Tuesday, January 3, 2017

Cinta Bernoda Darah 01 - Mini Serial #009

Cerita Silat Kho Ping Hoo: Cinta Bernoda Darah 01 - Mini Serial #009
=======================================================

Tiga orang yang menumpang perahunya masih muda-muda. Yang
pertama adalah seorang pemuda, kurang lebih dua puluh tiga tahun
usianya. Tampan dan keren wajahnya, matanya tajam bersungguhsungguh,
mulutnya membayangkan kekerasan hati, dahinya lebar,
pakaiannya sederhana tapi bersih, di punggungnya tergantung sebatang
pedang.

Orang ke dua adalah seorang gadis berusia dua puluh tahun, juga
berpakaian sederhana ringkas, sebagian rambutnya dikuncir dua di
kanan kiri. Gadis ini cukup cantik, sepasang matanya bersorot terang,
wajahnya yang berkulit putih itu membayangkan kehalusan budi,
bibirnya tersenyum selalu membayangkan keramahan. Juga gadis ini
membawa pedang yang dipegang di tangan kiri.
Orang ke tiga juga seorang gadis, masih remaja, paling banyak tujuh
belas tahun usianya. Kalau gadis pertama sama betul waiahnya dengan
si pemuda, adalah gadis ini lain sekali. Wajahnya cantik jelita, rambutnya
hitam tebal digelung di kedua sisi kepalanya. Ia juga berpedang,
tergantung di pinggang kanan.
Siapakah mereka ini? Mereka adalah kakak beradik, bukan orangorang
sembarangan, melainkan putera-puteri diri seorang tokoh besar
yang amat terkenal di jaman Lima Wangsa. Kam-goanswe (Jenderal
Kam) adalah seorang tokoh besar yang terkenal karena berani
menentang kekuasaan Li Ko Yung, Gubernur Propinsi Shan-si yang
dahulu memberontak terhadap Kaisar Wangsa Tang. Kam-goanswe yang
namanya adalah Kam Si Ek, seratus prosen berjiwa pahlawan dan
memiliki kesetiaan lahir batin. Karena inilah maka ia dimusuhi oleh Li Ko
Yung yang mengangkat diri sendiri menjadi raja kecil. Sama sekali jasa
Kam-goanswe dilupakan, padahal ketika daerah ini diserang oleh suku
bangsa Khitan, Jenderal Kam inilah yang paling berjasa menyelamatkan
daerah Shan-si.
Semenjak bentrokan itu, Kam-goanswe melepaskan jabatannya dan
mengundurkan diri ke desa Ting-chun, sebuah desa di kaki Gunung Cinling-
san, di lembah Sungai Han yang bermata air di gunung itu. Ia hidup
bertani dengan anak isterinya.
48
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Tiga orang muda itu adalah putera-puteri Kam Si Ek. Yang pertama
adalah pemuda tampan itu yang bernama Kam Bun Sin. Anak ke dua
adalah Kam Sian Eng, gadis cantik jelita dan gagah. Adapun gadis yang
termuda, gadis lincah jenaka, bernama Kam Lin, atau biasa disebut Lin
Lin. Gadis ini sebetulnya bukanlah puteri Kam Si Ek, melainkan anak
pungut.
Belasan tahun yang lalu, dalam sebuah peperangan melawan suku
bangsa Khitan, Jenderal Kam menemukan seorang anak perempuan
berusia dua tiga tahun dalam gendongan seorang wanita yang tewas
dalam pertempuran. Wanita Khitan ini mati dengan pedang di tangan,
bukan main gagah sikapnya.
Jenderal Kam amat kagum menyaksikan ini dan dia lalu membawa
pulang anak perempuan itu, mengambilnya sebagai anak sendiri dan
memberi nama Kam Lin. Nama ini adalah nama anak itu sendiri, karena
ketika ditanya, ia hanya bisa menunjuk dada sendiri sambil menyebut
“Lin Lin”.
Lin Lin tahu bahwa dia adalah seorang anak angkat, namun ia tidak
merasa sebagai anak angkat. Selama hampir lima belas tahun hidup di
dalam rumah gedung keluarga Kam, ia diperlakukan sama dengan anakanak
lain, ayah ibu angkatnya amat cinta kepadanya, demikian pula Bun
Sin dan Sian Eng. Oleh karena inilah maka Lin Lin merasa bahwa dia
memang seratus prosen anggauta keluarga Kam, tidak mau ingat lagi
akan asal-usulnya yang oleh ayah angkatnya dikatakan bahwa ayah
ibunya sendiri telah tewas menjadi korban perang. Ayah angkatnya tidak
tahu siapa ayah bundanya, juga tidak dapat memberi tahu di mana
tempat tinggal mereka, karena menurut jenderal itu, ia ditemukan di
antara para pengungsi”
Sebagai seorang jenderal perang yang memiliki ilmu kepandaian silat
tinggi, tentu saja Kam Si Ek menggembleng tiga orang anaknya ini
dengan ilmu silat keluarga Kam. Ternyata tiga orang anak itu
mempunyai bakat yang baik dan memiliki keistimewaan yang menonjol.
Bu Sin maju dalam penggunaan ilmu lwee-kang (tenaga dalam), Sian
49
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Eng mahir bermain pedang, sedangkan Lin Lin mengagumkan sekali
keringanan tubuhnya dan karenanya ia amat maju dalam ilmu gin-kang.
Keluarga Kam hidup tenteram dan bahagia di dusun Ting-chun
sampai lebih dari sepuluh tahun lamanya. Mereka hidup sederhana
sebagai petani dan kesederhanaan dusun dan pekerjaan di sawah
ladang membuat mereka selalu sehat dan gembira.
Akan tetapi, seperti sudah menjadi sifat dunia dan segala isinya, tiada
sesuatu yang langgeng, alam dan isinya selalu berubah. Demikian pula
kehidupan manusia, selama manusia masih terikat oleh kehidupan, ia
akan selalu mengalami perubahan-perubahan seperti samudera yang
selalu mengalami pasang surut, selalu bergelombang. Ada kalanya
pasang ada kalanya surut, ada kalanya tenang, ada kalanya diamuk
taufan.
Hari itu menjelang senja, Kam Si Ek bersama tiga orang anaknya
tengah berlatih silat di pekarangan belakang rumah yang tertutup pagar
tembok. Tingkat kepandaian Bu Sin, Sian Eng, dan Lin Lin sudah cukup
tinggi, malah boleh dibilang sudah hampir setingkat dengan ayah
mereka sendiri. Mereka bertiga kini sedang mainkan pedang dengan
gaya masing-masing, ditonton oleh Kam Si Ek yang berdiri sambil
bertolak pinggang dan mengangguk-angguk puas. Ketika ia melihat
betapa tubuh Lin Lin yang berpakaian merah itu berubah menjadi
bayangan merah digulung sinar putih dari pedang yang dimainkannya,
diam-diam Kam Si Ek kagum.
“Hebat bocah ini.. kiranya kelak ia yang paling menonjol. Heran
benar, apakah orang tuanya dahulu keturunan orang gagah bangsa
Khitan?” demikian ia berkata seorang diri.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa bergelak yang amat nyaring. Kam Si
Ek dan tiga orang anaknya yang mendengar suara ini segera
menghentikan permainan silat dan menoleh ke arah suara. Kiranya di
atas tembok sebelah kanan telah jongkok seorang laki-laki tinggi besar
yang bermuka hitam. Melihat orang ini, Kam Si Ek terkejut sekali dan
wajahnya berubah.
“Giam Sui Lok, mau apa kau datang ke sini?”
50
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Orang tinggi besar muka hitam itu tertawa lagi, tetap masih
berjongkok di atas tembok, matanya yang besar itu melirik ke arah Siang
Eng dan Lin Lin dengan pandang mata kurang ajar. “Kam-goanswe..”
“Aku bukan jenderal lagi, tak usah kau berpura-pura tak tahu.”
“Ha-ha-ha, orang she Kam. Kau juga pura-pura tidak tahu mengapa
aku datang ke sini?”
Kam Si Ek menoleh ke arah tiga orang anaknya dan wajahnya makin
gelisah.
“Orang she Giam, aku sedang sibuk melatih anak-anakku. Urusan
antara kita orang-orang tua boleh kita bicarakan nanti.”
“Kapan?”
“Malam nanti kunanti kunjunganmu.”
Laki-laki tinggi besar muka hitam itu tertawa bergelak.
“Boleh, boleh.., aku tidak khawatir kau akan dapat lari, ha-ha”
Tubuhnya berkelebat dan lenyap di balik pagar tembok.
“Ayah, siapa dia?” tanya Bu Sin tak enak.
“Dia kurang ajar sekali,” cela Sian Eng.
Akan tetapi dengan gerakan seperti seekor burung walet terbang
tahu-tahu Lin Lin sudah melayang ke atas pagar tembok dengan pedang
terhunus di tangan kanan. Wajah gadis yang cantik jelita itu kini tampak
marah.
“Lin Lin, kembali kau..”
Kam Si Ek berseru cemas. Lin Lin berdiri di atas tembok, memandang
ke sana ke mari, lalu meloncat turun kembali, berlari mendekati
ayahnya.
“Heran, ke mana ia sembunyi? Mulutnya kotor sikapnya kasar, orang
macam itu mengapa tidak dihajar saja, Ayah?”
Kam Si Ek tersenyum, girang melihat bahwa anak-anaknya
mempunyai nyali besar, akan tetapi juga amat khawatir karena ia
maklum bahwa tingkat kepandaian mereka masih jauh kalau
dibandingkan dengan kepandaian orang-orang sakti di dunia kang-ouw.
51
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Sedangkan di dunia ini banyak sekali terdapat orang-orang jahat dan
berbahaya, di antaranya adalah Giam Sui Lok yang datang tadi. Ia
maklum bahwa antara dia dan Giam Sui Lok harus diakhiri dengan
pertempuran mati-matian dan ia tidak ingin kalau anak-anaknya terlibat
dalam urusan permusuhan lama ini.
“Dia itu bekas teman lama, ada urusan penting di antara kami yang
tak perlu kalian ketahui. Bu Sin, kau ajak kedua orang adikmu pergi ke
Kuil Kwan-im-bio di puncak Cin-ling-san sekarang juga. Kau sampaikan
hormatku kepada Kui Lan suci, dan katakan bahwa besok dia bersama
kalian bertiga kuharapkan sudi turun puncak datang ke sini membawa
peti hitam yang kutitipkan kepadanya sepuluh tahun yang lalu.”
“Tapi, Ayah, orang tadi..” Bu Sin yang cerdik membantah, khawatir
kalau-kalau orang tadi akan datang membikin ribut. Ingin ia berada di
samping ayahnya untuk membantu jika sewaktu-waktu ayahnya
terancam bahaya.
Kam Si Ek tertawa. “Dia memang ada urusan denganku, tapi ini
urusan orang-orang tua, kau tahu apa? Sudahlah cepat berangkat
sebelum gelap, dan besok kembali bersama Sukouw (Bibi Guru) kalian.”
Biarpun hati mereka tidak rela, namun tiga orang muda itu tidak
berani membantah kehendak ayahnya, apalagi mereka dapat menduga
bahwa memang ayahnya sengaja menyuruh mereka malam itu pergi dari
rumah. Setelah berpamit kepada ibu mereka, tiga orang muda ini lalu
bergegas mendaki puncak Gunung Cin-ling-san yang tinggi itu, sambil
membawa obor yang akan dinyalakan kalau malam tiba dan mereka
belum tiba di puncak.
Yang dimaksudkan Kwan-im-bio di puncak Cin-ling-san adalah sebuah
kelenteng pendeta-pendeta wanita yang memuja Dewi Kwan Im.
Pemimpin atau kepala para nikouw (pendeta wanita) di kelenteng itu
adalah Kui Lan Nikouw yang terhitung kakak seperguruan Kam Si Ek.
Tiga orang kakak beradik itu sudah sering kali bermain-main ke puncak,
malah pendeta wanita itu amat sayang kepada mereka dan berkenan
pula memberi petunjuk-petunjuk dalam hal ilmu silat.
52
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Perjalanan mendaki puncak itu makan waktu tiga jam, padahal tiga
orang muda itu sudah mempergunakan ilmu lari cepat. Biarpun cekatan
gerakan mereka, karena hanya diterangi oleh obor di tangan, perjalanan
itu agak lambat juga.
Kui Lan Nikouw yang sudah berusia enam puluh tahun lebih masih
segar mukanya dan masih gesit gerakan-gerakannya itu menjadi kaget
melihat kedatangan tiga orang murid keponakannya di waktu malam
gelap itu.
“Eh, apa yang terjadi? Mengapa malam-malam datangnya?” tegurnya,
namun hatinya sudah lega melihat wajah tiga orang murid keponakan itu
tidak membayangkan sesuatu yang hebat.
Setelah mereka berlutut memberi hormat, Bu Sin berkata,
“Ayah yang menyuruh teecu bertiga, Sukouw, pertama-tama Ayah
menyuruh kami menyampaikan hormat. Kedua kalinya, Ayah mohon
kepada Sukouw agar sudi bersama kami turun gunung menuju ke
pondok kami sambil membawa peti hitam yang sepuluh tahun lalu Ayah
titipkan kepada Sukouw.”
“Hemmm, hemmm.. Ayahmu memang aneh. Urusan begini saja
menyuruh kalian malam-malam bersusah payah ke sini. Kenapa tidak
siang-siang tadi, atau besok saja kalau sudah terang? Masuklah, kalian
tentu lelah dan belum makan, bukan? Untung banyak sayur-sayuran
segar, tinggal masak saja. Sian Eng, Lin Lin, kalian bantu Sukouwmu,
hayo ke dapur” Memang nenek pendeta itu orangnya ramah sekali amat
disayang oleh tiga orang murid keponakan ini.
Akan tetapi nikouw itu tertegun melihat tiga orang keponakannya
tinggal diam saja, dan jelas mereka ingin menyatakan sesuatu. Ia mulai
merasa tidak enak lagi.
“Eh, kalian ini bocah-bocah ada urusan apakah? Kalau ada
kepentingan, hayo bilang jangan ragu-ragu”
“Sukouw, sebetulnya.. kami sendiri merasa tidak enak dan hanya
karena dipaksa oleh Ayah, maka kami pergi ke sini, maka teecu bertiga
mohon petunjuk dan nasihat Sukouw.”
53
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
“Ada apa? Hayo lekas bicara.” Makin tak enak hati Kui Lan Nikouw.
Bu Sin lalu menceritakan kepada bibi gurunya tentang kunjungan lakilaki
tinggi besar muka hitam yang mencurigakan tadi, menceritakan pula
percakapan antara tamu itu dan ayahnya.
“Hemmm, laki-laki tinggi besar muka hitam? Kau tahu siapa
namanya?”
“Ayah menyebut namanya, Giam Sui Lok namanya, Sukouw,” kata Lin
Lin. “Orangnya kurang ajar, mukanya buruk, ingin aku bacok hidungnya
dengan pedangku”
Biasanya, kelincahan dan kejenakaan Lin Lin menggembirakan hati
nikouw itu, akan tetapi kali ini ia tampak termenung. “Giam Sui Lok..?
Ah, akhirnya dia datang juga..?”
“Sukouw kenal dia? Siapakah dia dan mengapa dia datang mencari
Ayah dengan sikap begitu kurang ajar?” Bu Sin mendesak.
“Berbahaya, tentu terjadi pertumpahan darah.. wah, anak-anak, hayo
kita turun puncak sekarang juga. Siapkan obor, biar kuambil peti hitam
Ayahmu. Nanti di jalan kuceritakan siapa adanya orang she Giam itu.”
Lega hati tiga orang anak muda itu. Cepat mereka mempersiapkan
obor empat buah banyaknya dan ketika nikouw itu keluar membawa
sebuah peti hitam yang panjangnya tiga kaki lebar dan tingginya satu
kaki, mereka segera ingin membantu. Akan tetapi nikouw itu tidak
memperkenankan mereka.
“Jalan turun agak sulit, biar aku yang bawa peti ini dan kalian yang
menerangi jalan. Hayo berangkat”
Di tengah perjalanan, nikouw itu tidak bercerita banyak, akan tetapi
cukup membuat tiga orang muda itu termenung dan berdebar-debar
jantungnya.
“Orang she Giam itu memang musuh lama Ayahmu, dan memang
Ayahmu betul menyuruh kalian pergi agar tidak mencampuri urusan itu.
Urusan itu adalah urusan pribadi yang hanya dapat diselesaikan antara
Ayahmu, orang she Giam itu, dan Ibumu.”
“Permusuhan apa, Sukouw?” Bu Sin bertanya penasaran.
54
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
“Urusan.. eh, urusan.. percintaan. Sebelum Ibumu menikah dengan
Ayahmu, orang she Giam itu adalah.. eh, ia dan Ibumu agaknya saling
mencinta, lalu datang Ayahmu terjadi persaingan, Ayahmu menang dan
orang she Giam itu pergi dengan hati patah dan penuh dendam. Selama
belasan tahun ini entah sudah berapa kali ia datang menantang Ayahmu,
akan tetapi ia selalu kalah oleh Ayahmu. Sekarang ia datang lagi, tentu
akan terjadi perkelahian mati-matian. Dasar orang-orang lelaki memang
aneh dan tolol.. eh, mengapa aku bicara begini? Hemmm, urusan ini
benar-benar membuat hati dan pikiran pinni (aku) kacau-balau..”
Sudah cukup jelas bagi mereka bertiga. Juga cerita itu membuat
mereka menjadi malu dan tidak enak, maka mereka membungkam tidak
berani bertanya lagi. Bahkan kebencian mereka terhadap orang she
Giam itu agak berkurang setelah mereka mendengar bahwa dia itu
dahulunya saling mencinta dengan ibu mereka. Bahkan dalam hati kecil
Lin Lin timbul rasa kasihan. Perasaan aneh yang belum pernah ia
rasakan terhadap seorang laki-laki.
Karena merasa tegang dan khawatir setelah mendengar keterangan
Kui Lan Nikouw, perjalanan dilakukan cepat sekali dan hanya memakan
waktu dua jam. Betapapun juga, tengah malam hampir tiba ketika
mereka memasuki pekarangan yang lebar di rumah gedung keluarga
Kam.
Dapat dibayangkan betapa gelisah hati orang-orang muda itu ketika
melihat rumah mereka gelap sama sekali. Setelah meloncat mereka
berlari ke arah pintu depan dengan obor di tangan.
“Ayah..” Bu Sin berseru keras dan segera diturut oleh Sian Eng dan
Lin Lin yang berteriak-teriak memanggil ayah ibu mereka.
“Tenang, anak-anak. Mencurigakan sekali ini, mengapa begini sunyi?
Biar aku yang masuk lebih dulu,” kala Kui Lan Nikouw yang selalu
berhati-hati dan yang sudah banyak pengalamannya.
Nikouw itu sambil memondong peti hitam di tangan kiri dan tangan
kanannya siap di depan dada, diterangi dari belakang oleh tiga orang
keponakannya, berjalan masuk ke dalam rumah. Ruangan depan sunyi
dan kosong, dan pada saat mereka memasuki ruangan tengah yang
55
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
lebar, tiga orang anak muda itu menjerit dan lari menubruk ke depan.
Ayah mereka menggeletak mandi darah di sudut, tak jauh dari situ
menggeletak pula ibu mereka, juga bermandi darah, dan di sudut lain
mereka melihat laki-laki tinggi besar muka hitam itu rebah terlentang
dengan mata mendelik, juga mandi darah”
Tiga orang anak muda itu menangis, sebentar memeluk ayah,
sebentar menubruk ibu, mengguncang-guncang dan memanggilmanggil.
Tiba-tiba Lin Lin bangkit berdiri, matanya menyinarkan api.
“Sratt” Pedang sudah ia cabut dan sekali loncat ia sudah mendekati
mayat orang she Giam itu.
“Kau yang membunuh Ayah Ibu” Pedangnya bergerak menyambar
hendak memenggal leher mayat itu.
Gerakannya tertahan ketika tekanan pada pundak kanannya membuat
tangan yang memegang pedang menjadi lemas. Kiranya bibi gurunya
sudah berdiri di belakangnya.
Ketika Lin Lin menoleh dan melihat bibi gurunya, ia menahgis dan
memprotes,
“Dia membunuh Ayah Ibu, Sukouw, dia harus kucincang hancur”
“Ssttt, anak bodoh. Simpan pedangmu. Kalau dia membunuh ayah
bundamu, bagaimana dia sendiri mati di sini?”
“Dia berhasil membunuh Ibu, lalu berhasil membunuh Ayah, akan
tetapi tentu Ayah juga dapat melukainya sehingga ia pun mampus” Lin
Lin membantah lagi, penasaran.
“Tenanglah, dan tengok. Bu Sin, Sian Eng, kalian juga periksa baikbaik.
Kumpulkan obor-obor itu ke sini. Nah, lihat. Mereka bertiga tewas
dengan luka-luka pada perut dan dada, luka-luka oleh senjata tajam.
Dan kalian lihat itu, pedang itu tentu pedang Ayahmu, terpental di sana
dan sedikit pun tidak ada tanda darah. Dan orang she Giam itu tentu
bersenjata golok, nah, di mana goloknya, juga terpental dan tidak ada
tanda darah. Memang dia ahli golok sejak dulu. Terang bahwa baik
pedang Ayahmu maupun golok dia itu tidak menjadi sebab kematian
mereka semua ini. Eh.. nanti dulu” Ibumu belum mati.. biar kutolong
dia..” Nikouw itu lalu meletakkan peti hitam di atas meja dan cepat ia
56
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
berlutut memeriksa Nyonya Kam. Benar saja dugaannya, nyonya ini
biarpun terluka hebat, masih belum tewas, setelah ditotok dan diurut
beberapa kali oleh jari-jari tangan Kui Lan Nikouw yang ahli, ia mengeluh
perlahan.
“Siapa membunuhmu? Katakan, pinni Kui Lan Nikouw di sini, kenal
aku? Nah, katakan, siapa melakukan semua ini?” kata-kata yang nyaring
dari nikouw itu, yang mengandung desakan, membuat hati tiga orang
anak muda itu seperti diremas-remas. Desakan yang tak sabar ini cukup
jelas bagi mereka bahwa ibu mereka tak dapat ditolong lagi, hanya
dapat diharapkan memberi keterangan tentang pembunuhan itu.
“Iihhh.. takut.. takut.. setan..” Nyonya itu berteriak-teriak ketakutan.
Bu Sin, Sian Eng, dan Lin Lin yang semenjak kecil digembleng ilmu silat
dan sifat-sifat kegagahan, mau tidak mau merasa ngeri dan meremang
bulu tengkuk mereka mendengar jerit ibu mereka ini.
“Tenang, adikku, pinni berada di sini. Setan apa yang kautakuti?”
kembali nikouw itu membujuk dan mendesak.
Nyonya itu menangis, terengah-engah, lalu berkata, lirih tapi masih
ketakutan,
“Setan.. dalam peti mati.. suaranya.. suling.. suling maut..”
Nikouw itu berdiri. Nyonya yang ketakutan itu sudah tak bergerak
lagi. Tiga orang muda itu menubruk dan menangisi ibunya. Kui Lan
Nikouw berbisik-bisik, membaca mantera dan doa-doa, mendoakan rohroh
ketiga orang itu. Ia tidak tahu apa yang telah terjadi, akan tetapi
dapat menduga bahwa tiga orang itu menjadi korban seorang penjahat
yang luar biasa sekali. Mungkin ucapan terakhir dari ibu Bu Sin dan Sian
Eng tadi hanyalah kata-kata igauan yang tiada artinya. Akan tetapi
bahwa pembunuh itu sakti, tak dapat disangsikan lagi karena tingkat
kepandaian Kam Si Ek bukanlah rendah, apalagi orang she Giam itu juga
menjadi korban, terbunuh secara mengerikan.

Bersambung...

No comments:

Post a Comment