyak orang yang berkumpul dan menonton di luar rumah
makan.
93
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
“Sin-ko, buat apa kita campuri urusan mereka?” Lin Lin mencela, akan
tetapi melihat Bu Sin dan Sian Eng sudah melompat keluar, terpaksa ia
pun mengikuti mereka. Mereka membayangi si jenggot panjang itu dari
jauh dan karena yang dibayangi hanya berjalan seenaknya, maka
mudahlah bagi mereka untuk mengikuti terus. Akan tetapi setelah keluar
dari desa itu, si jenggot panjang lalu lari dengan gerakan cepat. Bu Sin
yang ingin sekali tahu siapa orang itu dan apa yang dicurinya tadi dari
sepasang suami isteri dari Hou-han, mengajak adik-adiknya mengikuti
terus.
Menjelang sore mereka memasuki kota An-sui dan laki-laki itu setelah
masuk kota kembali berjalan biasa. Kota An-sui cukup besar dan karena
kota ini sudah termasuk wilayah Kerajaan Sung, apalagi letaknya tidak
jauh dari kota raja, maka keadaannya ramai dan di situ banyak terdapat
rumah-rumah kuno dan besar milik orang-orang bangsawan. Orang
berjenggot panjang itu akhirnya memasuki sebuah rumah besar yang di
bagian depannya ditulis dengan huruf besar: GEDUNG PANGERAN
SUMA.
Tentu saja kakak beradik itu tidak berani masuk terus.
“Kita bermalam di kota ini,” kata Bu Sin dan pergilah mereka mencari
rumah penginapan.
“Malam nanti kita menyelidik.”
Setelah berada di kamar penginapan, Lin Lin kembali mencela,
“Sin-ko, kepergian kita bukankah untuk mencari Kakak Bu Song dan
mencari musuh besar kita? Apa perlunya kita mencampuri urusan si
jenggot tadi?”
“Kau lihat sendiri, tadi dia mencuri sesuatu dari suami isteri dari Houhan
itu,” jawab kakaknya.
“Peduli apa kalau dia mau mencuri apa pun juga? Apa sangkut
pautnya dengan kita, Koko? Biarpun aku kagum kepada suami isteri
yang gagah itu, akan tetapi kita tidak mengenalnya dan tidak tahu apa
yang menyebabkan mereka tadi bertempur, tidak mengenal pula siapa
lawan-lawannya.”
94
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
“Kau benar, Lin-moi. Akan tetapi ada satu hal yang membuat aku
tertarik dan terpaksa berpihak kepada mereka. Mereka itu adalah orangorang
dari wilayah Hou-han, seperti juga kita. Siapa tahu kalau-kalau
benda yang dicuri si jenggot tadi amat penting bagi Kerajaan Hou-han?”
“Sin-ko, kau berpihak kepada Kerajaan Hou-han? Tak ingat bahwa
Ayah telah melarikan diri dari kerajaan itu karena kelaliman rajanya?”
“Waktu itu belum menjadi kerajaan, adikku. Ayah seorang setia dan
tidak suka akan pemberontakan. Akan tetapi sekarang telah menjadi
wilayah Hou-han, aku tidak membela apa-apa, akan tetapi sedikitnya
tentu berpihak kepada wilayah sendiri, bukan?
“Adik Lin, kalau takut, malam ini tidak usah ikut, tinggal saja di
kamar, biar aku dan Sin-ko sendiri yang pergi menyelidik,” kata Sian Eng
yang tidak senang melihat kerewelan Lin Lin. Lin Lin tidak marah, malah
tertawa,
“Cici, kalau ada apa-apa terjadi kapadamu, siapa yang akan menolong
kalau aku tidak ikut? Tentu saja aku ikut.”
“Kalau begitu tak perlu banyak rewel.”
“Kita mengaso dulu sore ini, siapa tahu malam nanti kita harus
menggunakan banyak tenaga,” kata Bu Sin. “Aku akan pesan makanan
di luar rumah penginapan.”
Tak lama Bu Sin keluar, ketika masuk lagi wajahnya berubah.
“Mereka juga sudah berada di kota ini.”
“Siapa?” tanya Lin Lin.
“Siapa lagi, suami isteri itu.”
Mendengar ini, Lin Lin tertarik dan mereka menjadi tegang. Apakah
sepasang suami isteri itu sudah tahu ke mana perginya orang berjenggot
tadi? Apakah mereka sudah tahu bahwa orang itu mengambil sesuatu
dari mereka?
“Hebat, cepat benar mereka dapat mengejar ke sini. Agaknya mereka
menang dalam pertempuran tadi,” kata Lin Lin. “Apakah mereka sudah
tahu tempat si jenggot itu?”
95
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
“Kurasa mereka tentu tahu. Mereka itu bukan orang biasa, melainkan
orang-orang kang-ouw yang ulung. Akan ramai malam nanti, kita
menjadi penonton saja sambil menambah pengalaman,” kata Bu Sin,
dan mereka bertiga pergi ke dalam kamar mengaso.
Penghuni rumah gedung itu adalah keluarga Pangeran Suma Kong,
sedangakan Pangeran Suma Kong ini adalah pangeran Kerajaan Sung
yang masih merupakan keluarga dekat dengan kaisar. Akan tetapi
karena ia pernah melakukan korup besar-besaran dan ketahuan kaisar,
ia lalu diberhentikan daripada jabatan, akan tetapi mengingat bahwa ia
masih keluarga, kaisar tidak menjatuhkan hukuman, hanya
membebaskan daripada tugas. Pangeran Suma Kong lalu mengundurkan
diri dari kota raja, tinggal di kota An-sui, hidup sebagai bangsawan
“pensiunan” yang kaya, memiliki gedung besar dan sawahnya di luar
kota An-sui amat luas. Tentu saja diam-diam Pangeran Suma Kong
menaruh dendam kepada Kerajaan Sung, akan tetapi karena ia sudah
tua dan merasa tidak berdaya, ia menghibur diri dengan pelbagai
kesenangan, tidak mau mempedulikan lagi tentang urusan kerajaan.
Namun tidak demikian dengan puteranya yang bernama Suma Boan.
Puteranya ini bukanlah seorang lemah. Diam-diam dia mempelajari ilmu
silat dari orang sakti yaitu bukan lain adalah Si Raja Pengemis It-gan
Kai-ong. Malah diam-diam Suma Boan menghimpun kekuatan, bersekutu
dengan Kerajaan Wu-yue di selatan. Karena It-gan Kai-ong sendiri
adalah seorang tokoh selatan yang membantu Kerajaan Wu-yue, maka
dengan mudah Suma Boan mendapatkan pengaruh di kerajaan itu dan
diam-diam mengadakan persekutuan untuk bersama-sama cari
kesempatan baik dan kalau tiba waktunya menggulingkan pemerintahan
Kerajaan Sung.
Suma Boan sudah berusia tiga puluhan tahun lebih, belum menikah,
namun terhadap wanita ia terkenal jahat dan mata keranjang. Selirnya
banyak, di dalam gedung itu saja ada tujuh orang, belum terhitung selir
yang di luar gedung. Banyaknya selir itu masih tidak mengurangi
kenakalannya untuk mengganggu setiap orang wanita cantik yang
menarik hatinya, tidak peduli wanita itu masih gadis, janda maupun
masih menjadi isteri orang lain” Dia beruang, ilmu silatnya tinggi, maka
96
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
tiada orang berani menentangnya. Di An-sui ia terkenal sebagai jagoan,
bahkan namanya terkenal sampai di kota raja. Di dunia kang-ouw, ia
bukan seorang yang tidak dikenal pula, dengan julukannya yang amat
tekebur, Lui-kong-sian (Dewa Geledek)”
Suma Boan hanya mempunyai seorang saudara kandung, yaitu adik
perempuannya yang bernama Suma Ceng, berusia dua puluh tujuh
tahun. Suma Ceng sudah lama menikah dengan seorang pangeran dan
kini tinggal di kota raja. Para pelayan di dalam gedung itu maklum
betapa jauh bedanya watak Suma Ceng yang sudah pindah ikut
suaminya di kota raja itu dengan Suma Boan. Suma Ceng seorang
wanita yang halus tutur sapanya, lemah lembut dan baik budi
pekertinya, ramah dan suka menolong terhadap para pelayan.
Sebaliknya, semua pelayan kuncup hatinya dan tunduk ketakutan bila
berhadapan dengan Suma Boan.
Malam hari itu, di ruangan sebelah dalam dari gedung keluarga Suma,
terdengar suara ketawa gembira. Beberapa orang pelayan wanita yang
muda dan cantik sibuk melayani tiga orang yang sedang makan minum
menghadapi meja besar. Mereka ini bukan lain adalah Suma Boan
sendiri, It-gan Kai-ong yang menjadi gurunya, dan seorang laki-laki
berjenggot panjang yang pagi tadi dibayangi oleh Bu Sin bertiga.
“Ciok-twako, kali ini benar-benar kau telah berjasa besar. Biarlah
kuberi selamat dengan secawan arak” terdengar Suma Boan berkata
sambil tertawa dan mengangkat cawan araknya.
Si jenggot panjang yang bernama Ciok Kam itu tertawa merendah,
mengangkat cawan araknya sambil berkata,
“Kongcu terlalu memuji. Hanya secara kebetulan saja saya
mendapatkan surat itu, bukan sekali-kali karena jasa saya, melainkan
mengandalkan rejeki semata-mata dan kemurahan hati Ong-ya yang
telah menurunkan beberapa ilmu pukulan kepada saya. Karena itu,
penghormatan saya kembalikan kepada Kongcu dan terutama kepada
Ong-ya” Si jenggot panjang menggerakkan cawan ke arah It-gan Kaiong
sambil membungkuk.
97
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
“Ha-ha-ho-hoh, Ciok Kam patut menjadi pembantu kita. Surat yang
dirampasnya amat penting dan agaknya kau akan dapat
mempergunakannya dengan baik muridku. Untuk keuntungan ini mari
kita minum sepuasnya” Mereka menenggak habis isi cawan dan cepatcepat
seorang pelayan wanita yang cantik, yaitu seorang di antara para
selir Suma Boan yang amat dipercayanya sehingga diperkenankan
menghadiri pertemuan ini, mengangkat guci dan mengisi cawan-cawan
kosong itu.
“Jangan khawatir, Suhu. Surat yang menyatakan hubungan
persekutuan antara Kerajaan Hou-han dan Nan-cao ini tentu akan teecu
bawa ke kota raja. Tentu Kaisar akan girang dan berterima kasih sekali
kepada teecu dan saat yang baik itu akan teecu pergunakan untuk
mencari kedudukan. Biarkan Hou-han dan Nan-cao ribut dengan Sung,
biarkan anjing-anjing berebut tulang, kelak kita tinggal memukul
mereka. Bukankah begitu, Suhu?”
“Ha-ha, kau lebih tahu akan hal itu. Aku orang tua mana becus
memikirkan tentang negara? Kalau ada lawan yang tak sanggup
kauhadapi, nah, serahkan kepadaku. Itulah bagianku. Ha-ha-ha”
“Siapakah orangnya di dunia ini yang dapat melawan Suhu? Agaknya
orang itu harus dilahirkan lebih dulu. Bukankah begitu, Ciok-twako?”
“Betul-betul, kepandaian Ong-ya seperti malaikat langit,
mengandalkan bantuan Ong-ya, tidak ada cita-cita yang takkan dapat
tercapai,” jawab si jenggot panjang bernama Ciok Kam.
Sementara itu, tiga bayangan berkelebat cepat sekali di atas genteng
rumah besar itu. Mereka ini bukan lain adalah Bu Sin, Sian Eng dan Lin
Lin. Sambil mengerahkan gin-kang, mereka dengan hati-hati sekali
berloncatan di atas genteng. Di ruangan tengah mereka mendengar
suara orang bercakap-cakap sambil tertawa.
“Lin-moi, kau menjaga di sini, aku dan Cicimu mengintai,” kata Bu
Sin.
Kakak beradik itu lalu menggunakan gerak tipu In-liong-hoan-sin
(Naga Awan Membalikkan Tubuh), tanpa mengeluarkan suara keduanya
sudah berjungkir balik dengan kedua kaki tergantung pada ujung
98
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
tembok genteng, tubuh bergantung kepala di bawah seperti dua ekor
kelelawar. Lin Lin berjongkok di atas genteng, memandang kagum
kepada dua orang kakaknya itu.
Adapun Bu Sin dan Sian Eng dalam keadaan bergantung membalik itu
melihat bayangan orang dari jendela, bayangan tiga orang laki-laki yang
duduk sambil minum arak dan tertawa-tawa.
“Ha-ha-ha, tikus-tikus kecil macam itu perlu apa diributkan? Kalau
tidak ingat akan sepotong uang perak, sudah lama mereka menjadi
bangkai.”
Suara ini membuat Bu Sin dan Sian Eng kaget setengah mati. Kiranya
itu adalah suara It-gan Kai-ong” Dan mereka malah datang ke tempat
itu, benar-benar seperti ular mendekati penggebuk”
“Suhu dan Ciok-twako duduklah dan lanjutkan minum arak. Hidungku
mencium bau harum wanita, tak boleh dilewatkan begitu saja. Suhu,
bolehkah?”
“Ho-ho-hah, kalau kau melihat dua orang gadis itu tentu kau akan
membanjir air liurmu. Aku sudah tua, tidak butuh hal itu lagi. Pergilah”
Tiba-tiba sesosok bayangan hitam yang jangkung melompat keluar
dari ruangan itu, melesat ke arah pintu. Akan tetapi sia-sia Bu Sin dan
Sian Eng sudah melompat sambil memutar tubuh ke atas genteng lagi.
Bukan main heran dan khawatimya ketika mereka tidak melihat adanya
Lin Lin yang tadi berjongkok di atas genteng. Ke mana adik mereka itu?
Namun mereka tidak sempat membingungkan ke mana perginya Lin Lin
karena pada saat itu, bayangan laki-laki jangkung yang keluar dari
ruangan tadi sudah melesat naik ke atas genteng dan tahu-tahu di
depan mereka telah berdiri seorang laki-laki muda yang berpakaian
pesolek, bertubuh jangkung dan berhidung panjang. Muka yang tampan,
namun membayangkan kekejaman. Laki-laki ini tersenyum mengejek
melihat Bu Sin dan Sian Eng mencabut pedang. Akan tetapi sepasang
matanya bersinar-sinar ketika ia memandang wajah Sian Eng dan
senyumannya melebar.
“Melihat wajah temanmu, nyawamu kuampuni. Lekas pergi dari sini
dan tinggalkan temanmu ini untuk menemaniku semalam ini,” kata laki-
99
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
laki jangkung yang bukan lain adalah Suma Boan itu kepada Bu Sin.
Dapat dibayangkan betapa marahnya Bu Sin dan Sia Eng mendengar
kata-kata yang amat menghina ini. Akan tetapi karena berada di atas
rumah orang dan mereka merasa telah melanggar aturan, maka ia
mempertahankan kesabarannya dan berkata.
“Harap kau suka menahan mulutmu yang lancang. Lebih baik
lepaskan adik perempuanku dan kami akan pergi dari tempat ini. Kami
bukan maling, hanya tadi kami mengikuti seorang laki-laki berjenggot
panjang yang telah merampas barang orang. Nah, kalau kau tuan rumah
maafkan kami dan kembalikan adikku.”
Mendengar disebutnya laki-laki berjenggot merampas barang,
seketika lenyaplah sikap main-main Suma Boan. Ia tidak peduli lagi akan
ucapan tentang adik kedua orang ini.
“Bagus, kalian mata-mata”
Sekaligus ia menerjang maju dengan serangan yang dahsyat sekali.
Bu Sin dan Sian Eng cepat mengelak sambil melompat mundur dan
memutar pedang, akan tetapi pada saat itu dari jendela yang terbuka
menyambar angin pukulan yang hebat, yang sekaligus mendorong
mereka roboh di atas genteng” Terdengar suara It-gan Kai-ong tertawa
bergelak. Kiranya kakek inilah yang mendorongkan tangannya mengirim
pukulan jarak jauh dari jendela ke atas genteng” Melihat betapa dua
orang muda gemblengan seperti Bu Sin dan Sian Eng dapat roboh
dengan sekali terkena dorongan angin pukulan, dapat dibayangkan
betapa saktinya raja pengemis itu.
Bu Sin dan Sian Eng kaget bukan main. Tubuh mereka tak dapat
dicegah lagi terlempar ke bawah genteng dan biarpun mereka dapat
mempergunakan gin-kang untuk mengatur keseimbangan badan dan
mencegah terbanting, namun sedikitnya mereka tentu akan luka-luka
kalau saja tidak ada dua orang yang menyambar tubuh mereka. Ketika
mereka memandang, kiranya yang menolong mereka itu adalah suami
isteri yang dikeroyok di rumah makan pagi tadi”

Bersambung...

No comments:

Post a Comment