Wednesday, January 4, 2017

Cinta Bernoda Darah 01 - Mini Serial #010

Cerita Silat Kho Ping Hoo: Cinta Bernoda Darah 01 - Mini Serial #010
=======================================================
Setelah selesai mengurus pemakaman tiga jenazah itu, Kui Lan
Nikouw membuka sampul surat yang ia temukan dalam kamar adik
seperguruannya. Sampul surat yang memang ditujukan kepadanya. Ia
membaca isi surat itu, menggeleng-geleng kepala memanggil Bu Sin,
57
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Sian Eng, dan Lin Lin berkumpul. Di depan mereka ia baca lagi surat itu
dengan suara keras. Surat itu singkat saja, seperti berikut:
Kui Lan suci yang mulia.



Surat ini kubuat lebih dulu, menjaga kalau-kalau aku tewas dalam
menghadapi Giam Sui Lok. Kau tahu urusanku dengan dia, tak seorang
pun boleh mencampuri, dia berhak menuntut seorang di antara kami
harus mati untuk membiarkan yang lain hidup di samping Bwee Hwa.

Sengaja kusuruh anak-anak pergi menjemput Suci.
Kalau aku tewas, kiranya Bwee Hwa tentu akan membunuh diri
seperti yang berkali-kali ia nyatakan dalam hubungan kami dengan
orang she Giam itu. Kalau terjadi kami berdua tewas, harap Suci atur
anak-anak.
Peti hitam itu selain berisi harta pusaka yang sengaja kusimpan, juga
terdapat sebuah gelang emas dengan huruf BU SONG. Kau tahu, itu
adalah gelang emas milik BU SONG. Harta pusaka itu diberikan kepada
empat orang anak, bagi rata, jangan bedakan sedikit juga antara Bu
Song dan Lin Lin serta yang dua orang. Akan tetapi suruh tiga orang
anak itu pergi mencari Bu Song sampai dapat. Aku tidak tahu di mana ia
berada, pengetahuanku tentang dia sama dengan pengetahuanmu, Suci,
maka kau ceritakan kepada mereka.
Kalau aku tewas di tangan Giam Sui Lok, pesan semua anak-anak
jangan mencari dan membalas dendam kepadanya. Sudah terlalu
banyak orang she Giam itu menderita karena aku.
Hormat Sutemu,
KAM SI EK
Sambil terisak-isak mendengarkan bunyi surat pesan terakhir dari
ayah mereka itu, tiga orang anak inipun terheran-heran dan banyak hal
yang mereka tidak mengerti.
“Kalian tentu tidak tahu siapa itu Bu Song. Baiklah pinni ceritakan
secara singkat. Dahulu, sebelum Ayahmu menikah dengan Ibumu
setelah menang berebutan dengan Giam Sui Lok, Ayahmu adalah
seorang duda yang mempunyai seorang anak laki-laki tunggal diberi
58
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
nama Bu Song, Kam Bu Song. Pada waktu itu Bu Song sudah berusia
sembilan tahun kurang lebih. Ayahmu menjadi duda bukan karena
kematian isterinya, melainkan karena perceraian. Ibu Bu Song seorang
ahli silat yang kepandaiannya jauh melebihi Ayahmu, sayangnya..
hemmm, hal ini terpaksa kuberitahukan, dia itu dahulunya adalah
seorang gadis dari golongan hitam. Wataknya keras dan mungkin karena
inilah ia berpisah dari Ayahmu yang lalu menikah lagi dengan Ibumu.”
“Dan ke mana perginya.. eh, Kakak Bu Song itu, Sukouw? Bukankah
dia itu terhitung kakakku, karena dia pun putera Ayah?” tanya Bu Sin,
berdebar hatinya mendengar bahwa dia bukanlah anak sulung,
melainkan yang ke dua dan di sana masih ada kakaknya yang hampir
sepuluh tahun lebih tua dari padanya.
“Itulah yang selalu mengganggu hati mendiang Ayahmu. Ketika
mendengar bahwa Ayahmu akan menikah dengan Ibumu, Bu Song, anak
yang keras hati seperti ibunya itu, diam-diam minggat pada malam hari
dan sampai saat ini tidak diketahui di mana tempat tinggalnya.”
Hening sejenak. Tiga orang anak itu merasa terharu.
“Apakah Ayah tidak mencarinya, Sukouw?” tanya Sian Eng.
“Tentu saja. Malah tujuh tahun kemudian Ayahmu mendengar bahwa
puteranya itu berada di kota raja sebagai seorang pelajar yang
menempuh ujian. Nama yang dipakainya tetap Bu Song, akan tetapi
shenya she Liu, agaknya ia menggunakan she ibunya.”
“Liu Bu Song..” kata Lin Lin, agaknya hendak mengingat-ingat nama
itu di hatinya. Entah mengapa, ia merasa tertarik dan ada perasaan
simpati di hatinya terhadap Liu Bu Song. Mungkin hal ini karena ia
teringat akan nasibnya sendiri sebagai seorang anak pungut yang sudah
tidak beribu bapak lagi.
“Akan tetapi ketika Ayahmu mencarinya ke sana, Bu Song sudah
menghilang lagi dan sampai sekarang Ayahmu tidak tahu di mana dia
berada. Sekarang, Ayah kalian menghendaki supaya kalian pergi
mencarinya. Bagaimana pendirian kalian akan hal ini?”
59
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
“Sukouw, teecu merasa lebih perlu untuk pergi mencari setan dalam
peti mati yang membawa suling itu. Teecu takkan mau pulang sebelum
dapat membalas dendam atas kematian Ayah dan Ibu”
“Teecu juga” kata Sian Eng.
“Tentu saja teecu juga,” sambung Lin Lin. “Akan tetapi juga akan
teecu cari sampai dapat dia itu.. eh, Kakak Bu Song.”
“Pinni tidak dapat menyalahkan kalian untuk dendam ini, apalagi
kalian hanya orang-orang muda yang berdarah panas. Akan tetapi
janganlah kalian terlalu sembrono dan mengira akan mudah saja
mencari orang yang hanya dikenal sebagai setan dalam peti yang
membawa suling. Hemmm, apalagi melihat kepandaian orang itu,
andaikata kalian dapat menemukannya, agaknya belum tentu kalian
akan dapat menang. Oleh karena itu, pinni perkenankan kalian pergi
merantau mencari kakak kalian dan juga sekalian mencari musuh besar
itu. Akan tetapi, apabila kalian sudah bisa bertemu dengan musuh besar
itu, kalian tidak boleh bertindak sembrono, lebih baik kalian memberi
tahu kepada pinni. Kalau pinni mampu, tentu pinni akan membantu
kalian. Andaikata tidak mampu, pinni masih dapat minta bantuan orangorang
pandai yang pinni kenal. Berjanjilah bahwa kalian tidak akan
bertindak sembrono, baru pinni memperkenankan kalian pergi.”
Tiga orang muda itu berjanji akan mentaati pesan ini. Sebulan
kemudian, berangkatlah tiga orang kakak beradik itu dan seperti telah
diceritakan di bagian depan, mereka menumpang perahu mengikuti
aliran Sungai Han yang mengalir ke timur mendengarkan cerita tukang
perahu yang gemar berceloteh.
Berhari-hari tiga orang muda she Kam itu melakukan perjalanan
dengan perahu, menikmati pemandangan yang amat indah di kanan kiri
sungai. Tukang perahu bercerita banyak tentang keadaan kota-kota
besar dan perubahan-perubahannya semenjak Wangsa Sung berdiri.
“Kita sudah dekat dengan kota Wu-han,” tukang perahu itu berkata
dan wajahnya sekarang berubah menjadi gelisah. “Seperti telah saya
nyatakan ketika Sam-wi (Anda Bertiga) menyewa perahu ini, saya hanya
60
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
dapat mengantar sampai di Wu-han saja dan selanjutnya untuk menuju
ke kota raja, Sam-wi dapat melakukan perjalanan melalui darat.”
Mendengar ini, Lin Lin bertepuk tangan dan berjingkrak girang.
“Bagus sekali” Aku sudah bosan duduk dan tidur di perahu berharihari,
kedua kakiku pegal-pegal karena tidak dipakai berjalan. Empek
tukang perahu, masih berapa lama lagikah kita sampai di Wu-han?”
“Tidak lama lagi, Nona, sore nanti juga sampai. Akan tetapi menyesal
sekali, saya tidak akan dapat mengantar sampai ke kota, terpaksa harus
berhenti di luar kota.”
“Eh, kenapa begitu, Lopek?” Bu Sin menegur. “Bukankah kita sudah
janji akan turun di Wu-han dan membayar sewanya kepadamu di sana?”
“Maaf, Tuan Muda. Tentu saja saya akan merasa senang sekali
mengantar Sam-wi sampai ke kota, akan tetapi saya tidak berani
melakukannya.”
“Tidak berani? Kenapa?” Sian Eng ikut bicara.
“Karena hal itu berarti bahwa uang sewa yang akan saya terima dari
Sam-wi, takkan dapat kubawa pulang, paling banyak hanya setengahnya
yang akan dapat saya miliki. Wah, gembel-gembel busuk itu benar-benar
membuat hidup kami para nelayan tidak tenteram lagi, Nona.”
“Apa maksudmu? Siapa itu gembel-gembel busuk? Harap ceritakan
kepada kami,” Bu Sin mendesak, penasaran.
“Mereka merajalela sekarang, Tuan Muda, gembel-gembel busuk itu.
Semenjak Kerajaan Sung berdiri, mereka itu kini mempunyai pengaruh
yang amat besar. Di mana-mana, terutama di kota-kota besar,
pengemis-pengemis itu berkelompok dan bergabung. Mereka
menggunakan praktek pemungutan pajak liar. Apalagi di Wu-han. Saya
mendengar bahwa Wu-han merupakan pusat, maka di sana berkeliaran
banyak sekali pengemis dan setiap orang harus tunduk terhadap
mereka. Para nelayan harus membayar pajak kepada mereka setiap kali
mendarat, baik berupa hasil penangkapan ikan maupun hasil
menyewakan perahu.” Tukang perahu itu kelihatan berduka dan
penasaran.
61
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
“Aiiihhh, mana ada aturan begitu?” Lin Lin membanting kaki dengan
marah.
“Lopek, apakah yang berwajib tidak melarang mereka melakukan
perbuatan sewenang-wenang?” Bu Sin bertanya penasaran.
“Mereka tidak berdaya. Pengemis-pengemis itu lihai, semua pandai
ilmu silat. Selain itu, mereka itu mengaku sebagai bekas-bekas pejuang
yang membantu pendirian Kerajaan Sung. Oleh karena itu, Tuan Muda,
kalau Sam-wi kasihan kepada saya, harap Sam-wi sudi turun di luar kota
saja, karena kalau diteruskan sampai ke Wu-han, tidak urung uang sewa
itu akan mereka minta sebagian atau kalau saya sedang sial, mungkin
mereka akan merampasnya semua.”
“Tidak, Lopek” Kita terus ke Wu-han dan kami yang tanggung bahwa
gembel-gembel busuk yang jahat itu tidak akan mengganggumu”
“Tapi..”
“Kalau perlu pedang kami ikut bicara” Lin Lin berseru sambil meraba
gagang pedangnya.
Tukang perahu tidak berani membantah lagi dan dengan muka
berkerut-merut penuh kekhawatiran, tukang perahu melanjutkan
perahunya. Benar seperti yang dikatakannya tadi, menjelang sore,
perahu sudah tiba di luar tembok kota Wu-han. Di kota Wu-han inilah
Sungai Han memuntahkan airnya ke dalam Sungai Yang-ce dan di
tempat ini merupakan pelabuhan sungai yang ramai. Mendekati tempat
ini, tukang perahu pucat mukanya dan tubuhnya gemetar ketakutan.
“Celaka, Tuan Muda, lihat di sana, mereka benar-benar sudah siap
merampok saya..” bisik tukang perahu.
Bu Sin dan dua orang adiknya memandang, akan tetapi tidak ada
yang aneh di pelabuhan itu. Karena hari telah sore, pelabuhan itu
nampak agak sunyi, hanya beberapa orang nelayan yang sibuk, ada
yang menambal perahu, ada yang menjemur jala dan menambal layar.
Empat orang pengemis duduk di atas tanah bermalas-malasan. Apakah
pengemis-pengemis kurus kering itu yang ditakuti tukang perahu?
Hampir saja Lin Lin terkekeh memikirkan hal ini, namun tak dapat ia
menahan hatinya bertanya.
62
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
“Lopek, kau maksudkan empat ekor cacing tanah itu yang akan
mengganggumu?”
“Sssttttt, Nona jangan bicara terlalu keras..” tukang perahu makin
pucat.
“Dan Tuan Muda harap suka memberikan uang sewa sekarang juga
kepada saya, jangan di depan mereka itu..”
“Tidak, Lopek. Kami malah hendak melihat apa yang mereka akan
lakukan terhadapmu. Jangan khawatir, kalau mereka berani
merampokmu, kami akan memberi hajaran kepada mereka,” kata Bu
Sin.
Dengan terpaksa tukang perahu minggirkan perahunya. Empat orang
pengemis itu menoleh ke arah perahu. Seorang di antara mereka yang
hidungnya bengkok, menguap lalu berkata keras tanpa berdiri dari
tempat duduknya di atas tanah.
“Heee, tukang perahu, dari manakah kau?”
Mengherankan sekali melihat seorang pengemis menegur secara
begini dan si tukang perahu menjawab dengan sikap hormat,
“Kami datang dari daerah Propinsi Shen-si, dusun La-kee-bun dekat
Sungai Han.”
Empat orang pengemis itu sekarang berdiri mengulet dan menguap.
Si Hidung bengkok melangkah lebar menghampiri, tanpa pedulikan Bu
Sin dan dua orang adik perempuannya yang sudah meloncat turun dan
berdiri memandang dengan mata tajam.
“Ho-ho-ho-ho, perjalanan yang jauh sekali. Tentu biayanya banyak.
Berapa kauterima?”
“..hanya.. hanya dua puluh tail.. itupun belum saya terima..” jawab si
tukang perahu ketakutan.
“Goblok benar” Sejauh itu hanya dua puluh tail? Kau ditipu” Atau kau
yang bohong. Setidaknya harus lima puluh tail”
“Betul, sahabat. Hanya dua puluh tail, akan tetapi Tuan Muda dan
kedua Nona ini membagi makan dengan saya dan..”
63
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Lin Lin sudah tidak sabar lagi mendengarkan percakapan ini. Ia
melangkah maju dan telunjuk kanannya yang runcing menuding muka
pengemis itu.
“Hih, kau ini pengemis tukang minta-minta ataukah perampok? Ada
sangkut-paut apa denganmu tentang urusan kami dengan tukang
perahu?”
“Ha-ha-ha, Loheng (Kakak), kau lihat anak ayam ini. Nona cantik, kau
belum mengenal kami, ya? Kalau kau tahu siapa aku, hemmm, kau akan
lari terkencing-kencing” Empat orang pengemis itu tertawa mendengar
ucapan terakhir ini.
“Gembel busuk” Siapa sudi mengenal macammu? Aku hanya tahu
bahwa kau seorang gembel kotor yang berhidung bengkok. Minggat dari
sini kalau kau tidak ingin aku membikin hancur hidungmu yang bengkok
dan menjijikkan itu” Lin Lin membentak dan melangkah maju. Bu Sin
dan Sian Eng yang sudah mengenal watak Lin Lin, tidak mau mencegah,
apalagi mereka memang mendongkol menyaksikan sikap para pengemis
itu. Mereka siap menghadapi pertempuran dan membantu Lin Lin.
Pengemis berhidung bengkok marah sekali. Dengan sikap
memandang rendah ia mendekati Lin Lin.
“Bocah liar, kau perlu dihajar”
Lengannya yang panjang itu diulur maju dengan jari-jari tangan
terbuka, agaknya hendak menangkap Lin Lin. Gadis ini tentu saja tidak
sudi membiarkan pengemis itu menyentuhnya. Tubuhnya berkelebat
cepat sekali, kaki kirinya melayang ke atas dan
“prakkk” ujung sepatunya telah mencium muka pengemis itu dengan
keras.
Si pengemis terhuyung ke belakang, mengaduh kesakitan sambil
menutupi mukanya. Darah bercucuran keluar dari hidungnya yang kini
menjadi makin miring dan bengkok ke kiri” Matanya yang kanan menjadi
hitam dan tak dapat dibuka lagi.
“Setan cilik, kalian berani mencari perkara dengan kami orang-orang
dari Pek-ho-kai-pang (Perkumpulan Pengemis Bangau Putih)?”
64
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Tiga orang pengemis yang lain lalu bergerak menerjang Lin Lin. Gadis
ini tertawa mengejek dan menghadapi mereka tanpa gentar sedikitpun
juga. Bu Sin dan Sian Eng tentu saja tidak mau berpeluk tangan melihat
Lin Lin hendak dikeroyok.
“Gembel-gembel jahat, jangan kurang ajar” Sian Eng berseru dan
tubuhnya berkelebat menghadapi seorang pengemis.
Bu Sin tanpa mengeluarkan suara juga menerjang maju menghadapi
pengemis ke dua. Adapun pengemis yang memaki tadi, sudah
bertanding melawan Lin Lin. Tiga orang muda ini tidak mau
mempergunakan pedang ketika melihat bahwa lawan mereka hanyalah
orang biasa saja yang mengandalkan ilmu silat pasaran dan hanya
pandai main gertak saja. Lin Lin menghadapi lawannya sambil tertawatawa,
mempermainkannya dengan kelincahan tubuhnya sehingga semua
serangan lawan itu hanya mengenal angin kosong belaka.
Tempat yang tadinya sunyi itu kini penuh orang karena mereka ingin
menonton pertempuran itu. Kejadian yang amat mengherankan mereka,
akan tetapi diam-diam mereka mengkhawatirkan keselamatan tiga orang
muda itu. Hampir setahun lamanya para pengemis Pek-ho-kai-pang itu
merajalela, tak seorang pun berani menentang mereka. Sekarang ada
tiga orang muda asing yang datang-datang bertempur melawan
pengemis-pengemis itu, tentu saja mereka amat tertarik dan
berbondong-bondong datang menonton. Bahkan orang-orang dalam
kota Wu-han yang mendengar berita ini, bergegas datang untuk
menonton. Akan tetapi banyak di antara mereka terlambat karena ketika
mereka datang ke pinggir sungai, pertempuran itu sudah selesai.
Bu Sin yang wataknya pendiam dan tidak mau main-main, segera
dapat merobohkan lawannya dengan sebuah tendangan kilat. Pengemis
itu terlempar, bergulingan dan tak dapat tertahan lagi tubuhnya
menggelinding ke dalam sungai” Sian Eng juga merobohkan lawannya
semenit kemudian. Pukulannya dengan tangan miring yang “memasuki”
lambung lawan membuat pengemis lawannya itu roboh menekan-nekan
perut dan meringis kesakitan, duduk berjongkok tak tentu geraknya, tapi
tidak mampu bangun kembali
65
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
“Berhenti”
Lin Lin membentak dengan mengulur lengannya ke depan, menyetop
pengemis yang menjadi lawannya. Pengemis itu kaget, mengira gadis itu
benar-benar hanya menyetopnya saja. Ia pun berdiri dengan memasang
kuda-kuda dan memandang heran.
“Berhenti dulu sebentar, ya?” Lin Lin melangkah mendekati pengemis
bekas lawan cicinya yang kini mendekam di atas tanah itu. kakinya
bergerak dan.. tubuh pengemis itu terlempar ke dalam sungai menyusul
kawannya” Setelah melakukan hal ini, Lin Lin menghampiri lawannya
kembali yang masih berdiri memasang kuda-kuda, lalu berkata manis.
“Nah, sekarang boleh teruskan”
Sikap gadis yang lincah jenaka ini memancing ledakan ketawa
daripada para penonton. Memang sudah terlalu lama mereka tertekan
oleh para pengemis, merasa penasaran dan marah yang ditahan-tahun.
Sekarang ada tiga orang muda memberi hajaran, hati mereka lega dan
pues. Biarpun biasanya mereka takut terhadap para pengemis Pek-hokai-
pang, sekarang menyaksikan sikap gadis remaja yang cantik jelita
dan jenaka itu, mereka tak dapat menahan kegembiraan mereka.
Lawan Lin Lin marah bukan main, sedangkan pengemis hidung
bengkok yang menjadi orang pertama mendapatkan hajaran, siang-siang
sudah meninggalkan tempat itu sambil mendekap hidungnya yang
remuk. Kemarahan lawan Lin Lin membuat Lin Lin makin gembira. Ia
tidak peduli betapa pengemis itu sudah mengeluarkan sebatang tongkat
dan menyerang dengan tongkat di tangan.
“Wah, baunya yang tidak tahan”
Lin Lin menggunakan tangan kiri memijat hidungnya dan kini hanya
menghadapi tongkat pengemis itu dengan tangan kanan saja. Memang
lincah sekali gerakan Lin Lin. Tongkat itu biarpun diputar dan dipukulpukulkan
bertubi-tubi, tak pernah dapat menyentuh ujung bajunya.
Malah beberapa kali, dengan gerakan kilat, gadis ini sudah berhasil
memutar ke belakang lawannya dan mengirim tendangan ke arah
pantatnya sampai mengeluarkan suara
66
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
“plokkk” dan debu mengebul dari celana yang kotor itu. Para
penonton terkekeh-kekeh geli dan ada yang memegangi perut saking
menahan tawa.
“Lin-moi, lekas bereskan dia” Bu Sin mengerutkan kening,
membentak adiknya.
“Sudah beres, Sin-ko” jawab Lin Lin dan entah bagaimana lawannya
tidak mengerti, tahu-tahu tongkatnya sudah terampas di tangan kanan
gadis itu dan kini ia terpaksa terhuyung-huyung mundur dan miring ke
kanan kiri karena digebuki dengan tongkatnya sendiri. Lin Lin terus
menggebuk pundak, mendorong dada dan akhirnya pengemis yang
mundur-mundur itu terjengkang masuk ke dalam sungai”
Karena takut dipermainkan terus oleh Lin Lin, tiga orang pengemis itu
membiarkan tubuh mereka hanyut oleh air sungai dan baru berenang
mendarat setelah agak jauh dari tempat. Adapun Bu Sin segera
membayar tukang perahu yang ketakutan dan menyuruhnya cepat-cepat
pergi dari situ. Tanpa diperintah dua kali, si tukang perahu lalu
mendayung perahunya sepanjang pinggir sungai melawan arus yang
tidak begitu kuat.

Bersambung...

No comments:

Post a Comment