Thursday, December 15, 2016

Cinta Bernoda Darah 01 - Mini Serial #005

Cerita Silat Kho Ping Hoo: Cinta Bernoda Darah 01 - Mini Serial #005
==========================================================

Dilihat sepintas lalu, ia hanya seorang pengemis kotor biasa saja,
malah seorang pengemis yang tidak normal, setengah gila. Hal itu
tampak pada mukanya yang mengerikan, apalagi mulutnya yang lebar
dan selalu sedikit terbuka, memperlihatkan sebuah gigi besar, gigi yang
hanya satu-satunya dalam mulut tua.
Kembali ia meludah, “Cuh-cuh-cuh” ke kanan kiri, menjijikkan sekali.
Melihat ini, Leng Li Hwesio marah,
“Orang tua jorok, kaukah yang meludahi pinceng tadi?”
“Ho-ho-hah-hah, aku memang suka meludah, biasa meludahi anjing
korengan dan kucing kudisan. Lebih suka lagi meludahi keledai gundul,
cuh-cuh” Mukanya menghadap ke bawah dan ia meludah ke bawah,
akan tetapi anehnya, dua kali meludah, dua kali muka Leng Hi Hwesio
yang berada di sebelah kanannya dalam jarak tiga meter itu terkena
sambaran ludah kental yang sebagian memasuki lubang hidungnya.
Entah bagaimana ludah itu bisa terbang menyeleweng dan miring.
Kakek pengemis itu berjingkrak kegirangan bertepuk-tepuk tangan
sambil tertawa.

“Ha-ho-hoh” Bagus sekali. Keledai Bu-tong memang baik menjadi
tempolong ludah”
“Jahanam hina” Leng Hi Hwesio mana dapat menahan kesabarannya?
Dengan kemarahan meluap-luap ia sudah mencabut pedangnya dan
menerjang pengemis itu.
“Ho-ho-ha-hah, untung besar hari ini bisa meludahi mampus keledai
Bu-tong” Tiba-tiba terdengar suara keras dan pedang di tangan Leng Hi
Hwesio sudah terlempar jauh, menimpa batu gunung dan patah menjadi
dua. Kemudian kakek pengemis itu meludah terus dan tiap kali meludah,
Leng Hi Hwesio berseru kesakitan. Hujan ludah itu mengenai tubuhnya,
akan tetapi tidak hanya membikin kotor seperti tadi, kini terasa seperti
pukulan-pukulan keras yang tepat mengenai jalan darah di tubuhnya.
Tiap kali kakek itu meludah dan mengenai tubuhnya, ia berteriak
14
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
mengaduh, kemudian ia menggulingkan tubuh untuk menghindarkan
diri. Namun kakek itu terus meludah, makin keras agaknya karena kini
tubuh Leng Hi Hwesio bergulingan seperti seekor cacing terkena abu
panas dan dari telinga dan hidungnya keluar darah segar”
“Pengemis keji, lepaskan Sute kami” Leng Lo Hwesio dan dua orang
adik seperguruannya cepat mencabut pedang dan menerjang pengemis
itu. Akan tetapi pengemis itu mengangkat tongkatnya, sekaligus tiga
batang pedang itu tertangkis dan terpental. Sungguhpun tiga orang
hwesio kosen itu tidak sampai melepaskan pedang masing-masing,
namun mereka merasakan telapak tangan mereka sakit dan panas.
Terkejutlah mereka. Bu-tong-pai terkenal dengan ilmu pedang yang
digerakkan dengan tenaga lwee-kang, kuat bukan main. Akan tetapi
sekarang sekali tangkis saja kakek ini dapat membuat pedang mereka
terpental. Padahal mereka adalah orang-orang yang menduduki tingkat
dua, tiga, dan empat di Bu-tong-pai, yang paling lihai di bawah suhu
mereka”
Sementara itu, kakek itu terus meludahi tubuh Leng Hi Hwesio yang
kini sudah tak dapat bersambat atau bergerak lagi. Hebatnya, kepala
yang gundul itu kini bolong-bolong dan dari situ keluar darah bercampur
otak. Hwesio ke empat ini sudah tewas”
“Mana orang Kun-lun” Mana tosu-tosu bau dari Kun-lun?” tiba-tiba
terdengar suara dan kali ini suara itu terdengar dari.. bawah” Terlalu
hebat peristiwa yang terjadi berturut-turut itu, dan para tosu Kun-lun-pai
masih tercengang dan ngeri menyaksikan kematian seorang anggauta
rombongan Hoa-san-pai dan seorang hwesio Bu-tong-pai. Sekarang
mendengar bentakan dari bawah tanah ini, mereka seketika menjadi
pucat dan cepat memandang ke arah suara. Tentu saja pandang mata
mereka tertuju ke bawah, karena dari situlah munculnya suara.
“Hi-hi-hik, It-gan Kai-ong” Dengar itu, Si Tengkorak Hidup Hek-giamlo
juga datang. Bakal ramai sekarang” Wanita rambut panjang tadi kini
tertawa dan Si Pengemis Mata Satu juga tertawa dan meludah ke kanan
kiri.
15
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
“Bagus, dan kebetulan orang-orang Kun-lun berada di sini. Baik
sekali. Hayo, Hek-giam-lo tengkorak busuk, perlihatkan diri, apa kau
gentar melihat banyak orang Kun-lun-pai?”
Mendengar disebutnya Hek-giam-lo, muka Ang Kun Tojin makin
pucat. Ia belum pernah bertemu dengan Hek-giam-lo, akan tetapi ia
mengenal nama ini yang oleh gurunya disebut sebagai seorang tokoh
hitam yang amat keji dan jahat, malah ada bibit permusuhan dengan
Kun-lun-pai, yaitu musuh dari mendiang kakek guru Ang Kun Tojin.
Terdengar suara menggereng seperti harimau dari dalam tanah dan
tiba-tiba tanah berikut batu berhamburan terbang dan tahu-tahu tanah
itu sudah berlobang besar. Dari dalam lubang meluncur cahaya seperti
kilat yang terbang ke arah lima orang tosu Kun-lun-pai.
Para tosu ini bukanlah orang-orang sembarangan. Tingkat ilmu silat
mereka seperti juga orang-orang Hoa-san-pai dan Bu-tong-pai itu, sudah
mencapai taraf tinggi sekali. Sekali pandang saja mereka maklum bahwa
yang menyambar ini adalah sebuah senjata yang amat tajam dan
runcing, yang disusul melesatnya bayangan hitam. Cepat mereka
berlima melompat ke belakang, mencabut pedang dan menangkis.
“Trang-trang-trang..” terdengar bunyi nyaring. Bunga api
berhamburan disusul melayangnya tiga batang pedang, yaitu tiga batang
di antara lima pedang yang bertemu dengan senjata berkilauan itu.
Kemudian terdengar jerit mengerikan dan Pek Sin Tojin, tosu yang
bertahi lalat pada hidungnya, telah roboh mandi darah. Dari leher
sampai ke perutnya terdapat luka goresan yang panjang, luka kulit saja
akan tetapi amat mengerikan. Apalagi kalau mereka melihat lawan
mereka yang kini sudah berdiri di depan mereka, benar-benar
mendirikan bulu roma.
Dia seorang yang tubuhnya sedang saja, malah agak kurus. Seluruh
badan, kecuali sepasang tangan yang kecil kurus, terbungkus pakaian
serba hitam. Mukanya adalah muka tengkorak, tulang putih mengerikan
dengan dua lobang mata hitam, kepala tengkorak tertutup topi runcing
hitam, kedua kakinya memakai sepatu hitam pula. Di tangannya tampak
sebuah senjata sabit yang amat tajam dan runcing, agak melengkung.
16
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Senjata sabit itu kini bergerak-gerak ke arah tubuh Pek Sin Tojin,
sekali berkelebat tentu kulit tubuh tosu itu teriris robek. Pek Sin Tojin
menggeliat-geliat, bergulingan, darah memenuhi tubuh dan mukanya,
namun sabit itu terus bergerak, makin lama makin cepat. Empat orang
tosu Kun-lun-pai menerjang lagi, yang dua orang termasuk Ang Kun
Tojin menggunakan pedang, yang dua orang lagi karena pedangnya
terlempar, menerjang dengan kepalan. Akan tetapi hebatnya, si
tengkorak ini hanya menggerak-gerakkan tangan kirinya dan semua
serangan itu tertangkis oleh ujung lengan bajunya. Adapun sabit di
tangan kanannya terus bergerak, mengiris-iris kulit tubuh Pek Sin Tojin
sampai cobak-cabik.
Kekejaman yang mendirikan bulu roma. Pek Sin Tojin tak dapat
mengerang lagi, tubuhnya berkelojotan, lalu diam. Gerakan sabit juga
berhenti dan kini sabit itu berkelebatan menghadapi empat orang Kunlun-
pai yang mengeroyoknya.
Sementara itu, orang-orang Bu-tong-pai sudah bergerak mengeroyok
si kakek pengemis yang melayani tiga orang kosen Bu-tong-pai ini
sambil meludah-ludah dan memaki-maki.
Di lain pihak, empat orang Hoa-san-pai juga mengeroyok si wanita
rambut panjang yang melayani mereka sambil terkekeh-kekeh genit.
Sungguh pertempuran yang amat seru namun tidak seimbang
kekuatannya. Seperti tiga ekor harimau buas dikeroyok serombongan
kelinci saja. Sabit di tengan tengkorak hidup itu menyambar seperti
halilintar dan sebentar saja, dua orang tosu Kun-lun-pai sudah
menggeletak dengan tubuh terbacok hampir putus menjadi dua potong,
sedangkan Ang Kun Tojin dan seorang sutenya sudah luka-luka pula.
Juga wanita mengerikan yang bernama Siang-mou Sin-ni (Dewi
Rambut Harum) telah menewaskan dua orang Hoa-san-pai dengan
cambukan-cambukan rambutnya. Wanita ini hanya berdiri tegak,
kepalanya digerak-gerakkan dan rambutnya melayang-layang di sekitar
tubuhnya, menangkis senjata dan menghantam lawan. Jangan
dipandang rendah rambut ini, karena ketika menghantam lawan, rambut
17
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
halus dan berbau harum itu seakan-akan telah berubah menjadi kawat
baja yang amat kuat.
It-gan Kai-ong (Raja Pengemis Mata Satu), meludah-ludah dan
memaki-maki. Ludahnya membikin buta seorang lawan yang terus
ditusuk tongkat kepalanya sehingga mati seketika. Leng Lo Hwesio
mengerahkan seluruh Ilmu Pedang Bu-tong Kiam-hoat, namun sama
sekali tak berdaya menghadapi sinar tongkat kakek itu.
Mereka semua maklum bahwa kalau dilanjutkan, mereka semua pasti
akan tewas. Seperti ada yang memberi komando, Ang Kun Tojin, Kok
Bin Cu, dan Leng Lo Hwesio melompat pergi meninggalkan para sutenya
yang sudah tewas. Mereka pun menderita luka-luka berat.
“Ha-ha-ho-ho” Siang-mou Sin-ni, Hek-giam-lo, biarkan mereka pergi
untuk memberi tahu kepada partai masing-masing”
“Tak usah kau ngoceh, pengemis picak” Siang-mou Sin-ni
mencibirkan bibirnya yang merah sambil mengebut-ngebutkan
rambutnya yang panjang dengan cermat.
“Kalau aku mau, apa kau kira tua bangka Hoa-san itu bisa pergi
hidup-hidup?”
“Ho-ho-hah” Bagaimana, Hek-giam-lo, puas kau hari ini dapat
membunuh empat orang tokoh Kun-lun?” Pengemis itu berpaling kepada
si tengkorak.
“Aku datang ke Thai-san bukan untuk itu,” Hek-giam-lo Si Tengkorak
Hidup menjawab pendek.
“Hi-hik, untuk apalagi kalau bukan untuk minta sesuatu dari Bu Kek
Siansu? Iihhh, Hek-giam-lo, sejak kapan kau ikut-ikut menjadi pengemis
seperti pengemis picak ini?” Siang-mou Sin-ni mengejek. Akan tetapi
Hek-giam-lo tidak menjawab, hanya mendengus marah.
“Ho-hah, setan cilik, lidahmu benar-benar lemas, bibirmu halus
mengandung madu, tapi ludahmu seperti butrawali dan merica” Kau
sendiri datang pada permulaan musim semi, apakah akan memberi
selamat panjang umur kepada setan gunung? Ho-ho, kau sendiri juga
akan mengemis ilmu, bukan?”
18
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
“Cih, mulutmu bau busuk, pengemis kotor” Aku mendengar bahwa Bu
Kek Siansu akan muncul di dunia. Aku hendak melihat apakah dia dapat
menghadapi rambutku, kalau dapat, baru aku mau mengangkatnya
sebagai guru, bukan mengemis seperti kau”
“Ha-ha, silat lidah” Menjadi murid dan mengemis ilmu, apa bedanya?
Malu-malu kucing segala, cuh” It-gan Kai-ong meludah ke dekat kakinya
dan batu di dekatnya berlubang oleh ludah itu”
“Bukankah begitu, Hek-giam-lo?”
Si tengkorak hidup tidak menjawab, tidak mengangguk atau
menggeleng hanya mengeluarkan suara,
“Huhhh”
“Ihhh, menyebalkan si tengkorak busuk ini. Apa mendadak menjadi
bisu? Apakah ingin menyembunyikan suara seperti bertahun-tahun ia
menyembunyikann mukanya? Wah, alangkah inginku merenggut lepas
kedok tengkorak itu dan melihat apakah dia laki-laki atau wanita, kalau
laki-laki tampan atau buruk, muda atau tua”
“Hemmm..” Tengkorak hidup itu mundur selangkah, mukanya
menghadap Siang-mou Sin-ni dan senjata sabitnya yang mengerikan itu
diangkat ke atas, agaknya siap bertempur.
It-gan Kai-ong berjingkrak-jingkrak tertawa dan bertepuk-tepuk
tangan.
“Bagus, bagus..” Aku pun mempunyai keinginan yang amat sangat,
yaitu melihat kalian bertempur mengadu ilmu. Alangkah akan ramainya,
entah siapa yang hanya bernama kosong belaka. Siang-mou Sin-ni
ataukah Hek-giam-lo. Hayo, mulailah”
Sejenak Siang-mou Sin-ni ragu-ragu, kepalanya sudah tegang,
agaknya ia hendak menggerakkan rambutnya menerjang. Akan tetapi
matanya melirik ke arah pengemis tua itu, lalu tiba-tiba ia tertawa
terkekeh-kekeh. “Hi-hi-hik, pengemis tua busuk, kau hendak akali kami
berdua, ya? Kau mengadu kami, biar keduanya mampus atau payah,
baru kau turun tangan dan dapat memonopoli atas ilmu-ilmu dari Bu Kek
Siansu. Begitukah? Akal bulus”
19
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
“Kalian mau saling gempur atau saling cinta, apa sangkut-pautnya
dengan aku? Habis, kau mau apa?” Kakek itu merengut, kesal.
“Kita bertiga harus menentukan siapa paling unggul, dia berhak
menemui Bu Kek Siansu. Yang kalah dinyatakan tidak berharga dan
harus minggat.”
“Setuju” jawab It-gan Kai-ong. “Kau bagaimana?” tanyanya kepada
Hek-giam-lo. Yang ditanya hanya mengangguk, tetap berdiri memasang
kuda-kuda, sikapnya amat bercuriga dan tidak percaya kepada dua
orang di depannya itu.
Tiga orang sakti itu berdiri memasang kuda-kuda, saling pandang
dengan sinar mata penuh kebencian. Mereka seakan-akan tiga ekor
harimau yang siap menanti datangnya terjangan lawan, tegang sampai
ke bulu-bulunya, akan tetapi terlalu hati-hati untuk bergerak lebih dahulu
karena maklum bahwa lawan amatlah hebat, siapa terlena dia akan
sirna.
Tiba-tiba Siang-mou Sin-ni melengking tinggi dan rambutnya bergerak
seperti sinar hitam menyambar ke arah Hek-giam-lo. Hanya satu atau
dua detik selisihnya dengan gerakan It-gan Kai-ong yang menggunakan
tongkat menyerang wanita ini, dan gerakan Hek-giam-lo yang
menggunakan sabit menerjang It-gan Kai-ong. Sekaligus tiga orang itu
telah menyerang dan diserang. Sekaligus pula mereka mendengus
nyaring dan mengelak dengan lompatan kilat ke samping. Kini mereka
berdiri lagi membentuk segi tiga, memasang kuda-kuda dan tidak
bergerak. Suara desingan senjata mereka yang menyambar tadi masih
terdengar gemanya, mengaung dari dalam jurang di dekat situ.
Amat tegang seluruh urat syaraf, ketiga orang itu sodah siap untuk
melakukan terjangan atau menghadapi serangan lagi. Akan tetapi tibatiba
wajah mereka bergerak dan perhatian mereka tertarik oleh bunyi
suling yang amat luar biasa. Sesaat bunyi suling itu semerdu kicau
burung di waktu pagi hari menyongsong munculnya sang matahari, akan
tetapi pada saat lain terdengar seakan-akan halilintar menyambarnyambar
membelah gunung, pada detik ini terdengar gembira seperti
20
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
suara bidadari tertawa merdu, pada lain detik seperti tangis wanita yang
ditinggal mati suaminya.
“Tunda dulu urusan kita,” kata It-gan Kai-ong.
“Kita lihat siapa yang datang,” sambung Siang-mou Sin-ni
mengangguk.
Hek-giam-lo hanya mengangguk dan menurunkan sabitnya. Makin
lama suara suling terdengar makin nyaring, seolah-olah penyulingnya
berjalan perlahan mendekati tempat itu. Tiga orang sakti ini menjadi
tegang hatinya, mereka menduga-duga. Nama besar Bu Kek Siansu yang
dipuja-puja seluruh tokoh kang-ouw, sudah banyak kali mereka dengar,
namun selama hidup mereka belum pernah melihat orangnya. Apakah
kakek sakti itu yang muncul sekarang sambil meniup suling?
Tak lama kemudian muncullah si peniup suling dari balik batu besar,
berjalan dengan tenang perlahan menuju ke puncak sambil meniup
suling yang dipegang dengan kedua tangannya. Suling itu berkilauan
tertimpa matahari dan mudah diduga babwa benda ini terbuat daripada
emas murni. Peniupnya seorang laki-laki tinggi tegap, tampan dan
gagah, berusia antara tiga puluh tahun. Pakaiannya seperti pakaian
seorang pelajar, dengan ikat pinggang sutera dan tali penutup kepala
melambai panjang. Pakaian orang ini hanya bentuknya saja seperti
pakaian pelajar, juga topinya, akan tetapi warna sepatu, pakaian, dan
topinya hitam, kecuali ikat pinggang dan pinggiran jubah, berwarna
kuning. Di bagian dada bajunya yang hitam itu tampak lukisan sebuah
suling emas di atas dasar bulatan merah muda seperti bulan purnama.
“Iihhh.. gantengnya..” Siang-mou Sin-ni memuji, matanya
memandeng penuh gairah kepada wajah yang tampan itu.
“Inikah orangnya yang memakai nama Suling Emas..?” It-gan Kai-ong
berkata perlahan seperti pada diri sendiri. Adapun Hek-giam-lo hanya
mengeluarkan suara mendengus marah.
Sementara itu, laki-laki muda bersuling itu sudah melihat adanya tiga
orang aneh di puncak, juga adanya mayat-mayat berserakan di sekitar
tempat itu. Suara sulingnya berhenti, benda itu ia selipkan pada ikat
pinggang dan kedua kakinya melangkah lebar dan cepat ke tempat itu.
21
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Keningnya berkerut, sepasang alis yang tebal hitam itu seakan-akan
bersambung menjadi satu.
“Keji sekali..” Ia bersungut-sungut tanpa mempedulikan tiga orang
itu.
“Kami yang membunuh mereka. Kau mau membela?” ejek It-gan Kaiong
menantang.
Dia tersenyum, menoleh kepada pengemis mata satu dan berkata
dengan suara tenang berwibawa,
“Kalian membunuh orang, tidak ada sangkut-pautnya dengan aku,
aku tidak peduli, bukan urusanku. Akan tetapi andaikata tadi aku berada
di sini, jangan harap kalian mengumbar kekejaman sesuka hati.”
Setelah berkata demikian, orang ini lalu menghampiri Hek-giam-lo,
memandang sejenak dan berkata.
“Kau Hek-giam-lo, bukan? Beri pinjam senjatamu sebentar, aku
hendak mengubur mayat-mayat itu.”
Hek-giam-lo mendengus dan melangkah mundur, sabitnya ia angkat
ke atas kepala, siap menerjang. Orang muda itu tertawa mengejek.
“Kau takut aku melarikan senjatamu itu? Ha-ha, aku sering kali
mendengar bahwa manusia iblis Hek-giam-lo memiliki kepandaian yang
amat tinggi, kiranya ia hanya mengandalkan nyawanya kepada sebatang
sabit, maka takut kehilangan senjatanya. Hek-giam-lo, sulingku ini dari
emas, jauh lebih berharga daripada sabitmu, baik harganya maupun
kegunaannya. Kalau kau takut aku melarikan sabitmu, biar kau bawa
dulu sulingku ini.”
Sebagai seorang tokoh besar dalam dunia persilatan, mana Hek-giamlo
mau menyerahkan senjatanya? Senjata yang diandalkan sama
harganya dengan nyawa. Ia mendengus kembali, menggelengkan muka
tengkoraknya.
Pemuda tinggi ganteng itu tersenyum lebar, tapi sepasang matanya
mengeluarkan sinar tajam. “Terimalah ini” serunya dan suling di tangan
kanannya itu tiba-tiba meluncur seperti halilintar menyambar, ke arah
leher kiri Hek-giam-lo. Serangan ini cepat bukan main, juga tidak
22
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
terduga karena gerakan suling itu dilihat dari depan seperti memutar,
ujungnya membentuk lingkaran yang tidak dapat diterka ke mana akan
mencari sasaran. Tiba-tiba, Hek-giam-lo melihat ujung suling sudah
hampir menempel ulu hatinya.
Namun ia memang lihai sekali. Sambil mengeluarkan suara gerengan
seperti setan, tangan kirinya menyambar dari samping menangkap
suling itu dan mendorong ke kanan agar meleset daripada ulu hatinya,
bagian yang berbahaya itu. Alangkah herannya ketika ia merasa betapa
suling itu dengan mudah dapat ia renggut, malah agaknya dilepaskan
oleh pemiliknya. Ia menduga akan adanya tipuan, akan tetapi terlambat
karena pada saat itu, tenaga yang amat keras merampas sabitnya. Ia
masih berusaha mempertahankan dengan tangan kanan, namun tibatiba
suling di tangan kirinya itu bergerak hendak menusuk dadanya
kembali. Terpaksa ia mengalihkan perhatian dan tenaganya ke tangan
kiri yang mencengkcram suling, berusaha merampas suling untuk
menyelamatkan diri. Lebih penting menyelamatkan diri daripada
ancaman suling, baru kemudian berusaha merampas kembali
senjatanya.
Pemuda itu tertawa sambil melompat mundur, sabit panjang sudah
berada di tangannya. “Hek-giam-lo, terima kasih atas kebaikanmu.
Hanya sebentar aku pinjam sabitmu, kalau sudah selesai akan
kukembalikan.” Setelah berkata demikian, pemuda aneh ini lalu melirik
ke kanan kiri beberapa lama, kemudian tiba-tiba ia meloncat ke kiri,
sekali loncatan tubuhnya melayang lebih sepuluh meter jauhnya. Kiranya
ia memilih tanah yang lunak di balik sebuah batu besar. Sabit di
tangannya bergerak dan tampak sinar berkilauan ketika dengan
cepatnya ia menggali tanah dengan sabit itu.
“Heh, kau tentu si muda sombong yang memakai nama Kim-siauweng
(Pendekar Suling Emas)” terdengar suara serak Si Muka Tengkorak.
“Kembalikan senjataku.”
Suling Emas tidak menjawab, melainkan menggali terus dengan cepat
sekali sehingga sebentar saja di depannya telah tergali sebuah lubang
besar. Namun ia masih menggali terus dengan cepat.

Bersambung..

No comments:

Post a Comment