Saturday, December 31, 2016

Cinta Bernoda Darah 01 - Mini Serial #008

Cerita Silat Kho Ping Hoo: Cinta Bernoda Darah 01 - Mini Serial #008
=======================================================

“Maaf akan kebodohan dan kecupatan pengetahuan teecu,
Locianpwe. Bolehkah teecu menambah pengetahuan dengan mengenal
nama-nama tokoh-tokoh itu?”
“Ha-ha, mereka yang selama ini menyembunyikan diri, setelah
sekarang Kerajaan Sung berdiri, mereka mulai menampakkan diri,
agaknya terpikat akan keadaan baru di dunia ini. Golongan hitam amat
banyak tokohnya, akan tetapi kiranya hanya ada enam orang yang
terkenal dengan sebutan Thian-te Liok-koai (Enam Setan Dunia). Kau
tentu sudah mengenal siapa mereka, bukan?”
“Teecu pernah mendengar, akan tetapi belum pernah bertemu muka
dengan mereka.”

“Ha-ha-ha, yang tiga orang tadi siapakah? Mereka adalah tiga di
antara Liok-koai itu. Yang tiga orang lagi adalah Toat-beng Koai-jin
(Setan Pencabut Nyawa), Tok-sim Lo-tong (Anak Tua Berhati Racun),
dan Cui-beng-kwi (Setan Pengejar Roh). Kau berhati-hatilah terhadap
enam orang ini. Mereka amat lihai dan memiliki kepandaian tinggi
sekali.”
“Terima kasih, Locianpwe, akan teecu ingat benar pesan Locianpwe.”
“Adapun tokoh-tokoh golongan putih, juga banyak akan tetapi mereka
itu tidak suka menonjolkan diri, suka bersembunyi, di antaranya
mendiang gurumu. Orang-orang seperti Kim-lun Seng-jin (Manusia Suci
Roda Emas), dan Gan-lopek (Empek Gan) termasuk orang-orang luar
biasa yang sukar dipegang ekornya ditentukan bulunya. Sudahlah, kelak
kalau kau mempunyai nasib bertemu dengan mereka, kau akan dapat
menilai sendiri. Sekarang pergilah, doaku selalu bersamamu selama kau
tidak menyeleweng daripada kebenaran.”
38
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Suling Emas memberi hormat, kemudian pergi dari tempat itu tanpa
menoleh lagi. Memang kepandaiannya sudah tinggi tingkatnya, sebentar
saja seperti seekor garuda terbang, ia sudah menuruni Thai-san dan
setelah tiba di kaki gunung, barulah ia menengok, bukan terkenang
kepada siapa-siapa melainkan untuk mengagumi puncak Thai-san yang
kini tertutup awan putih itu.
“Awan putih sudah tinggi, masih ada puncak Thai-san yang
melewatinya. Namun dibanding dengan langit, puncak Thai-san masih
terlalu rendah.” Bibirnya membisikkan sebagian daripada sajak kuno
yang pada saat itu terlintas dalam ingatannya. Kemudian ia melanjutkan
perjalanan dengan langkah lebar sambil termenung mengingat kembali
Kim-kong Sin-im dan Hong-in Bun-hoat yang baru saja ia terima dari Bu
Kek Siansu.
Bu Kek Siansu masih berdiri seperti patung memandang ke arah
perginya Suling Emas, kemudian ia berbisik kepada diri sendiri,
“Manusia bertemu dengan penderitaan hidup kalau ia mengharapkan
kesenangan hidup. Dia dapat menahan derita hidup dengan tenang
tanpa penyesalan, benar-benar seorang muda yang kuat. Kesenangan
dikejar, penderitaan didapat, baru mendapatkan kekuatan batin.
Mengapa manusia harus mengalami semua ini? Mengapa?”
Bu Kek Siansu mengeluarkan sebuah kitab kecil dari saku jubahnya
dan membacanya sambil berdiri. Pada saat itu tiga bayangan orang
muncul secepat terbang mendaki puncak.
Bu Kek Siansu menyimpan kembali kitabnya di saku, mengambil alat
musik khim dan menggantungkannya di punggung. Kemudian
dipandangnya tiga orang di depannya itu sambil tersenyum ramah.
“Bukankah kau Bu Kek Siansu?” tanya It-gan Kai-ong. Kakek tua renta
itu mengangguk sambil tersenyum lebar.
“Kebetulan sekali. Dunia kang-ouw mengabarkan bahwa setiap tahun,
pada hari pertama musim semi, kau akan muncul di dunia dan membagibagi
ilmu. Hari ini adalah hari pertama musim semi, ilmu apakah yang
dapat kauberikan kepadaku?”
39
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Bu Kek Siansu tidak marah mendengar ucapan yang tidak sopan itu,
ia hanya tersenyum.
“Aku pun menghadap padamu pada permulaan musim semi untuk
minta diwarisi ilmu silat yang sakti, Bu Kek Siansu,” kata Siang-mou Sinni
sambil melangkah maju.
“Yang datang menghadap adalah kami bertiga bukan hanya kau
berdua,” Hek-giam-lo menyusul dengan suaranya yang dalam.
Bu Kek Siansu mengangkat kedua lengannya ke atas sambil tertawa.
“Jangan khawatir, aku si tua tidaklah kikir dengan ilmu, hanya aku
khawatir ilmu-ilmu yang kukenal tidak akan berjodoh dan cocok dengan
pribadi kalian bertiga. Ketahuilah, bahwa ilmu-ilmuku hanya dapat
diterima oleh orang yang menjauhkan diri daripada rasa dengki, iri,
murka, benci dan kejam. Tanpa dapat menjauhkan sifat-sifat ini, ilmu
yang kuturunkan bukan hanya tak ada gunanya, malah mungkin akan
merugikan tubuh sendiri. Nah, ilmu apakah yang hendak kalian minta?”
Tiga orang sakti itu saling pandang. Sifat-sifat yang disebut kakek itu
tadi bukanlah sifat yang aneh apalagi pantang bagi golongan hitam
mereka. Malah sifat kejam merupakan ukuran untuk kelihaian seseorang.
Makin tinggi tingkatnya, harus makin kejam, karena siapa yang kurang
kejam, berarti mempunyai kelemahan dan hal ini amat memalukan”
Tentu saja mereka tidak sudi menerima ilmu dengan ikatan seperti itu.
“Bu Kek Siansu, tadi kami mendengar nyanyianmu yang
mengharuskan orang membalas benci dengan kasih. Apakah kau
termasuk orang yang tidak mempunyai rasa benci?”
“Mudah-mudahan Thian menguatkan batinku dan membungkus
seluruh pikiran dan hatiku dengan sinar kasih-Nya.”
“Jadi kau tidak membenci golongan kami? Tidak akan membedabedakan
dengan golongan lain?”
Bu Kek Siansu menggeleng kepala. Tentu saja ia dapat melakukan hal
ini dengan mudah.
40
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
“Kalau begitu,” kata pula It-gan Kai-ong, “kau jangan pilih kasih. Tadi
kau turunkan dua macam ilmu kepada Suling Emas. Nah, kami pun
minta kauturunkan ilmu-ilmu itu kepada kami.”
“Betul, aku menghendaki dua ilmu itu,” kata Siang-mou Sin-ni.
“Ilmu-ilmu apa tadi itu dan apa namanya?” Hek-giam-lo
menyambung.
“Ha-ha-ha, kalian bertiga memang bermata tajam, tidak pereuma
menjadi tiga di antara Thian-te Liok-koai” Memang tadi aku menurunkan
dua macam ilmu kepada Suling Emas yang disebut Kim-kong Sin-im dan
Hong-in Bun-hoat. Akan tetapi entah kalian dapat mengerti kedua ilmu
itu dan menyukainya, tergantung kepada kalian sendiri Bagaimana?”
Karena mereka bertiga tadi sudah merasakan sendiri bagaimana
hebatnya kepandaian Suling Emas tanpa mereka ketahui bahwa
sebetulnya yang meruntuhkan pedang-pedang itu adalah Bu Kek Siansu
yang ingin mencegah terjadinya pertempuran selanjutnya antara orangorang
sakti itu, maka tentu saja mereka merasa iri hati dan ingin
mendapatkan ilmu yang tadi diwarisi oleh Suling Emas.
“Tidak perlu banyak cerewet, lekas perlihatkan Kim-kong Sin-im” kata
pula It-gan Kai-ong yang memang selalu bersikap kasar terhadap siapa
pun juga. Baginya makin kasar sikapnya, makin baik dan berwibawa dan
gagah”
“Kalian juga setuju?” Bu Kek Siansu yang masih tetap tersenyum itu
bertanya kepada Siang-mou Sin-ni den Hek-giam-lo. Keduanya meragu
sejenak, akan tetapi terpaksa mengangguk karena tidak ade pilihan lain.
Seperti juga It-gan Kai-ong, kedua orang sakti ini masih memandang
rendah kepada Bu Kek Siansu dan mereka menaruh curiga kalau-kalau
kakek tua renta ini akan menipu dan mempermainkan mereka.
“Baik-baik, kalian perhatikan dan dengarkan baik-baik. Sesuai dengan
namanya, Ilmu Sin-im (Suara Sakti) dipelajari dengan pendengaran.”
Kakek itu menurunkan alat musik khim dari punggungnya, duduk bersila
di atas tanah, lalu terdengarlah suara khim, dimulai dengan “cring-cring”
yang nyaring bening. Mula-mula tiga orang sakti itu memandang penuh
perhatian sambil mendengarkan dan mengikuti bunyi khim, akan tetapi
41
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
tak lama kemudian mereka nampak gelisah sekali. Terutama Siang-mou
Sin-ni, sebagai seorang wanita tentu saja paling mudah terpengaruh
oleh suara khim itu. Wanita sakti ini mula-mula merasa jantungnya
berdebar, kemudian setiap kali suara itu melengking tinggi, ia merasa
seakan-akan jantungnya ditarik dan kalau suara itu merendah
jantungnya seperti ditindih. Cepat ia mengerahkan sin-kang di dalam
tubuhnya dan di lain saat wanita ini sudah duduk bersila dengan mata
meram dan muka pucat. Ia masih berusaha untuk menyelami bunyi yang
makin aneh dan merupakan penyerangan langsung kepada isi dadanya.
Berturut-turut It-gan Kai-ong dan Hek-giam-lo juga terpaksa duduk
bersila untuk mengumpulkan tenaga dalam tubuh dan melawan
serangan-serangan hebat dari suara khim itu. Sebagai dua orang sakti,
mereka pun maklum bahwa suara dari alat musik khim itu mengandung
hawa penyerangan yang luar biasa dahsyatnya, oleh karena itu sambil
menutup kelemahan diri dengan sin-kang mereka pun memperhatikan
dan berusaha menangkap inti sari daripada Kim-kong Sin-im.
Baru seperempat jam saja orang itu sudah menderita hebat sekali,
wajah mereka pucat dan saking kerasnya mereka mengerahkan sinkang,
kepala mereka sampai mengepulkan uap putih. Namun pelajaran
itu masih juga belum dapat mereka tangkap inti sarinya, atau ada juga
mereka menangkap, namun hanya menurut perkiraan mereka masingmasing
dan ketiganya menyelami isi Kim-kong Sin-im secara berbeda,
sesuai dengan watak masing-masing dan kesemuanya itu tentu saja
menyeleweng daripada inti sari yang sebenarnya. Hal ini bukan sekalikali
karena ketiga orang ini masih rendah kepandaiannya. Sama sekali
tidak. Dalam tingkat kepandaian ilmu silat, kiranya mereka tidak
berselisih jauh dengan Suling Emas. Akan tetapi, seperti dikatakan oleh
Bu Kek Siansu tadi, watak mereka tidak cocok dengan watak ilmu itu,
pula ilmu ini tersembunyi di dalam lagu dan seni suara. Suling Emas
dapat mewarisi inti sarinya karena orang muda itu menghadapi Kimkong
Sin-im dengan suara sulingnya sehingga seakan-akan ia
“bertempur” dengan ilmu ini dan karenanya ia lebih mudah untuk
mengenal sifat-sifatnya menyerang dan bertahan dari Kim-kong Sin-im.
Seperti sebuah nyanyian, orang akan lebih mengenal keindahannya
42
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
kalau ia turut menyanyikannya, yang tentu jauh bedanya dengan kalau
hanya mendengar saja.
Bu Kek Siansu memang tidak hendak membeda-bedakan. Ia mainkan
khim seperti ketika ia bermain di depan Suling Emas tadi. Setelah ia
berhenti, tiga orang itu masih duduk bersila dengan kedua mata meram.
Bu Kek Siansu hanya tersenyum dan dengan tenang menyimpan kembali
alat musik khim itu di atas punggungnya, kemudian ia bangkit berdiri,
menanti sambil membaca kitab kecil.
Tiga orang sakti itu tidak berani segera bangkit karena suara khim
tadi masih terus terngiang di dalam telinga, malah seakan-akan meresap
ke dalam otak dan dada. Setelah kurang lebih sepuluh menit, baru
mereka membuka mata dan meloncat bangun. Jelas mereka itu kecewa,
akan tetapi karena masing-masing merasa bahwa mereka dapat
memetik inti sari ilmu aneh tadi, mereka diam saja, hanya memandang
kepada Bu Kek Siansu dengan mata marah.
Bu Kek Siansu menyimpan kitab kecilnya lalu berkata,
“Kim-kong Sin-im sudah kalian dengar. Apakah kalian juga
menghendaki supaya aku mainkan Hong-in Bun-hoat seperti yang
kulakukan di depan Suling Emas tadi?”
“Kakek, kau tadi bersilat di depan Suling Emas, nah, ilmu silat itulah
yang harus kau turunkan kepada kami,” kata It-gan Kai-ong.
“Kai-ong, itulah tadi yang disebut Hong-in Bun-hoat. Kalau kalian
menghendaki, akan kumainkan. Bagaimana dengan kalian, Hek-giam-lo
dan Sin-ni?”
Karena tidak tahu harus memilih ilmu silat apa, kedua orang ini hanya
mengangguk. Betapapun juga, mereka masih ragu-ragu dan
memandang rendah kakek ini. Apakah gunanya Ilmu Kim-kong Sin-im
tadi? Masa menghadapi lawan harus bermain musik” Gila” Maka,
mendengar bahwa Hong-in Bun-hoat yang akan diturunkan kali ini
adalah gerakan-gerakan silat seperti yang mereka lihat dari tempat
persembunyian mereka tadi ketika kakek ini berhadapan dengan Suling
Emas, tentu saja mereka setuju dan agak lega, mengharapkan akan
menerima warisan ilmu silat yang tinggi dan sakti.
43
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Seperti juga tadi ketika mengajar Suling Emas, Bu Kek Siansu mulai
menggerakkan tubuhnya lambat-lambat, kedua lengan dan kakinya
bergeser dan membentuk goresan dan lingkaran. Bukan lain yang ia
mainkan itu adalah gerakan menurut huruf-huruf pertama sajak dalam
kitab Tiong Yong. Seperti diketahui, kitab Tiong Yong mengandung tiga
puluh tiga pelajaran, merupakan ilmu batin yang amat tinggi dan luhur.
Bu Kek Siansu mulai mencoret-coret huruf-huruf pelajaran pertama ayat
pertama yang lengkapnya berbunyi demikian : THIAN BENG CI WI
SENG-SUT SENG CI WI TO-SIU TO CE WI KAUW. Tiga baris huruf yang
merupakan ayat pertama dari pelajaran pertama, mempunyai arti yang
amat dalam, kalau diterjemahkan secara bebas kira-kira begini :
Anugerah Tuhan adalah watak aseli-Selaras dengan watak aseli adalah
To-Melaksanakan To adalah pelajaran kebatinan (agama).
Jelas bahwa huruf-huruf itu merupakan ayat-ayat suci dalam kitab
Tiong Yong, yang mengajar manusia menuju kembali ke watak asli
anugerah Tuhan, berarti menuntun manusia kembali mendekati dan
mentaati kehendak Tuhan. Tiga orang tokoh sakti seperti It-gan Kai-ong,
Siang-mou Sin-ni, dan Hek-giam-lo yang merupakan manusia-manusia
yang ingkar terhadap Tuhan mana ada minat untuk mempelajari segala
macam kitab yang mengemukakan pelajaran tentang kebajikan? Sebagai
orang-orang yang berpengetahuan luas, tentu saja mereka dapat
membaca dan dapat mengikuti gerakan-gerakan Bu Kek Siansu. Akan
tetapi mereka hanya dapat menangkap kulitnya atau luarnya belaka, tak
mampu menyelami isinya. Harus diketahui bahwa ilmu Silat Sakti Hongin
Bun-hoat ini rahasianya tidak terletak pada macam huruf yang ditulis
dengan gerakan saja, melainkan lebih mendalam, yaitu lebih mendekati
arti daripada ayat-ayatnya. Karena itulah Bun-hoat (Ilmu Sastra) ini
disebut Hong-in (Angin dan Awan), karena sifatnya seperti ilmu sastra
dan begitu dalam rahasianya seperti juga angin yang dapat terasa tak
dapat terpegang dan awan yang dapat terlihat tak dapat terpegang
pula”
Tidak mengherankan apabila tiga orang itu menjadi kecewa dan
bosan melihat kakek itu terus menggerakkan kaki tangan membentuk
goresan dan lingkaran huruf-huruf itu. Apa artinya itu semua? Apa
44
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
gunanya? Mereka menganggap kakek itu main-main dan menipu
mereka.
Agar jangan dianggap berat sebelah Bu Kek Siansu bersilat terus dan
baru berhenti di bagian yang sama ketika ia bersilat di depan Suling
Emas tadi. Ia tersenyum memandang ketiga orang itu yang sebaliknya
memandangnya dengan mata marah.
“Nah, puaskah kalian?”
“Puas apa? Kau main-main dengan kami” Bu Kek Siansu, kalau kau
ada kepandaian, jangan kikir, turunkan kepada kami,” kata It-gan Kaiong
dengan suara marah.
“Jangan-jangan kakek ini hanya menyombong saja, padahal tidak
becus apa-apa. Kai-ong, alangkah akan memalukan kalau orang melihat
kita bertiga diingusi kakek tua bangka ini,” kata Siang-mou Sin-ni,
tersenyum masam. Adapun Hek-giam-lo hanya mendengus saja, marah
dan mengangkat sabitnya. Tiga orang tokoh ini saling pandang. Dalam
pertemuan pandang ini ketiganya sudah bermufakat.
Tanpa mengeluarkan peringatan lagi, secara tiba-tiba tiga orang sakti
itu menerjang maju, menyerang Bu Kek Siansu yang masih tersenyumsenyum
sambil menundukkan mukanya. Entah pukulan siapa yang
datang lebih dulu saking cepatnya gerakan mereka. Tongkat It-gan Kaiong
menotok pusar, rambut Siang-mou Sin-ni menghantam sembilan
jalan darah di leher, dada, dan pundak, sedangkan sabit di tangan Hekgiam-
lo membacok kepala” Semua merupakan serangan-serangan maut,
dan semua penyerangen itu dengan tepat mengenai sasaran. Sambil
mengeluh panjang Bu Kek Siansu roboh”
Serentak tiga orang itu menubruk, Siang-mou Sin-ni berhasil
merampas alat musik khim, sedangkan It-gan Kai-ong dan Hek-giam-lo
yang berniat merampas kitab kecil yang dibaca kakek itu tadi, mendapat
bagian masing-masing separuh karena kitab kecil itu telah terobek
menjadi dua bagian ketika mereka berebut.
Sambil tertawa-tawa mereka memandang tubuh kakek itu dan mata
mereka terbelalak, bulu tengkuk mereka meremang. Kakek itu sama
sekali tidak kelihatan luka, bahkan kepala yang dihantam sabit tajam
45
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
itupun sama sekali tidak mengeluarkan darah, sama sekali tidak terluka.
Namun, jelas bahwa kakek itu tidak bernapas lagi, dan ketika It-gan Kaiong
memeriksa denyut nadinya, darahnya juga sudah berhenti, nadinya
tidak berdenyut lagi.
“Ha-ha-ha, Bu Kek Siansu yang disohorkan orang setengah dewa,
kiranya hanya seorang yang lemah,” kata It-gan Kai-ong.
“Seorang penipu” sambung Siang-mou Sin-ni.
Hek-giam-lo bergidik, berkali-kali memandang ke arah kepala kakek
itu dan ke arah sabitnya.
“Aku benci ilmu sihirnya ini, kita buang dia ke jurang saja,” ia
menggumam, lalu menggunakan kakinya menendang. Tubuh kakek itu
terlempar ke arah jurang dan menggelinding turun, diikuti suara ketawa
It-gan Kai-ong dan Siang-mou Sin-ni.
Akan tetapi tiba-tiba suara ketawa mereka terhenti dan pada saat itu,
mereka bertiga terhuyung-huyung dan hampir roboh. Ada angin
dorongan yang luar biasa dahsyatnya datang menyerang mereka dari
arah jurang tadi.
“Celaka.., rohnya mengamuk..” It-gan Kai-ong berseru dengan muka
pucat dan ia segera melompat jauh dan melarikan diri. Dua orang
temannya juga kaget dan ketakutan, cepat kabur meninggalkan puncak
Thai-san.
Tak lama kemudian, tampak Bu Kek Siansu melayang keluar dari
dalam jurang, berdiri di tempat yang tadi sambil termenung dan menarik
napas panjang berkali-kali.
“Thian menghendaki demikian. Akan geger di dunia persilatan..
harapanku ada pada Suling Emas.” Lalu ia berjalan perlahan
meninggalkan puncak.
Pada masa itu, keadaan di seluruh negara masih kacau-balau. Hal ini
biasa terjadi setiap kali ada peralihan kekuasaan. Wangsa Sung baru
setahun berdiri, didirikan oleh Cao Kwan Yin yang tadinya merupakan
panglima tertinggi daripada wangsa ke lima. Sebelum itu, Tiongkok
dikuasai oleh Lima Wangsa yang memecah-mecah negara sesudah
46
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Wangsa Tang roboh (tahun 907), sampai lahirnya Wangsa Sung atas
jasa Cao Kwan Yin yang kemudian menjadi kaisar pertama yang berjuluk
Sung Thai Cu.
Daerah-daerah yang tadinya semasa Kerajaan Tangtelah melepaskan
diri dan berdiri sendiri, dapat ditundukkan kembali dan dimasukkan ke
dalam wilayah Kerajaan Sung. Namun, hal ini bukan berarti bahwa
kejayaan seperti di masa gemilangnya Kerajaan Tang sudah kembali,
sama sekali bukan. Kerajaan Sung yang baru ini tidak mampu
menundukkan kerajaan-kerajaan kecil yang masih tetap berdiri di
pelbagai daerah. Yang besar-besar di antaranya adalah daerah timur laut
sampai ke Mancuria Selatan berada di dalam kekuasaan suku bangsa
Khitan. Di daerah tenggara sepanjang pantai terdapat Kerajaan Wu-yue,
dan di daerah Yu-nan ada Kerajaan Nan-cao. Masih banyak lagi daerah
lain yang merupakan kerajaan kecil dan tidak mengakui kedaulatan
Kerajaan Sung.
Tentu saja seringkali terjadi bentrokan-bentrokan kecil, namun tidak
sampai meluas. Kerajaan Sung sudah merasa cukup puas dengan daerah
dan wilayahnya, dan perlu membangun negara setelah persatuan dapat
dibina. Sebaliknya, kerajaan-kerajaan kecil itupun tidak ingin mencari
gara-gara dengan kerajaan baru yang cukup kuat itu.
Pada suatu pagi yang cerah, sebuah perahu meluncur perlahan dan
tenang, mengikuti aliran Sungai Han yang mengalir ke timur, dari daerah
Shan-si terus ke timur sampai tiba di Laut Kuning. Air sungai ini agaknya
tidak mengenal diskriminasi, tidak seperti manusia. Buktinya ia terus
mengalir ke tiga daerah yang dikuasai oleh tiga kerajaan, mengalir
tenang dan biasa, tanpa perbedaan”
Sunyi di sepanjang sungai itu. Di atas perahu tampak empat orang
penumpang. Seorang di antara mereka jelas adalah tukang perahu, lakilaki
setengah tua yang gemar berceloteh, berkumis panjang berpakaian
sederhana dengan tambalan di sana-sini. Kedua lengannya yang
memegang dayung tampak kuat berotot yang timbul oleh tugasnya
sehari-hari. Kulitnya coklat kehitaman, terbakar matahari.

Bersambung...

No comments:

Post a Comment