Thursday, January 5, 2017

Cinta Bernoda Darah 01 - Mini Serial #011

Cerita Silat Kho Ping Hoo: Cinta Bernoda Darah 01 - Mini Serial #011
=======================================================
Bu Sin maklum bahwa mereka telah membuat ribut di tempat ini,
maka ia segera mengajak kedua orang adiknya untuk memasuki kota
Wu-han, tidak mempedulikan orang-orang yang tadinya menonton dan
kini memandang kepada mereka penuh kekaguman dan kekhawatiran
sambil membicarakan peristiwa tadi.
Karena malam telah tiba dan mereka merasa lelah sehingga tak
mungkin melanjutkan perjalanan di waktu malam, Bu Sin mengajak dua
orang adiknya bermalam pada sebuah rumah penginapan yang berada di
sebelah timur pusat kota. Sebuah rumah penginapan yang sederhana,
namun cukup bersih.

Di sepanjang perjalanan menuju ke rumah penginapan, mereka tidak
pernah melihat adanya pengemis. Lega hati Bu Sin, karena ia sudah
merasa khawatir kalau-kalau urusan itu berkepanjangan dan mereka
akan menemui kesulitan dari kawan-kawan empat orang pengemis tadi.
67
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
“Wah, cerita empek tukang perahu tadi dilebih-lebihkan.” kata Lin Lin.
“Katanya di sini berkeliaran banyak pengemis jahat, mana buktinya?
Hanya empat ekor cacing tanah tadi yang tiada gunanya sama sekali.”
“Eh, Lin-moi, kenapa sih kau agaknya ingin sekali melihat pengemispengemis
lagi? Mau apa?” tegur Sian Eng setengah menggoda.
“Ingin memberi hajaran lagi kalau mereka benar-benar jahat, biar
kapok” jawab Lin Lin.
“Lin-moi, jangan sembrono kau. Apakah kaukira setelah melihat
empat orang pengemis jahat tadi kau lalu menganggap bahwa semua
pengemis jahat belaka? Yang tidak jahat patut dikasihani, seperti dia itu,
bukankah patut dikasihani?” Bu Sin menunjuk ke arah seorang pengemis
tua yang duduk kedinginan di bawah pohon, yang berada di depan
rumah penginapan.
Lin Lin dan Sian Eng memandang. Memang patut dikasihani pengemis
tua ini. Ia duduk bersila melenggut bersandarkan tongkat bututnya,
pakaiannya penuh tambalan, tubuhnya menggigil kedinginan, rambutnya
riap-riapan seperti rambut orang gila. Kakek ini sudah tua sekeli, kedua
matanya meram dan dari pinggir matanya keluar kotoran bertumpuk,
bibirnya agak terbuka dan air liurnya bertetesan keluar. Menjijikkan,
namun juga menimbulkan kasihan.
Dasar Lin Lin berwatak aneh dan mudah sekali berubah. Gadis ini
semenjak kecilnya memang sudah aneh. Mudah marah, mudah
menangis, mudah tertawa. Kalau marah hanya sebentar, kalau menangis
pun hanya sebentar, dan sebagian besar waktunya tentu diisi dengan
tawa dan berjenaka. Kini melihat keadaan kakek ini, tiba-tiba saja
kemarahannya terhadap para pengemis tadi lenyap. Ia merogoh saku
bajunya, mengeluarkan sepotong uang perak dan melemparkannya ke
pangkuan kakek itu. Akan tetapi kakek pengemis itu masih saja tidur.
Bu Sin dan Sian Eng terkejut, akan tetapi karena mereka sudah tahu
akan watak Lin Lin yang memang aneh, mereka tidak berkata apa-apa,
hanya di dalam hati mengeluh bahwa kalau Lin Lin bersikap seroyal ini
terhadap semua pengemis, sebentar saja mereka akan kehabisan bekal
di jalan” Masa memberi sedekah kepada seorang pengemis sampai
68
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
sepotong uang perak? Namun, karena hal itu telah terjadi, mereka tidak
mencegah dan ketiganya segera memasuki rumah penginapan, minta
sewa dua buah kamar. Sebuah untuk Lin Lin dan Sian Eng, sebuah lagi
untuk Bu Sin.
Karena merasa lelah, tiga orang muda itu tidak pergi keluar untuk
makan, melainkan menyuruh seorang pelayan rumah penginapan
memesan makanan. Selagi mereka makan, terdengar ribut-ribut di luar.
Ketiganya keluar dan apa yang terjadi di luar? Ternyata pengemis tua
itulah yang menimbulkan keributan.
Tadinya orang-orang di dalam ruangan depan rumah penginapan itu,
yakni para tamu yang kebetulan duduk di ruangan depan, mendengar
suara orang berteriak-teriak marah. Seorang pelayan wanita membawa
lampu keluar dari ruangan untuk melihat apa gerangan yang terjadi.
Kiranya pengemis tua itulah yang berteriak-teriak,
“Nyamuk keparat” Nyamuk gila”
Kakek pengemis itu masih duduk, akan tetapi sekarang tubuhnya
yang masih duduk itu terpental-pental ke atas dalam keadaan masih
bersila. Debu mengebul di bawahnya ketika tubuhnya itu terbantingbanting,
tangan kanannya mengusir nyamuk yang merubungnya, tangan
kiri memegangi tongkat. Wanita pelayan itu kaget sekali. Siapa yang
takkan menjadi kaget dan heran melihat orang duduk bersila dapat
berloncatan seperti itu? Beberapa orang tamu berlari keluar dan
sebentar saja banyak orang melihat kakek itu.
Bu Sin dan dua orang adiknya juga bergegas keluar, meninggalkan
meja makan. Mereka bengong dan terkejut. Itulah pertunjukan gin-kang
yang hebat. Makin lama tubuh kakek itu meloncat makin tinggi seperti
terbang, sedangkan keadaannya masih duduk bersila. Yang lebih hebat
lagi, uang perak yang tadinya berada di pangkuan kakek itu sekarang
berada di bawahnya, juga uang ini ikut berloncatan di bawah pantat si
kakek gembel”
“Nyamuk keparat”
Kakek itu masih bersunggut-sunggut, tapi kata-kata sambungannya
yang tak dimengerti orang lain itu mengejutkan Bu Sin dan adik-adiknya,
69
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
“Keparat, uang perak membatalkan niatku membunuh tiga ekor
nyamuk” Setelah berkata demikian, kakek itu melirik ke arah Bu Sin dan
adik-adiknya. Sekarang tampak oleh mereka bahwa kakek itu matanya
buta sebelah. Kakek itu bangkit berdiri, meludah sekali, lalu berjalan
pergi, terbongkok-bongkok dibantu tongkatnya.
Orang-orang tertawa. “Kakek itu gila, rupanya..”
Akan tetapi Bu Sin dan adik-adiknya lebih mengerti. Sama sekali
bukan kakek gila, melainkan seorang sakti yang luar biasa. Apalagi
ketika mereka memandang lebih jelas, kiranya uang perak yang tadi
masih ditinggalkan di situ dan uang itulah yang tadi diludahi si kakek.
Ketika Bu Sin membungkuk untuk melihat lebih jelas, uang itu ternyata
telah melesak dan melengkung oleh ludah.
Pucat wajah Bu Sin. “Celaka..” tentu yang dimaksudkan dengan tiga
ekor nyamuk tadi adalah kita bertiga” Tanpa banyak cakap lagi ia lalu
mengajak dua orang adiknya masuk ke dalam kamar, membereskan
bekal pakaian dan malam itu juga ia mengajak adik-adiknya
meninggalkan kota Wu-han”
“Eh, kenapa kau seperti orang ketakutan?” tanya Lin Lin.
“Lin-moi, karena perbuatanmu memberi sedekah tadi, nyawa kita
sampai detik ini masih selamat,” jawab Bu Sin sambil mengajak dua
orang adiknya berjalan cepat.
“Eh, apa maksudmu, Koko?” Sian Eng kaget sekali, juga Lin Lin
memandang kakaknya dengan mata terbelalak.
“Kalian ini bocah-bocah sembrono sekali. Tidak lihatkah tadi betapa
kakek pengemis itu memperlihatkan ilmu gin-kang yang amat luar biasa?
Dan uang perak itu, diludahi saja menjadi bengkok dan rusak” Tidak
salah lagi, dia tentu seorang sakti dan melihat pakaiannya, agaknya dia
seorang di antara pimpinan perkumpulan pengemis. Lupakah kalian akan
kata-katanya tadi bahwa uang perak membatalkan niatnya membunuh
tiga ekor nyamuk? Tentu yang ia maksudkan tiga ekor nyamuk adalah
kita bertiga. Agaknya dia tadinya bermaksud membunuh kita bertiga,
akan tetapi karena Lin Lin memberinya sepotong uang perak, ia
membatalkan niatnya. Sungguh berbahaya”
70
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Lin Lin membanting kaki.
“Kakek keparat” Kita menaruh kasihan dan memberi sedekah, dia
malah menghina, menyebut kita nyamuk dan memandang rendah sekali.
Sin-ko, kenapa kau tadi tidak bilang kepadaku? Sedikitnya aku dapat
mencoba kepandaiannya, sampai di mana sih tingginya maka dia begitu
sombong”
“Lin-moi, jangan bicara sembarangan. Dia orang sakti” bentak Bu Sin.
“Aku tidak takut” Lin Lin mengedikkan kepala membusungkan dada.
Bu Sin hendak marah, akan tetapi segera ditekannya perasaanya. Ia
tidak bisa marah kepada Lin Lin, pertama karena memang ia amat
sayang kepada adik angkatnya ini, ke dua, karena ia merasa tidak enak
kalau harus marah kepada adik angkat, khawatir kalau-kalau Lin Lin
merasa dibedakan. Memang, biarpun masih muda, Bu Sin mempunyai
watak yang baik sekali.
“Lin-moi, lain kali kau harus mentaati kata-kata Koko jangan banyak
membantah. Kau membikin Sin-ko menjadi bingung dan marah saja”
Sian Eng menegur Lin Lin.
Setelah ditegur, barulah Lin Lin insyaf. Sambil tertawa ia menyambar
tangan Bu Sin.
“Sin-ko, apakah kau marah kepadaku? Apakah aku banyak rewel?
Ampunkan saja aku, ya kakak yang baik?”
Mau tak mau Bu Sin tertawa juga.
“Kau memang nakal.”
“Memang aku nakal, tapi tidak galak seperti Enci Sian Eng” Lin Lin
mengerling ke arah cicinya. Kini Sian Eng yang cemberut dan tangannya
menyambar hendak mencubit lengan adiknya. Lin Lin meloncat, lari
memutari tubuh Bu Sin dan menjerit-jerit,
“Sin-ko, tolong.. Enci galak mau bunuh aku..”
“Hushhh, gila kau, Lin-moi” Masa bunuh, siapa yang bunuh?
Memangnya kau ini seekor semut, gampang saja dibunuh.” Terpaksa
Sian Eng menghentikan kejarannya. Tak berdaya ia terhadap adik yang
nakal ini.
71
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Tanpa terasa karena di sepanjang jalan mereka bersendau-gurau,
tiga orang muda ini sudah keluar dari kota Wu-han, melalui pintu kota
sebelah timur. Malam telah larut dan keadaan amat gelap karena langit
hanya diterangi bintang-bintang. Amat sukar melakukan perjalanan di
malam gelap, apalagi kalau orang tidak mengenal jalan. Tiga orang
muda itu selamanya belum pernah melewati jalan itu.
“Sin-ko, kita tidak tahu mana jurusan ke kota raja, dan aku amat
lelah,” Sian Eng mengomel. “Sebaiknya kita menunda perjalanan malam
ini dan melanjutkannya esok pagi-pagi.”
“Kita sudah keluar dari Wu-han sekarang, boleh saja berhenti. Akan
tetapi di mana harus beristirahat? Tidak ada sebuah rumah pun, sejak
tadi tidak terlihat api rumah penduduk. Agaknya daerah ini jauh daripada
dusun.” kata Bu Sin.
“He, kalian lihat. Bukankah di sana itu rumah? Tapi gelap amat..” Lin
Lin tiba-tiba berkata. Mereka melihat dan benar saja. Di antara
kegelapan malam yang disinari bintang-bintang di langit itu tampak
bayangan sebuah bangunan rumah di sebelah kiri. Seperti diberi
komando ketiganya menghampiri rumah itu dan setelah mereka berada
di pekarangan depan, kiranya itu adalah sebuah kelenteng yang sudah
tua dan tidak terpakai lagi.
“Kita istirahat di sini melewatkan malam,” kata Bu Sin dengan hati
lega. Biarpun hanya sebuah kelenteng tua dan rusak, namun cukup
lumayan dan jauh lebih baik daripada bermalam di tengah jalan, di
udara terbuka.
Baru saja mereka membersihkan lantai yang berdebu dan duduk,
tiba-tiba tampak sinar api dan di depan kelenteng tua itu telah berdiri
belasan orang yang memegang obor” Tiga orang muda itu memandang
dan terkejutlah mereka ketika melihat bahwa empat belas orang itu
berpakaian seperti pengemis”
“Kalian mau apa?” bentak Lin Lin yang sudah meloncat berdiri
bersama dua orang saudaranya.
72
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Seorang kakek pengemis bertubuh pendek gemuk, agaknya pemimpin
rombongan itu karena dia seorang yang tidak memegang obor,
tersenyum lebar dan berkata.
“Sam-wi sudah merobohkan empat orang anak buah kami, sekarang
pangcu kami memanggil Sam-wi menghadap.”
Bu Sin tidak heran menghadapi rombongan ini karena memang ia
sudah mengkhawatirkan akibat daripada sepak terjang mereka di tepi
sungai sore tadi. Ia seorang pemuda yang waspada dan hati-hati, akan
tetapi mendengar ucapan yang amat memandang rendah itu, ia menjadi
mendongkol juga. Biarpun pemimpin mereka seorang pangcu, akan
tetapi hanya ketua pengemis saja, bagaimana berani memanggil mereka
menghadap seperti sikap pembesar saja?
“Lopek, peristiwa sore tadi adalah karena kesalahan teman-temanmu
sendiri yang hendak melakukan perampokan sehingga terpaksa kami
orang-orang muda turun tangan. Kami tidak mempunyai urusan dengan
perkumpulan kalian, juga tidak mengenal ketua kalian. Kalau dia
mempunyai urusan dengan kami, persilakan dia datang ke sini bicara,”
jawabnya dengan suara angkuh dan sikap tenang.
Kakek pengemis gemuk pendek itu tiba-tiba tertawa.
“Ha-ha-ha-ha, baru bisa merobohkan empat orang anak buah kami
yang tiada guna saja kalian sudah besar kepala. Ah, kalian seperti anak
burung yang baru belajar terbang, tidak mengenal tingginya langit
luasnya lautan. Orang muda, pangcu kami memanggil kalian menghadap
dengan baik-baik, harap kalian mengerti dan dapat menghargai
kesabaran ini. Jangan sampai aku orang tua turun tangan terhadap
bocah-bocah nakal, aku malu untuk berbuat demikian.”
Seakan meledak rasa dada Lin Lin mendengar ucapan yang amat
memandang rendah ini. Ia meloncat maju dan membentak,
“Pengemis tua bangka sombong, kau kira kami takut kepadamu? Biar
pangcumu datang sendiri, kami tidak akan takut. Kami tidak mau
datang, kalian mau apa?”
“Ho-ho, benar-benar seperti katak dalam tempurung” Orang-orang
muda, apakah kalian datang dari wilayah Kerajaan Hou-han di Shan-si?”
73
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
“Memang kami datang dari wilayah Hou-han, dan kami adalah
sebangsa ho-han (orang-orang gagah), apakah kalian baru tahu
sekarang?” Lin Lin yang pandai bicara itu menjawab, mendahului
kakaknya yang masih diam saja. Pemuda ini maklum bahwa kalau ia
membiarkan terus adiknya ini tampil ke depan dan beraksi keadaan tidak
akan menjadi lebih baik, malah akan menjadi lebih kacau lagi” Maka ia
cepat maju menghadapi kakek pendek itu.
“Lopek, ketahuilah bahwa kami orang-orang muda melakukan
perjalanan hanya lewat saja di sini, sama sekali tidak mencari perkara
dengan siapa pun juga. Kebetulan saja sore tadi kami bentrok dengan
orang-orangmu karena mereka itulah yang mencari perkara. Kami hanya
berhenti di sini untuk melewatkan malam, besok kami sudah pergi
meninggalkan daerah ini. Harap kau orang tua menghabiskan perkara
itu.”
“Kalian hendak kemana?”
“Ke Ibukota Kerajaan Sung.”
“Bagus” Kalian datang dari wilayah Hou-han hendak ke Ibukota
Kerajaan Sung? Orang muda, mari ikut dengan kami menghadapi
pangcu kami.”
Marah juga Bu Sin. Kakek pengemis ini terlalu memandang rendah.
Biarpun di situ ada belasan orang pengemis, apakah dikira mereka
bertiga takut?
“Kami tidak akan ikut denganmu” jawabnya sambil mencabut pedang,
diturut oleh Sian Eng dan Lin Lin. Tiga orang muda ini seperti tiga ekor
harimau memperlihatkan taring, dengan pedang di tangan mereka siap
menghadapi pengeroyokan. Sedikit pun mereka tidak merasa takut”
“Wah-wah, benar gagah” Kakek itu berkata lalu memberi isyarat
kepada teman-temannya. “Tangkap mereka”
Bu Sin memutar pedangnya, mengancam,
“Mundur kalian” Lihat pedang”
Namun kakek itu sudah menerjangnya dengan tongkat, juga
beberapa orang pengemis dengan tongkat mereka menyerbu Sian Eng
74
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
dan Lin Lin yang sudah menyambut mereka dengan pedang.
Pertempuran hebat terjadi di bawah sinar obor. Tiga batang pedang
orang-orang muda she Kam itu berkelebatan cepat bagaikan sinar
halilintar menyambar-nyambar dan dalam beberapa jurus saja tiga orang
pengeroyok sudah roboh sambil memekik kesakitan.
Pengemis pendek gemuk memberi aba-aba. Bu Sin yang bermata
awas melihat betapa para pengemis itu mengeluarkan gendewa dan
anak panah” Berbahaya, pikirnya.
“Eng-moi, Lin-moi, padamkan obor dengan am-gi (senjata gelap)”
teriaknya dan tangan kirinya sudah merogoh saku, mengeluarkan
senjata rahasianya, yaitu piauw (pisau terbang). Tangan kirinya bergerak
cepat, dua batang piauw menyambar dan terdengar pekik dua orang
pemegang obor, tangan mereka terhujam piauw dan obor yang mereka
pegang jatuh, padam. Lin Lin dan Sian Eng juga sudah mempergunakan
kelihaian mereka dengan senjata rahasia mereka, yaitu jarum-jarum
halus. Dalam waktu singkat obor-obor itu runtuh dan padam. Bu Sin
mempergunakan kesempatan selagi keadaan gelap ini, memberi isyarat
kepada kedua orang adiknya.
Mereka maklum bahwa kalau pertempuran dilanjutkan dan mereka
dikeroyok dengan anak panah, tentu mereka akan celaka. Maka dengan
cepat mereka mempergunakan gin-kang mereka, memutar pedang
untuk menghalau setiap penghalang dan beberapa menit kemudian
mereka sudah pergi dari tempat itu, lari di dalam gelap tanpa mengenal
arah. Dua jam lebih mereka melarikan diri ke dalam sebuah hutan dan
keadaan makin gelap karena daun-daun pohon yang amat rimbun
menutupi langit di atas mereka.
“Wah, memalukan benar” Lin Lin terengah-engah. “Kita lari-lari
seperti tiga ekor kelinci dikejar-kejar harimau” Suaranya jelas
menyatakan bahwa ia tak senang melarikan diri ini, merasa sebal dan
penasaran.
Bu Sin dan Sian Eng juga berhenti, menyusut keringat dengan ujung
lengan baju.
75
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
“Wah, berbahaya benar,” kata Bu Sin. “Lin-moi, kau benar-benar
seperti yang dikatakan oleh kakek pengemis tadi, seperti katak dalam
tempurung, tak tahu tingginya langit” Kalau kita tadi tidak cepat-cepat
memadamkan obor dan mereka menghujankan anak panah, apa kaukira
masih akan dapat bernapas saat ini?”
“Belum tentu, Sin-ko” bantah Lin Lin. “Kita masih belum kalah, dan
andaikata akhirnya kita mati dikeroyok, sedikitnya pedangku akan dapat
membunuh beberapa orang lawan. Sedikitnya ada beberapa nyawa
musuh yang akan menjadi pengantar nyawaku, mati pun tidak
penasaran. Kalau lari-lari seperti ini, benar-benar baru disebut penasaran
besar”
Bu Sin hanya tersenyum. Ia mengenal watak Lin Lin yang nakal dan
amat berani itu dan diam-diam ia merasa khawatir kalau-kalau adik
angkat ini akan menimbulkan gara-gara kelak. Karena keadaan amat
gelap dan mereka tidak dapat mengenal jalan, tiga orang muda itu lalu
naik ke atas pohon yang terpaksa bermalam di situ seperti tiga ekor kera
kedinginan” Lin Lin tiada hentinya mengomel. Akan tetapi karena mereka
amat lelah, mereka dapat tertidur juga di atas pohon dan baru mereka
bangun setelah di situ ramai oleh suara burung berkicau menyambut
datangnya pagi.
Ketika Lin Lin dan Sian Eng membuka mata, mereka melihat Bu Sin
sudah duduk dan memberi tanda dengan telunjuk di depan mulut,
menyuruh mereka tidak membuat suara lalu menuding ke bawah.
Mereka memandang dan wajah mereka berubah. Jauh di bawah, kirakira
seratus meter dari pohon tempat mereka bersembunyi, tampak
seorang kakek gembel berdiri bersandar tongkatnya. Kakek yang
bongkok, rambutnya riap-riapan dan matanya buta sebelah. Kakek
pengemis yang peman mereka lihat di depan rumah penginapan, yang
diberi uang perak oleh Lin Lin dan kemudian meludahi uang itu sampai
penyok”
Dan di depan kakek itu berlutut puluhan orang pengemis, termasuk
para pengemis yang mengeroyok mereka semalam, mereka berlutut
76
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
tanpa berani berkutik sedikit pun juga” Kakek pengemis bongkok itu
terdengar marah-marah.
“Kalian anjing-anjing tiada guna” terdengar ia memaki sambil
membanting-banting tongkat ke atas tanah. “Huh, lebih baik kubunuh
kalian semua dan lebih baik aku bekerja seorang diri. Apa artinya punya
banyak anak buah melebihi anjing gobloknya?”
Semua pengemis itu menggigil ketakutan dan terdengar mereka
minta-minta ampun dan menyebut kakek itu dengan sebutan ong-ya
(raja)” Bu Sin dan kedua orang adiknya saling pandang. Muka mereka
pucat. Kiranya kakek pengemis bongkok itu adalah semacam raja
pengemis yang amat berpengaruh”
“Mana anggauta Pek-ho-kai-pang yang membikin ribut itu?”
Bagaikan empat ekor anjing, tampak empat orang pengemis
merangkak maju dan berlutut di depan kakek itu. Bu Sin dan dua orang
adiknya melihat bahwa orang-orang itu adalah empat orang pengemis
yang mereka hajar di tepi sungai kota Wu-han”
“Cih, yang begini mengaku anggauta pengemis? Membiarkan diri
dihina orang-orang muda. Cuh-cuh-cuh-cuh” Empat kali kakek itu
meludah dan empat orang pengemis itu terjengkang roboh, tak bergerak
lagi setelah tubuh mereka berkelojotan sejenak. Mereka telah mati oleh
ludah kakek itu”
“Biar ini sebagai pelajaran. Sekali lagi terjadi hal yang memalukan aku
akan membunuh semua anggauta Pek-ho-kai-pang. Mana ketua-ketua
Hui-houw-kai-pang (Perkumpulan Pengemis Harimau Terbang), Hekliong-
kai-pang (Naga Hitam), dan Ang-hwa-kai-pang (Kembang Merah)?
Hayo maju sini”
Tiga orang kakek pengemis tampak merangkak maju dan berlutut di
depan kakek bongkok itu.

Bersambung..

No comments:

Post a Comment