Hantaman-hantaman itu amat kuat dan
membuat dada Han Han terasa sesak, kepalanya pening dan hal ini menambah
kemarahannya melihat adiknya diculik Ouwyang Seng. Ia menjadi nekat dan ketika
dua orang kakek itu kembali menyerangnya dari kanan kiri, ia mengeluarkan pekik
melengking dan mengerahkan seluruh sin-kangnya menyalurkan Hwi-yang Sin-ciang
di tangan kiri menghantam Ma-bin Lo-mo sedangkan tangan kanannya dengan hawa
Swat-im Sin-ciang menghantam Gak Liat. Ia balas memukul tanpa mempedulikan
datangnya pukulan kedua lawan itu. Karena ia menyalurkan sin-kang secara
terbalik dan dengan demikian sekaligus menghadapi kedua lawan itu dengan dua
macam tenaga yang berlawanan sehingga keras bertemu keras, terjadilah tabrakan
tenaga sakti yang luar biasa sekali.
“Desssss....”
Gak Liat dan Ma-bin Lo-mo seketika
muntahkan darah segar dari mulut mereka akan tetapi Han Han sendiri yang
terhimpit oleh dua tenaga raksasa itu roboh pingsan”
Kang-thouw-kwi Gak Liat dan Ma-bin Lo-mo
Siangkoan Lee cepat duduk bersila untuk mencegah terluka di dalam dada mereka.
Sepuluh menit kemudian mereka sudah bergerak kembali dan keduanya memandang Han
Han sambil menggeleng-geleng kepala.
“Dia luar biasa sekali, Setan Botak,”
Ma-bin Lo-mo berkata perlahan.
“Hemmm, kalau tidak mengalami sendiri
mana aku bisa percaya?” jawab Gak Liat dan keduanya cepat menghampiri Han Han
yang masih rebah pingsan.
Biarpun tidak terluka parah, akan tetapi
setelah siuman kembali Han Han merasa betapa seluruh tubuhnya lemas sekali
saking lelahnya. Dia tahu bahwa dia telah tertotok dan dia tidak ingin mencoba
untuk membebaskan diri, maklum bahwa di tangan kedua orang kakek itu percuma
saja baginya untuk melawan. Namun, menyerahkan pun tidak ada sedikit juga di
dalam hatinya. Ia memandang kakek-kakek yang duduk di dekatnya lalu berkata.
“Kalian telah mengalahkan aku, tidak
lekas bunuh mau apa lagi?” Suaranya terdengar dingin sekali dan sedikit pun
tidak kelihatan gentar sehingga kedua orang kakek datuk golongan hitam itu
menjadi kagum.
“Han Han, mengapa engkau amat keras
kepala? Kami tidak ingin membunuhmu.”
“Benar, Han Han. Engkau masih amat muda,
tidak sayangkah kalau membuang nyawa secara sia-sia?”
Mendengarkan ucapan kedua orang kakek
ini yang halus dan seolah-olah menyayangnya, rasa dada Han Han menjadi makin
sesak karena marah. Ia mengerti betul bahwa dua orang kakek itu adalah
datuk-datuk golongan hitam yang amat kejam, yang kini bersikap halus kepadanya
karena ada pamrihnya, sikap yang palsu seperti desis dua ekor ular.
“Sudahlah, bosan aku mendengarnya.
Kalian sama-sama menghendaki aku bicara tentang Pulau Es, bukan? Sudahlah,
percuma saja bicara. Aku tidak mau bicara dan kalau kalian mau bunuh, bunuh
saja. Aku tidak takut mati”
Gak Liat dan Siangkoan Lee saling
memandang. Dalam bertemu pandang itu keduanya bersepakat cara apa yang harus
mereka pergunakan. Membujuk bocah yang berhati baja ini akan sia-sia, jalan
satu-satunya adalah paksaan dengan jalan penyiksaan.
No comments:
Post a Comment