Tuesday, January 10, 2017

Cinta Bernoda Darah 01 - Mini Serial #012

Cerita Silat Kho Ping Hoo: Cinta Bernoda Darah 01 - Mini Serial #012
=======================================================
“Perhatikan sekarang. Kalian harus dapat memperlihatkan jasa dan
bakti bahwa kalian membantuku. Aku membutuhkan tempat sembunyi
Hek-giam-lo. Cari sampai dapat dan kabarkan padaku. Kalau mungkin,
selidiki di mana ia menyimpan robekan setengah bagian kitab kecil.”
77
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
“Baik, Ong-ya. Hamba akan mengerahkan seluruh kawan di kaipang,”
jawab mereka berbareng dengan suara amat merendah.
“Sudah, pergi sekarang. Muak perutku melihat kalian” Kakek bongkok
itu mengomel dan bagaikan anjing-anjing diusir, puluhan orang
pengemis itu pergi sambil menyeret mayat empat orang pengemis
anggauta Pek-ho-kai-pang itu.

Bu Sin dan dua orang adiknya bergidik. Bahkan Lin Lin yang biasanya
amat tabah, kini tampak pucat. Namun, di samping kengerian ini, Lin Lin
merasa marah sekali kepada kakek itu yang dianggapnya sombong dan
kejam sekali.
“Orang macam dia harus dibasmi Sin-ko,” ia berbisik.
“Ssttt..” Bu Sin mencegah, namun terlambat. Kakek itu tiba-tiba
membalikkan tubuh dan berjalan menghampiri pohon besar di mana
mereka bertiga berada. Kakek itu sama sekali tidak mendongak, akan
tetapi sambil terkekeh ia berkata,
“Nyawa tiga orang muda pernah kuhargai seperak akan tetapi
sekarang tiada harganya sama sekali.” Tiba-tiba kedua tangannya
mendorong dan..
“kraaakkk” batang pohon itu remuk dan tumbanglah pohon yang
besar tadi.
Bu Sin dan dua orang adiknya bukanlah orang sembarangan, namun
menyaksikan hal ini mereka terkejut bukan main. Cepat mereka
mengerahkan gin-kang dan melompat turun sebelum mereka ikut roboh
bersama pohon dan tertimpa cabang dan ranting. Begitu kaki mereka
menyentuh tanah, ketiganya sudah mencabut pedang dan siap
menghadapi kakek sakti itu. Mereka maklum bahwa mereka takkan
diberi ampun, namun mereka bertekad untuk melawan mati-matian.
“Ho-ho-ha-hah, tak tahu diri.. tak tahu diri..” Tiba-tiba tongkat di
tangan kakek itu melayang, bagaikan seekor ular bergerak-gerak di
udara dan menyambar mereka. Bu Sin, Sian Eng dan Lin Lin cepat
mengangkat pedang membacok.
78
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
“Tranggggg” Tiga batang pedang di tangan mereka terlepas dari
tangan, runtuh di atas tanah depan mereka, sedangkan tongkat itu
terpental kembali, melayang ke tangan si kakek bongkok yang tertawa
berkakakan.
“Ha-ha-ha-ha-hah”
Bu Sin dan dua orang gadis itu terlalu kaget dan heran akan kesaktian
lawan, sehingga mereka diam tak bergerak, berdiri seperti patung dan
agaknya hanya menanti datangnya pukulan maut. Pada saat itu,
terdengar suara suling, nyaring melengking bergema di seluruh hutan,
makin lama makin dekat. Bu Sin dan dua orang gadis itu tak kuasa
mendengar lebih lama lagi, jantung mereka terguncang dan tubuh
mereka menggigil, terpaksa mereka menggunakan kedua tangan untuk
menutupi telinga. Biarpun demikian, masih saja suara lengking tinggi itu
menembus dan membuat telinga terasa sakit sekali.
Kakek itu kelihatan terkejut pula, lalu tersaruk-saruk pergi
meninggalkan tempat itu, sama sekali tidak menengok ke arah Bu Sin
bertiga seakan-akan ia telah lupa akan adanya tiga orang muda itu.
Suara suling berhenti dan tiga orang muda itu melepaskan tangan.
Terdengar suara orang yang penuh wibawa.
“It-gan Kai-ong” Kau bersama Hek-giam-lo dan Siang-mou Sin-ni
secara pengecut menyerang Bu Kek Siansu dah merampas kitab dan alat
khim. Biarpun Bu Kek Siansu tidak peduli dan mengampuni kalian,
namun aku tidak bisa membiarkan begitu saja. Berikan kitab dan
nyawamu”
Tak lama kemudian, tampaklah oleh Bu Sin bertiga orang yang bicara
ini, akan tetapi hanya punggungnya saja. Dia itu seorang laki-laki yang
tinggi besar, membawa suling, berjalan perlahan.
“Dia bersuling..” Bu Sin teringat akan musuh besar, pembunuh
ayahnya. Di lain saat Bu Sin dan Sian Eng sudah menyerang laki-laki itu
dengan piauw dan jaarum. Orang itu berjalan seenaknya, seakan-akan
tidak tahu bahwa dari belakangnya menyambar senjata-senjata rahasia.
Dan tiga orang muda itu melihat dengan jelas betapa tiga batang piauw
dan tujuh batang jarum itu mengenai tepat tubuh bagian belakang,
79
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
namun orang itu tetap saja enak-enak berjalan tanpa menghiraukan
sesuatu, seakan-akan semua senjata rahasia itu hanya daun-daun yang
gugur. Sebentar kemudian ia lenyap di balik pepohonan.
“Mari kejar..” Bu Sin berkata.
“Tiada gunanya, Sin-ko. Tak mungkin dapat dikejar,” bantah Lin Lin
yang sejak tadi berdiri seperti patung, Bu Sin maklum akan hal ini, akan
tetapi melihat sikap Lin Lin ia mengerutkan kening.
“Lin-moi, kenapa kau tadi tidak ikut menyerangnya? Dia pembunuh
Ayah”
“Belum tentu, Sin-ko. Apa buktinya? Lagi pula, aku tidak mau
menyerang orang secara menggelap tanpa memberi peringatan.
Mendiang Ayah takkan senang melihatnya.”
Merah wajah Bu Sin dan Sian Eng membentak,
“Lin-moi, omongan apa ini? Kau tidak membantu, malah mencela.
Kalau dia benar musuh besar Ayah, kenapa kita mesti banyak memakai
aturan? Jelas bahwa dia berilmu tinggi, lebih tinggi daripada tingkat kita,
perlu apa kita memakai sungkan-sungkan segala? Yang perlu, kita harus
dapat membalas dendam”
Lin Lin menarik napas panjang.
“Kalian tahu bahwa aku tidak akan ragu-ragu mempertaruhkan
nyawaku untuk membalas sakit hati Ayah. Akan tetapi, aku tidak percaya
bahwa dia itu pembunuh Ayah. Dengar saja kata-katanya terhadap
kakek iblis tadi. Terang dia itu orang baik, maka memusuhi kakek
pengemis iblis yang bernama It-gan Kai-ong tadi. Kalau kita bertindak
sembrono dan salah sangka, menjatuhkan fitnah terhadap orang baikbaik,
bukanlah lebih celaka lagi?”
“Dia bersuling, dia lihai, tidak salah lagi.” kata Sian Eng.
“Kalau memang dia musuh kita kelak pasti dapat bertemu lagi.
Sekarang lebih baik kita lekas pergi dari tempat ini” kata Bu Sin yang
masih ngeri kalau teringat akan pengalamannya dengan kakek iblis tadi.
Dengan cepat tiga orang muda ini melanjutkan perjalanan, ke arah
jurusan munculnya matahari pagi.
80
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
***
Enam orang laki-laki sederhana itu mengelilingi api unggun di dalam
hutan. Mereka adalah pemburu-pemburu binatang yang tampaknya
belum memperoleh hasil dan melewatkan malam gelap di dalam hutan
besar membuat api unggun, duduk mengelilinginya sambil bercakapcakap.
Tiba-tiba mereka berhenti bicara dan tangan mereka meraba senjata
masing-masing, yaitu tombak panjang, dan mata mereka menatap ke
satu jurusan dari mana mereka tadi mendengar suara mencurigakan.
Dua orang segera memadamkan api unggun. Kemudian mereka
merunduk dan menyelinap di balik pohon, menghampiri tempat itu
dengan hati-hati. Siapa tahu malam ini mereka beruntung mendapatkan
binatang buruan yang kemalaman di situ.
Akan tetapi mereka keliru. Suara yang mereka kira ditimbulkan oleh
binatang buruan, kiranya dibuat oleh tiga orang muda yang agaknya
baru saja datang dan sedang berusaha membuat api unggun. Seorang
tampan dan dua orang gadis cantik. Seorang di antara para pemburu,
yang berjenggot pendek, pemimpin rombongan pemburu enam orang
ini, tertawa dan disusul oleh teman-temannya.
Bu Sin, Sian Eng, dan Lin Lin terkejut, cepat menengok menghadapi
enam orang yang muncul dari kegelapan itu, tangan meraba gagang
pedang.
“Ha-ha-ha, harap Sam-wi orang-orang muda jangan khawatir. Kami
hanya pemburu-pemburu binatang biasa, bukan perampok,” katanya.
“Cu-wi mengagetkan saja, muncul begini tiba-tiba dari tempat gelap,”
kata Bu Sin setengah menengur.
“Ha-ha, maafkan kami. Kami tadi sedang bercakap-cakap di sana,
mendengar suara Sam-wi yang kami kira binatang hutan. Heran sekali,
bagaimana orang-orang muda seperti Sam-wi ini berada di hutan liar?”
81
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
“Kami adalah pengembara-pengembara yang kemalaman di jalan,”
jawab Bu Sin singkat.
“Maafkan kami kalau kami mengganggu Cu-wi sekalian.”
“Ha-ha, tidak mengapa.. tidak mengapa.. hutan ini bukanlah milik
kami. Tadinya saya heran melihat Sam-wi yang begini muda berani
memasuki hutan liar ini di waktu malam gelap, akan tetapi melihat
pedang Sam-wi, keheranan saya hilang. Mari kawan-kawan, kita
membuat api unggun di sini saja.”
Mereka membuat api unggun besar dan duduk mengelilinginya.
“Tan-twako, kau lanjutkan dongengnnu tentang Suling Emas,” kata
seorang dan suara ini dibenarkan oleh yang lain, Laki-laki berjenggot
pendek itu berkata sungguh-sungguh,
“Bukan dongeng, melainkan kenyataan. Aku sendiri pernah
ditolongnya. Sungguhpun aku masih belum dapat memastikan apakah
dia itu manusia atau dewa, namun aku sudah amat beruntung mendapat
pertolongannya.”
“Ceritakan.. ceritakan..” teman-temannya mendesak.
Bu Sin bertukar pandang dengan dua orang adiknya. Mereka tadinya
menaruh curiga terhadap enam orang yang mengaku pemburu-pemburu
ini, akan tetapi mendengar disebutnya nama Suling Emas, mereka
tertarik sekali. Agaknya kata-kata suling itulah yang menarik perhatian.
Bukankah musuh besar mereka adalah seorang yang membawa suling?
Karena itu mereka bertiga lalu ikut mendengarkan, sungguhpun mereka
memilih tempat duduk yang agak jauh, di atas batu-batu besar dan
selalu siap waspada menjaga segala kemungkinan.
“Terjadinya di hutan Hek-yang-liu (Cemara Hitam),” pemburu she Tan
itu mulai bercerita,
“kurang lebih tiga bulan yang lalu. Kalian tahu hutan itu penuh
dengan ular besar. Aku memang hendak berburu ular, mendapat
pesanan kulit ular dari saudagar kulit, dan jantung ular kembang dari
seorang pemilik toko obat di kota Wu-han.”
82
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
“Kau memang tabah sekali, Tan-twako, berburu ular besar sendirian
saja,” komentar seorang temannya.
“Aku sudah biasa berburu ular, cukup dengan tombak dan anak
panah serta gendewa. Dalam waktu dua hari saja aku sudah dapat
memanah mati dua ekor ular sebesar paha. Akan tetapi pada hari ke
tiga, ketika aku sedang menjemur kulit dan jantung ular, tiba-tiba
muncul empat ekor harimau yang langsung menyerangku. Mereka
adalah dua ekor harimau tua dan dua ekor masih muda. Aku cepat
meraih tombak dan melawan, akan tetapi bagaimana dapat melawan
empat ekor harimau yang menyerang sekaligus? Agaknya mereka
berlumba untuk menerkam aku lebih dulu. Aku dapat menusuk paha
seekor harimau, akan tetapi pada saat tombakku masih menancap di
paha, harimau jantan yang tua telah menubruk dan menerkam pundak
kiriku. Aku melepaskan tombak, mencabut pisau, akan tetapi sebelum
aku dapat menusuk dada berbulu putih di atas mukaku itu, harimau ke
dua sudah menggigit pangkal lengan kananku sehingga pisau itu
terlepas, seluruh tubuh terasa nyeri dan aku tak berdaya lagi..”
“Twako, kukira apa yang dapat kaulakukan hanya berteriak minta
tolong,” kata seorang. Kata-kata ini kalau diucapkan pada suasana yang
tidak sedang tegang tentu terdengar lucu.
“Hutan itu sunyi, minta tolong apa artinya? Pula, aku sudah nekat dan
siap menghadapi kematian sebagai seorang pemburu” bantah pemburu
she Tan dengan suara gagah. “Akan tetapi agaknya belum tiba saatnya
aku mati. Pada waktu itu aku sudah hampir pingsan, pandangan mataku
sudah kabur. Tiba-tiba terdengar suara suling yang melingking tinggi.
Empat ekor harimau itu agaknya terkejut, aku sendiri merasa seakanakan
kedua telingaku ditusuk jarum dan agaknya aku sudah pingsan.
Namun dalam keadaan hampir tak sadar itu aku melihat bayangan orang
memegang suling yang berkilauan ditimpa sinar matahari. Jelas bahwa
suling itu terbuat daripada benda kuning berkilauan, tentu suling emas.
Terdengar suara gaduh ketika empat ekor harimau itu meraung-raung
dan mengaum, lalu tampak harimau-harimau itu bergerak cepat,
menerkam ke depan, terjadi perkelahian cepat yang tak dapat diikuti
pandangan mata, kemudian aku tidak ingat apa-apa lagi..”
83
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
“Lalu bagaimana, Twako?” Lima orang pendengarnya makin tegang.
Juga tiga orang muda itu mendengarkan penuh perhatian.
“Entah berapa lama aku pingsan, aku tidak tahu. Ketika aku
membuka mata, kulihat bangkai empat ekor harimau menggeletak di
sana-sini. Anehnya, pundak dan lenganku sudah terbalut oleh robekan
bajuku sendiri, rasanya dingin nyaman dan aku tidak merasakan nyeri
lagi. Ketika kuperiksa bangkai-bangkai itu, kiranya empat ekor harimau
itu pecah kepalanya. Wah, aku pesta besar, tidak saja karena mendapat
daging harimau yang menguatkan tubuh, juga mendapatkan empat
lembar kulit harimau yang utuh dan indah. Mau aku mengalami hal itu
sekali lagi kalau hadiahnya demikian besar.”
“Jadi yang menolong itu adalah Suling Emas, pendekar ajaib yang
sering kali kita dengar namanya namun belum pernah menampakkan diri
kepada orang lain itu?”
“Agaknya begitulah. Siapa lagi kalau bukan dia yang dapat
membunuh empat ekor harimau tanpa merusak kulitnya? Siapa lagi
pendekar yang membawa suling emas kalau bukan Si Suling Emas?”
Tanpa mereka sadari, Bu Sin dan dua orang adiknya kini sudah duduk
mendekat api unggun.
“Twako, siapakah sebenarnya Suling Emas itu? Apakah dia itu
seorang pendekar yang suka menolong orang? Ataukah dia seorang
penjahat yang suka membunuh orang?” tiba-tiba Bu Sin bertanya.
“Siapa yang tahu, anak muda? Sepak terjang seorang ajaib seperti dia
itu tak dapat diketahui orang. Tentang pembunuh, agaknya dia memang
suka membunuh. Pernah aku mendengar betapa gerombolan perampok
di muara Sungai Yang-ce sebanyak tiga puluh orang lebih semua
terbunuh olehnya.”
“Kabarnya dia pernah menggegerkan dunia kang-ouw dengan
membunuh dua orang tokoh Siauw-lim-pai. Heran betul, membunuh
perampok-perampok itu adalah pekerjaan pendekar akan tetapi dua
orang hwesio alim dari Siauw-lim-pai, kenapa dibunuhnya?” kata
seorang pemburu yang berhidung besar.
84
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
“Juga ketika terjadi geger di kota raja karena hilangnya burung hong
mutiara milik permaisuri, orang-orang mengabarkan bahwa Suling Emas
yang mencurinya. Ada yang bilang dia itu sudah tua sekali, seorang
kakek yang pakaiannya seperti seorang pelajar kuno. Betulkah ini, Tantwako?
Ketika kau ditolongnya, orang macam apa yang kau lihat?”
“Aku hampir pingsan dan gerakannya secepat kilat, hanya
bayangannya saja yang kulihat. Tapi ada yang mengabarkan bahwa dia
itu masih amat muda, seorang pemuda yang pakaiannya seperti pelajar.
Yang sama dalam berita angin itu hanya tentang pakaiannya. Tentu dia
seorang pelajar.”
“Dan pandai bersuling.”
“Suka menolong orang, suka pula membunuh, suka mencuri..”
Macam-macam suara para pemburu ini yang mengemukakan masingmasing,
akan tetapi jelas bagi Bu Sin bahwa tak seorang pun di antara
mereka tahu akan hal yang sesungguhnya. Diam-diam ia berpikir.
Betulkah pembunuh orang tuanya adalah Suling Emas ini? Dan orang
yang muncul dengan sulingnya, yang agaknya ditakuti It-gan Kai-ong,
apakah dia itu Suling Emas? Pakaiannya memang seperti pakaian
pelajar, tapi berwarna hitam. Tentang wajahnya, ia pun tak dapat
melihatnya karena orang itu membelakanginya. Tapi jelas pakaian
pelajar berwarna hitam dan tubuhnya tinggi besar.
“Sudahlah, apa pun dia, terang bahwa dia adalah seorang sakti yang
berkepandaian tinggi. Tidak baik kita membicarakannya. Siapa tahu ia
mendengarkan percakapan kita. Hiiihhh, meremang bulu tengkukku.
Orang sakti seperti dia tidak boleh dibicarakan. Kalau sedang baik,
memang menyenangkan sekali, akan tetapi kalau marah..” Pemburu she
Tan itu menggigil seperti orang kedinginan, menyorongkan kedua
lengannya dekat api.
“Betapapun juga, kalau dia marah dan membunuhku, aku tidak akan
penasaran karena memang aku berhutang budi dan nyawa kepadanya.”
Sebentar kemudian, keenam pemburu itu sudah tidur mendengkur di
dekat api. Mereka ini benar-benar sembrono dan tidak pedulian. Masa
enam orang di dalam hutan besar kesemuanya tidur? Tidak menjaga
85
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
secara bergiliran? Bagaimana kalau api unggun menjilat baju? Mungkin
mereka merasa aman karena di situ ada tiga orang muda yang agaknya
tidak nampak lelah. Mendongkol hati Bu Sin. Kalau mereka menganggap
dia dan adik-adiknya sebagai penjaga keselamatan mereka, ia tidak sudi.
Ia mengajak kedua orang adiknya menjauhi tempat itu dan membuat api
unggun sendiri, kira-kira empat ratus meter jauhnya dari tempat para
pemburu.
Menjelang tengah malam, keadaan amat sunyi di dalam hutan itu. Bu
Sin tak dapat meramkan mata sedikit pun. Pengalaman yang mereka
alami semenjak keluar dari dusun, amatlah hebat. Mulailah mereka
berkenalan dengan kehidupan perantauan, bertemu dengan orang-orang
kang-ouw dan malah mereka secara tidak sengaja telah terjun ke dalam
permusuhan dengan golongan pengemis kang-ouw yang dikepalai atau
dirajai oleh seorang tokoh sakti yang mengerikan bernama It-gan Kaiong.
Nama ini takkan mudah terlupa dari ingatannya dan ia tahu bahwa
ia harus berhati-hati dan menjauhkan diri dari kakek iblis itu. Lin Lin dan
Sian Eng tidur pulas meringkuk di dekat api unggun, berbantal akar
pohon yang menonjol kduar dari tanah.
Tak baik melakukan perjalanan dengan gadis-gadis ini, pikirnya.
Biarpun mereka berdua memiliki kepandaian tidak kalah olehnya, namun
mereka tetap perempuan, banyak mendatangkan dan memancing
keributan. Ia harapkan dapat bertemu dengan kakaknya,
Kam Bu Song di kota raja dan besar harapannya pula bahwa keadaan
kakaknya yang sepuluh tahun lebih tua daripadanya itu telah
mendapatkan kedudukan yang cukup baik. Ia harus menitipkan kedua
orang adiknya kepada kakaknya itu, kemudian ia akan melanjutkan
usahanya mencari musuh besarnya itu, seorang diri.
Lewat sedikit tengah malam, Lin Lin bangun.
“Sin-ko, sekarang kau tidurlah, biar aku yang berjaga.” Mendengar
suara adiknya, Sian Eng juga bangun mengulet dan menguap.
“Biarlah aku yang berjaga,” katanya. “Kalian tidurlah, aku tidak
mengantuk,” kata Bu Sin,
86
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
kasihan melihat dua orang adiknya. Ia mengalah dan ingin berjaga
semalam suntuk, membiarkan kedua adik perempuannya itu tidur
melepaskan lelah.

Bersambung...

No comments:

Post a Comment