Cerita Silat Khoo Ping Hoo: Cinta Bernoda Darah 01 - Mini Serial #002
=========================================================
=========================================================
Melihat keadaan yang kaku dan dingin, Kok Bin Cu tertawa keras dan
berkata.
“Wah, tiga rombongan wakil partai persilatan terbesar di dunia tanpa
sengaja telah berkumpul di sini. Kiranya dengan maksud yang sama
pula, hendak bertemu dan mohon petunjuk dari Siansu (Guru Sakti),
bukankah begitu Ang Kun Toyu dan Leng Lo Suhu?”
“Kami memang hendak menghadap Bu Kek Siansu yang mulia dan
mohon belas kasihannya.” jawab murid kepala Bu-tong-pai dengan suara
merendah, sebagai seorang hwesio tidak malu-malu untuk minta-minta
“Karena beliau seorang pendeta To, sudah selayaknya kalau kami
datang mohon diberi penerangan,” jawab Ang Kun Tojin dengan angkuh.
“Belum tentu beliau seorang tosu, tadi pinceng mendengar beliau
menyanyikan syair kitab Dammapada, bukankah itu membuktikan bahwa
Bu Kek Siansu adalah seorang pendeta Buddha golongan kami?” bantah
Leng Lo Hwesio dengan suaranya yang dan lambat.
Mendengar ini, diam-diam para anak murid Kun-lun-pai menjadi kaget, kagum dan juga khawatir. Nyanyian itu terdengar oleh mereka di lereng, masih amat jauh dari tempat ini, akan tetapi ternyata mereka yang berada di puncak ini juga mendengarnya. Bukan main” Penggunaan tenaga mujijat khi-kang yang disalurkan pada suara nyanyian itu benar-benar sudah mencapai tingkat sempurna.
Mereka
khawatir karena kalau betul-betul Bu Kek Siansu seorang penganut
Agama Buddha, tentu saja tipis harapan bagi mereka untuk bersaing
dengan para hwesio itu.
“Ha-ha-ha, ji-wi Lihiap (Dua Pendekar Tua) harap jangan salah duga
dan menarik Siansu pada golongan masing-masing. Biarpun saya sendiri,
seperti juga sahabat semua : selama hidup belum pernah bertemu muka
dengan Bu Kek Siansu, namun sudah banyak saya mendengar tentang
orang tua sakti itu. Beliau mengakui semua agama, seperti sifat para
dewa yang melindungi semua manusia tanpa pilih bulu. Tentu beliau
seorang yang amat adil. Dan mengingat bahwa kami datang lebih dulu,
yang pertama di tempat ini, sepatutnya kami yang mendapat perhatian
lebih dulu. Siapa cepat dia dapat, bukan?”
6
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Ang Kun Tojin melangkah maju dan membantah,
“Sicu dan saudara-saudara dari Hoa-san bukanlah orang-orang yang
mencari kesempurnaan batin, melainkan jasmaniah, hidup sebagai
petani-petani yang bahagia. Ilmu Silat Hoa-san-pai juga sudah tersohor
di kolong langit. Untuk apa pula mohon petunjuk Siansu? Tentu bukan
untuk urusan kebatinan, akan tetapi kalau hendak mohon petunjuk
tentang ilmu silat : untuk apakah pula? Pekerjaan petani tidak
membutuhkan ilmu silat terlalu tinggi.”
“Ucapan Toyu benar,” sambung Leng Lo Hwesio, “bagi pendetapendeta
seperti kami dan para tosu Kun-lun, tentu saja amat
membutuhkan petunjuk tentang kebatinan dari Siansu. Akan tetapi para
Sicu dari Hoa-san, tak mungkin hendak minta petunjuk tentang
kerohanian. Kalau mereka hendak minta petunjuk tentang ilmu silat,
pinceng kira Siansu juga akan memberi petunjuk, jika melihat bahwa
Ilmu Silat Hoa-san-pai masih amat rendah.”
Ucapan ini biarpun terdengar membela namun mengandung sindiran
yang memandang rendah tingkat Ilmu Silat Hoa-san-pai. Memang
hwesio murid kepala Bu-tong-pai ini berwatak keras dan kaku, juga tidak
biasa menyembunyikan apa yang dipikirnya.
“Leng Lo Suhu benar-benar memandang rendah kami dari Hoa-sanpai”
tiba-tiba orang ke lima dari Hoa-san-pai membentak sambil
melompat maju. Dia adalah Kok Ceng Cu, seorang yang bertubuh tinggi
tegap, berwajah tampan dengan sepasang mata tajam bersinar-sinar,
usianya sekitar tiga puluh tahun.
“Sama sekali tidak memandang rendah,” bantah Leng Lo Hwesio,
“hanya pinceng sering kali mendengar bahwa Hoa-san-pai
mengutamakan tenaga luar dan penggunaan kaki tangan dalam ilmu
silat tidak begitu mementingkan kekuatan dalam. Padahal, Bu Kek
Siansu adalah seorang ahli kebatinan dan tentu saja petunjuknya akan
berhubungan erat dengan kebatinan, maka tidak akan cocok dengan
Sicu sekalian.”
“Tidak memandang rendah akan tetapi sama sekali tidak menghargai
kepandaian lain orang. Sama saja” Leng Lo Suhu, kami dari Hoa-san-pai
7
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
memang masih rendah pengetahuan, tidak ada sesuatu yang patut
dibanggakan apalagi disombongkan. Akan tetapi, saya akan merasa
takluk kalau seorang di antara para Losuhu dari Bu-tong-pai dapat
melebihi apa yang akan saya perlihatkan” Kok Ceng Cu yang masih
berdarah panas dan tidak tahan mendengar partainya dipandang ringan,
segera melangkah lebar mendekati sebuah batu gunung yang berwarna
putih. Batu ini sebesar perut kerbau, beratnya tidak kurang dari lima
ratus kati. Seperempat bagian dari batu ini terpendam dalam tanah,
kokoh kuat dan untuk mencabutnya keluar kiranya dibutuhkan sedikitnya
tenaga seribu kati.
Mendengar ini, diam-diam para anak murid Kun-lun-pai menjadi kaget, kagum dan juga khawatir. Nyanyian itu terdengar oleh mereka di lereng, masih amat jauh dari tempat ini, akan tetapi ternyata mereka yang berada di puncak ini juga mendengarnya. Bukan main” Penggunaan tenaga mujijat khi-kang yang disalurkan pada suara nyanyian itu benar-benar sudah mencapai tingkat sempurna.
No comments:
Post a Comment