Wednesday, February 8, 2017

Cinta Bernoda Darah 01 - Mini Serial #27

Cinta Bernoda Darah 01 #27
Cerita Silat Kho Ping Hoo: Cinta Bernoda Darah 01 - Mini Serial #27
=========================================
Jawaban teriakan Lin Lin ini adalah suara ketawa yang disusul
munculnya seorang laki-laki tua berpakaian pengemis. Kaki kiri kakek
pengemis ini buntung, sebagai penggantinya ia memegang sebatang
tongkat panjang, tongkat yang bengkak-bengkok seperti tubuh ular.
Pakaiannya yang penuh tambalan itu serba lorek dan belang-belang
seperti kulit ular. 

Ketika Lin Lin memandang penuh perhatian, baginya muka orang itu pun mirip muka ular”
“Hemmm, kiranya Sin-coa-kai (Pengemis Ular Sakti) yang main-main
dengan kami” kata Bok Liong dengan suara mengejek. Ia sudah
mendengar tentang pengemis ini yang merupakan kepala atau pimpinan
dari serombongan pengemis yang suka mengumpulkan racun ular den
menjualnya pada toko-toko obat. Sebagai ahli menangkap ular berbisa,
tentu saja pengemis ini amat lihai, malah julukannya juga Pengemis Ular
Sakti” Akan tetapi, ia pun sudah mendengar akan praktek-praktek jahat
yang dilakukan pengemis ini dan rombongannya, yaitu menjual racunracun
ular pada penjahat-penjahat untuk maksud-maksud keji. Maka ia
memandang rendah dan mengejek.
“Ha-ha-ha, orang muda bermata tajam, kiranya mengenal pula Sincoa-
kai” Ha-ha, kalau sudah mengenal nama dan mengetahui
kelihaianku, lebih baik menyerah agar kuserahkan kalian kepada Sumakongcu.
Heh, pantas saja Suma-kongcu berusaha keras untuk
menangkap kalian, kiranya ada bidadari ini yang begini denok dan can..”
“Swinggggg..”
Pengemis itu berteriak kaget dan menjatuhkan diri bergulingan ke
atas tanah ketika tiba-tiba pedang di tangan Lin Lin menyambar,
merupakan sinar kuning yang secepat kilat menerima leher pengemis
itu.
“Lin-moi, awas belakang..” Bok Liong memperingatkan, khawatir
kalau gadis itu terlalu bernafsu dan marah mengejar Si Pengemis
Buntung. Betul saja dugaannya, Si Buntung itu tidak datang sendiri,
melainkan bersama tujuh orang pembantunya. Pada saat itu, dari
tempat-tempat gelap melompat bayangan orang dan terdengar suara
mendesis-desis dari semua penjuru. Lin Lin kaget dan terpaksa menunda
231
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
pengejarannya kepada Sin-coa-kai. Sepasang matanya yang tajam itu
terbelalak ketika melihat puluhan ekor ular api merayap datang dari
depan dan belakang, digiring oleh Sin-coa-kai dan teman-temannya.
“Lin-moi, serbu..”
Bok Liong sambil memutar pedangnya dan menerjang maju. Lin Lin
mengikuti sepak terjang Bok Liong dan dua orang muda itu dengan
gagah menghadapi ular-ular yang telah menjadi nekat karena telah
diberi obat perangsang oleh Sin-coa-kai. Dalam beberapa detik saja
bangkai ular bergelimpangan diterjang pedang Lin Lin dan Bok Liong.
Akan tetapi kini Sin-coa-kai dan teman-temannya mulai menyerang
dari lain jurusan, menggunakan tongkat-tongkat ular yang panjang
seperti toya. Lin Lin dan Bok Liong tentu saja tidak gentar, melawan
dengan hebat. Akan tetapi mereka menjadi sibuk juga karena ular-ular
itu kini menjadi makin banyak, merayap-rayap mengerikan.
“Lin-moi, ikuti aku, ke atas pohon” kembali Bok Liong memberi tahu
temannya. Sambil memutar pedang untuk menjaga diri dari sambaran
tongkat lawan, mereka mengerahkan gin-kang dan melayang ke atas
pohon. Akan tetapi terdengar suara ketawa Sin-coa-kai disusul teriakan
kaget kedua orang muda itu yang cepat-cepat melayang turun kembali
karena pohon itu pun penuh dengan ular hijau yaitu ular daun yang
biarpun tidak beracun namun cukup menjijikkan dan galak”
“Ha-ha-ha-ha, apakah kalian tidak menyerah saja?”
“Menyerah kepalamu” bentak Lin Lin sambil menerjang penuh
amarah. Terjangannya hebat sekali, biarpun Si Buntung berhasil
menghindarkan bahaya dengan jalan menggulingkan diri, namun
seorang pembantunya terbabat pedang sehingga putus lengan kirinya”
Sin-coa-kai memaki marah, lalu bersuit keras. Hebat akibatnya. Ularular
itu seperti menjadi gila mendengar suitan ini dan menyerbu lebih
ganas daripada tadi. Kewalahan juga Lin Lin dan Bok Liong menghadapi
ular-ular kalap itu, apalagi tongkat-tongkat para pengemis masih selalu
mengancam dan mencari kesempatan baik.
Pada saat itu, tampak asap tipis dan tercium bau yang pedas.
Seketika kedua mata Lin Lin dan Bok Liong mengeluarkan air mata”
232
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Inilah semacam asap beracun yang dilepas oleh Sin-coa-kai” Terbuat
daripada daun-daun dicampur racun ular lalu dibakar. Asap daripada
ramuan ini merupakan asap beracun yang akan membuat setiap orang
lawan mengeluarkan air mata, semacam “gas air mata” model kuno”
Para pengemis sendiri tentu saja sudah memakai obat pemunah
sehingga mereka tidak terpengaruh.
“Celaka..” teriak Bok Liong. “Lin-moi, kita membuka jalan mata”
Mereka berusaha sedapat mungkin untuk membuka kedua mata yang
terus bercucuran air mata, pedang di tangan mereka gerakkan otomatis
menjaga tubuh. Akan tetapi, teringat akan ular-ular yang menyerang
kaki mereka, kedua orang muda itu menjadi bingung, tidak berani
melangkah keluar dari tempat itu.
Tiba-tiba terdengar pekik Sin-coa-kai marah,
“Heeeiiiii, bedebah” Siapa berani main-main dengan ular-ularku?”
Akan tetapi bentakan ini disusul rintihan Si Buntung itu. Asap yang
memerihkan mata juga tidak menyerang lagi.
Lin Lin dan Bok Liong masih terus memutar pedang menjaga diri.
Setelah mata mereka tidak pedas lagi dan dapat dibuka, barulah mereka
mendapat kenyataan bahwa keadaan mereka itu amat lucu. Di depan
tidak ada musuh, bangkai ular bertumpuk-tumpuk di sana-sini, dan
mereka tadi masih terus bersilat memutar pedang”
Muka Bok Liong menjadi merah sekali.
“Wah, alangkah tolol kita. Sudah ada orang sakti menolong, ular-ular
mati dan semua pengemis diusir pergi, dan kita masih terus main
pedang seperti wayang tanpa penonton”
“Lagi-lagi penolong tak diundang” Kalau memang sudah menolong,
kenapa tidak mau memberi tahu sehingga kita menjadi tontonan yang
mentertawakan? Benar-benar dia memandang rendah”
“Eh, Lin-moi. Berkali-kali dia menyelamatkan nyawa kita, kenapa kau
malah marah-marah? Mana bisa kita menjadi tontonan kalau di sini tidak
ada siapa-siapa yang akan menonton kita? Sebaliknya kita harus
berterima kasih kepada pendekar sakti dan menol..”
233
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
“Siapa bilang tidak ada penonton? Apa kaukira dia itu tidak sedang
terkekeh-kekeh mentertawakan kita yang bersilat sendiri melawan
angin? Benar-benar kau tolol dan dapat dipermainkan orang, Twako”
Bok Liong tersenyum. Baru berkenalan sebentar saja, sikap gadis ini
sudah amat intim, tidak ragu-ragu mengecapnya tolol segala” “Jadi kau
tidak berterima kasih kepadanya, Moi-moi?”
“Tidak” Aku tidak minta dia tolong, perlu apa berterima kasih?”
“Habis, andaikata dia muncul di depanmu, kau mau apa
terhadapnya?”
“Mau apa? Menebus penghinaan ini di ujung pedang, apa lagi?”
“Penghinaan?”
“Dia menolong tanpa diundang, bergerak secara sembunyi, ini berarti
mempermainkan kita dan amat memandang rendah, apakah yang begini
masih belum patut dikatakan penghinaan?”
Tiba-tiba Bok Liong meloncat ke kiri, menyingkap alang-alang sambil
berseru,
“Harap Locianpwe sudi menjumpai kami..” Akan tetapi ia kecewa
karena di belakang alang-alang itu tidak ada siapa-siapa.
“Eh, apa kau masih terus bermain sandiwara setelah bertanding
pedang angin tadi, Twako? Siapa yang kauajak bicara?”
Bok Liong menggeleng-gelengkann kepalanya.
“Jelas benar tadi kulihat bayangan orang di sini” Malah ketika aku
melompat sampai di sini, masih kudengar elahan napasnya” Heran
benar..”
“Sudahlah, Twako. Kau lagi-lagi melihat serta mendengar setan.”
“Benar, Lin-moi. Kalau dia tidak mau menemui kita, dicari juga sia-sia.
Mari kita lanjutkan perjalanan, siapa tahu Suma-kongcu masih
mempunyai banyak kaki tangan yang hanya akan mengganggu kita.
Lebih cepat sampai di kota raja lebih baik. Kota raja sudah dekat dan
sekarang pagi.”
234
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Keduanya lalu berlari meninggalkah tempat itu. Lin Lin bergidik
melihat bangkai banyak ular menggeletak di sana-sini, anehnya,
sebagaian besar bangkai-bangkai itu pecah kepalanya. Padahal ia tahu
benar bahwa pedangnya dan pedang Bok Liong tak mungkin bisa
membikin kepala ular remuk, paling-paling membuntungi leher. Diamdiam
ia kagum juga akan kepandaian orang yang telah menolong
mereka, akan tetapi hatinya tetap tidak puas. Orang itu sombong,
pikirnya.
Dugaan Bok Liong memang benar. Yang memenuhi permintaan Suma
Boan untuk mencoba menangkap dua orang muda itu ada tiga
rombongan. Pertama adalah rombongan Hui-houw-kai-pang, rombongan
ke dua adalah rombongan Sin-coa-kai-pang. Adapun ke tiga hanya terdiri
dari seorang saja. Orang ini adalah seorang tokoh perkumpulan
pengemis dari daerah barat yang bemama Hek-i Lo-kai (Pengemis Tua
Baju Hitam). Kepandaian ilmu silatnya tidaklah terlalu tinggi biarpun ia
cukup lihai dibandingkan dengan tokoh-tokoh lain, akan tetapi yang
membuat ia amat terkenal adalah kelicikan dan kecurangannya. Ia
pandai bicara, pandai bersandiwara dan selain ini ia pun memiliki
kepandaian membuat obat peledak yang sukar dapat dilawan oleh
seorang ahli silat tinggi sekali pun.
Obat peledak itu mengandung racun dan pecahan-pecahan besi
berkarat yang amat berbahaya. Semacam granat model kuno”
Mengandalkan kecerdikannya, Hek-i Lo-kai ini beroperasi sendirian saja,
tidak suka ramai-ramai main keroyokan. Ketika mendengar perintah
Suma Boan, ia tergesa-gesa melakukan pengejaran. Karena mendengar
bahwa dua orang muda itu lihai dan sedang menuju ke kota raja, ia
tidak mau berlaku sembrono seperti dua rombongan yang telah gagal
itu, melainkan mendahului pergi ke kota raja dan menanti di luar tembok
kota raja.
Demikianlah, ketika Lin Lin dan Bok Liong tiba di luar kota raja, hari
telah menjelang siang. Di luar pintu gerbang mereka melihat seorang
kakek pengemis duduk bersila di alas tanah di dekat jalan raya, matanya
yang meram terus itu agaknya buta, kedua tangannya ditelentangkan di
depan dada dan mulutnya tiada hentinya minta-minta kepada orang
235
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
yang lewat di jalan itu. Beberapa potong uang tembaga telah
diperolehnya, bertebaran di depannya.
Melihat seorang pengemis, Bok Liong curiga. Ia menyentuh tangan
Lin Lin dan memberi isyarat dengan matanya. Lin Lin menoleh dan
tersenyum.
“Twako, kau benar-benar seperti seekor burung yang hampir terkena
anak panah, menjadi ketakutan pada bayangan sendiri. Masa setelah
gangguan para pengemis itu, sekarang kalau melihat setiap orang
pengemis kau lalu mencurigainya? Hi-hik, lucu” Dia itu benar-benar
seorang gembel. Lihat, dia betul-betul minta-minta, wajahnya pucat
matanya buta. Eh.. lihat.. dia sakit, Twako..”
Benar kata-kata Lin Lin itu. Pengemis tua berbaju hitam kotor itu
merintih-rintih, memegangi perutnya, mukanya menjadi pucat sekali,
matanya yang buta mendelik tampak putihnya saja.
“Ahhh.. auuuhhhhh.. aduh, mati aku..” keluhnya perlahan, keringat
besar-besar memenuhi mukanya.
Seorang pedagang tahu yang memikul tahang (keranjang kayu) yang
sedang kosong dan sedang menuju pulang ke desanya di luar kota,
berhenti di depan pengemis itu, memandang penuh iba.
“Lopek, kau kenapa?”
Pengemis itu mengeluh dan meringis kesakitan, nyata amat sukar ia
mengeluarkan suara menjawab.
“Aduhhh.. napasku.. sesak.. terpukul.. kumat lagi.. sesak.. auuughhh”
Kakek pengemis itu muntahkan darah segar” Si penjual tahu kaget dan
makin iba.
“Wah, kau sakit berat, Lopek. Ah, bagaimana baiknya?” Beberapa
orang yang kebetulan lewat, hanya menengok lalu melanjutkan
perjalanan mereka. Siapa mau peduli akan nasib seorang gembel tua?
Pedagang tahu itu merasa kasihan karena ia sendiri pun seorang miskin,
tentu saja ia dapat merasai penderitaan gembel ini.
Sebagai ahli-ahli silat kelas tinggi, tentu saja Lin Lin dan Bok Liong
maklum apa artinya keadaan kakek itu. Kakek itu menderita luka dalam
236
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
dan keadaan amat berbahaya. Lukanya mengeluarkan darah dan tentu
akan menutup pernapasannya kalau tidak dihentikan. Cara
menghentikannya tentu dengan menotok jalan darah di punggung dan
mengurut urat di dada dan leher.
Lin Lin adalah seorang gadis remaja yang wataknya polos dan juga
aneh. Ia mudah tersinggung, perasaannya halus, mudah marah mudah
gembira, mudah kasihan mudah membenci. Dengan langkah lebar ia
menghampiri kakek itu, tidak peduli lagi akan pencegahan Bok Liong.
“Kakek, kau terluka di dalam, biar kutolong kau..” kata Lin Lin.
“Auhhhhh.. oohhh.. terima kasih..”
Lin Lin segera menghampiri punggung kakek itu, menotoknya dengan
dua jari tangannya. Gerakannya gesit sekali dan kedua jarinya amat kuat
sehingga sekali menotok saja ia berhasil. Kakek itu meringis kesakitan
dan napasnya bertambah sengal-sengal. Lin Lin menjadi gugup, cepat ia
mengulur tangan hendak meraba leher dan mengurut dada. Tiba-tiba
tangan kakek itu yang tadinya menekan-nekan perutnya, bergerak cepat
dan tampak sinar berkilat ketika tangan yang telah mencabut pedang
pendek ini menusuk ke arah dada Lin Lin”
“Keparat”
Bok Liong yang sudah waspada cepat menerjang maju dan mengirim
tendangan, sedangkan Lin Lin yang menjadi kaget sekali namun tak
kehilangan akal segera membuang diri ke belakang sambil berjungkirbalik.
Tendangan Bok Liong keras sekali, membuat tubuh kakek
pengemis itu terpental dan bergulingan sampai sepuluh meter jauhnya,
pedang pendeknya terlempar entah ke mana. Akan tetapi kakek
pengemis yang sekarang sudah tidak buta lagi itu, mengeluarkan dua
buah benda sebesar kepalan tangan.
Pada saat itu, dari barat datang seekor kuda membalap cepat.
Penunggangnya seorang pemuda berpakaian hitam, jubah panjang
berwarna hitam menutup celana sutera putih. Tepat sekali kudanya
datang lewat ketika kakek pengemis yang bukan lain adalah Hek-i Lo-kai
itu melontarkan dua buah granathya ke arah Lin Lin dan Bok Liong.
“Tiarap semua..”
237
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
Nyaring sekali suara ini dan tubuh jangkung di atas kuda itu
menyambar ke arah dua buah alat peledak, sekali sambar dua buah
benda berbahaya itu telah berhasil ia tangkap” Bukan main hebatnya
gerakan ini, terlihat oleh Lin Lin dan Bok Liong yang otomatis sudah
rebah di atas tanah. Kuda itu berhenti sebentar dan penunggangnya
menoleh ke arah Hek-i Lo-kai yang berdiri dengan muka pucat dan
kedua kaki menggigil.
“Am.. pun.. ampunkan..”
“Hek-i Lo-kai, kali ini tidak ada ampun” Tampak sinar hitam dari
cambuk di tangan penunggang kuda itu bergerak, terdengar suara “tartar-
tar” tiga kali dan robohlah Hek-i Lo-kai” Penunggang kuda itu
membedal kudanya, tanpa bicara sesuatu kudanya membalap memasuki
pintu gerbang. Akan tetapi, setibanya di pintu gerbang, penunggangnya
menoleh ke arah Lin Lin.
Lin Lin dan Bok Liong melompat bangun dan menghampiri Hek-i Lokai
yang merintih-rintih dan mencoba bangun. Alangkah kaget dan ngeri
hati Lin Lin dan Bok Liong melihat betapa punggung kakek itu telah
melengkung dan di situ tampak tiga garis melintang berwarna hitam,
menembus baju, kulit dan daging sampai tampak tulangnya”
“Aduh.. ampun.. Suling Emas..”
Mendengar ini, Lin Lin dan Bok Liong terkejut. Terutama Lin Lin. Jadi
penunggang kuda yang gagah perkasa, seorang laki-laki yang belum
tua, tampan dan gagah, dia tadi Suling Emas?
“Gembel tua jahat, kaubilang dia Suling Emas? Betulkah itu?” Lin Lin
bertanya.
“Sul.. Suling Emas.. tak kenal.. ampun..” Kakek ini roboh lagi, muntah
darah dan tanpa berkelojotan lagi ia menghembuskan napas terakhir”
Melihat terjadi peristiwa pembunuhan, si pedagang tahu cepat-cepat
mengangkat pikulannya dan pergi meninggalkan tempat itu juga mereka
yang menyaksikan peristiwa itu segera pergi dari situ setelah mendengar
disebutnya nama Suling Emas. Nama ini meyakinkan mereka bahwa
kakek gembel yang tadi pura-pura buta dan mengemis, tentulah seorang
penjahat besar.
238
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
“Berbahaya..” kata Bok Liong. “Dia ini kiranya Hek-i Lo-kai dan
tentulah dua buah benda tadi adalah dua senjata peledak yang kalau
tadi tidak disambar Suling Emas, tentu menghancurkan tubuh kita
berdua. Hebat..”
Tiba-tiba seorang hwesio muda menghampiri mereka dan memberi
hormat. Hwesio muda inilah satu-satunya orang yang tidak pergi dan
sejak tadi ia menatap wajah Lin Lin.
“Maaf kalau pinceng mengganggu. Apakah Lihiap yang bernama Kam
Lin Lin?”
Lin Lin menengok, tercengang dan Bok Liong sudah mengerutkan
kedua alisnya yang tebal, siap menghadapi segala kemungkinan. Dalam
keadaan seperti itu, ia menaruh curiga kepada setiap orang.
“Maaf,” kata hwesio itu lagi, “tentu Lihiap merasa heran, akan tetapi
pinceng mencari Lihiap atas suruhan Nona Kam Sian Eng. Menurut
gambarannya, Lihiap tentu yang bernama Kam Lin Lin, hanya entah,
apakah Sicu ini yang bernama Kam Bu Sin..”
Lenyap kecurigaan kedua orang muda itu. Malah Lin Lin berjingkrak
gembira sambil bertanya, “Di manakah Enci Siang Eng?”
“Silakan Ji-wi ikut pinceng, dia berada di kelenteng kami.”
“Bagaimana dia? Selamatkah? Dan di mana Sin-ko? Bagaimana Enci
Sian Eng bisa berada di kelentengmu?”
Diberondong pertanyaan-pertanyaan ini, hwesio itu hanya tersenyum,
lalu menjawab.
“Tidak leluasa kita bicara di tengah jalan. Marilah, nanti di kelenteng
tentu Ji-wi akan mendengar sejelasnya dari Nona Sian Eng sendiri.”
Mereka bertiga segera memasuki kota raja dan menuju ke kelenteng.
Lin Lin yang sudah tidak sabar itu lari saja memasuki kelenteng hampir
menabrak seorang hwesio tua yang menyapu lantai sehingga hwesio itu
menggeleng-geleng kepalanya dan mulutnya bersungut-sungut,
“Omitohud.. cantik liar, jangan-jangan siluman musang..”
Pada saat itu, Sian Eng keluar dari ruangan dalam. Melihat siapa
orangnya yang berlari-lari datang dari luar, ia berteriak girang dan lari
239
Sumber: http://adf.ly/2Bl5
menyambutnya. Di lain saat enci adik itu sudah saling rangkul dan saling

cium sambil tertawa-tawa gembira.
Bersambung...

No comments:

Post a Comment