Monday, December 26, 2016

Cinta Bernoda Darah 01 - Mini Serial #007

Cerita Silat Kho Ping Hoo: Cinta Bernoda Darah 01 - Mini Serial #007
=======================================================
“Bagus, boleh kulayani kau main-main sebentar Hek-giam-lo” seru
Suling Emas dan seperti seekor burung garuda melayang, tubuhnya
yang tinggi tegap itu meloncat ke tengah lingkaran, kaki kanannya
menginjak gagang sebuah pedang lain.
Hek-giam-lo menyambut kedatangan lawannya dengan suara ketawa
aneh menyeramkan, sabitnya bergerak dan menyambar seperti kilat
putih, memancung ke arah leher Suling Emas. Namun, lawannya
bukanlah orang sembarangan. 
Sedikit berjongkok saja sabit itu sudah
lewat di atas kepala dan sekali menggerakkan kedua tangan, kipas di
tangan kiri yang terbuka itu mengebut ke arah muka tengkorak
sedangkan suling disodokkan ke arah lambung. Sekaligus Suling Emas
telah menyerang hebat dengan gerakan yang kelihatan lambat, namun
tidak mengeluarkan suara dan sukar diduga ke mana arah dan
sasarannya.

“Huhhhhh..” Hek-giam-lo mendengus pendek, sabitnya terayun
membentuk lingkaran di depan lambung menangkis suling, tubuhnya
meloncat ke belakang menginjak gagang pedang lain yang merupakan
pagar.
“Hek-giam-lo, aku tahu ilmu silatmu hebat, setiap gerakan mengarah
nyawa. Tapi adu ilmu ini hanya untuk saling kenal, bukan? Siapa turun
dari pedang berarti sudah mengalah.”
“Cerewet” Hek-giam-lo mendengus dan sabitnya menyambar lagi, kini
berturut-turut dan bertubi-tubi menyerang dari segala jurusan, diputar-
28
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
putar sampai lenyap bentuk sabit, berubah menjadi segulung sinar putih
menyilaukan mata.
Suling Emas terpaksa melayani desakan yang merupakan cakar-cakar
maut mengancam nyawa ini. Dengan lincah tubuhnya bergerak cepat,
lenyap berubah menjadi bayangan hitam, sulingnya membalas dengan
serangan ke arah kaki, kipasnya mengancam kepala dan menyampok
sabit. Terpaksa Hek-giam-lo kini yang harus berloncatan mengelilingi
patok-patok pedang itu, karena agaknya Suling Emas berusaha keras
untuk memaksa ia turun dari patok dengan penyerangan yang selalu
ditujukan kepada kakinya yang menginjak gagang pedang.
“Tengkorak busuk, serahkan Si Ganteng kepadaku” Siang-mou Sin-ni
memekik dan wanita inipun sudah meloncat ke atas gagang pedang, dan
dari belakang, rambutnya menyambar ke arah leher Suling Emas untuk
mencekiknya. Agaknya wanita ini merasa khawatir kalau-kalau jejaka
tampan yang hendak dijadikan korbannya itu tewas oleh Hek-giam-lo
yang amat lihai.
Namun Suling Emas biarpun masih muda, ternyata memiliki kegesitan
yang mengagumkan. Begitu rambut Siang-mou Sin-ni menyambar,
tubuhnya sudah melayang ke kiri, kipasnya mengebut muka Hek-giam-lo
dan sulingnya dari bawah menotok dada Siang-mou Sin-ni.
“Ihhhh.. kau mau membunuhku?” Wanita itu memekik sambil
mengelak cepat. “Kau tidak suka kepadaku? Apa ada wanita yang lebih
cantik dari padaku?”
“Kalau perlu, apa salahnya membunuhmu? Kau pun menghendaki
nyawaku,” jawab Suling Emas sambil menerjang lagi, sekaligus
menghadapi dua orang lawan yang sakti itu.
“Wah-wah, sungguh memalukan sekali Thian-te Liok-koai (Enam
Setan Dunia) sudah terkenal sebagai enam tokoh tak terkalahkan di
dunia. Masa dua di antaranya sekarang tak dapat mengalahkan seorang
bocah hijau? Kalau aku tidak turun tangan membasminya, bisa tercemar
nama besar Thian-te Liok-koai” It-gan Kai-ong Si Raja
29
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Pengemis Mata Satu melompat dan tongkatnya menyambar. Hebat
gerakannya dan pedang yang diinjaknya sama sekali tidak bergerak,
menandakan bahwa gin-kang yang dimilikinya amat tinggi tingkatnya.
Suling Emas mengeluh dalam hatinya. Kalau menghadapi mereka di
atas tanah yang keras, biarpun tidak berani ia mengharapkan
kemenangan, namun ia dapat menjaga diri jauh lebih baik daripada
kalau bertempur dikeroyok tiga di atas patok-patok pedang ini. Ia
berusaha mainkan suling dan kipasnya sebaik mungkin, menutup diri
dengan pertahanan sekokoh benteng baja dan mencari kesempatan
merobohkan lawannya seorang demi seorang. Namun ia harus akui
kehebatan tiga orang tokoh yang selama hidupnya baru kali ini ia lihat,
dan belum dua puluh jurus ia terdesak hebat.
Tiba-tiba terdengar suara keras dan tiga orang sakti itu berjungkirbalik
dan berlompatan keluar dari lingkaran patok. Ternyata semua
patok pedang, kecuali yang diinjak oleh Suling Emas, telah roboh malang
melintang” Tiga orang sakti itu tadi hanya merasa betapa angin pukulan
dahsyat menyambar ke bawah, merobohkan patok-patok pedang tanpa
dapat mereka cegah lagi, terpaksa mereka melompat dan berpoksai
(bersalto) dan seperti mendengar komando, ketiganya lalu berlari cepat
menghilang dari tempat itu.
Suling Emas terheran-heran. Ia melompat turun, dengan tangannya ia
meraup tiga belas pedang pendek itu, lalu melontarkannya ke arah
menghilangnya Hek-giam-lo sambil berseru.
“Iblis Hitam, bawa pergi pedang-pedangmu”
Tiga belas batang pedang itu terbang melayang seperti sekelompok
burung dan lenyap di balik batu-batu besar yang mengitari puncak.
Memang hebat sekali tenaga sambitan Suling Emas ini, dan patutlah
kiranya ia menjadi lawan orang-orang sakti seperti tiga tokoh tadi.
Terdengar suara orang menarik napas panjang. Suling Emas cepat
membalikkan tubuhnya dan bulu tengkuknya berdiri ketika ia melihat
seorang kakek tua sudah berdiri di depannya. Ia merasa serem karena
tak mungkin ada orang, betapapun saktinya, dapat mendekatinya tanpa
ia mendengarnya sama sekali. Helaan napas saja dapat tertangkap oleh
30
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
pendengarannya, bagaimanakah gerakan kakek ini sama sekali tidak
didengarnya dan tahu-tahu sudah berdiri di belakangnya? Apakah kakek
ini pandai menghilang?
Dengan pandang mata penuh selidik ia menatap kakek itu, Sukar
ditaksir usianya karena sudah terlalu tua. Melihat kakek ini
mengingatkan orang akan gambar-gambar para dewa. Rambutnya
berwarna dua, tebal dan jarang, panjang sampai ke punggung. Digelung
kecil di atas kepala, ujungnya terurai ke pundak dan punggung. Kumis
dan jenggotnya juga hitam putih, terurai ke bawah. Sepasang alisnya
tebal, dahinya lebar, sepasang mata yang bening dengan sinar mata
sayu termenung, mulut yang setengah tertutup cambang itu selalu
tersenyum ramah. Jubahnya longgar berwarna kelabu kehitaman,
sepatunya dari kain tebal, di bawahnya terbuat daripada anyaman
rumput, lengan bajunya lebar sekali. Pada punggung kakek ini tampak
sebuah alat musik khim. Agaknya saking tuanya maka tubuh kakek ini
agak bongkok dan kelihatan pendek. Kelihatannya biasa saja, seperti
kakek-kakek lain yang sudah amat tua, hanya daun telinganya yang
mungkin terlalu besar bagi orang-orang biasa, mengingatkan orang akan
daun telinga pada arca-arca Buddha dan para dewa.
Suling Emas cepat menjura dengan sikap hormat, mengangkat kedua
tangan ke depan dada sambil berkata,
“Maaf, Locianpwe (Kakek Sakti), benarkah dugaan saya bahwa
Locianpwe adalah Bu Kek Siansu?”
Kakek itu tertawa dan tampaklah keganjilan pada mukanya karena di
balik bibirnya itu tampak berderet dua baris gigi yang masih utuh dan
rapi.
“Tidak salah, anak muda. Semoga dengan tibanya musim semi, Yang
Maha Murah akan melimpahkan berkah kepadamu..”
Suling Emas terkejut dan cepat ia menjatuhkan diri berlutut. Ia
merasa malu karena ucapan selamat pada Hari Musim Semi itu didahului
oleh kakek ini.
31
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
“Locianpwe, maafkan kelancangan teecu tadi, Teecu menghaturkan
Selamat Musim Semi, semoga Locianpwe selalu sehat, bahagia dan
dikurniai usia panjang.”
“Ha-ha-ha-ha, anak muda lucu, kau rangkaikan sehat dan usia
panjang dengan bahagia. Apa kaukira kalau sudah sehat itu pasti berusia
panjang, dan kalau berusia panjang itu pasti bahagia? Ha-ha-ha”
“Teecu mohon petunjuk, Locianpwe.”
“Sulingmu tadi mainkan Ilmu Pedang Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu
Pedang Delapan Dewa) dan kipasmu mainkan Ilmu Kipas Lo-hai Sanhoat
(Ilmu Kipas Kacau Lautan), apamukah Kim-mo Taisu?”
Suling Emas terkejut sekali dan cepat ia mengangguk-anggukkan
kepala sampai jidatnya menyentuh bumi.
“Kiranya Locianpwe yang tadi menolong teecu dari pengeroyokan tiga
manusia iblis, teecu menghaturkan terima kasih. Kim-mo Taisu yang
Locianpwe tanyakan adalah mendiang Suhu, dan beliaulah yang dahulu
berpesan kepada teecu agar teecu mencari kesempatan pada tiap hari
pertama musim semi untuk menjumpai Locianpwe don mohon
petunjuk.”
“Ha-ha-ha, Thian sungguh adil dan bijak, hari ini memberi hadiah
dengan jodoh yang amat baik. Jadi Kim-mo Taisu itu gurumu? Dia sudah
mati lebih dulu daripada aku? Ha-ha, aku berani mengatakan bahwa dia
tentu mati dalam tugas sebagai pahlawan. Memang sejak dulu dia
mempunyai jiwa patriot.”
“Tidak salah dugaan Locianpwe. Suhu tewas ketika terjadi perang
terhadap bangsa Khitan di daerah Ho-peh, Suhu roboh oleh
pengeroyokan jago-jago Khitan. Teecu hanya terluka, tapi tidak dapat
mencegah terjadinya hal itu.” Suara Suling Emas melirih, akan tetapi
sama sekali tidak terdengar kesedihan. Hatinya sudah terlalu masak dan
mengeras untuk dapat dikuasai kesedihan.
“Hemmm, belasan tahun ia bersusah payah membantu Cao Kwang
Yin dalam usahanya mendirikan Wangsa Sung. Sampai Cao Kwang Yin
menjadi Kaisar Sung Tai Cu, gurumu masih terus membantunya dan
akhirnya mengorbankan nyawa. Dia seorang patriot tulen, tanpa pamrih,
32
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
tidak mengejar pangkat, hanya ingin melihat negara kuat dan rakyatnya
hidup makmur. Betapapun juga, segala sesuatu sudah direncanakan dan
akan diatur pelaksanaannya oleh Tuhan. Orang muda, siapa namamu?”
“Teecu dikenal sebagai Kim-siauw-eng, dan teecu tidak menggunakan
nama lain lagi.”
“Ha-ha, begini muda, sudah menelan kepahitan hidup. Hati-hati,
orang muda, kepatahan hatimu dapat mendorongmu menjadi tidak
peduli seperti sekarang ini, melupakan yang lewat, dan akhirnya kalau
tidak kuat-kuat batinmu, dapat membuat kau menjadi seorang yang
kejam. Baiknya belum sejauh itu kau tersesat, buktinya kau masih mau
mengubur jenazah-jenazah itu.”
“Maaf, Locianpwe. Teecu cukup dapat membedakan mana jahat mana
baik, biarpun teecu sengaja meninggalkan hidup yang lewat untuk..
untuk..”
“Melupakan kepahitan yang mematahkan hatimu?”
Suling Emas hanya mengangguk lalu menundukkan muka.
“Teecu mohon petunjuk.”
“Kau berjuluk Suling Emas, tentu pandai bermain suling. Hayo
perdengarkan suara sulingmu, dan kita coba-coba main bersama
sulingmu dengan khim yang kumainkan, mencari keserasian.” Kakek itu
lalu duduk di atas rumput, menurunkan alat musiknya yang mempunyai
tujuh buah kawat itu.
Suling Emas girang sekali. Sebagai seorang murid gemblengan dari
orang sakti Kim-mo Taisu, tentu saja ia maklum bahwa bermain musik
bagi seorang seperti Bu Kek Siansu, berarti berlatih atau menguji
kepandaian lwee-kang dan ilmu silat tinggi. Ia segera duduk bersila,
mengatur pernapasan, lalu meniup sulingnya.
Bu Kek Siansu tersenyum mendengar lengking suling yang tinggi
mengalun dan merdu, bersih dan nyaring itu. Jari-jari tangannya lalu
mulai menyentuh kawat pada khimnya, terdengar suara cring-cring-cring
tinggi rendah.
33
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Suling Emas kaget bukan main. Begitu suara kawat khim itu berbunyi,
napasnya jadi sesak dan suara sulingnya terdesak hebat sampai
menurun rendah sekali. Ia segera meramkan kedua matanya,
memusatkan panca indra, mengerahkan seluruh tenaga sin-kang di
dalam tubuhnya, mengatur pernapasan sepanjang dan mungkin sampai
memenuhi pusarnya, dan semua tenaga yang dikumpulkan ini ia
salurkan melalui suara sulingnya yang kini menjadi bening dan tinggi
kembali.
Akan tetapi permainan khim dari Bu Kek Siansu juga makin hebet.
Suara nyaring tinggi rendah dari kawat-kawat itu merupakan jurus-jurus
penyerangan yang lebih hebat daripada tusukan-tusukan pedang
pusaka. Lebih hebat daripada gempuran tangan sakti, kadang-kadang
bergelombang datangnya, bertubi-tubi dan makin lama makin kuat
seperti ombak samudera.
Keadaan Suling Emas amat terdesak. Orang muda ini meniup suling
sambil meramkan mata, keningnya berkerut dan uap putih
menyelubungi kepalanya, saking hebatnya tenaga sin-kang bekerja di
tubuhnya. Ia berusaha sedapat mungkin untuk menangkis dan
melindungi dirinya dari gelombang yang menghanyutkan, akan tetapi
usahanya itu seperti seorang pelajar renang mencoba untuk berenang
melawan badai dan taufan mengamuk di lautan. Ia sebentar tenggelam
sebentar timbul, sebentar terseret dam terhanyut kemudian
dibantingkan ke atas setinggi gunung lalu dihempaskan ke bawah seperti
dilempar ke neraka. Beberapa kali hampir ia pingsan namun
semangatnya yang pantang mundur membuat kenekatannya bulat dan
ia tetap sadar. Dengan tekun ia memperhatikan gaya penyerangan dari
suara khim itu, dan terciptalah dalam otaknya inti sari jurus-jurus
penyerangan ilmu silat yang amat tinggi dan ajaib.
Bu Kek Siansu di samping menuntun dan memberi petunjuk, agaknya
juga hendak menguji kekuatannya. Suara khim itu makin mendesak,
menekan dan pada saat terakhir Suling Emas hampir tak kuat lagi,
kepalanya pening, matanya melihat seribu bintang, tubuhnya menggigil
dan peluhnya sebesar kacang kedelai memenuhi jidatnya. Tiba-tiba,
berbareng dengan berhentinya sama sekali suara suling yang makin
34
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
melemah dan makin habis itu, berhenti pula suara khim. Suasana hening
bening, sunyi senyap.
Suling Emas dengan wajah pucat dan napas terengah merasa seakanakan
batu seberat gunung yang menindih kepalanya, diangkat orang. Ia
menyalurkan hawa secara normal dan pernapasannya kembali dalam
keadaan normal.
“Ha-ha-ha, tidak kecewa kau menjadi murid Kim-mo Taisu.”
Suling Emas membuka kedua matanya, lalu berlutut.
“Banyak terima kasih atas petunjuk Locianpwe yang amat berharga.”
“Orang muda, bakatmu memang luar biasa. Pantas saja Kim-mo Taisu
mengangkatmu sebagai murid. Manusia hidup mengejar ilmu. Ilmu
harus dipergunakan di dunia ini untuk kemajuan hidup, untuk mengabdi
kebajikan, dan memberantas kejahatan. Apa artinya mempelajari ilmu
kalau tak mampu mempergunakan sebagaimana mestinya? Apa pula
artinya puluhan tahun mempelajari ilmu kalau kesemuanya itu kelak
dibawa mati? Karena inilah maka setiap tahun, hari pertama musim
semi, aku selalu mencari jodoh untuk menurunkan beberapa ilmu yang
berhasil kuciptakan. Siapa dapat bertemu denganku pada hari pertama
musim semi, dia pasti akan menerima sesuatu dari ilmu-ilmuku sesuai
dengan bakat dan kemampuan masing-masing.”
Melihat kakek itu berhenti sebentar, Suling Emas yang selalu
berwatak jujur tanpa mau menyembunyikan dan dipermainkan perasaan,
berkata,
“Teecu sudah mendengar akan hal itu, sudah pula teecu dengar
betapa banyak tokoh-tokoh kang-ouw yang terkenal keji dan jahat
menerima pula warisan ilmu dari Locianpwe. Harap Locianpwe terangkan
mengapa Locianpwe menurunkan ilmu kepada mereka itu.”
Kakek itu tertawa lebar, berkilauan giginya tertimpa sinar matahari.
“Aku sudah melepaskan diri daripada ikatan perasaan, tidak mencinta
tidak pula membenci, tiada yang baik dan tiada yang buruk bagiku.
Betapapun juga, aku seorang manusia yang masih dikuasai pikiran dan
pertimbangan. Mereka yang berjodoh dan bertemu dengan aku, siapa
35
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
pun dia, akan menerima warisan ilmu, sesuai dengan watak dan
bakatnya.”
Suling Emas biarpun baru berusia tiga puluh tahun, namun ia seorang
kutu buku yang sudah banyak melalap kitab-kitab kuno, maka ia dapat
menerima pendirian seorang sakti seperti ini. Ia tidak mau berdebat, dan
tidak berani mencela, maka ia lalu bertanya,
“Teccu sudah menerima petunjuk dengan suara tadi, bolehkah teecu
bertanya, apa nama ilmu itu dan apakah ilmu ini cocok dengan teecu
maka Locianpwe mengajarkannya?”
“Orang muda, selama aku merantau dan setiap tahun menurunkan
ilmu, hanya ada dua ilmu yang tak pernah dapat diterima orang, biarpun
setiap kali sudah kucoba untuk menurunkannya. Yang pertama adalah
ilmu yang terkandung dalam suara khim tadi, yang kuberi nama Kimkong
Sin-im (Tenaga Emas dari Suara Sakti). Kau tadi dapat melayani
aku, sampai lima puluh delapan jurus, itu sudah bagus sekali, berarti kau
sudah dapat menangkap inti sarinya, tinggal kau kembangkan saja,
tergantung kepada ketekunan dan bakatmu. Yang ke dua adalah ilmu
yang juga tak pernah dapat dimengerti orang, yaitu Hong-in-bun-hoat
(Ilmu Sastra Angin dan Mega)” Kulihat kau cerdik, bakatmu luar biasa
dan menilik pakaianmu, kiranya kau tidak asing akan sastra, bukan?”
“Teecu masih bodoh, akan tetapi teecu memberanikan diri untuk
mencoba menyelami Ilmu Hong-in-bun-hoat itu, Locianpwe.”
Bu Kek Siansu terkekeh girang, lalu ia berdiri. Suling Emas tetap
duduk bersila dan mencurahkan seluruh perhatiannya. Dengan tenaga
sin-kangnya ia dapat membuka mata tanpa berkedip berjam-jam
lamanya.
“Lihat dan ingat baik-baik semua huruf ini, orang muda,” terdengar
Bu Kek Siansu berkata dan mulailah kakek lambat-lambat, kedua
lengannya bergerak-gerak ke depan, mencorat-coret ke atas dan ke
bawah, kedua kakinya bergerak selalu, juga geserannya berupa coratcoret
membentuk huruf yang disesuaikan dengan coretan bagian atas
dengan kedua tangannya.
36
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Suling Emas girang sekali bahwa dia dahulu adalah seorang yang
amat tekun mempelajari ilmu sastra, sehingga ia hafal akan sepuluh ribu
macam huruf. Ia melihat betapa gerakan yang dilakukan oleh kakek itu
merupakan coretan-coretan huruf-huruf yang amat indah dan kuat.
Lebih mudah baginya untuk mengingat karena ternyata setelah kakek itu
melakukan belasan jurus, huruf-huruf itu membentuk sajak-sajak dalam
pelajaran Nabi Khong Hu Cu yang ayat pertamanya berbunyi:
THIAN BENG CI WI SENG (Anugerah Tuhan Adalah Watak Aseli).
Tentu saja ia sudah hafal akan ayat-ayat kitab TIONG YONG ini, maka
ia tidak perlu lagi untuk mengingat-ingat susunan kalimatnya, hanya
perlu mengingat jurus gerakan setiap huruf. Hal ini menguntungkan
Suling Emas, karena perhatiannya tidak terpecah dan setelah
menyaksikan beberapa belas huruf ia sudah dapat menyelami inti
sarinya sehingga selanjutnya ia dapat menduga bagaimana huruf-huruf
lain dibentuk dalam gerakan silat itu. Setelah lewat seratus huruf,
biarpun kini Bu Kek Siansu bersilat dengan luar biasa cepatnya, ia sudah
dapat mengerti dengan baik bagaimana harus bersilat menurut goresan
dalam pembentukan huruf-huruf suci itu.
Saking tertarik dan tekunnya, tanpa ia sadari dan sengaja, Suling
Emas sudah bangkit dari atas tanah, dan otomatis ia juga bersilat, bukan
meniru gerakan Bu Kek Siansu lagi, melainkan ia melanjutkan hurufhuruf
yang belum dimainkan, sesuai dengan bunyi sajak dalam ayat-ayat
kitab TIONG YONG.
“Cukup, tidak sia-sia kali ini aku berlelah-lelah.” Bu Kek Siansu
tertawa gembira. “Dan saat pertemuan inipun sudah cukup, kau boleh
turun dari puncak sekarang juga.”
Suling Emas menjatuhkan diri berlutut menghaturkan terima kasih
lalu berkata,
“Budi Locianpwe terlalu besar terhadap teecu, bagaimana teecu
berani memutuskan pertemuan penting ini sedemikian singkat? Teecu
mohon petunjuk.”
“Ha-ha-ha, tidak ada manusia di dunia ini yang merasa puas dengan
keadaannya sendiri. Siapa mengenal kepuasan dalam setiap keadaan,
37
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
dialah manusia bahagia yang dapat menikmati berkah Tuhan. Orang
muda, kiranya dengan kepandaian yang kaumiliki ini, kau berada di
persimpangan jalan yang dapat membawa kau ke jurang kejahatan, juga
dapat membawamu ke alam murni. Hanya tokoh-tokoh terbesar dari
golongan hitam dan putih saja yang sejajar dengan tingkat

kepandaianmu.”

Bersambung...

No comments:

Post a Comment