Saturday, December 10, 2016

Cinta Bernoda Darah 01 - Mini Serial #001

Cerita Silat Khoo Ping Hoo: Cinta Bernoda Darah 01 - Mini Serial #001
===================================================

Puncak Gunung Thai-san yang menjulang tinggi di angkasa tertutup
awan putih tebal yang bergumpal-gumpal mengelilingi puncak. Hampir
selalu puncak Thai-san tertutup awan, kecuali pada musim panas, sekali
waktu ada kalanya puncak Thai-san yang meruncing itu tampak dari
bawah. Keadaan inilah yang menimbulkan dongeng di kalangan
penduduk di sekitar kaki dan lereng gunung, bahwa puncak Thai-san
merupakan anak tangga menuju ke sorga” Dan bahwa hanya para dewa
dan manusia setengah dewa saja yang dapat mendatangi puncak Thaisan.
Dongeng atau kepercayaan tentang hal ke dua ini tidaklah terlalu
berlebihan kalau diingat bahwa penduduk pegunungan amatlah tebal
kepercayaannya akan para dewa yang menguasai seluruh permukaan
bumi dan diingat pula akan keadaan puncak itu sendiri. Terlalu tinggi,
terlalu sukar jalan mendaki puncak, terlalu dingin sehingga manusia
biasa tak mungkin akan dapat mendaki puncak. Terlalu banyak
bahayanya. Binatang buas, jalan yang amat licin, jurang-jurang yang
curam, daerah-daerah yang mengeluarkan gas, dan hawa dingin yang
membekukan darah dalam badan.

Memang tak mungkin bagi manusia-manusia biasa, namun mungkin
saja bagi manusia-manusia luar biasa, yaitu manusia-manusia yang
memiliki kepandaian tinggi dan memiliki tubuh terlatih, yang kuat
menghadapi semua tekanan, kuat pula mengatasi semua rintangan.
Betapapun juga, jarang sekali terjadi puncak Thai-san dikunjungi orang
pandai, karena selain perjalanan itu amat berbahaya, juga tanpa
keperluan yang amat penting, apakah yang dicari di tempat sunyi itu?
Pagi hari itu amat cerah. Awan putih yang berkelompok di sekitar
puncak tampak berkilauan seperti perak digosok, matahari membobol
benteng halimun lembab, mencairkan segala kebekuan dan menghias
ujung-ujung daun dengan mutiara-mutiara air embun berkilauan seperti
1

Sumber: http://adf.ly/2Bl5
hiasan anting-anting pada telinga dara jelita. Burung-burung berkicau
menyambut hari yang amat indah itu, dan segala yang berada di
permukaan bumi seakan bergembira ria. Apakah gerangan yang
menyebabkan suasana gembira dan indah ini?
Tidak mengherankan. Musim semi tiba, pagi hari itu adalah
permulaan dari tahun yang baru. Musim yang tepat sekali untuk memulai
segala sesuatu dengan awalan-awalan yang sama sekali baru” Buang
yang lama-lama dan yang buruk-buruk, mulai dengan yang baru-baru
dan yang indah-indah. Setidaknya, demikianlah harapan dan renungan
setiap insan pada setiap tahun baru.
Pada penduduk di sekitar kaki dan lereng gunung, semenjak pagi hari
sudah sibuk berpesta, bergembira ria merayakan hari tahun baru.
Pakaian-pakaian simpanan dikeluarkan dari peti pakaian “setahun sekali”
menghias tubuh, yang muda menghormat yang tua, yang muda minta
maaf, yang tua memaafkan. Saling memaafkan, gembira tertawa, hilang
dengki, lenyap benci. Alangkah indahnya dunia, alangkah nikmatnya
hidup.
Serombongan orang amat cepat gerak-geriknya amat ringan langkah
kakinya, bergerak cepat mendaki puncak Thai-san. Kalau saja para
penduduk tidak sedang bersuka ria dan sempat menyaksikan gerak-gerik
lima orang yang bagaikan serombongan kera besar melompat ke sana
ke mari, menyelinap di antara batu-batu besar dan pohon-pohon
mendaki puncak, tentu akan makin tebal kepercayaan mereka bahwa
serombongan dewa atau manusia setengah dewa yang mendaki puncak
itu, untuk bertahun baru di sana”
Rombongan itu adalah para tosu dari Kun-lun-pai, termasuk tokohtokoh
tingkat dua dan tiga di Kun-lun-pai, maka tidaklah mengherankan
apabila mereka berlima sepandai itu mendaki puncak Thai-san. Tiba-tiba
pemimpin rombongan, Ang Kun Tojin mengangkat tangan memberi
isyarat dan seketika lima orang itu berhenti, diam tak bergerak seperti
patung-patung dewa penghias gunung. Mereka semua telah mendengar
suara yang halus itu. Suara nyanyian yang halus seperti bisikan angin
lalu, bercampur dan menyelinap di antara desir angin mempermainkan
2
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
daun dan dendang anak sungai di dasar jurang. Namun kata-katanya
jelas dapat tertangkap pendengaran telinga-telinga yang terlatih itu.
“Segala sesuatu yang menimpa diri pribadi adalah akibat daripada
pikiran sendiri.
Pikiran kotor yang mendorong ucapan dan perbuatan selalu dlikuti
sakit dan penderitaan seperti roda kereta mengikuti jejak sapi
penariknya, Pikiran bersih yang mendorong ucapan dan perbuatan selalu
diikuti kepuasan dan kebahagiaan seperti bayangan yang tak pernah
berpisah dari padanya.”
Ang Tojin melambaikan tangan dan lima orang tosu itu melanjutkan
perjalanan mereka. Di wajah-wajah tua itu timbul semangat baru, timbul
harapan dan kegembiraan.
“Twa-suheng (Kakak Seperguruan Pertama), apakah itu suara
beliau..?” tosu termuda, belum lima puluh tahun, bertahi lalat di ujung
hidung, bertanya.
“..ssssttttt..” Ang Kun Tojin menyuruh adik seperguruan termuda itu
diam. Mereka melanjutkan pendakian dan tak seorang pun berani
bertanya lagi. Sambil mempergunakan gin-kang yang khas Kun-lun-pai,
yaitu ilmu lari cepat Teng-peng-touw-sui (Injak Rumput Seperti Air).
Langkah kaki mereka dalam berlarian itu pendek-pendek namun cepat
dan gin-kang mereka begitu hebat sehingga seakan-akan rumput yang
terinjak kaki mereka tak sempat rebah saking cepatnya kaki yang
bergerak” Sementara itu, suara nyanyian terdengar terus, halus lembut
menusuk anak telinga.
“Dia menyiksaku, dia memukulku dia mengalahkan aku, dia
merampokku” Pikiran seperti ini menimbulkan benci tiada habisnya.
Memang pikiran ini berarti melenyapkan kebencian, karena benci takkan
hapus oleh benci pula, melainkan musnah oleh kasih”
Ang Kun Tojin mengerutkan keningnya. Dia adalah seorang tosu yang
dalam pengetahuannya tentang Agama To, juga sebagai orang ke dua
dari Kun-lun-pai dan seorang yang tekun mempelajari filsafat agama, ia
mengenal kata-kata dalam nyanyian itu. Itulah pelajaran dari Agama
Buddha merupakan bait-bait pertama daripada pelajaran dalam kitab
3
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Dhammapada. Ia pernah mendengar bahwa “beliau” adalah seorang
yang menganut Agama To, megapa sekarang menyanyikan pelajaran
berupa syair Agama Buddha? Apakah bukan beliau yang bernyanyi itu”
Seorang hwesio yang berada di puncak? Mudah-mudahan begitu karena
bagi Ang Kun Tojin, jauh lebih baik dan menimbulkan harapan apabila
beliau itu seorang yang beragama To.
Di pertengahan puncak mereka berhenti lagi. Dengan penuh
kekaguman mereka memandang ke bawah. Awan putih berombakombak
seperti lautan susu di bawah kaki mereka. Puncak-puncak
gunung lain tersembul keluar seperti pulau-pulau runcing atau seperti
gunung-gunung kecil. Indah bukan main, mendatangkan rasa seakanakan
mereka telah berada di kahyangan, tempat tinggal para dewa dan
mahluk halus, bukan tempat manusia, menimbulkan kepercayaan bahwa
mereka makin dekat dengan Tuhan. Memang, siapa dapat merasai
ketenangan dan ketenteraman, selalu akan merasa dekat dengan
Tuhan”
Perjalanan dilanjutkan mendaki puncak. Tidak sesukar tadi, bahkan
bumi yang mereka injak ditilami rumput-rumput hijau segar sehalus
beludru. Akan tetapi setiba mereka di puncak yang dikelilingi batu-batu
putih berjajar seperti menara, di tanah datar yang halus itu mereka
mendapat kenyataan bahwa dua rombongan orang telah berada di situ,
mendahului mereka”
“Ha-ha-ha, kalian terlambat, sehabat-sahabat Kun-lun-pai” Siapa
terlambat takkan dapat, bukankah begitu kata peribahasa, Ang Kun
Toyu?” tegur seorang laki-laki pendek gendut berusia enam puluhan,
berpakaian sebagai petani sederhana dengan kepala dilindungi caping
lebar. Di belakang si gendut ini berdiri enam orang petani lain,
kesemuanya sudah lima puluh lewat usianya, sikap mereka sederhana
seperti pakaian mereka, namun jelas tampak kegagahan pada pandang
mata mereka.
“Siancai.. siancai..” Ang Kun Tojin mengucapkan puja-puja sambil
merangkapkan kedua tangan ke depan dada memberi hormat, diikuti
oleh empat orang adik seperguruannya. “Tidak dinyana sahabat Kok Bin
4
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Cu dari Hoa-san-pai sudah hadir. Selamat Musim Semi, Sicu (Orang
Gagah).”
“Ha-ha-ha, selamat.. selaimat, Toyu. Semoga kalian panjang usia,
penuh bahagia dan makin subur makmur dan kokoh kuat.” Si Gendut
yang bernama Kok Bin Cu dan menjadi murid kepala Hoa-san-pai itu
balas memberi hormat, diturutoleh enam orang adik seperguruannya.
“Juga pinto menghaturkan selamat kepada Leng Lo Suhu dan para
Suhu dari Bu-tong-pai.” kata pula Ang Kun Tojin sambil memberi hormat
kepada rombongan ke dua yang di sebelah kiri. Rombongan ini terdiri
dari empat orang hwesio berkepala gundul yang bersikap pendiam dan
dingin. Mereka dipimpin oleh seorang hwesio tua, usianya sekitar tujuh
puluh tahun, bertubuh tinggi tegap dan kelihatan masih kuat, jubahnya
berwarna kuning, tanda bahwa dia adalah seorang hwesio yang sudah
mencapai tingkat tinggi.
Memang sesungguhnya, Leng Lo Hwesio adalah murid kepala dan
menjadi orang ke dua dari Bu-tong-pai, selain ilmu silatnya amat tinggi,
juga pengetahuannya tentang Agama Buddha amat mendalam.
“Omitobud..” Leng Lo Hwesio cepat membalas penghormatan
rombongan Kun-lun-pai ini, diturut oleh tiga orang adik seperguruannya.
“Para saudara Toyu dari Kun-lun-pai amat ramah, semoga dilimpahi
berkah oleh Sang Buddha..”
Murid kepala Hoa-san-pai yang bertubuh pendek gendut itu adalah
seorang tua yang gembira sikapnya, suka berkelakar dan ia memandang
dunia ini dari sudut yang menggembirakan. Berbeda dengan
rombongan-rombongan Kun-lun dan Bu-tong, yang bersikap serius dan
pendiam sehingga keadaan di situ menjadi kaku dan dingin. Mungkin hal
ini adalah karena kedua golongan ini telah menjadi pendeta sehingga
mereka pun harus menyesuaikan sikap sebagaimana layaknya para
pendeta, yaitu alim dan suci” Murid-murid Hoa-san-pai adalah penganut
Agama To pula, akan tetapi mereka bukanlah tosu, bukan pendeta
agama ini, melainkan penganut biasa dan hidup mereka sehari-hari
adalah sebagai petani.

No comments:

Post a Comment