Monday, July 16, 2012

Pendekar Super Sakti 1

Anak laki-laki berusia kurang lebih sepuluh tahun itu mengintai dari kaca jendela dengan muka marah, mata merah dan gigi berkerot saking marah dan sedihnya menyaksikan keadaan di ruangan dalam rumah gedung ayahnya. Ruangan itu luas dan terang-benderang, suara tetabuhan musik terdengar riuh di samping gelak tawa tujuh orang pembesar Mancu yang sedang dijamu oleh ayahnya. Dari luar jendela ia tidak dapat menangkap suara percakapan yang diselingi tawa itu karena amat bising bercampur suara musik, akan tetapi menyaksikan sikap ayahnya terhadap para tamu pembesar itu, anak ini menjadi marah dan sedih. Ayahnya bicara sambil membungkuk-bungkuk, muka ayahnya yang biasanya bengis terhadap para pelayan dan angkuh terhadap orang lain, kini menjadi manis berlebih-lebihan, tersenyum-senyum dan mengangguk-angguk, bahkan dengan kedua tangan sendiri melayani seorang pembesar yang brewok tinggi besar, menuangkan arak sambil membungkuk-bungkuk.

Ayahnya yang dipanggil ke kanan kiri oleh para pembesar, menjadi gugup dan kakinya tersandung kaki meja, guci arak yang dipegangnya miring, isinya tertumpah dan sedikit arak menyiram celana dan sepatu seorang pembesar lain yang bermuka kuning. Anak itu dari luar jendela melihat betapa pembesar ini melototkan mata, mulutnya membentak-bentak dan tangannya menuding-nuding ke arah sepatu dan celananya. Ayahnya cepat berlutut dan menggunakan ujung bajunya menyusuti sepatu dan celana itu sambil mengangguk-angguk dan bersoja seperti seekor ayam makan padi” Tak terasa lagi air mata mengalir keluar dari sepasang mata anak laki-laki itu, membasahi kedua pipinya dan ia mengepalkan kedua tangannya. Ia marah dan sedih, dan terutama sekali, ia malu” Ia malu sekali menyaksikan sikap ayahnya.

Mengapa ayahnya sampai begitu merendahkan diri? Bukankah ayahnya terkenal sebagai Sie-wangwe (Hartawan Sie) yang amat kaya raya dan disegani semua orang, bukan hanya karena kaya rayanya, melainkan juga karena ia terkenal pula dengan nama Sie-siucai (Orang Terpelajar Sie). Ayahnya hafal akan isi kitab-kitab, bahkan dia sendiri telah dididik oleh ayahnya itu menghafal dan menelaah isi kitab-kitab kebudayaan, dan kitab-kitab filsafat. Semenjak berusia lima tahun, dia telah belajar membaca, kemudian membaca kitab-kitab kuno dan oleh ayahnya diharuskan mempelajari isi kitab-kitab itu yang menuntun orang mempelajari hidup dan kebudayaan sehingga dapat menjadi seorang manusia yang berguna dan baik. Akan tetapi, mengapa setelah kini menghadapi pembesar-pembesar Mancu, ayahnya menjadi seorang penjilat yang begitu rendah? Anak itu bernama Han, lengkapnya Sie Han dan panggilannya sehari-hari adalah Han Han. Dia putera bungsu Keluarga Sie, karena Sie Bun An yang disebut Hartawan Sie atau Sastrawan Sie hanya mempunyai dua orang anak. Yang pertama adalah seorang anak perempuan, kini telah berusia tujuh belas tahun, bernama Sie Leng. Han Han adalah anak ke dua. Pada saat itu, Han Han yang mengintai dari balik kaca jendela, melihat ayahnya sudah bangkit kembali, agaknya mendapat ampun dari pembesar muka kuning, dan kini menghampiri pembesar brewok yang sudah setengah mabuk dan memanggilnya. Pembesar brewok itu berkata-kata kepada ayahnya dan ia melihat betapa ayahnya menjadi pucat sekali dan menggeleng-gelengkan kepala. Akan tetapi pembesar brewokan itu menggerakkan tangan kiri dan.... ayahnya terpelanting roboh. Han Han hampir menjerit. Ayahnya telah ditampar oleh pembesar brewok itu” Dan semua pelayan yang membantu melayani tujuh orang pembesar itu berdiri dengan muka pucat dan tubuh menggigil. Tujuh orang pembesar Mancu kini tertawa-tawa dan riuh-rendahlah mereka bicara, agaknya memaki-maki ayahnya dan mendesak ayahnya melakukan sesuatu. Si Pembesar Muka Kuning sekarang menggerakkan tangan sambil berdiri dan ia telah mencabut pedangnya. Dengan gerakan penuh ancaman pembesar muka kuning itu menusukkan pedangnya sehingga ujung pedang menancap di atas meja, berdiri dengan gagang bergoyang-goyang mengerikan. Han Han membelalakkan matanya dan ia menyelinap turun dari tempat pengintaiannya, kini ia menjenguk dari pintu belakang, terus masuk dan akhirnya ia berhasil masuk tanpa diketahui, berada di ruangan dalam itu, bersembunyi di balik tirai kayu, di mana ia dapat mengintai dan juga dapat mendengarkan percakapan mereka. “Sie Bun An” terdengar pembesar brewok membentak sambil menundingkan telunjuknya kepada sastrawan itu yang sudah berlutut dengan tubuh menggigil dan muka pucat, “Apakah engkau masih berani membantah dan tidak memenuhi perintah kami?” Suaranya terdengar lucu karena kaku dan pelo ketika bicara dalam bahasa Han. “Kaukira kami ini orang-orang macam apa? Kami bukan serdadu-serdadu biasa, tahu? Apa artinya penyanyi-penyanyi dan pelacur-pelacur ini?” Si Muka Kuning menunjuk ke arah para wanita sewaan yang memang disediakan di situ untuk melayani dan menghibur mereka. “Kami adalah pembesar-pembesar militer dan sudah baik kalau kami tidak menghancurkan rumahmu. Hayo keluarkan isteri dan puterimu” “Ha-ha-ha” Aku mendengar Nyonya Sie dan puterinya amat cantik manis” berkata seorang pembesar lain yang perutnya gendut tapi kepalanya kecil. “Suruh mereka melayani kami, baru kami percaya bahwa engkau benar-benar tunduk dan taat kepada pemerintah baru, bangsa Mancu yang jaya” kata pula seorang pembesar lain yang kurus kering. “Tapi.... tapi....” Suara ayahnya sukar terdengar karena menggigil dan perlahan, kepalanya digeleng-geleng, kedua tangannya diangkat ke atas. “Hal itu ti.... tidak mungkin.... ampunkan kami, Taijin....” Melihat ayahnya meratap seperti itu, air mata Han Han makin deras keluar membasahi pipinya. Bukan hanya sedih karena kasihan, melainkan terutama sekali karena malu dan kecewa. Ia tahu banyak keluarga di kota itu yang pergi mengungsi sebelum kota itu terjatuh ke tangan bangsa Mancu, mengungsi dan meninggalkan rumah serta hartanya. Akan tetapi ayahnya tidak mau meninggalkan kota, rupanya sayang kepada hartanya dan percaya bahwa kalau ia bersikap baik dan suka menyuap kepada bangsa Mancu, ia akan dapat hidup aman di situ. “Kau membantah? Kalau begitu kau memberontak terhadap kami, ya? Hukumannya penggal kepala” Si Perwira Muka Kuning bangkit dari kursinya, mencabut pedang yang menancap di atas meja dan mengangkat pedang itu, siap memenggal kepala Sie Bun An yang masih berlutut. Semua pelayan yang hadir, termasuk penabuh musik dan wanita-wanita sewaan, menjadi pucat dan mendekap mulut sendiri agar tidak menjerit. Han Han dari balik tirai memandang dengan mata melotot. “Tahan....” Terdengar jerit dari dalam dan muncullah Sie-hujin (Nyonya Sie) berlari dari dalam. “Mohon para Taijin yang mulia sudi mengampuni suami hamba....” Biarlah hamba melayani Taijin....” Tujuh orang perwira Mancu itu menoleh dan berserilah wajah mereka. Perwira muka kuning menyeringai dan menyarungkan kembali pedangnya, kemudian sekali tangan kirinya bergerak, ia telah menyambar pinggang Nyonya Sie dan dipeluk, terus dipangkunya sambil tertawa-tawa. “Benar cantik....” Masih cantik, montok dan harum....” Hemmm....” Perwira muka kuning itu tidak segan-segan lalu mencium pipi dan bibir nyonya itu yang saking kaget, takut dan malunya hanya terbelalak pucat. Memang Nyonya Sie adalah seorang wanita cantik. Biarpun usianya sudah tiga puluh lima tahun, akan tetapi tubuhnya yang terawat baik itu masih padat, wajahnya yang memang jelita tampak lebih matang menggairahkan. Para perwira lainnya tertawa bergelak menyaksikan betapa perwira muka kuning itu mendekap dan mencium sesuka hatinya, seolah-olah di situ tidak ada orang lain lagi, sedangkan para pelayan yang melihat betapa nyonya majikan mereka yang terhormat diperlakukan seperti itu, menggigil dan menundukkan muka tidak berani memandang. Sie Bun An sendiri yang masih berlutut, memandang dengan muka pucat seperti kertas dan ia tidak dapat bergerak, seolah-olah telah berubah menjadi arca batu. “Taijin.... ampun....” Nyonya Sie megap-megap karena sukar ia bicara dengan bibir diciumi secara kasar seperti itu. “.... lepaskan.... ohhh, ampun, saya.... adalah wanita baik-baik....” Sebagai jawaban, perwira muka kuning itu tertawa dan mencubit dagunya yang halus. “Karena wanita baik-baik, aku suka padamu, manis. Hayo kau minum arak ini untuk menyambut aku, ha-ha-ha” Perwira itu menyambar cawan araknya yang masih penuh, lalu memaksa nyonya itu minum. Nyonya Sie hendak menolak, akan tetapi dipaksa sehingga sebagian arak memasuki mulut, sebagian tumpah mengenai pakaiannya. Arak merah itu membuat pakaiannya yang putih seperti terkena darah. Han Han menggigil seluruh tubuhnya, jantungnya berdebar dan ia mengepal tinju dengan air mata bercucuran. Ia hendak melompat maju menolong ibunya, akan tetapi pada saat itu, ia tertarik oleh tingkah perwira brewok yang meloncat berdiri. Gerakannya amat gesit sehingga amat janggal bagi tubuhnya yang tinggi besar dan perutnya yang seperti gentong gandum. “Ha-ha-ha, kalau ibunya matang dan denok seperti ini, tentti puterinya ranum dan segar. Cocok untukku” Biar kujemput dia” Sambil berkata demikian, perwira brewok itu sambil tertawa-tiwa melangkah masuk melalui pintu dalam. “Ha-ha-ha, baik sekali” Jemput dia, jemput dia....” sorak perwira lain. “Ohhh, uuuhhhhh....” Nyonya Sie meronta, akan tetapi perwira muka kuning mempererat pelukannya dan membungkam mulutnya dengan ciuman kasar. Han Han menggigil di tempatnya. Kakinya seperti terpaku dan dengan penuh perasaan jijik ia melihat betapa ayahnya kini bertutut sambil menangis” Alangkah lemahnya ayahnya itu” Mengapa ayahnya diam saja? Mengapa tidak lari mengejar perwira brewok atau menyerang perwira muka kuning? Mati bukan apa-apa untuk membela kebenaran. Bukankah demikian pelajaran dalam kitab? Dalam kitab tentang kegagahan seorang enghiong disebut bahwa seribu kali lebih berharga mati sebagai seorang terhormat daripada hidup sebagai seekor anjing penjilat. Dan ayahnya ternyata memilih hidup seperti anjing penjilat” Bukankah peribahasa mengatakan bahwa harimau mati meninggalkan kulit, manusia mati meninggalkan nama? Kulit harimau berharga, nama pun harus berharga. Akan tetapi ayahnya memilih hidup sebagai tikus yang tidak ada harganya sama sekali. Terdengar jerit mengerikan dan tak lama kemudian perwira brewok itu telah muncul kembali sambil memondong seorang gadis yang meronta-ronta dan merintih-rintih. Gadis yang cantik sekali, tubuhnya seperti batang pohon yangliu, rambutnya panjang hitam dan kulitnya putih seperti susu baru diperas. Perwira brewok itu melangkah lebar, kemudian duduk kembali di tempatnya sambil memangku Sie Leng dan menciumi muka yang halus putih kemerahan itu dengan mukanya sendiri yang kasar dan penuh cambang bauk sehingga seakan-akan muka yang halus itu disikat oleh sikat yang kasar dan kaku. Sie Leng yang hendak menjerit tak dapat mengeluarkan suara karena mulutnya tertutup oleh Si Perwira Brewok yang lebar. Tiba-tiba terdengar teriakan serak dan melompatlah Sie Bun An yang tadinya berlutut. Bangga hati Han Han melihat betapa ayahnya kini menjadi seekor harimau, meloncat bangun dan sambil berteriak menerjang maju hendak memukul Si Perwira Brewok. Akan tetapi kebanggaan hati Han Han berubah menjadi kecemasan ketika Si Brewok itu menyambut tubuh ayahnya dengan sebuah hantaman tangan kiri yang tepat mengenai dada ayahnya. “Dukkk....” Tubuh Sie Bun An terlempar ke belakang dan mulutnya muntahkan darah segar. Hartawan ini sejak kecilnya hanya tekun mempelajari sastra, sama sekali tidak pandai ilmu silat, maka tentu saja sekali terkena pukulan berat perwira brewok itu, ia terluka dalam dan muntah darah. Namun, Sie Bun An benar-benar telah menjadi seekor harimau marah. Kemarahan dan sakit hati membuat ia seperti tidak merasakan nyeri akibat pukulan itu dan sambil berteriak, ia maju lagi. Karena ketika dia terlempar, ia jatuh ke dekat tempat duduk perwira muka kuning yang masih menciumi isterinya dan meremas-remas serta meraba-taba tubuh wanita yang ketakutan itu, kini Sie Bun An menyerang perwira muka kuning. Akan tetapi, perwira muka kuning itu sudah mencabut pedangnya, menusuk ke depan dan.... “Blesssss....” pedang itu menembus perut Sie Bun An sampai ke punggung. Tubuh Sie Bun An menegang kaku, matanya terbelalak, dan ketika pedang dicabut, ia mendekap perutnya lalu terpelanting roboh, berkelojotan dan tak bergerak lagi. Lantai di bawahnya merah oleh genangan darahnya yang masih mengucur keluar dari perut dan punggung. Han Han hampir pingsan menyaksikan semua ini. Ia melihat betapa ibunya dan cicinya menjerit dan meronta-ronta, namun perwira brewok dan perwira muka kuning sambil tertawa-tawa telah memondong tubuh mereka, bangun berdiri dan Si Brewok berkata dengan suara memerintah kepada lima orang perwira lain yang masih duduk. “Rumah ini boleh dibersihkan, suruh anak buah masuk membantu” Setelah berkata demikian, Si Brewok memondong tubuh Sie Leng masuk ke dalam ruangan belakang, diikuti oleh Si Muka Kuning yang memondong Nyonya Sie. Dua orang wanita ini menjerit-jerit akan tetapi segera dibungkam oleh ciuman-ciuman. Adapun lima orang perwira itu bersorak dan berpestalah mereka. Pesta yang amat liar karena sambil berteriak memanggil pasukan yang menjaga di luar, mereka ini meraih para wanita sewaan dan berpesta mabuk-mabukan. Mayat Sie Bun An masih menggeletak di situ tidak ada yang berani merawatnya. Dengan tubuh menggigil saking marah dan dukanya, Han Han menyelinap ke belakang dan memasuki rumah melalui pintu belakang. Ia sudah mengambil keputusan nekat untuk mati bersama ayah dan ibunya. Ia harus menolong ibunya, menolong cicinya” Tanpa mengenal takut lagi anak ini berlari-lari menuju ke kamar ibunya. Akan tetapi sebelum ia memasuki kamar ibunya yang sunyi saja, tiba-tiba ia mendengar jerit cicinya di kamar sebelah, yaitu kamar cicinya. Cepat ia mendorong pintu kamar itu dan apa yang disaksikannya membuat darahnya mendidih. Cicinya menjerit-jerit dan berusaha melawan perwira Mancu brewok yang hendak memperkosanya, akan tetapi kembali jeritnya lenyap ke dalam mulut Si Perwira. Pakaian gadis yang bernasib malang itu robek semua dan ia sama sekali tidak berdaya menandingi kekuatan Si Perwira Brewok yang terengah-engah dan terkekeh-kekeh, agaknya makin hebat nona itu meronta dan melawan, makin senanglah hatinya. Dalam pandangan Han Han, ia seolah-olah melihat seekor kucing besar yang mempermainkan seekor tikus kecil sebelum ditelannya. Ia sudah melangkah maju dengan tangan terkepal, hendak nekat menubruk dan memukul punggung Si Brewok ketika tiba-tiba terdengar suara ibunya. “Leng-ji (Anak Leng).... anakku....” Suara ini terdengarnya demikian memilukan sehingga Han Han mengurungkan niatnya menolong cicinya, atau terlupa karena seluruh perhatiannya kini tertuju kepada ibunya. Agaknya Nyonya Sie yang sudah hampir pingsan karena teringat kepada suaminya dan kini pun tidak berdaya menghadapi rangsangan Si Perwira Muka Kuning, ketika mendengar jerit Sie Leng, timbul kekuatannya dan meronta sambil memanggil anaknya. Ia berhasil melepaskan diri daripada cengkeraman kedua tangan perwira muka kuning dan dengan pakaian hampir telanjang ia lari ke pintu. Namun sekali melompat, perwira muka kuning telah menangkapnya kembali dan melemparkannya ke atas pembaringan sambil tertawa. “Heh-heh, biarkanlah puterimu sedang bersenang-senang dengan kawanku. Mari kini bersenang-senang di sini, Manis. Heh-heh-heh” Kembali ia menubruk nyonya itu dan pada saat itulah Han Han mendorong pintu kamar ibunya dan meloncat masuk. Melihat keadaan ibunya, ia berteriak nyaring dan menerjang maju, memukuli punggung perwira muka kuning, menjambak rambutnya, membetot-betotnya agar melepaskan ibunya. “Ehhh” Bocah setan....” Mau apa kau....?” Perwira itu menoleh, tanpa menghentikan usahanya menggelut Nyonya Sie. “Han Han....” Pergilah....” Pergilah jauh-jauh dari sini....” Nyonya Sie bergerak dan membelalakkan mata melihat puteranya. “Ibu....” “Hemmm, anakmu, ya? Mengganggu saja” Si Perwira Muka Kuning meloncat, menjambak rambut Han Han sehingga tubuh anak itu tergantung. Akan tetapi Han Han tidak takut, melotot dan kedua tangannya berusaha memukul. Perwira itu lalu menampari mukanya. “Plak-plak-plak-plak” Berkali-kali sampai muka itu menjadi matang biru dan membengkak, mulutnya mengeluarkan darah. Namun anak itu masih memandang dengan mata melotot, penuh kebencian kepada perwira muka kuning. “Han Han....” Nyonya Sie menjerit. Perwira itu membanting tubuh Han Han ke atas lantai, suaranya berdebuk dan tubuh anak itu rebah miring. Akan tetapi Han Han masih bergerak hendak bangun. Sebuah tendangan mengenai tengkuknya, membuat kepalanya nanar dan berkunang. Kemudian kembali kaki perwira itu menendang, keras sekali mengenai dadanya. Tubuh anak itu terlempar membentur dinding. Kepalanya terbanting pada dinding, napasnya sesak dan anak itu roboh tak sadarkan diri, mukanya membengkak dan matang biru sehingga matanya tidak tampak, mulutnya mengeluarkan darah, demikian pula hidungnya. “Han Han....” Namun jerit Nyonya Sie ini lenyap dalam suara gaduh di seluruh rumah itu, di mana para serdadu Mancu mulai merampoki barang-barang berharga, dan lapat-lapat terdengar jerit tertahan Sie Leng diselingi suara ketawa yang parau dari perwira brewok dan suara kekeh menjijikkan dari perwira muka kuning. Malam yang amat mengerikan. Malam terkutuk bagi keluarga Sie. Malam jahanam di mana terjadi perbuatan-perbuatan terkutuk yang sudah terlampau sering terjadi di dalam jaman perang. Pembunuh-pembunuhan, perkosaan, perampokan” Perbuatan-perbuatan yang tidak sepatutnya dilakukan manusia-manusia beradab. Malam penuh noda, darah membanjir dan iblis tertawa gembira karena malam-malam jahanam seperti itu adalah malam-malam kemenangan baginya. Han Han tersadar di tengah-tengah suara hiruk-pikuk. Ia segera teringat dan cepat bangkit. Akan tetapi ia mengeluh, kepalanya nyeri bukan main, berdenyut-denyut keras, kiut-miut rasanya seperti akan pecah, dadanya pun nyeri dan napasnya sesak. Ia tentu akan roboh kembali kalau saja tidak melihat ibunya. Ibunya menggeletak di lantai tidak berpakaian lagi. Tubuhnya yang berkulit putih itu berlepotan darah dan darah tergenang di bawahnya, mengalir ke bagian yang rendah dari lantai kamar itu. Leher ibunya terluka besar sekali, hampir putus sehingga kepala itu letaknya terlalu miring sehingga aneh kelihatannya. “Ibu....” Han Han belum sadar betul akan keadaan ibunya, terhuyung-huyung menghampiri dan hendak mengangkat tubuh ibunya. Akan tetapi matanya terbelalak memandang leher yang hampir putus, mata yang terbuka, mata yang tidak bersinar lagi. “Ohhh.... ohhh.... Ibuuuuu....” Han Han menjerit dan tergelimpang roboh di dekat mayat ibunya, pingsan kembali. Rumah gedung Keluarga Sie yang telah dirampok habis-habisan itu kini dimakan api. Ini adalah siasat para perwira tadi yang lebih baik membuat rumah itu menjadi lautan api untuk menutupi perbuatan-perbuatan biadab mereka. Kalau rumah sudah hancur menjadi abu, siapa bisa membuktikan bahwa rumah itu habis dirampok? Kalau mayat itu sudah menjadu abu, siapa dapat mengatakan bahwa mereka itu diperkosa atau dibunuh? Tidak ada seorang pun tetangga yang berani muncul. Mereka sendiri masih merasa untung terlewat oleh bencana yang ditimbulkan oleh serdadu-serdadu Mancu itu. Dalam keadaan seperti itu seperti yang terjadi pada setiap negara yang dilanda perang, terbuktilah bahwa segala sesuatu yang tadinya dianggap menguntungkan dan menyenangkan bahkan menjadi sebab-sebab malapetaka” Aneh akan tetapi nyata bahwa dalam keadaan seperti itu, mereka yang kaya raya dan mereka yang mempunyai anak-anak perempuan cantik malah menjadi korban, sebaliknya mereka yang miskin tidak mempunyai apa-apa dan yang tidak mempunyai anak gadis cantik, malah aman dan tidak terganggu” Kalau sudah begini, tak seorang pun berani mengatakan bahwa harta benda dan kekayaan duniawi ini merupakan syarat hidup bahagia” Di antara sinar api yang membakar rumah gedung Keluarga Sie, yang menerangi kegelapan malam sunyi, tampak bayangan seorang laki-laki tua dengan nekat menyelinap memasuki rumah bagian yang belum dimakan api. Asap tebal menyambutnya, membuatnya terbatuk-batuk dan membuat matanya seperti buta, akan tetapi orang ini terus masuk dan meraba-raba. Biarpun api itu amat terang, namun cahayanya membuat mata buta karena setiap mata dibuka, hawa panas menusuk-nusuk. Akan tetapi orang itu agaknya sudah hafal akan keadaan di dalam gedung ini. Buktinya ia dapat terus menyelinap masuk, menuju ke kamar-kamar di sebelah belakang, dekat ruangan dalam yang tadi dipakai pesta-pora, di mana kini menggeletak mayat Sie Bun An dan tiga orang pelayan pria yang juga dibunuh oleh serdadu-serdadu Mancu itu. Laki-laki itu tidak mempedulikan mayat-mayat ini, terus terhuyung-huyung masuk dan akhirnya ia memasuki kamar Nyonya Sie mendorong pintu yang sudah mulai termakan api. “Sie-hujin....” Kongcu (Tuan Muda)....” Ia berseru dan cepat berlutut dekat dua sosok tubuh itu. Tubuh Nyonya Sie yang telanjang bulat dan mandi darah itu hanya ia lirik sebentar saja, akan tetapi ketika ia meraba tubuh Sie Han yang belum mati, cepat ia mendukung tubuh anak itu dan hendak dibawanya keluar kamar. Akan tetapi pintu kamar itu kini sudah terbakar semua, bahkan mulai runtuh dan atap pun sudah terjilat api” Laki-laki itu kebingungan lalu menuju ke jendela kamar. Didorongnya jendela itu dengan bahunya, dan asap bercampur api menjilat masuk. Ia tidak peduli akan hawa panas yang menyesak dada, terus saja ia menerobos keluar melalui jendela dan setibanya di luar jendela, sebagian atap yang terbakar menimpanya” Orang itu mendekap tubuh Han Han dan kayu yang membara menimpa kepala dan pundaknya. Rasa nyeri dan panas menyengat tubuhnya, membuatnya hampir roboh. Akan tetapi ia hanya jatuh berlutut saja, cepat bangkit kembali dan terhuyung-huyung mencari jalan keluar. Beberapa kali ia menerjang lautan api, rambutnya sudah terbakar habis, juga kumis, jenggot dan alisnya, mukanya, sudah hangus dan melepuh, pakaiannya setengah telanjang dan hangus, tubuhnya melepuh semua dan napasnya terengah-engah. Akan tetapi akhirnya ia berhasil keluar dari lautan api dan terhuyung-huyung memasuki taman yang gelap. Sinar api hanya menyinar melalui celah-celah pohon kembang dan di tempat inilah laki-laki itu terguling roboh. Tubuh Han Han terlepas dari dukungannya dan terbanting pula ke atas tanah yang bertilam rumput hijau basah dan segar. “Ibu....” Han Han siuman kembali dan pertama-tama yang teringat olehnya adalah ibunya. Akan tetapi sinar merah dan suara berkerotokan rumah terbakar itu menyadarkannya dan ia cepat bangkit duduk menoleh ke arah rumah keluarganya yang terbakar. “Ibu....” “Aagghhh.... Kongcu.... Ibumu.... sudah tewas....” Han Han bangkit dan terhuyung-huyung menghampiri orang yang rebah tak jauh dari situ. Ia berlutut dan hampir tak dapat mengenal wajah yang sudah melepuh, kepala yang gundul dan tubuh yang hangus itu. Akan tetapi sinar api kadang-kadang menjilat sampai ke situ dan ia dapat mengenal bentuk muka ini. “A Sam....” Ia memeluk. Anak ini amat cerdik dan kuat ingatan. Tadi ia berada di kamar ibunya, sekarang berada di taman dan A Sam luka-luka terbakar. Segera ia dapat menarik kesimpulan bahwa pelayannya yang setia inilah yang menolongnya keluar dari rumahnya yang terbakar. Ia teringat ayahnya yang sudah tewas pula, dan teringat cicinya di kamar sebelah. “Cici Leng....?” “.... dibawa pergi.... anjing-anjing Mancu.... kau pergilah, Kongcu.... pergilah jauh-jauh.... menyamar sebagai pengemis.... jangan berada di kota ini.... aku.... aku.... auugghhh....” A Sam, pelayan tua yang amat setia dari Keluarga Sie, yang selalu menjadi teman bermain Han Han semenjak ia dapat berjalan, menjadi lemas. “A Sam....” A Sam....” Namun orang itu tidak menyahut, dan tidak akan dapat menjawab lagi karena ia telah mati. Mati sebagai seorang yang setia dan karenanya mati sebagai seekor harimau” Han Han duduk melamun. Ia tidak menangis. Tidak dapat menangis lagi. Dan ia merasa seolah-olah ada sesuatu yang mendorongnya untuk berpikir, untuk berbuat dan menggunakan akalnya. Matanya melirik ke kanan kiri seperti mata seekor anjing yang dikurung dan mencari kesempatan untuk keluar. Mata yang cerdik sekali. Terjadi pada diri Han Han yang tidak ia sadari sendiri. Ketika tadi ia dibanting lalu ditendang, kepalanya terbanting menumbuk dinding dan getaran bantingan inilah yang agaknya mengubah keadaan pikirannya. Mendatangkan ketabahan luar biasa, kecerdikan yang aneh, dan membuat ia tidak dapat susah lagi” Biarpun kini menghadapi kematian ayah bundanya, dan kehilangan cicinya, yang berarti bahwa seluruh keluarganya hancur, ia sama sekali tidak merasa susah” Yang ada hanya bayangan tujuh orang perwira, terutama sekali wajah dan bentuk tubuh perwira brewok dan perwira muka kuning, seperti terukir di benaknya, takkan terlupakan lagi olehnya” Dari peristiwa terkutuk dan malam jahanam itu, terciptalah seorang yang aneh, dan orang yang melihatnya tentu akan mengira bahwa Han Han telah menjadi gila oleh peristiwa mengerikan itu. Ketika anak itu akhirnya membungkuk, mencium dahi gosong bekas pelayannya, kemudian bangkit berdiri dan terhuyung-huyung meninggalkan taman, memasuki bagian-bagian yang gelap, orang yang melihatnya tentu akan merasa kasihan sekali. Akan tetapi orang itu akan tercengang kalau saja dapat melihat betapa mata itu berkilat-kilat, betapa mulut yang masih bengkak itu tersenyum aneh. Bocah ini hanya berhenti sebentar untuk merobek sebagian dari pakaiannya, mengotori tubuhnya dengan abu, membuang sepatunya kemudian menyelinap sampai keluar dari kota. Peristiwa terkutuk itu terjadi di kota Kam-chi ketika pasukan-pasukan Mancu memperluas wilayahnya dan menyerbu ke jurusan selatan, yaitu pada tahun 1645 dan merampas kota Nan-king. Dan tidak hanya terjadi di Kam-chi saja, melainkan di setiap kota dan dusun selalu terjadilah pembunuhan-pembunuhan, perkosaan-perkosaan, penculikan dan perampokan yang keji. Memang demikianlah sifat kekejian yang ditimbulkan oleh perang, di bagian mana saja di dunia ini, semenjak masa dahulu sampai sekarang. Gelombang bangsa Mancu ini dimulai ketika di antara bangsa dari utara ini muncul seorang tokoh besar yang menjadi raja mereka, yaitu Raja Nurhacu (tahun 1616) yang menamakan diri sendiri kaisar dan mendirikan wangsa atau Kerajaan Ceng. Di bawah bimbingan Kaisar Nurhacu yang kebesarannya menyamai Raja Mongol Jengis Khan yang tersohor itu, mulailah bangsa Mancu membuka dan mengembangkan sayapnya, menaklukkan gerombolan-gerombolan dan suku-suku bangsa yang dipimpin raja-raja kecil sehingga dalam beberapa tahun saja berhasil menguasai seluruh Mancuria. Melihat kekuasaan dan kekutan bangsa Mancu, bangsa Mongol yang sudah lama kehilangan kekuasaannya setelah Pemerintahan Goan hancur, menjadi tertarik dan menggabungkan diri dengan bangsa Mancu. Persekutuan ini amat kuat dan barisan gabungan ini menyerbu dan menundukkan Korea dalam tahun 1637. Kemudian pasukan Mancu yang diperkuat dengan pasukan Mongol dan pasukan taklukan dari Korea, di bawah pimpinan Kaisar Abahai yang menggantikan Kaisar Nurhacu (1626-1646), menyerbu terus ke Shan-tung, berhasil menundukkan propinsi ini dan menghancurkan bala tentara Beng, lalu terus menyerbu ke arah ibu kotanya, yaitu Peking. Namun penyerbuan ini tertunda karena Kaisar Abahai meninggal. Karena putera mahkota masih sangat muda, maka kekuasaan dipegang oleh Pangeran Dorgan, saudara mendiang Kaisar Abahai. Pangeran Dorgan adalah seorang ahli perang yang ulung. Ia mengerti bahwa di dalam pemerintah Beng sendiri terjadi pemberontakan-pemberontakan, dan Peking telah terjatuh ke tangan pemberontak Lie Cu Seng yang menyerbu dari selatan. Dengan cerdik Pangeran Dorgan menghubungi Bu Sam Kwi, panglima yang menjaga tapal batas utara, dan bersama Panglima Beng yang berkhianat ini menyerbulah bala tentara Mancu ke Peking dan berhasil mengalahkan barisan pemberontak Lie Cu Seng. Lie Cu Seng sendiri melarikan dari Peking setelah merampok kota indah itu habis-habisan. Akhirnya Bu Sam Kwi sadar bahwa ia telah memasukkan srigala ke tanah airnya, maka ia merasa menyesal dan membawa bala tentaranya mengungsi ke barat daya yaitu ke Se-cwan di mana ia memperkuat kedudukannya dan menjadi raja yang berdaulat di situ, jauh dari kekuasaan dan pengaruh pemerintah Mancu yaitu Kerajaan Ceng-tiauw. Pangeran Dorgan melanjutkan penyerbuannya ke selatan dan di bawah pimpinan pangeran inilah bala tentara Mancu berhasil terus menduduki Nan-king dan wilayah bagian selatan. Pangeran Dorgan yang amat cerdik itu pandai mengambil hati para pembesar dan hartawan di selatan, mengumumkan tidak akan mengganggu mereka asal mereka suka bekerja sama. Tentu saja ada terjadi kekecualian, yaitu mereka yang tidak mau bekerja sama tentu dirampok habis dan dibasmi keluarganya. Ada pula terjadi hal-hal seperti yang menimpa Keluarga Sie di Kam-chi itu, dan pelaporan ke atas tentu berbunyi sama, yaitu bahwa keluarga itu tidak mau bekerja sama sehingga terpaksa dibasmi” Demikianlah, cerita ini dimulai pada tahun 1645, dimulai dengan lembaran hitam dan sebagai contoh dari sekian banyaknya peristiwa keji dan terkutuk, diceritakan kemalangan yang menimpa Keluarga Sie. Beberapa bulan kemudian setelah terjadinya peristiwa terkutuk di Kam-chi itu, tampak seorang anak laki-laki berpakaian penuh tambalan berjalan seorang diri memasuki kota Tiong-kwan di lembah Sungai Huang-ho. Kota ini telah lebih dulu ditaklukkan oleh tentara Mancu sehingga kini keadaan di situ sudah tampak aman dan tenteram. Rakyat sudah mulai bekerja lagi seperti biasa, seolah-olah tidak pernah terjadi perang, seolah-olah rakyat tidak peduli siapa yang berkuasa, siapa yang menjadi raja dan bangsa apa yang menjajah mereka” Anak kecil itu berusia sepuluh tahun lebih, berjalan melenggang seenaknya dan di pundaknya tergantung sebuah keranjang yang terisi beberapa buah roti kering dari gandum. Dia bukan lain adalah Sie Han, atau Han Han. Kalau ada orang Kam-chi yang bertemu dengannya, tentu tidak akan dapat mengenalnya sebagai bekas putera sastrawan Sie Bun An. Bukan hanya pakaiannya yang penuh tambalan dan kakinya yang telanjang serta kulit kaki tangannya yang kotor itu yang membuat orang pangling, namun memang terjadi perubahan besar pada diri anak ini. Pandang matanya jauh berbeda, pandang mata yang amat tajam dan manik mata itu seolah-olah mengeluarkan sinar yang menembus dada orang. Bola mata yang bening itu bergerak-gerak lincah sebagai pencerminan otaknya yang dapat bekerja cepat. Rambutnya digelung ke atas dan dibungkus dengan saputangan yang kotor. Ketika berjalan melalui jalan yang sunyi menuju ke kota Tiong-kwan ini, Han Han bernyanyi dengan suara nyaring. Orang tentu akan tercengang keheranan kalau mendengar kata-kata nyanyiannya. Orang yang tidak pernah membaca kitab tentu menganggapnya bernyanyi ngawur saja atau sedikitnya mengira dia tidak waras. Akan tetapi kaum terpelajar akan lebih tercengang keheranan karena tentu akan mengenal nyanyian dari sajak ciptaan sastrawan besar Go Pek di jaman Kerajaan Sui, ratusan tahun yang lalu. Bekerja seenaknya tak tertekan tak diperintah, mengemis ke mana saja mengetuk hati nurani manusia. Amboi.... betapa bebas dan senangnya” Mereka yang tidak tahu akan kebahagiaan para pengemis, tidak tahu pula senangnya kehidupan burung di udara” Setelah selesai menyanyikan sajak yang ia hafal dari kitab-kitab yang pernah dibacanya, Han Han lalu mencela sendiri, dengan ucapan bisik-bisik seperti berkata kepada diri sendiri, mencela nyanyian tadi. “Wah, Go Pek memang pelamun kosong” Kalau ditakdirkan menjadi manusia, mengapa menginginkan kehidupan burung? Manusia dan burung tidak sama. Orang yang malas dan hanya suka mengemis adalah orang yang tiada gunanya. Dan apakah artinya hidup di dunia kalau tidak ada gunanya?” Ia menggeleng-geleng kepalanya lalu bernyanyi lagi akan tetapi sekali ini nyanyiannya jauh berbeda dengan tadi, karena nyanyiannya seperti lagu kanak-kanak : Duk ceng, duk ceng” warna hitam tampak putih, bau busuk disangka wangi, suara brengsek terdengar merdu, rasa pahit katanya manis” Duk-ceng, duk-ceng” Jangan percaya mata dan telinga mulut, semua itu palsu belaka. Duk-ceng, duk-ceng, duk-ceng-ceng” Terdengamya saja nyanyian ini seperti nyanyian kanak-kanak. Suara duk-ceng itu adalah suaranya tambur dan gembreng. Akan tetapi sesungguhnya, nyanyian ini adalah nyanyian kaum Agama To dan mempunyai arti yang amat dalam. Nyanyian yang menyindirkan betapa manusia dikuasai oleh panca indranya, betapa manusia selalu menurutkan perasaannya. Betapa tepatnya nyanyian kanak-kanak ini karena setiap hari pun sampai sekarang dapat kita lihat “dagelan” (lawak) macam itu. Betapa banyaknya orang melihat hal hitam sebagai putih sehingga yang benar disalahkan, yang salah dibenarkan. Betapa yang busuk-busuk dapat ditutup dengan harta sehingga tercium wangi, suara-suara yang menyesatkan dianggap merdu kalau suara itu menguntungkannya, dan masih banyak kenyataan-kenyataan lain. Semua itu dikenal Han Han dari kitab-kitabnya. Dia meninggalkan rumah dan keluarganya yang terbasmi habis itu tanpa membawa uang sepeser pun. Akan tetapi Han Han seorang anak yang cerdik dan semenjak peristiwa itu terjadi, ia menemukan ketabahan dan keuletan yang luar biasa sekali. Di sepanjang jalan dalam perantauannya yang tiada bertujuan ini, ia selalu mencari pekerjaan, membantu petani kalau lewat di dusun, membantu mencuci piring di restoran, menggosok kuda dan kereta, mengangkut barang-barang yang dibongkar dari perahu dan lain-lain. Dengan keuletannya ini, ia tidak pernah kekurangan makan dan pada saat itu, ia malah masih mempunyai bekal roti kering yang akan cukup menghindarkannya dari kelaparan selama beberapa hari. Ketika ia memasuki pintu gerbang kota Tiong-kwan dan memasuki tempat yang mulai ramai, Han Han tidak bernyanyi lagi, bahkan sikapnya pun tidak acuh seperti sikap seorang pengemis biasa. Ia melihat-lihat keadaan kota yang cukup ramai itu karena letaknya yang dekat dengan Sungai Huang-ho membuat kota ini mudah melakukan hubungan dengan kota-kota lain. Akan tetapi ada hal yang membuat Han Han diam-diam termenung dan prihatin, yaitu banyaknya pengemis di kota ini. Bukan pengemis-pengemis biasa yang terdiri dari orang-orang tua yang sudah tidak kuat bekerja dan tidak mempunyai keluarga yang menyokongnya, melainkan pengemis-pengemis cilik yang terdiri dari anak-anak sebaya dengan dia sendiri. Akibat perang, keluhnya diam-diam dengan perasaan tidak senang. Anak-anak yang sudah kehilangan orang tua dan keluarga, atau anak-anak yang orang tuanya demikian miskin sehingga mereka ini terlantar dan mencari makan dengan jalan mengemis. Anak-anak usia belasan tahun yang pakaiannya compang-camping, ada yang penuh tambalan, ada pula yang hanya memakai celana butut tanpa baju, dengan tubuh kurus akan tetapi perut gendut tanda perut yang jarang diisi atau diisi secara tidak teratur. Muka yang kurus pucat, sinar mata yang sayu tidak bercahaya, pencerminan hati yang kehilangan harapan dan pegangan. Akan tetapi ada pula di antara mereka yang nakal-nakal, dengan sinar mata mencemoohkan dunia, tidak peduli akan segala perbuatannya, tidak tahu membedakan pula antara baik dan buruk. Pengaruh keadaan” Tiba-tiba sebatang kayu bercabang menodongnya. Han Han mengangkat muka, sadar dari lamunan dan melihat bahwa yang menodongnya adalah seorang anak laki-laki sebaya dengan dia, akan tetapi tubuhnya amat kurus sehingga tulang-tulang iga yang tidak tertutup baju itu tampak nyata. Muka yang cekung kurus itu membayangkan ketampanan, sedangkan matanya bersinar cerdik menimbulkan rasa suka di hati Han Han. “Berlutut kamu” Berlutut dan tunduk kepada perwira tinggi atau kupenggal kepalamu” Engkau tentu pencuri, he? Atau pencopet?” Mata anak itu melirik ke arah keranjang yang terisi roti kering. Melihat lagak anak ini seperti seorang perwira menodongkan pedang dengan angkuhnya, Han Han tertawa terbahak dengan hati geli. “Ha-ha-ha-ha” Perwira macam apa ini? Bajunya dari kulit hidup, bukan terhias bintang melainkan terhias tulang-tulang iga. Dan celananya, bukan terhias baju besi melainkan terhias tambal-tambalan” Apakah kamu ini perwira dari neraka?” Melihat Han Han tidak marah sehingga tidak ada alasan untuk diajak berkelahi, malah tertawa dan mengeluarkan kata-kata lucu, anak itu pun menyeringai tertawa. Giginya putih dan rata, menambah ketampanan wajahnya dan menambah rasa suka di hati Han Han. “Kau orang baru di sini? Bagaimana kau datang? Dan dari mana kau mendapatkan roti kering begitu banyak?” tanya anak itu, menyelinapkan rantingnya di pinggang seperti seorang perwira menyimpan pedangnya. “Kau mau? Lapar? Nih sebuah untukmu,” kata Han Han sambil menyerahkan sehuah roti kering. Anak itu memandang terbelalak, menelan ludah dan bertanya ragu, “Benar-benar kau berikan sebuah untukku? Tidak main-main?” Ia merasa heran karena belum pernah melihat seorang pengemis lain memberinya sepotong roti dengan sikap begitu royal dan ramah. “Mengapa tidak? Kalau kau lapar” Mari kita makan di pinggir jalan,” kata Han Han sambil berjalan ke tepi jalan lalu duduk di atas tanah. Anak itu telah menerima roti pemberian Han Han, memandang roti seperti belum percaya, lalu mengikuti Han Han duduk di tepi jalan. Seketika sikap bocah itu berubah ramah dan akrab dan memang itulah sifat aselinya. Kalau tadi ia seperti anak yang memancing perkelahian adalah watak yang dibentuk oleh keadaan sekelilingnya. “Wah....” Keras....” Anak itu mengeluh ketika mencoba menggigit rotinya. Han Han tersenyum. “Memang keras sekali, sengaja dibuat untuk dapat bertahan sampai berbulan-bulan. Makannya harus dicelup air teh, baru nikmat.” “Wah, dari mana bisa mendapatkan air teh?” “Beli, kalau kamu mau pergi membeli sebentar.” “Hah? Beli? Memang kaukira aku ini kongcu (tuan muda) hartawan?” Han Han tertawa geli dan merogoh sakunya, mengeluarkan sepotong uang kecil, sisa hasil ia membantu pedagang membangkar barangnya kemarin dulu. “Nih, kau belilah air teh, aku tunggu di sini. Untuk dapat membeli air teh saja masa memerlukan seorang kongcu hartawan?” Kembali anak itu memandang heran, akan tetapi ia lalu menyambar uang itu dan lari pergi dari situ, membawa roti keringnya. Han Han menghela napas. Kalau dia tidak kembali ke sini, aku tidak akan heran, pikirnya. Bocah-bocah seperti itu patut dikasihani” Benar-benar sebuah pemikiran yang amat janggal. Dia sendiri yang tadinya seorang “kongcu” hartawan dan terpelajar, tinggal di rumah gedung dilayani banyak pelayan, sekarang keadaannya tiada bedanya dengan anak-anak pengemis, namun ia masih menaruh kasihan kepada mereka” Dugaan Han Han keliru dan ia menjadi makin suka kepada bocah itu ketika melihatnya datang berlari sambil membawa sebuah kulit waluh kering yang ternyata terisi air teh. Terengah-engah ia duduk di dekat Han Han. Han Han melirik dan mendapat kenyataan bahwa roti kering di tangan anak itu masih utuh, ia makin suka. Ini menandakan bahwa anak ini memiliki watak jujur dan setia, tidak mau mendahului makan roti dengan air teh sebelum tiba di tempat Han Han” “Nah, mulailah” ajak Han Han yang mengambil sepotong roti, mencelupkannya di air teh sampai lama, kemudian mulai makan roti itu. Anak itu menirunya, dan setelah ia berhasil menggigit sepotong roti, ia mengunyahnya dengan lahap sambil mulutnya mengomel. “Wah, enak” Harum dan gurih....” Tidak ada balas jasa yang lebih nikmat lagi bagi seorang pemberi kecuali kalau pemberiannya itu dipuji dan menyenangkan hati orang yang diberinya. Wajah Han Han berseri dan teringatlah ia akan ujar-ujar kuno yang berbunyi : Bahagiakanlah hati orang yang memberimu dengan menghargai pemberiannya” Bocah ini telah melakukan hal itu. Tak mungkin dia tahu akan ujar-ujar ini, tentu hanya kebetulan saja” “Siapa namamu?” tanya Han Han. “Wan Sin Kiat” Ayahku dahulu perajurit, tewas di medan perang melawan anjing.... eh, tentara Mancu.” Bocah itu memandang ke kanan kiri, takut kalau-kalau makiannya terdengar orang. “Ibuku lari bersama seorang perwira Mancu. Aku tidak sudi ikut ibu, maka merantau dan.... beginilah. Engkau siapa?” “Aku Han Han....” “Tentu seorang kongcu yang menyamar menjadi pengemis” “Eh” Sembarangan saja menuduh. Aku bukan kongcu, juga bukan pengemis” “Lagak dan sikapmu seperti kongcu. Kau patut menjadi kongcu. Mungkin juga bukan, akan tetapi bukan pengemis? Heh, jangan berolok, kawan. Pakaianmu itu” Han Han penasaran. “Biarpun pakaianku butut, aku tidak pernah mengemis” Aku makan dari hasil keringatku. Roti itu pun pemberian pedagang roti yang aku bantu membongkar muatan terigu” “Ahhh, begitukah?” Sin Kiat menghela napas dan menunduk. “Kalau aku.... aku pengemis tulen.” Han Han merasa menyesal telah menyinggung perasaan orang tanpa disengaja. Ia memegang lengan anak itu dan berkata, “Engkau sampai menjadi begini akibat perang...., bukan kehendakmu, Sin Kiat.” Tiba-tiba Sin Kiat berkata penuh semangat. “Kalau sudah besar aku akan menjadi seorang perajurit seperti mendiang Ayahku” Bahkan aku akan menanjak menjadi Perwira. Kau lihat saja” Han Han tersenyum. Melihat semangat bocah ini, kelak dia tidak akan merasa heran kalau benar-benar Wan Sin Kiat menjadi seorang perwira. “Nih, kau ambil lagi rotinya,” ia menawarkan ketika melihat roti pertama sudah habis memasuki perut kawan baru itu. Sin Kiat mengambil sepotong lagi, kemudian tiba-tiba seperti orang teringat akan sesuatu, ia memegang lengan Han Han dan berkata, “Han Han, apakah engkau suka membagi rotimu kepada anak-anak lain, bukan hanya kepadaku?” “Hah? Kalau perlu tentu saja boleh.” “Bagus” Engkau benar-henar anak jempol” Mari ikut aku” Sin Kiat bangkit berdiri, menarik tangan Han Han dan mengajak teman baru yang mempunyai banyak roti itu berlari memasuki kota. Mereka lewat di pasar, lalu membelok ke sebuah gedung bobrok yang tadinya terbakar, kini tinggal sisa dinding-dinding gosong dan kotor dan sebagian atapnya. Ketika tiba di situ, ternyata di situ terdapat dua orang anak sebaya dengannya yang juga berpakaian seperti pengemis, bahkan ada pula seorang kakek berpakaian seperti pengemis, kakek yang kurus kering dan rambutnya riap-riapan. “Mana teman-teman yang lain? Ada rejeki datang” Sin Kiat berseru dengan wajah berseri-seri. “Pergi mengemis ke pasar,” jawab seorang anak pengemis yang kepalanya gundul. “Katanya ada pembesar meninjau pasar.” “Huh, bodoh” Belum tentu mendapat sedekah, yang sudah pasti mererima cambukan para pengawal yang galak,” kata Sin Kiat mengomel. “Itulah sebabnya mengapa kami berdua tidak ikut pergi,” kata pengemis ke dua. “Aku benci melihat pembesar....” Terdengar batuk-batuk dari kakek pengemis yang melenggut di sudut. “Hmmm...., anak-anak, hati-hatilah sedikit kalau bicara. Apakah anak-anak sekecil kalian sudah bosan hidup?” Tiga orang anak pengemis itu menjadi pucat dan celingukan memandang ke kanan kiri. Han Han berpendapat bahwa anak-anak itu seperti anak-anak burung yang ketakutan selalu, maka ia makin kasihan kepada mereka. Tanpa diminta ia lalu mengambil roti-roti kering dari keranjangnya, pertama-tama ia memberi kepada kakek itu. “Lopek, silakan makan roti kering seadanya.” Kakek itu memandang dengan tajam. Han Han terkejut, tidak menyangka bahwa kakek itu mempunyai pandang mata yang demikian tajamnya. Lalu kakek itu setelah meneliti Han Han dari kepala sampai ke kaki, mengangguk-angguk dan menerima roti terus melenggut lagi sambil makan roti kering. Kembali Han Han tercengang. Kakek itu sudah tua dan kempot, tanda bahwa giginya sudah tidak lengkap lagi, namun roti kering yang keras itu digigitnya seperti seorang menggigit kerupuk saja” Ia lalu membagi-bagi roti kering kepada dua orang anak lain yang menerimanya dengan gembira. Han Han lalu menurunkan keranjang rotinya dan mempersilakan siapa saja yang masih lapar untuk mengambil lagi, dan ia pun ikut duduk mendeprok di atas lantai rumah gedung yang terbakar itu. Heran sekali, ia merasa betah di situ, merasa seperti berada di rumah sendiri. Seolah-olah gedung yang bekas terbakar ini adalah gedung keluarganya. Sin Kiat mendekati kakek pengemis dan berkata dengan suara mendesak, “Kek, kau ajarlah aku silat agar kelak aku menjadi orang kuat. Aku ingin menjadi seorang perwira” Kakek itu membuka matanya, menjawab malas. “Aku tidak bisa silat....” “Bohong....” Kakek bohong....” Sin Kiat dan dua orang temannya berteriak-teriak. Akan tetapi kakek itu hanya melenggut, mulutnya tersenyum aneh. Han Han memandang penuh perhatian. Banyak sudah ia membaca tentang pengemis-pengemis yang sakti, bahkan membaca tentang sastrawan-sastrawan yang hidupnya seperti pengemis. “Kemarin dulu kau membubarkan selosin serdadu dengan tongkat bututmu itu. Dengan apakah kalau tidak dengan ilmu silat? Hayo, Kek, jangan pelit, ah. Ajar kami ilmu silat, Han Han tadi sudah begitu ramah dan murah hati, membagi-bagikan roti keringnya, apakah kau begini pelit untuk membagi ilmu silat kepada kami? Ingat, Kek, roti yang dibagi-bagikan menjadi habis, sebaliknya ilmu silatmu kalau dibagi sampai seribu orang sekalipun takkan menjadi habis” Han Han kagum mendengar alasan Sin Kiat ini. Anak cerdik, pikirnya. Akan tetapi ia merasa kasihan dan tidak enak hati melihat kakek tua itu didesak-desak, maka ia segera berkata. “Aku tidak suka belajar silat” “Hehhh??” Tiga orang anak itu berseru heran dan memandang Han Han dengan kecewa. Sin Kiat memegang lengannya dan bertanya, “Mengapa, Han Han? Semua orang yang tertindas dan terhina ingin belajar silat, mengapa kau tidak?” “Kalau pandai silat, kan kita selalu menang kalau berkelahi dan menjadi jagoan” kata Si Gundul sambil membusungkan dadanya yang tipis kerempeng. “Kalau pandai silat, orang-orang akan takut kepada kita dan memberi apa saja yang kita minta” kata bocah pengemis yang lain. “Dan aku akan menjadi orang kuat sehingga kelak dapat menjadi perwira,” kata pula Sin Kiat. Han Han menghela napas. Dari pernyataan-pernyataan ini sudah dapat dinilai watak dan cita-cita ketiga orang anak ini. “Aku tetap tidak suka belajar silat. Pandai silat membikin orang menjadi kuat, dan hanya si kuat saja yang suka menindas si lemah” Orang yang merasa kuat akan selalu mencari permusuhan, suka berkelahi, suka pukul orang, bahkan suka membunuh orang. Tidak” Pandai silat amat tidak baik, orang menjadi jahat karenanya.” Kakek yang tadinya melenggut dan agaknya lega karena terbebas dari desakan anak-anak itu, kini membuka matanya dan tertawa. “Ho-ho-ho” Omongan takabur dan menyeleweng jauh, bocah” Omongan sombong” Siapa bilang ilmu silat menimbulkan kejahatan dan kekejaman? Uh-uh, sombongnya” Ilmu silat telap ilmu silat, tidak baik dan tidak jahat. Baik atau jahatnya tergantung si orang yang memilikinya. Kalau digunakan untuk kejahatan menjadi ilmu jahat, kalau dipergunakan untuk kebaikan menjadi ilmu baik. Betapa banyaknya kejahatan dilakukan oleh orang-orang yang tidak pandai silat dan yang lemah tubuhnya. Ho-ho-ho-ho, apa kaukira pedang lebih tajam daripada pena? Pedang hanya dapat membunuh satu orang sekali sabet, akan tetapi pena sekali gores dapat menghancurkan keluarga bahkan dapat menggulingkan kerajaan. Ha-ha-ha” Han Han tercengang dan berpikir. Alangkah benarnya ucapan kakek gembel itu. Teringat ia akan sejarah betapa fitnah-fitnah yang amat keji terjadi karena coretan pena. Dan betapa tepatnya pula filsafat tentang baik buruknya ilmu yang tergantung daripada si pemilik ilmu. Tak disangkanya ia akan mendengar ucapan demikian dalam isinya dari mulut seorang kakek gembel. Melihat betapa bantahan kakek itu membuat Han Han bungkam, Sin Kiat menjadi gembira dan mendapat kesempatan untuk mendesak lagi. “Hayolah, Kek, ajar kami ilmu silat.” “Aku tidak bisa ilmu silat.” “Waaah, Kakek selalu mengelak. Habis, tongkat bututmu kemarin dulu itu dapat mematahkan tombak, membikin pedang dan golok serdadu-serdadu itu terpelanting, dan membuat mereka roboh,” bantah Sin Kiat. “Ahhh, itu hanya Ilmu Tongkat Teratai Putih (Pek-lian Tung-hoat).” “Kalau begitu, ajarkan kami Pek-lian Tung-hoat” kata Sin Kiat, dibantu oleh dua orang kawannya. Kakek itu menggeleng kepala. “Tidak mudah, tidak mudah. Kalian tidak berjodoh dengan kami. Yang berjodoh adalah bocah ini. Siapakah namamu tadi? Han Han? Kau berjodoh dengan kami. Marilah ikut bersamaku.” Kakek yang kelihatan lesu dan lemas itu, tiba-tiba sudah bangkit berdiri dan ternyata ia jangkung sekali. Han Han begitu kaget dan herannya sehingga ia tidak dapat menjawab pertanyaan tadi. Kini kakek itu sudah menyentuhkan ujung tongkat bututnya ke pundak kanan Han Han, kemudian membalikkan tubuh dan melangkah pergi dari situ. Anehnya, tubuh Han Han tertarik oleh ujung tongkat yang melekat pundaknya sehingga anak ini pun terhuyung maju dan terpaksa melangkah mengikuti kakek itu” “Heiiiii....” Ehhh....?” Han Han menggunakan kedua tangannya untuk melepaskan tongkat dari pundaknya, namun tidak herhasil. Tongkat itu melekat seolah-olah berakar di pundaknya dan ada tenaga membetot yang amat hebat tak terlawan olehnya, membuat ia terseret terus” Han Han adalah seorang anak yang memiliki kecerdikan luar biasa. Biarpun ia seorang anak yang asing sama sekali akan ilmu silat, namun dari kitab bacaan ia sudah banyak mengetahui bahwa di dunia ini selain terdapat sastrawan-sastrawan luar biasa, orang-orang yang pandai berfilsafat dan pandai membuat sajak-sajak indah, juga terdapat orang-orang dari golongan “bu” (persilatan) yang disebut pendekar-pendekar sakti. Maka tahulah ia bahwa kakek gembel ini pun tentulah seorang pendekar sakti yang berilmu tinggi. Maka timbul keinginan hatinya untuk mengenalnya lebih dekat dan untuk mengetahui ke mana ia akan dibawa. Ia tidak merasa takut, maka ia lalu berkata, “Locianpwe, kalau memang locianpwe ingin mengajak aku pergi, harap lepaskan tongkat. Tidak enak sekali diseret-seret seperti seekor anjing.” Akan tetapi kakek itu tidak mempedulikannya, bahkan kini langkahnya lebar-lebar dan cepat sehingga Han Han terpaksa harus melangkah cepat pula kalau tidak mau terseret. Sebentar saja mereka telah pergi jauh dan teriakan-teriakan Sin Kiat yang mengingatkan bahwa keranjang rotinya masih tertinggal, kini tidak terdengar lagi. Tak lama kemudian mereka sudah keluar dari kota dan terus menuju ke tepi Sungai Huang-ho. Setibanya di tepi sungai, kakek itu melanjutkan perjalanan ke kanan, jadi ke arah utara. Mereka berjalan sudah lebih tiga jam, akan tetapi kakek itu tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Han Han yang juga memiliki kekerasan hati dan pada saat itu di samping keinginan tahunya juga merasa penasaran dan mengkal, merasa dirinya dipaksa pergi setengah diculik, tidak pernah bertanya apa-apa pula. Ia berjalan terus di belakang kakek itu. Tentu saja kakek itu yang melangkah lebar dan cepat membuat ia sering kali harus setengah berlari dan tubuhnya sudah lelah sekali. Jalannya tidak rata, menyusup-nyusup hutan dan naik turun. Akan tetapi dengan kekerasan hatinya, Han Han mengikuti terus kakek itu yang akhirnya membawanya masuk ke sebuah hutan di pinggir Sungai Huang-ho. Di tepi sungai dalam hutan ini, tampaklah oleh Han Han bagian yang sudah dibersihkan, pohon-pohonnya ditebangi dan terdapat tempat terbuka yang amat luas, bahkan dipagari dengan bambu. Dari jauh sudah tampak bentuk yang aneh dari tempat ini, agak bundar, akan tetapi Han Han tidak tahu apa maknanya. Baru setelah mereka memasuki pintu gerbang dan membaca papan yang tergantung di depan pintu, tahulah Han Han bahwa bentuk bundar dari tempat itu dengan lingkaran-lingkaran aneh adalah bentuk bunga teratai, sesuai dengan nama tempat itu yang menjadi pusat dari perkumpulan Pek-lian Kai-pang (Persatuan Pengemis Teratai Putih). Han Han berdebar jantungnya. Sudah banyak ia membaca tentang kai-pang dan ketuanya yang sakti, dan baru sekali ini memasuki sarang kai-pang. Siapakah pangcunya? Kakek itu memasuki pintu gerbang dan tampaklah banyak orang-orang berpakaian pengemis berkeliaran di sekitar tempat itu. Di tengah-tengah terdapat bangunan pondok berbentuk kelenteng dan dari situ mengepul asap hio yang wangi. Para gembel itu melihat masuknya kakek bersama Han Hang namun mereka hanya melirik saja dan tak seorang pun ambil peduli. Kakek itu menghampiri pondok kelenteng, lalu masuk ke ruangan depan di mana terdapat meja sembahyang. Han Han mengikuti dari belakang dan berdiri memandang heran ketika melihat kakek itu tiba-tiba duduk bersila dengan kedua kaki saling bertumpangan paha di depan meja sembahyang yang berbentuk teratai, kemudian kakek ini melakukan upacara sembahyang yang aneh. Kedua lengannya digerak-gerakkan, dilonjorkan ke depan, diangkat ke atas, ditekuk ke belakang sambil mulutnya berkemak-kemik membaca mantera yang tidak dimengerti Han Han. Kemudian kakek itu berdiri menyalakan hio dan bersembahyag seperti biasa. Setelah menancapkan hio di tempat dupa, ia melangkah keluar lagi, memberi isyarat dengan lambaian tangan kepada Han Han untuk mengikutinya. Han Han ikut terus dan ternyata mereka menuju ke sungai di mana terdapat sebuah kolam besar yang mendapatkan airnya dari sungai, dialirkan ke tempat itu. Karena kolam di pinggir sungai itu cukup lebar dan permukaannya sama dengan permukaan air sungai, maka air di situ tenang. Di atas permukaan air kolam terdapat beberapa belas benda berbentuk bunga-bunga teratai warna putih, terbuat daripada kayu, mengambang dan bergerak-gerak perlahan di permukaan kolam. Yang membuat Han Han tercengang adalah ketika ia melihat beberapa orang sedang berlatih, berloncatan dari satu ke lain teratai kayu di permukaan air. Ada tiga orang yang berlatih, sementara itu masih ada tiga puluh orang lebih menonton di pinggir kolam. Mereka semua itu adalah orang-orang berpakaian tambal-tambalan terdiri dari laki-laki dan wanita. Akan tetapi lebih banyak lelaki daripada wanitanya yang hanya ada beberapa orang. Han Han tidak mengerti ilmu silat, namun menyaksikan tiga orang itu berloncatan ke atas teratai-teratai kayu yang mengambang di air, melihat gerakan mereka yang begitu ringan dan gesit, ia kagum. Ternyata mereka itu sedang berlatih, karena setelah tiga orang itu meloncat ke darat, mereka digantikan oleh tiga orang lain. Ada pula yang belum mahir meloncat sehingga terpeleset dan teratai yang diinjaknya miring membuat ia terjungkal ke air. Yang menonton mentertawakannya, ada yang mengejek, ada yang memberi petunjuk, membicarakan kesalahannya sehingga ia terjatuh. Ketika kakek yang membawa Han Han muncul, suara tertawa-tawa itu berhenti, akan tetapi tak seorang pun menegurnya. Yang berlatih masih tetap berlatih, namun kini lebih tekun dan serius. Kemudian terdengar kakek itu berkata. “Latihan gin-kang ini bukan untuk main-main. Tanpa ketekunan kalian takkan mendapat kemajuan. Panggil Sin Lian” Han Han melihat betapa semua pengemis yang berada di situ amat menghormat dan taat kepada kakek ini. Agaknya kakek inilah ketua mereka” Akan tetapi mengapa mereka itu seperti acuh tak acuh atas kedatangan kakek itu? Mengapa tidak ada yang memberi hormat? Sungguh mengherankan. Sementara itu, seorang pengemis tua yang tadi berlari-lari untuk memenuhi perintah kakek ini, datang bersama seorang anak perempuan yang juga berlarian dan dari jauh sudah memanggil. “Ayah....” Anak itu menghampiri ayahnya dan memeluk pinggang kakek itu. Si kakek mengelus-elus rambut anaknya dengan penuh kasih sayang. Kembali Han Han tercengang. Kakek ini sudah amat tua, sedikitnya tentu enam puluh tujuh tahun usianya, akan tetapi anaknya baru berusia paling banyak sembilan tahun” Juga keadaan anak itu amat mencolok, cantik mungil dan pakaiannya indah bersih, wajahnya berseri-seri matanya kocak gembira. Kehadirannya di antara para gembel itu benar-benar merupakan seekor burung murai di antara sekumpulan gagak” “Lian-ji (Anak Lian), mengapa kau tidak ikut latihan gin-kang dengan para Pamanmu?” Suara dalam pertanyaan ini halus dan penuh kasih sayang, namun mengandung teguran. “Aku pergi ke hutan, Ayah. Bunga mawar sedang bersemi, indah sekali.” “Hemmm, ada waktunya berlatih, ada pula waktunya bersenang. Jangan campur aduk. Coba kau perlihatkan latihanmu” Anak perempuan itu tertawa dengan sikap manja, lalu melepaskan ayahnya dan menghampiri tepi kolam. Yang berlatih telah mendarat. Mereka semua kelihatan gembira, memandang ke arah gadis cilik itu, dan jelas tampak betapa mereka semua menyayang anak yang bernama Sin Lian ini. Bahkan kini tidak ada lagi yang berlatih, memberi kesempatan kepada anak itu untuk berlatih seorang diri sehingga tidak mengganggu. “Heiiittttt....” Anak itu mengeluarkan seruan keras dan nyaring. Tubuhnya lalu meloncat ke tengah kolam, melambung agak tinggi kemudian di udara ia berjungkir-balik sampai dua kali, baru tubuhnya turun dan kakinya hinggap di atas sebuah teratai kayu. Indah bukan main loncatan tadi dan terdengar seruan-seruan, “Bagus....” Han Han melongo. Apa yang disaksikannya itu terlalu aneh dan indah. Kagum ia melihat betapa anak perempuan itu kini berdiri di atas teratai kayu yang bergerak-gerak timbul tenggelam dan bergoyang-goyang. Namun tubuh anak itu sedikit pun tidak bergoyang, bahkan terdengar lagi seruannya, “Heeiiittitt” Dan tubuhnya sudah mencelat ke atas lagi, lalu hinggap di atas teratai kayu yang lainnya. Demikianlah, bagaikan seekor katak, anak itu berloncatan dari satu teratai ke lain teratai, makin lama makin cepat sehingga seakan-akan ia terbang di permukaan air. Hanya benda-benda berbentuk teratai itu saja yang bergerak-gerak timbul tenggelam dan bergoyang-goyang. Seruan-seruan menjerit nyaring itu terdengar susul-menyusul dan akhirnya tubuh anak itu mumbul ke atas dan berjungkir-balik membuat pok-sai (salto) sampai tiga kali dan ketika turun ia melayang ke dekat kakek tadi. Tepuk tangan memuji dari para penonton membuat wajah anak perempuan itu makin berseri. Wajahnya menjadi merah karena tadi dia telah mengerahkan banyak tenaga, dan napasnya terengah-engah. Kakek yang menjadi ayahnya mengangkat muka dan terhentilah semua tepuk tangan. “Masih jauh daripada sempurna, Lian-ji. Teratai-teratai itu masih bergoyang terlalu keras. Lihat baik-baik, juga kalian semua” Tiba-tiba tubuh kakek itu melayang seperti sehelai daun kering ke tengah kolam, hinggap di atas teratai, lalu meloncat ke lain teratai, terus-menerus dan cepat sekali. Tidak lebih indah daripada permainan Sin Lian tadi, akan tetapi hebatnya, teratai-teratai yang diinjaknya itu sanna sekali tidak bergoyang, seolah-olah hanya kejatuhan sehelai daun kering saja” Kemudian kakek itu mendarat kembali dan berkata. “Untuk dapat menginjak teratai kayu tanpa menggerakkannya, membutuhkan latihan sedikitnya lima tahun dengan tekun. Apalagi dapat meloncat dan hinggap di atas bunga teratai aseli, membutuhkan bakat dan latihan yang amat mendalam.” Setelah berkata demikian, kakek itu menggandeng tangan Sin Lian, menggapai ke arah Han Han dan mengajak mereka memasuki sebuah pondok bambu sederhana di sebelah kiri pondok kelenteng. Juga pondok sederhana ini dihias dengan lukisan-lukisan dan ukir-ukiran teratai putih. “Bocah ini siapakah, Ayah?” Sin Lian bertanya ketika kakek itu mengajak mereka duduk di atas bangku. “Namanya Han Han. Siapakah she-mu (nama keturunan), Han Han?” “Aku she Sie bernama Han, biasa disebut Han Han,” jawab anak itu. “Locianpwe ini siapakah? Apakah ketua dari Pek-lian Kai-pang?” Kakek itu memandang kepadanya dengan mata terbelalak. “Engkau tahu bahwa di sini sarang Pek-lian Kai-pang? Dari mana kau mengenal nama Pek-lian Kai-pang?” Han Han teringat bahwa ucapannya tadi membuka rahasianya bahwa ia pandai membaca. Memang tidak patut bagi seorang yang keadaannya seperti pengemis macam dia ini pandai membaca. Maka cepat-cepat ia berkata, “Aku hanya mengira-ngira saja, locianpwe. Kulihat di sini semua berpakaian rombeng, tentu merupakan sebuah kai-pang. Adapun tentang namanya, di sini kulihat banyak sekali hiasan-hiasan berupa teratai putih, maka tentu saja aku menduga bahwa nama kai-pang di sini tentulah Pek-lian Kai-pang.” Kakek itu mengangguk-angguk. “Nah, kau dengar sendiri, Sin Lian. Betapa cerdiknya anak ini. Dia ini adalah calon muridku, dan agaknya dialah yang boleh diharapkan kelak untuk....” “Aku tidak ingin menjadi murid locianpwe” Han Han memotong cepat-cepat dengan suara nyaring. “Wah, bocah sombong” Sin Lian mendamprat. “Kau tidak mau menjadi murid Ayah, sedangkan seluruh bocah di dunia ini mengilar untuk menjadi muridnya. Kau tidak tahu siapa Ayah? Ayah adalah Lauw-pangcu (Ketua Lauw) yang tersohor di seluruh wilayah Sungai Huang-ho” Apakah engkau lebih suka menjadi gembel busuk yang tiada artinya, mengandalkan hidup dari sisa makanan?” Merah wajah Han Han. Matanya melotot memandang anak perempuan itu. Ia merasa terhina sekali. “Aku bukan pengemis” Dan aku tidak suka menjadi murid pengemis” Aku tidak mau menjadi anggauta kai-pang” “Lagaknya” kau ini pengemis” “Bukan” “Pengemis” “Bukan” “Pengemis” Pakaianmu tambal-tambalan, kalau bukan pengemis, apakah kau ini Pangeran?” “Bukan” Aku bukan pengemis, biar pakaianku tambal-tambalan aku tidak pernah mengemis” Tidak seperti engkau, biar pakaianmu baik tapi....” “Kurang ajar” Kau beranikah kepadaku?” Mengapa tidak berani? Kalau aku benar, biar terhadap kaisar sekalipun aku berani” “Phuhhh” Kalau berani hayo kita berkelahi” “Aku bukan tukang berkelahi, bukan tukang pukul, tapi aku tidak takut kepadamu.” “Hayo pukul aku kalau berani” “Aku bukan tukang pukul” “Kalau aku pukul, kau berani membalas?” “Tentu saja” “Plakkk....” Pipi Han Han sudah kena ditampar Sin Lian sampai Han Han terpelanting dari bangkunya. Ia bangkit dan timbul kemarahannya, akan tetapi Han Han sudah membaca kitab tentang sifat seorang gagah, tentu saja ia malu kalau harus bergelut dengan seorang anak perempuan. “Tidak sakit” katanya sambil meraba pipinya yang menjadi merah. “Balaslah” “Membalas anak perempuan? Untuk apa, memalukan saja. Pukulanmu seperti tahu, tidak terasa sama sekali.” “Sombong” Sin Lian marah sekali, menerjang maju dan gerakannya cepat bukan main. “Dukkk.... plenggggg....” Han Han terjengkang roboh. Perutnya menjadi mulas kena ditendang tadi dan kepalanya pening oleh tempilingan yang cukup keras. Gerakan kaki tangan bocah itu luar biasa cepatnya sehingga Han Han tidak tahu bagaimana caranya bocah itu menendang dan memukul. Rasa nyeri membuat lantai seperti berputar. Ia marah dan kini ia melompat bangun. “Kau.... perempuan keji” katanya lalu ia menerjang maju, hendak menampar. Namun tamparannya mengenai angin belaka dan sebelum ia sempat melihat, kembali tangan kiri gadis cilik itu mampir di pipinya, menimbulkan suara nyaring dan terasa amat panas dan pedas. Tonjokan kepalan kanan yang kecil namun terlatih menyusul, mengenai lehernya, membuat Han Han terhuyung-huyung ke belakang. Tiba-tiba sebuah kaki yang kecil menyapu kedua kakinya. Tanpa ampun lagi tubuh Han Han kembali terpelanting, terbanting pada lantai di mana ia hanya duduk sambil memegangi kepalanya yang puyeng seketika. “Cukup, Lian-ji.” Terdengar kakek itu berkata, suaranya tenang dan halus. Kakek ini tadi diam saja melihat puterinya menghajar Han Han, karena memang hal ini ia sengaja, untuk “membakar” hati Han Han dan menimbulkan semangat jantannya. Dia menduga bahwa setelah mengalami hajaran tentu bocah itu akan merasa terhina dan sadar betapa perlunya mempelajari ilmu untuk memperkuat diri sehingga kelak tidak akan terhina orang lagi. Ia maju dan mengangkat bangun Han Han, disuruhnya duduk lagi di bangku. Han Han masih pening, ketika ia memandang bocah perempuan itu, wajah yang manis namun menggemaskan hatinya saat itu kelihatan menjadi dua. Memandang benda lain juga kelihatan dua” Maka ia meramkan mata sejenak sampai peningnya hilang, baru ia membuka matanya memandang kakek itu dengan mata penasaran. “Nah, bagaimana pendapatmu sekarang? Kalau kau menjadi muridku, tidak mungkin kau akan mudah dihajar orang lain begitu saja.” Akan tetapi jawaban Han Han sungguh di luar dugaan Lauw-pangcu. Anak ini mengangkat muka dan dadanya, lalu berkata, “Aku tetap tidak mau belajar berkelahi” Apa sih bangganya mengalahkan lain orang? Mengalahkan diri sendiri baru patut disebut gagah perkasa” Dalam kemarahannya, tanpa disadarinya lagi Han Han mengucapkan ujar-ujar dari kitab. Kembali kakek itu tercengang. “Aihhh” Dari mana kamu mengetahui filsafat itu?” “Filsafat apa? Itu pendapatku sendiri. Mengalahkan dan memukul orang paling-paling bisa disebut sewenang-wenang, mengandalkan kepandaian dan menjadi tukang pukul” “Dan mengalahkan diri sendiri? Apa yang kau maksudkan?” Kakek itu memancing. Han Han cerdik, ia pandai menutupi rahasianya, maka setelah otaknya bekerja, ia berkata, “Tidak tunduk kepada kemarahan sehingga tidak memukul orang, tidak merugikan orang lain karena kepingin, tidak melakukan pekerjaan hina biarpun perut lapar, mengalahkan diri sendiri.” Dengan ucapan ini ia telah menyindir orang yang telah memukulnya, dan menyindir pekerjaan mengemis yang dianggapnya hina. “Bocah bermulut lancang” Ayah, biar kuhajar lagi dia sampai setengah mampus” Lauw-pangcu menggeleng kepala. “Biarkan dia pergi.” Han Han memang telah berdiri dan melangkah pergi dari tempat itu. Ia keluar dari pintu gerbang tanpa ada yang mengganggunya, kemudian dia berlari cepat untuk segera meninggalkan tempat itu. Ia teringat bahwa tadi ia dibawa ke timur, akan tetapi ia tidak ingin kembali ke barat. Tidak ingin kembali ke kota Tiong-kwan karena takut kalau-kalau bertemu dengan kakek itu lagi kelak dan menimbulkan hal-hal yang amat tidak enak. Sekarang saja ia sudah babak-belur, perutnya masih mulas, kepalanya masih berdenyut-denyut. Sambil berlari ia teringat akan Sin Lian dan diam-diam ia mengomel. “Bocah perempuan yang keji dan galak” Han Han berjalan terus ke timur menyusuri Sungai Huang-ho. Setelah malam tiba, ia mengaso di pinggir sebuah hutan dan mengisi perutnya yang lapar dengan telur-telur burung yang ia temukan di jalan. Juga ada beberapa macam buah-buah yang dapat dimakan sehingga malam itu ia dapat tertidur nyenyak di pinggir hutan. Pada keesokan harinya, ia melanjutkan perjalanan. Dari jauh tampak sebuah dusun. Uang bekal dan makanan sudah habis, ia harus mencari pekerjaan di dusun itu sekedar dapat makan. Di mana pun juga pasti ada pekerjaan. Biarpun di dusun, para petani membutuhkan tenaga bantuan dan tentu ada orang-orang kaya yang membutuhkan tenaga pula. Asal rajin, tak mungkin orang sampai kelaparan, asal mau bekerja. Tidak seperti pengemis-pengemis itu, hanya bermalas-malasan, ingin makan enak tanpa bekerja, biarpun hanya makanan sisa. Menjijikkan” Alangkah hinanya” Tentu saja ia tidak sudi menjadi pengemis, biarpun diberi pelajaran ilmu memukul orang” Apalagi selalu berdekatan dengan bocah perempuan yang ganas itu. Ia bergidik kalau teringat akan Sin Lian, sungguhpun harus ia akui bahwa wajah bocah itu manis sekali. Ketika Han Han berjalan sambil termenung sampai di pintu gerbang dusun itu, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dari depan. Han Han mengangkat muka dan memandang. Seorang anak laki-laki sebaya dengan dia, berpakaian indah dan berwajah tampan, menunggang seekor kuda yang besar dan membalapkan kuda itu keluar dari dusun. Han Han cepat minggir, akan tetapi sambil tertawa-tawa anak laki-laki itu sengaja menyerempetkan kudanya sehingga Han Han yang sudah berusaha melompat masih terlanggar dan jatuh terguling. Beberapa orang dusun melihat hal ini berseru tertahan, agaknya mereka takut untuk mengeluarkan seruan keras. “Bocah sombong, apakah kau sudah gila?” Han Han berteriak marah sambil merangkak bangun. Kuda itu dihentikan dan diputar. Anak laki-laki yang duduk di atasnya kini tidak tertawa lagi, melainkan memandang Han Han dengan wajah bengis. Setelah kudanya tiba di depan Han Han, ia lalu melompat turun, gerakannya tangkas sekali, lalu menghadapi Han Han sambil menudingkan telunjuknya. “Gembel busuk” Berani engkau memaki aku?” “Setan kepala angin” Mengapa tidak berani? Yang kumaki bukan orangnya, melainkan perbuatannya. Biar kau kaisar sekalipun, kalau perbuatannya tidak benar, tentu akan dimaki orang” Han Han membantah berani. Anak itu usianya antara sebelas tahun, kini mendengar ucapan seperti itu keluar dari mulut seorang anak gembel, menjadi terheran-heran sehingga lupa kemarahannya. “Siapakah kau ini berani berkata seperti itu?” “Aku Han Han dan siapa takut mengeluarkan kata-kata benar?” “Wah-wah, agaknya sudah miring otakmu. Tidak tahukah engkau bahwa aku adalah Ouwyang-kongcu (Tuan Muda Ouwyang)? Orang sekitar daerah ini tidak ada yang berani kepadaku. Apalagi jembel macam kamu” Hayo bertutut dan mohon ampun” Bentakan ini mengandung suara marah. Seorang di antara para penduduk dusun yang mulai datang berkerumun, segera mendekati Han Han dan berkata, “Kau agaknya bukan anak sini. Lebih baik lekas bertutut mohon ampun kepada Kongcu.” Mendengar ini, Han Han makin marah. Ia berdiri dengan kedua kaki terpentang, kedua tangan bertolak pinggang, lalu berkata, “Apa perlunya minta ampun? Orang bersalah sekalipun tidak perlu minta ampun dan harus berani menerima hukumannya” Apalagi orang tidak bersalah” Ucapan ini rupa-rupanya merupakan pendapat yang baru sama sekali dan mengherankan semua orang. Bahkan pemuda tampan itu sendiri terheran dan berkurang kemarahannya, lalu mengomel. “Tidak salah katamu? Kau berdiri di jalan, menghalang kudaku” “Bukan aku yang menghalang, tapi kau yang menabrak” Berani berbuat tidak berani mengaku, laki-laki macam apa kau?” “Berani kau? Apa sudah bosan hidup?” bentak anak yang disebut tuan muda Ouwyang itu. Setelah berkata demikian, ia menerjang maju. Han Han berusaha melawan, namun ternyata Ouwyang-kongcu ini tangkas dan kuat sekali. Begitu menerjang, Han Han telah kena digampar kepalanya dan ditonjok dadanya. Han Han terjengkang, napasnya sesak. Sebuah tendangan mengenai lehernya dan dunia menjadi hitam bagi Han Han. “Gembel busuk bosan hidup” Kau belum mengenal kelihaian Kongcumu, ya?” Suara Ouwyang-kongcu ini terdengar sayup-sayup oleh Han Han dan pemuda tampan itu mengeluarkan sehelai tambang dari saku sela kudanya. Diikatnya kaki kiri Han Han, kemudian ia memegangi ujung tali itu dan melompat naik ke atas kudanya. Ketika kudanya dilarikan, tubuh Han Han tentu saja terseret di atas tanah” Orang-orang yang berada di situ hanya memandang dengan mata terbelalak, tidak ada seorang pun berani membela Han Han. Mereka hanya saling pandang dan menggeleng-geleng kepala dengan hati kasihan kepada anak gembel yang amat pemberani itu. Han Ham memiliki kenekatan dan nyali yang luar biasa sekali. Juga tubuhnya memiliki daya tahan mengagumkan. Hal ini telah dilihat oleh mata yang awas dari Lauw-pangcu ketua Pek-lian Kai-pang sehingga kakek itu merasa tertarik dan ingin mengambilnya sebagai murid. Biarpun ia tadi telah dipukul hebat dan kini tubuhnya diseret seperti itu, ia masih tidak merasa takut. Bahkan ia marah sekali. Tidak dipedulikan punggung dan pinggulnya lecet-lecet, pakaiannya yang sudah penuh tambalan itu makin buruk karena compang-camping. Ia tidak mengeluh, tidak pula minta ampun, bahkan ia yang terseret itu berusaha mengangkat tubuh atasnya dan menudingkan telunjuknya ke depan, ke arah Ouwyang-kongcu sambil memaki-maki. “Bocah kejam melebihi iblis” Kelakuanmu ini akan menyeretmu ke lembah kecelakaan” Pada saat itu, dari arah kanan berkelebat sinar putih. Ternyata itu adalah sebatang piauw (pisau sambit) yang disambitkan oleh seorang gadis cilik. Piauw itu tepat sekali mengenal tambang yang menyeret Han Han sehingga putus seketika dan Han Han terbebas, tidak terseret lagi. Sambil duduk dan berusaha membuka ikatan kakinya, Han Han memandang dengan mata terbelalak ketika mengenal bahwa anak perempuan itu bukan lain adalah.... Sin Lian” Han Han mengeluh. Dia ditolong dari tangan seorang anak laki-laki kejam oleh seorang anak wanita ganas” Kedua orang anak itu setali tiga uang, sama-sama ganas dan kejam, tiada yang dipilih” Sin Lian sudah meloncat turun dari atas batu di mana ia tadi berdiri dan menyambitkan piauwnya. Sikapnya garang sekali ketika ia memandang Ouwyang-kongcu dan telunjuknya yang kecil runcing itu menuding ke arah Ouwyang-kongcu sambil memaki. “Setan alas” Monyet pengecut” Beraninya hanya menyiksa bocah gembel yang tidak bisa silat” Hayo lawan aku kalau kau berani, kalau minta diremuk tulang-tulangmu” Sin Lian memasang kuda-kuda menantang. Ouwyang-kongcu ini adalah putera seorang bangsawan tinggi, yaitu Pangeran Ouwyang Cin Kok. Dia putera pangeran, tentu saja selain kaya raya juga angkuh dan sudah biasa menerima penghormatan di mana-mana. Namanya adalah Ouwyang Seng dan pada waktu itu ia sedang menerima pendidikan ilmu silat dari gurunya, seorang tokoh yang memiliki kepandaian tinggi dan sakti. Sebagai putera pangeran, tentu saja dalam perguruannya tersedia segala perlengkapan untuk kebutuhannya setiap hari, sampai-sampai tersedia seekor kuda untuknya. Dan ia pun belajar sambil main-main, kadang-kadang menunggang kuda pergi ke dusun-dusun dan ke manapun juga ia pergi, anak nakal ini tentu disambut penduduk dusun dengan ramah dan hormat, sungguhpun di dalam hati mereka ini membencinya karena kenakalannya suka menggoda orang. Kini, dimaki-maki seperti itu, Ouwyang Seng marah sekali lalu meloncat turun dari atas kudanya. “Eh, kau bocah kampung” Berani kau memaki Kongcumu? Kau pun sudah bosan hidup agaknya” Sambil berkata demikian, Ouwyang Seng lalu menggunakan sisa tambang yang berada di tangannya, yang panjangnya ada dua meter lebih untuk menyerang. Serangannya hebat, cepat dan keras sekali sehingga mengejutkan Sin Lian yang cepat melompat dan mengelak. Dari gerakan serangan itu Sin Lian dapat menduga bahwa anak nakal ini pandai silat. Memang dugaannya tidak keliru. Ouwyang Seng diasuh oleh seorang guru yang amat pandai sehingga biarpun cara ia belajar kurang tekun, namun jarang ada anak sebaya dengannya yang mampu melawannya, biarpun anak itu pandai silat sekalipun. Sebaliknya, melihat betapa anak perempuan yang tadinya hendak ia rangket karena telah berani memakinya itu dapat mengelak demikian cepat, Ouwyang Seng menjadi penasaran dan menerjang lebih gencar lagi. Sin Lian tidak diberi kesempatan membalas serangan-serangannya, karena tambang itu menyerang terus-menerus, membuat ia harus menggunakan gin-kang dan berloncatan ke sana ke mari. “Monyet cilik” Monyet curang” Jangan pakai tambang kalau berani” Sin Lian memaki kalang-kabut karena ia benar-benar terdesak dan tidak sempat membalas sama sekali, bahkan pahanya telah kena dipecut satu kali sehingga terasa pedas dan panas. Ouwyang Seng tertawa bergelak. Ia kini tahu bahwa biarpun memiliki kegesitan luar biasa, anak perempuan ini masih bukan merupakan lawan berat baginya. Maka ia lalu membuang tambang itu dan berkata, “Majulah kalau ingin merasakan kaki dan tanganku yang sakti” Melihat pemuda cilik itu sudah membuang tambangnya, Sin Lian menjadi girang dan cepat ia menerjang maju dengan kaki tangannya yang gesit. Namun dengan mudah Ouwyang Seng menangkis sambil mengerahkan tenaga, membuat Sin Lian meringis kesakitan. Ouwyang Seng tertawa lagi, lalu mendesak dengan pukulan aneh. Sin Lian berseru kaget, terhuyung mundur dan tiba-tiba lututnya kena ditendang Ouwyang Seng sehingga ia roboh terguling. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan tahu-tahu Han Han telah melompat dan menubruk Ouwyang Seng dari belakang. Mulutnya mencela, “Laki-laki apa tuh yang menyerang perempuan” Kedua lengannya merangkul leher dengan sekuat tenaga, kedua kakinya mengait pinggang” Ouwyang Seng terkejut, meronta-ronta. Akan tetapi biarpun tidak pandai silat, Han Han pada dasarnya memang memiliki tenaga besar. Apalagi ia mempunyai kelebihan, yaitu nyali dan kenekatan. Biarpun Ouwyang Seng mengobat-abitkannya, ia tetap tidak mau melepaskan rangkulan lengan dan kempitan kakinya, seperti seekor lintah yang kelaparan menempel pada daging gemuk. “Lepaskan....” Lepaskan, kau gembel busuk.... lepaskan....” Akan tetapi Han Han tidak mau melepaskannya, bahkan menggunakan tangannya untuk mencekik leher” Penduduk dusun yang menghampiri dan menonton perkelahian ini, tidak berani mencampuri, hanya memandang terheran-heran. Orang-orang tidak ada yang berani melawan Ouwyang-kongcu, kini seorang anak perempuan dan seorang pengemis cilik berani menghinanya, memakinya, dan melawannya. Ouwyang Seng yang meronta-ronta akhirnya roboh, membawa tubuh Han Han bersama-sama. Mereka bergulingan di atas tanah, bergelut, namun tetap Han Han tidak mau melepaskan kaki tangannya. Ouwyang Seng mendapat akal, ia lalu menangkap tangan Han Han dan menekuk jari telunjuknya. Bukan main nyerinya rasa telunjuk itu, sampai terasa menusuk di ulu hatinya. Han Han marah lalu.... menggigit pundak Ouwyang Seng sekuat tenaga. “Ouwwuw.... aduh.... aduh.... aduhhh....” Ouwyang Seng menjerit-jerit, pundaknya berdarah dan akhirnya ia menangis berkaok-kaok, melolong-lolong sambil meronta-ronta. Penduduk dusun yang melihat ini menjadi khawatir. Takut kalau terbawa-bawa, maka mereka lalu memburu dan cepat melerai, menarik Han Han melepaskan rangkulannya, kempitannya dan gigitannya. “Hi-hi-hik” Pengecut besar” Bisanya hanya menangis” Hi-hi-hik, kau hebat, Han Han....” Sin Lian bertepuk-tepuk tangan. Ia masih duduk karena lututnya yang tertendang itu membuatnya tak dapat berdiri, agaknya terlepas sambungannya. Juga Han Han merasa betapa telunjuk tangan kirinya sakit sekali, seperti patah sambungannya pula. Ouwyang Seng tadi menangis bukan hanya karena sakit, melainkan terutama sekali karena ketakutan setelah usahanya melepaskan rangkulan gagal. Kini setelah bebas, ia menjadi marah sekali dan menerjang Han Han dengan pukulan keras. Han Han terjengkang dan terpaksa menerima hantaman dan tendangan. Sin Lian memaki-maki, dan untuk ini, Ouwyang Seng segera melompat ke dekatnya dan menendang kepalanya. Biarpun tak dapat bangun, namun Sin Lian yang mengerti ilmu silat mencoba untuk menangkis dengan lengan, dan akibatnya ia pun roboh terguling-guling. Ouwyang Seng menjadi mata gelap saking marahnya. Disambarnya sebuah batu sebesar kepalanya dengan kedua tangan dan ia mengangkat batu itu tinggi-tinggi, kemudian dihantamkan ke arah kepala Han Han. Kalau hantaman ini kena, tentu kepala Han Han akan remuk. Akan tetapi tiba-tiba batu itu tertahan dan di situ telah berdiri Lauw-pangcu. Sekali renggut batu itu terampas dan dibuang ke pinggir. “Anak keji, pergilah” Lauw-pangcu berkata dan ia menangkap tengkuk Ouwyang Seng terus dilempar ke depan. Tubuh anak itu melayang dan.... jatuh tepat di atas punggung kudanya. Ouwyang Seng maklum bahwa kakek itu amat lihai, akan tetapi dasar seorang anak yang manja, ia malah memaki, “Tua bangka gembel busuk” Kalau berani, katakan siapa namamu” Lauw-pangcu hanya mengira bahwa anak itu adalah seorang anak bangsawan manja saja, maka sambil tersenyum ia berkatap “Bocah, aku adalah orang she Lauw.” Ouwyang Seng menarik kendali kudanya, menendang perut kuda itu yang segera meloncat maju dan membalap ke depan, meninggalkan debu mengebul tinggi. Han Han bukan tidak mengerti bahwa nyawanya tertolong oleh kakek itu, dan ia sudah terlalu banyak belajar tentang kebudayaan dan tentang budi, maka ia segera menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu sambil berkata, “Saya menghaturkan terima kasih atas pertolongan locianpwe.” Lauw-pangcu tersenyum. “Bangunlah dan mari ikut bersamaku, Han Han.” Ia lalu memondong tubuh puterinya dan Han Han terpaksa mengikutinya karena tidak mau dianggap tak mengenal budi. Setelah tiba di sarang Pek-lian Kai-pang, Lauw-pangcu mengobati Sin Lian dan telunjuk tangan Han Han. Hebat sekali cara kakek ini membenarkan sambungan tulang karena setelah diurut sebentar dan ditempeli koyok, dalam waktu setengah hari saja telah sembuh kembali. “Pengalamanmu hari ini tentu telah meyakinkan hatimu, Han Han, betapa pentingnya mempelajari ilmu menjaga diri. Berkali-kali engkau dapat dipukuli orang, dan hampir saja tewas. Aku tidak berniat buruk denganmu, bukan hendak mengajarmu menjadi tukang pukul. Aku melihat bakat yang amat luar biasa pada dirimu yang tak akan dapat ditemukan di antara sepuluh laksa orang anak, maka engkau berjodoh untuk mewarisi semua ilmuku, Han Han.” “Akan tetapi, locianpwe, aku tidak ingin belajar silat.” “Coba sajalah. Dan pepatah mengatakan bahwa tak kenal maka tak sayang. Kalau kau sudah mengenal seluk-beluk ilmu itu, kau tentu akan suka sekali. Sementara ini, biarlah engkau akan menerima menjadi muridku dan coba belajar, hitung-hitung untuk membalas budi kepadaku. Bagaimana?” Kakek itu memang cerdik. Ia telah mengenal bahwa bocah ini memiliki watak yang aneh dan keras luar biasa, memiliki kemauan yang tak terpatahkan, tidak dapat dipaksa dan mengenal budi. Karena itu, ia sengaja mengemukakan tentang balas budi untuk mengikat dan memaksa. Dan memang usahanya berhasil, Han Han terjebak. Anak ini sudah mempelajari kitab tentang budi pekerti sampai mendarah daging, di mana diajarkan bahwa setiap budi yang dilepas orang harus dibalas berlipat ganda, sebaiknya budi sendiri yang dicurahkan kepada orang lain harus dianggap sebagai kewajiban dan segera dilupakan. “Baik, locianpwe.” “Bagus, Han Han. Sekarang engkau telah menjadi muridku. Aku adalah gurumu dan Sin Lian ini adalah sucimu (Kakak Seperguruan), biarpun dia lebih muda darimu.” “Baik, suhu, teecu (murid) mengerti.” Makin kagum hati kakek itu dan timbul persangkaannya bahwa anak ini tentu bukan keturunan orang biasa ketika mendengar Han Han menyebut dia suhu dan diri sendiri teecu, kemudian betapa anak itu berlutut di depannya dan paikwi (menyembah) sampai delapan kali. Ia mengangkat bangun muridnya itu dan berkata, “Han Han, muridku, sebagai seorang murid, pertama-tama engkau harus mengerti apa yang menjadi kewajiban utama seorang murid?” “Teecu mengerti. Harus taat dan berdisiplin. Taat terhadap segala perintah suhu, dan berdisiplin dalam memegang tugas, kemudian harus setia dan berbakti terhadap guru.” Kalau tadi Lauw-pangcu hanya kagum saja, kini ia terheran-heran dan tercengang. “Sin Lian, dengar baik-baik omongan sutemu (Adik Seperguruan) ini” Engkau dapat belajar banyak dari dia” Han Han, pendapatmu tadi tepat sekali. Nah, sekarang sebagai perintah pertama dari suhumu, kau ceritakanlah pengalamanmu, siapa orang tuamu dan bagaimana engkau sampai menjadi seorang anak terlunta-lunta dan hidup seorang diri.” Han Han terkejut mendengar pertanyaan ini. Ia sudah mengambil keputusan ketika ia meninggalkan rumah orang tuanya yang terbakar, di mana terdapat mayat ayah bundanya, untuk menyimpan rahasia tentang dirinya, untuk melupakan penglihatan itu dan hanya mengingat wajah tujuh orang perwira Mancu, terutama wajah Si Brewok dan Si Muka Kuning. Kini orang yang menjadi gurunya secara terpaksa ini pertama kali mengharuskan dia menceritakan pengalaman dan riwayatnya” Ia menundukkan mukanya, dan begitu rasa penasaran dan sakit hati timbul karena pertanyaan itu mengingatkan ia akan semua malapetaka yang menimpa keluarganya, mendadak ada rasa aneh sekali di kepalanya. Kepalanya sebelah belakang kanan yang dahulu terbanting pada dinding ketika ia dilemparkan panglima muka kuning, kini berdenyutan keras, seolah-olah kepala bagian itu bergerak-gerak dan kepalanya menjadi pening. Ia hanya berkata perlahan sambil menunduk. “Teecu tidak dapat menceritakan itu....” Tiba-tiba Sin Lian mencela dengan suara keras dan nyaring, “Sute (Adik Seperguruan)” Engkau ini murid macam apa? Sudah tahu akan kewajiban murid, akan tetapi pada kesempatan pertama kau telah tidak mentaati perintah guru” Han Han makin marah. Bocah ini benar-benar cerewet sekali, dan ia merasa terdesak. Ia mengangkat mukanya memandang Sin Lian, melihat betapa anak perempuan yang lebih muda daripadanya akan tetapi telah menjadi kakak seperguruannya itu juga memandang kepadanya dengan sinar mata aneh, seperti orang terpesona, terbelalak keheranan. Dengan hati marah Han Han memandang dan di dalam hatinya ia memaki. “Kau bocah cerewet” Kau seperti seekor monyet yang menari-nari” Mendadak terjadi hal yang amat aneh. Sin Lian tiba-tiba meloncat mundur dan menggerakkan kaki tangannya menari-nari, mulutnya berbisik-bisik, “Aku seekor monyet.... menari-nari....” Aku seekor monyet yang menari-nari....” Dan ia menari-nari dengan gerakan lucu, seolah-olah ia meniru gerakan monyet” Lauw-pangcu tadinya mengira bahwa Sin Lian yang memang biasanya nakal itu sengaja hendak memperolok-olok dan mempermainkan Han Han, maka dengan bengis ia membentak puterinya yang manja itu, “Sin Lian” Hentikan itu” Akan tetapi, puterinya yang biarpun manja namun selalu mentaati perintahnya itu, masih saja berjoget, secara aneh dan lucu sambil terus berbisik, “Aku seekor monyet menari-nari.... seekor monyet menari-nari....” Terkejutlah Lauw-pangcu” Ia menoleh dan memandang kepada Han Han dan mukanya berubah pucat, matanya terbelalak. Ia melihat betapa sepasang mata anak ini menyinarkan cahaya yang amat aneh, manik mata yang hitam itu seperti mengeluarkan api, demikian tajamnya seperti menembus otak, membuat ia tidak mampu menggerakkan bola mata, membuat ia terpaksa memandang sepasang mata itu, seperti melekat, seperti tertarik besi sembrani” Ia mengerahkan sin-kang, berusaha melawan, namun terdengarlah suara Han Han, padahal anak itu tidak menggerakkan bibir, terdengar suaranya penuh wibawa, penuh pengaruh luar biasa. “Suhu sudah tua, tidak perlu merisaukan suci yang nakal. Lebih baik suhu mengaso dan tidur daripada menjengkelkan kelakuan suci....” Terjadi keanehan ke dua. Kakek itu menguap dan mulutnya berkata lirih, “Auhhh, aku sudah tua.... ingin mengaso dan tidur....” Lalu kakek itu pun merebahkan kepala di atas meja, berbantal lengan dan tidur” Han Han melongo saking herannya. Ia menoleh kepada Sin Lian yang masih terus menari-nari sambil berbisik-bisik, “Aku seekor monyet yang menari-nari.... seekor monyet....” Ketika ia menoleh pula memandang gurunya, kakek itu masih tidur nyenyak” Melihat ini, Han Han makin bingung. Tadi ia mengira bahwa Sin Lian hanya mempermainkannya dan menari-nari untuk mengejeknya, maka ketika memandang gurunya, ia merasa kasihan dan hatinya menghibur gurunya agar supaya jangan jengkel dan supaya guru yang tua itu mengaso dan tidur daripada mempedulikan Sin Lian. Akan tetapi sekarang, gurunya benar-benar tidur dan Sin Lian masih terus menari-nari seperti telah menjadi gila” Dari bingung, Han Han menjadi ketakutan dan diguncang-guncangnya pundak Lauw-pangcu sambil berteriak-teriak. “Suhu....” Suhu.... Bangunlah, suhu....” Lauw-pangcu serentak bangun dan matanya terbelalak ketika meloncat dari bangkunya. “Apa.... apa yang terjadi....?” tanyanya seperti orang habis bangun dari mimpi, padahal ia tertidur belum ada dua menit” Ketika ia menoleh ke arah puterinya, wajahnya kembali menjadi pucat. Kakek ini sudah mempunyai pengalaman yang banyak sekali, akan tetapi apa yang ia alami sekarang ini benar-benar membuat ia tidak mengerti dan terheran-heran. Namun, ia sudah dapat menguasai perasaannya, cepat ia melompat mendekati Sin Lian yang masih menari-nari berloncat-loncatan seperti seekor monyet nakal itu, menangkap pundak puterinya dan menotok punggungnya. Sin Lian mengeluarkan suara merintih perlahan lalu roboh pingsan dalam pelukan ayahnya. “Dia.... dia kenapa, Suhu? Suci mengapa tadi....?” tanya Han Han, khawatir juga menyaksikan semua itu karena kini ia dapat menduga bahwa keadaan Sin Lian tadi tidak wajar, bukan menari-nari untuk mengejeknya. Kakek itu hanya menghela napas panjang, lalu merebahkan tubuh puterinya di atas dipan, memeriksanya sebentar lalu berkata lirih, “Tidak apa-apa, sebentar lagi pun sembuh, ia tertidur.” Kemudian ia mengajak Han Han keluar. “Han Han, mari kita bicara di luar.” Dengan hati tidak enak Han Han mengikuti gurunya keluar kamar dan duduk di ruang depan pondok kecil itu. Mereka duduk berhadapan dan Lauw-pangcu kini memandang wajah muridnya dengan pandang mata tajam penuh selidik. Makin tidak enak hati Han Han dan ia menunduk. “Han Han, pandanglah mataku” perintah kakek itu. Han Han mengangkat mukanya memandang. Sejenak pandang mata mereka bertemu dan jantung kakek itu berdebar. Mata yang hebat” Ia merasa betapa sinar mata itu mendesak pandang matanya, menusuk masuk dan membuat jantungnya tergetar. Seperti mata iblis” Akan tetapi saat itu kosong sehingga yang terasa hanya ketajamannya yang menggetarkan dan betapapun kakek ini mengerahkan sin-kangnya, akhirnya ia tidak kuat menahan dan terpaksa mengalihkan pandang matanya, tidak kuat lebih lama beradu pandang. Padahal ia telah memiliki sin-kang (tenaga sakti) yang amat kuat” Tertipukah ia? Adakah bocah ini murid seorang sakti yang telah memiliki tenaga mujijat? Harus kucoba lagi. Berpikir demikian, Lauw-pangcu menggerakkan tangan kanan cepat sekali, tahu-tahu telah menotok jalan darah kian-keng-hiat di pundak anak itu. Seketika tubuh Han Han menjadi kaku tak dapat digerakkan, akan tetapi hanya sebentar saja karena kakek itu telah menotoknya kembali, membebaskannya. Lauw-pangcu menunduk dan makin heran. Jelas bahwa anak ini tidak mengerti silat, dan tidak pernah belajar silat. Orang yang mengerti ilmu silat tentu memiliki gerak otomatis sebagai reaksi atas penyerangan terhadap dirinya. Anak ini sama sekali tidak mempunyai gerak itu, tidak berusaha mengelak atau menangkis, bahkan urat syaraf di pundaknya tidak menentang, tanda bahwa urat syarafnya juga belum terlatih, tidak biasa akan serangan cepat lawan. Akan tetapi pandang mata itu, pengaruhnya yang hebat” Adapun Han Han ketika tadi merasa pundaknya disentuh gurunya membuat tubuhnya kaku menegang, kemudian pulih kembali, menjadi heran dan penasaran. Ia tidak tahu apa yang dilakukan suhunya. Akan tetapi ia menganggap suhunya itu penuh rahasia, tidak berterus terang dan seolah-olah tidak mempercayainya. Tiba-tiba suhunya itu memegang kedua pundaknya dengan cekalan erat, mata kakek itu menatapnya penuh selidik dan terdengarlah pertanyaannya dengan suara keras mendesak. “Han Han” Dari mana kau mempelajari ilmu I-hun-to-hoat (semacam hypnotism)?” “Apa? I-hun-to-hoat, suhu? Mendengar pun baru sekarang. Sudah teecu katakan bahwa teccu tidak pernah mempelajari ilmu apa-apa....” “Hemmm, jangan mencoba untuk menyangkal. Habis, apa yang kau lakukan terhadap sucimu dan aku tadi kalau bukan Ilmu I-hun-to-hoat?” Ilmu I-hun-to-hoat adalah semacam ilmu hypnotism, membetot semangat dan menguasai kemauan orang dengan penggunaan sin-kang yang sudah mencapai tingkat tinggi. Han Han makin tak senang hatinya. Ia sudah menentang perasaan hati dan pendapatnya sendiri dan sudah suka menjadi murid Lauw-pangcu. Akan tetapi mengapa suhunya ini sekarang menuduhnya yang bukan-bukan? “Suhu, mengapa suhu menuduh yang bukan-bukan? Suhu mengambil murid teecu ini hendak diajar ilmu ataukah untuk dituduh-tuduh saja? Sudah teecu katakan bahwa teecu tidak pernah belajar silat.” “Tapi.... tapi pandang matamu.... dan peristiwa tadi” Lian-ji menari-nari di luar kehendaknya, aku pun tertidur di luar kemauanku. Hal ini hanya mungkin terjadi kalau orang menggunakan Ilmu I-hun-to-hoat yang amat kuat. Han Han, aku tidak mempunyai niat buruk terhadap dirimu. Kalau kau benar-benar pernah menjadi murid orang sakti, aku pun malah makin suka kepadamu. Perlu apa kau berbohong? Sudah ada buktinya peristiwa tadi, aku sendiri mengalami, dan pandang matamu juga penuh dengan tenaga mujijat yang hanya timbul dari sin-kang yang tinggi.” Han Han menjadi tidak sabar. “Teecu tidak mengerti apa yang suhu katakan itu, tidak pernah mendengar apa itu I-hun-to-hoat, dan apa itu sin-kang” Pendeknya, teecu belum pernah belajar ilmu silat, bahkan sebelum menjadi murid suhu, teecu membenci ilmu silat. Malah sekarang, karena suhu tuduh yang bukan-bukan, timbul pula rasa tidak senang itu....” “Han Han, jangan salah mengerti. Memang ada sesuatu yang amat aneh terjadi, dan kurasa, ada sesuatu yang ajaib sekali terdapat dalam dirimu. Aku tidak menuduh sedikitpun juga dan kau pun harap suka berterus terang. Mungkinkah kau pernah membaca kitab kuno tentang ilmu menguasai semangat dan kemauan orang lain, dan telah mempelajarinya?” “Tidak, sama sekali tidak.” “Engkau anak aneh. Datang-datang kau bagi-bagikan roti kering kepada gembel yang lain. Hal ini saja sudah membuktikan keanehanmu. Dan cara kau bicara, sungguh tidak seperti seorang anak gembel.” “Teecu bukan pengemis” “Kalau begitu engkau seorang anak keluarga bangsawan yang terlunta-lunta. Bukankah begitu?” “Tidak, tidak” Teecu sudah katakan bahwa teecu tidak dapat menceritakan asal-usul dan riwayat teecu. Teecu sendiri hampir lupa. Mengapa suhu memancing-mancing? Apa artinya riwayat teecu? Pendeknya, teecu seorang yang tiada ayah bunda lagi, tiada saudara, sebatangkara. Suhu, teecu biarpun hidup melarat dan seorang bodoh, namun teecu berpegang kepada peribahasa It-gan-ki-jut-su-ma-lam-twi (Sepatah kata dikeluarkan, empat ekor kuda pun tidak kuat menariknya kembali)” Lauw-pangcu tercengang. Ucapan muridnya ini jelas membuktikan bahwa bocah itu bukan bocah sembarangan, dan bukan hanya memiliki watak yang keras, memiliki pribadi yang aneh, tenaga sakti simpanan yang penuh rahasia, akan tetapi juga memiliki asal-usul yang menarik dan tentu bukan dari keluarga sembarangan. Ia menjadi girang sekali, akan tetapi juga khawatir. Anak ini selain memiliki kekuatan mujijat, juga memiliki watak yang sukar diukur dalamnya, sukar dijenguk isinya sehingga bagi dia yang menjadi gurunya, akan sukarlah untuk membentuk watak bocah ini kelak. Diam-diam ia heran dan berpikir keras untuk menduga, ilmu apakah yang telah dimiliki atau yang masuk secara aneh dalam diri bocah ini. Tentu saja Lauw-pangcu tidak dapat menduganya, tidak mengerti akan keadaan Han Han. Jangankan orang luar, sedangkan Han Han sendiri pun tidak mengerti, tidak sadar bahwa ada perubahan hebat pada dirinya, bahwa ada sesuatu yang secara ajaib terjadi di dalam dirinya. Ketika ia dihajar oleh perwira muka kuning dahulu di dalam kamar karena ia telah “mengganggu” perwira muka kuning itu yang sedang memperkosa ibunya, ia dilempar dan kepalanya terbanting pada dinding kamar dengan keras sekali sehingga ia menjadi pingsan. Entah bagaimana hanya Tuhan yang mengatur dan mengetahuinya, bantingan kepala yang terjadi pada saat hatinya merasa tertusuk-tusuk oleh perasaan duka, marah, sakit hati dan gelisah itu, bantingan keras yang menggetarkan otaknya, telah merubah dan mengguncangkan otaknya, merubah susunan syaraf dalam kepala. Tanpa ia sadari, timbullah semacam kekuatan mujijat di dalam kepalanya yang menyinar keluar dari matanya. Kekuatan mujijat ini terutama sekali timbul apabila hatinya terganggu dan membuatnya menjadi marah dan sakit hati. Kekuatan mujijat yang membuat pandang matanya kuat melebihi pandang mata seorang ahli sihir yang bagaimana pandai sekalipun, yang membuat daya ciptanya sedemikian kuatnya sehingga dalam keadaan seperti itu, mudah saja ia “merampas” dan menguasai semangat kemauan orang” Kalau ahli-ahli sihir memperoleh kekuatan mereka karena latihan dan ketekunan, adalah Han Han memperolehnya karena kekuasaan Thian yang tiada batasnya. Susunan otak dan syarafnya, seperti manusia-manusia lain, adalah sempurna sekali sehingga segala sesuatu dapat dipergunakan secara normal. Akan tetapi, hantaman kepalanya pada dinding itu menggoyahkan kesempurnaan itu sehingga cara kerja otak dan syarafnya menjadi terganggu. Justeru gangguan ini yang menimbulkan kekuatan hebat itu” Namun Han Han sendiri tidak sadar akan hal ini. Karenanya ia tidak dapat menguasai kekuatan mujijat ini dan kekuatan ini hanya timbul kalau ia sedang marah seperti yang tadi timbul dan tanpa ia sadari sendiri telah membuat Sin Lian menari-nari seperti monyet dan Lauw-pangcu tertidur pulas di luar kehendaknya” Lauw-pangcu menghela napas panjang. Sebagai seorang yang sudah berpengalaman luas, ia telah dapat mengenal sifat-sifat Han Han. Ia tahu bahwa kalau ia mendesak terus, hasilnya malah merugikan karena anak ini tentu akan kehilangan gairah belajar ilmu silat. Pada saat itu, Sin Lian berlari-lari keluar dari kamarnya dan berkata. “Ayah.... Ayah.... aku mimpi aneh....” Lauw-pangcu memandang puterinya lalu mengerling kepada Han Han yang menundukkan muka. “Mimpi apa?” “Aku mimpi menjadi monyet dan menari-nari.... eh, sute masih di sini. Bagaimana, Ayah, apakah dia masih berkepala batu tidak mau menceritakan riwayatnya?” Lauw-pangcu kembali melirik kepada Han Han mendengar ucapan puterinya itu, dan Han Han masih menunduk, hanya mukanya menjadi merah karena anak ini pun terkejut dan heran di dalam hatinya. Tadi dia telah memaki didalam hatinya, memaki Sin Lian seperti monyet menari-nari dan gadis cilik ini pun lalu menari-nari tanpa sadar. Kemudian sekarang bocah ini mengatakan mimpi menjadi monyet dan menari. Apa yang telah terjadi? Dia sendiri tidak mengerti dan bingung. Akan tetapi hatinya lega ketika mendengar gurunya berkata. “Sutemu sama sekali tidak kepala batu, Lian-ji. Jangan kau kurang ajar dan terlalu mendesaknya. Han Han adalah seorang keturunan keluarga Sie, dan karena dia sudah tiada ayah bunda lagi, memang tidak ada sesuatu yang perlu diceritakan.” “Aihhhhh...., dia ini jaka lola (yatim piatu)....?” Suara Sin Lian mengandung penuh iba sehingga lunturlah semua kebencian di hati Han Han. Apalagi ketika ia memandang kepada “suci-nya” itu dan melihat pandang mata Sin Lian terhadapnya begitu lembut dan penuh kasihan, ia lalu tersenyum kepada Sin Lian. Dara cilik itu membalas senyumnya dan mulai detik itu terjalinlah rasa persahabatan antara mereka. Mulailah Lauw-pangcu mengajarkan dasar-dasar ilmu silat kepada Han Han. Hatinya girang bukan main karena dugaannya sama sekali tidak meleset. Bocah ini memiliki ingatan yang amat luar biasa, seperti kertas putih bersih saja, sekali ditulis tidak akan luntur lagi. Mudah saja bocah ini menerima pelajaran kouw-koat (teori silat) dan mendengar terus mengerti dan ingat. Sebentar saja ia sudah dapat menghafal semua nama dan kedudukan bhesi (kuda-kuda). Juga ketika melatih kuda-kuda, sebentar saja ia sudah dapat menguasainya sungguhpun kuda-kudanya itu tentu saja hanya merupakan kulit yang belum ada isinya. Ketika Sin Lian disuruh mengujinya, sekali serampang dengan kaki, kuda-kuda yang dilakukan Han Han itu rontok dan ia pun terguling” Maka Lauw-pangcu makin yakin bahwa anak ini memang belum pernah belajar silat. Mulai hari itu, Han Han disuruh berlatih memasang kuda-kuda dengan tekun dan Sin Lian yang menjadi sucinya selalu menemaninya dan mengawasinya dengan rajin pula. Dalam keadaan apapun juga, Han Han diharuskan memasang kuda-kuda dan dengan demikian, ia mulai memaksa otot-otot kakinya, dan melatih otot-otot kakinya itu agar menjadi seperti kaki ahli silat karena sepasang kaki merupakan pilar terpenting bagi seorang ahli silat. Makin kuat kuda-kudanya, makin sempurnalah ilmu silatnya, demikian pendapat para ahli silat. Han Han merupakan seorang anak yang rajin dan tekun. Akan tetapi kerajinannya ini hanya ditujukan untuk membaca kitab karena memang sejak kecil ia sudah “berkecimpung” dalam lautan kitab-kitab dan huruf-huruf sastra. Kalau disuruh menghafal, sekali baca ia dapat mengingat seribu huruf di luar kepala. Kini, disuruh melatih bhesi, ia merasa tersiksa sekali. Menimba air pun harus dengan sepasang kaki memasang bhesi, di waktu berdiri, di waktu jongkok, bahkan di waktu ia berdiri memasak air dan membantu pekerjaan Sin Lian mengurus rumah, ia diharuskan oleh gurunya untuk memasang kuda-kuda. Dan semua ini selalu diawasi dan dikontrol secara keras oleh Sin Lian” “Sute, memang membosankan belajar bhesi seperti ini. Akan tetapi karena bhesi amat penting, sute harus tekun. Aku sendiri semenjak pandai berjalan sudah disuruh belajar bhesi oleh Ayah” Han Han menarik napas panjang. Sudah hampir sebulan ia berlatih bhesi seperti ini. Bayangkan saja. Dalam sebulan itu ia selalu memasang bhesi” Hanya di waktu tidur nyenyak saja kakinya tidak dikakukan karena dalam tidur ia terlupa. Kedua kakinya terasa kaku sekali, bahkan kalau dilonjorkan menimbulkan rasa sakit-sakit lagi. “Suci, apakah belajar silat begini tidak menjemukan? Jangan-jangan kalau sudah lulus, sekali berdiri memasang bhesi kedua kakiku lalu berakar di tanah dan tidak dapat dicabut lagi. Berapa lama aku harus melatih bhesi seperti ini?” “Tergantung orangnya, sute. Akan tetapi menurut kata Ayah, engkau memiliki daya tahan dan bakat yang luar biasa sehingga dalam beberapa hari lagi tentu Ayah akan mengajar lebih lanjut.” “Mengajar apa?” “Ilmu silat tentunya. Ilmu pukulan.” “Wah, aku tidak suka.” “Mengapa?” “Ilmu saja kok ilmu memukul orang” Untuk memukul, menyiksa dan membunuh orang digunakan ilmu yang dipelajari. Alangkah kejinya” “Sute, kau ini bocah aneh sekali. Ilmu silat bukan semata-mata memukul orang. Memukul hanya merupakan sebuah di antara gerakan silat, di samping gerakan mengelak, menangkis, menendang, menyiku dan lain-lain. Ilmu silat, menurut penjelasan Ayah, adalah ilmu tata gerak menjaga dari pada serangan lawan, juga ilmu kesehatan karena dengan latihan ilmu silat, jalan darah kita beredar dengan lancar dan betul mendatangkan kesehatan, selain itu, juga merupakan seni tari yang indah, dan terakhir merupakan latihan batin, meningkatkan harga diri dan memupuk sifat rendah hati.” Han Han mendengarkan dengan melongo. Mereka duduk mengaso setelah berlatih kuda-kuda itu di dalam taman liar yang dipelihara oleh Sin Lian, duduk di atas rumput yang tebal. Tak disangkanya bahwa puteri ketua pengemis ini dapat bicara seperti itu” Disangkanya bahwa Sin Lian hanya pandai bersilat dan pandai memaki, galak, ganas, akan tetapi juga ramah sekali. “Keteranganmu amat menarik,” katanya tersenyum, “dan engkau pandai membela kebaikan ilmu silat. Tentang yang pertama, aku percaya karena engkau pandai menjaga serangan lawan bahkan pandai menyerang. Juga bahwa ilmu silat adalah ilmu menyehatkan tubuh, boleh dipercaya melihat betapa engkau sehat dan kuat serta lincah sekali. Akan tetapi bahwa ilmu silat adalah ilmu yang mengandung seni tari indah, masih aku sangsikan.” “Masih sangsi? Kau lihat dan katakan apakah ini tidak indah,” kata Sin Lian yang sudah melompat bangun dan dara cilik ini mulai bersilat tangan kosong. Gerakannya cepat, namun terutama sekali amat indah. Gerakan tangan kaki teratur rapi dan benar-benar membuat Han Han menahan napas. Ia melihat betapa gerakan-gerakan itu, biarpun agak terlalu cepat, namun tiada ubahnya seperti seorang dewi yang menari dengan indahnya, sama sekali tidak kelihatan sebagai ilmu untuk berkelahi. Betapa lemasnya kedua lengan dan tubuh itu” “Bagus” Memang indah sekali, suci” katanya memuji dengan sejujurnya. Sin Lian berhenti bersilat, lalu duduk pula di dekat Han Han. “Harus aku akui bahwa ilmu silat tadi seperti orang menari saja. Kini aku percaya bahwa dalam ilmu silat terkandung seni tari yang indah, sungguhpun aku masih sangsi apakah aku dapat belajar bersilat seindah yang kau mainkan itu. Tentang meningkatkan harga diri dan memupuk sifat rendah hati, kurasa hal ini tidak karena ilmu silat, melainkan tergantung daripada sifat orangnya.” “Ah, tidak bisa” Seorang guru yang baik seperti Ayah, di samping mengajarkan ilmu silat, juga menekankan aturan-aturan keras untuk membuat muridnya memiliki harga diri, menjadi pembela kebenaran dan keadilan, serta tidak sombong.” “Kalau begitu aku suka belajar ilmu silat. Biar kuminta suhu mengajarku gerakan kaki tangan.” Sin Lian menggeleng-geleng kepalanya yang bagus bentuknya. “Tidak begitu mudah, sute. Kuda-kudamu belum sempurna benar. Lebih baik kita berlatih lagi agar kuda-kudamu cepat sempurna. Setelah kuda-kudamu kuat benar, baru kau akan diberi pelajaran gerakan kaki tangan.” “Berapa lama lagi kiranya? Sebulan, dua bulan, tiga bulan?” “Tergantung dari kemajuanmu, sute. Mungkin setahun baru diberi pelajaran pukulan.” Jawaban ini membuat semangat Han Han menjadi lesu kembali. Disuruh belajar bhesi sampai setahun? Wah, berat sekali” Membosankan. Memang pada dasarnya ia kurang dapat melihat manfaatnya ilmu silat dan tadinya sama sekali tidak suka, kini setelah mulai tertarik ia terbentur pada kesukaran belajar kuda-kuda yang membosankan itu sampai setahun” Sin Lian baru berusia sembilan tahun lebih, akan tetapi ternyata dia seorang bocah yang cerdik. Melihat wajah sutenya menjadi muram, ia cepat berkata. “Sute, jangan memandang rendah kuda-kuda. Karena sesungguhnya pokok kekuatan ilmu silat terletak pada kekokohan bhesi inilah. Bagaikan rumah, demikian kata Ayah, bhesi adalah tiang-tiangnya, pukulan tendangan dan gerakan lain hanya bagian atasnya atau cabang-cabangnya berupa daun-daun jendela dan penghias-penghias lain. Apa artinya rumah itu tampak indah dan kuat kalau hanya tampaknya saja dan tiang-tiangnya tidak kuat? Tertiup angin keras sedikit saja akan roboh” Demikian pula orang pandai silat. Kalau hanya kelihatannya saja bagus dan kuat, namun tidak memiliki sepasang kaki yang dapat berkuda-kuda kuat, sekali bertemu lawan berat akan mudah dirobohkan. Memang terlalu banyak orang yang hanya ingin pandai memukul, menendang, sehingga kelihatannya pandai. Akan tetapi kalau demikian halnya, engkau hanya akan menguasai seni tarinya saja tidak akan dapat menguasai inti sari ilmu silat.” Kembali Han Han tertegun. Bocah perempuan ini pandai sekali berdebat, dan jalan pikirannya seperti orang dewasa saja. Agaknya memang Lauw-pangcu sudah menggemblengnya sejak kecil, bukan hanya digembleng ilmu silat, melainkan juga nasehat-nasehat dan wejangan-wejangan. “Baiklah, suci, aku akan tekun berlatih bhesi,” kata Han Han sambil menghela napas. Mulailah ia berlatih lagi, mengulangi berbagai kuda-kuda yang sukar-sukar, diawasi dan diberi petunjuk oleh sucinya yang lebih muda darinya itu. Sampai hari menjadi gelap barulah keduanya meninggalkan taman. Tiga bulan kemudian Han Han masih belum dilatih gerak pukulan, akan tetapi di samping latihan bhesi, ia mulai dilatih mengatur napas dan bersamadhi oleh gurunya. Pelajaran ini pun membosankan baginya, namun setidaknya ia cukup mengerti akan manfaat siulian (samadhi) dan mengatur pernapasan, karena dalam kitab-kitab kuno hal ini pun selalu disebut-sebut sebagai kewajiban setiap orang yang hendak menguasai diri pribadi dan menguasai nafsu-nafsunya. Karena itu, latihan siulian dan mengatur napas ini lebih mudah ia pelajari. Hanya bedanya, kalau siulian untuk menguasai diri pribadi dan mengendalikan nafsu dilakukan dengan duduk diam dan belajar mengendalikan pikiran dan menenteramkan hati serta menutup semua perasaan, adalah siulian yang diajarkan oleh Lauw-pangcu ini ditujukan untuk melancarkan jalan darah, untuk menguasai pernapasan dan terutama sekali untuk menggunakan hawa dalam tubuh sebagai kekuatan” Lauw-pangcu kembali tertegun dan terheran-heran ketika pada hari-hari pertama ia mengajar murid barunya ini bersamadhi, dalam waktu singkat saja Han Han sudah dapat mematikan semua rasa dan berada dalam keadaan hening yang hanya akan dapat dicapai oleh orang yang sudah berbulan-bulan belajar samadhi” Ia hanya mengira bahwa Han Han memang memiliki bakat luar biasa dan kemauan yang amat keras seperti baja, tidak tahu bahwa hal ini timbul dari keadaan yang “tidak wajar” dalam diri Han Han akibat terbantingnya kepalanya pada dinding dahulu. Lebih-lebih lagi keheranannya ketika ia melatih Han Han untuk mengumpulkan hawa ke pusar dan bertanya apakah ada terasa hawa di situ, anak itu mengangguk” Ia lalu menyuruh muridnya menggunakan kemauan untuk mendorong hawa panas itu naik ke dada dan kembali Han Han mengangguk, sebagai tanda bahwa ia telah melakukan perintah suhunya. Lauw-pangcu tidak percaya, lalu meraba dada muridnya. Ia terbelalak. Dada itu mengeluarkan getaran yang amat kuat sehingga tubuh bocah itu menggigil, mukanya merah seperti terbakar. Cepat-cepat ia menurunkan lagi hawa panas itu turun ke pusar sehingga keadaan anak itu normal kembali. Setelah Han Han dan gurunya duduk mengaso tidak berlatih, gurunya berkata. “Dalam latihan siulian, kau cepat maju, Han Han. Hati-hatilah, jangan kau sembrono dengan hawa panas di pusar itu. Itu merupakan kekuatan hebat dan kalau kau sudah dapat mengendalikannya, hawa itu dapat kau dorong ke bagian tubuh yang manapun juga, merupakan kekuatan sin-kang yang luar biasa. Akan tetapi kalau kau sembrono dan keliru menggunakannya, dapat merusak bagian dalam tubuhmu sendiri. Sebaiknya secara perlahan kau latih dan kuasai hawa itu, mendorongnya perlahan-lahan dan sedikit demi sedikit maju, sampai dapat kau perintah dia maju ke pundak, kemudian turun ke lengan dan sebagainya. Hawa itu dapat diperkuat dengan latihan samadhi dan pernapasan yang benar seperti yang aku ajarkan kepadamu. Kau sudah hafal akan teorinya, tinggal melaksanakan dalam latihan-latihan yang tekun.” Demikianlah, hanya dengan setengah hati Han Han melanjutkan latihannya, yakni memperkuat kuda-kuda dan latihan samadhi. Sebetulnya ia sudah tidak kerasan sama sekali tinggal di sarang Pek-lian Kai-pang ini. Ia merasa tidak bebas lagi, tidak seperti ketika ia berkeliaran tanpa tujuan. Sekarang ia terikat oleh kewajiban-kewajiban berlatih dan membantu pekerjaan rumah tangga yang dilakukan Sin Lian. Ia tidak lagi dapat berlaku sekehendak hatinya, mau tidur tinggal tidur, mau jalan tidak ada yang melarang, bisa tertawa sesukanya atau menangis semaunya kalau ia kehendaki. Di situ, ia terpaksa berlaku tidak wajar tidak bebas. Ia tidak suka berlatih silat, namun terpaksa ia lakukan. Kalau hatinya sedang mangkal, ia seharusnya cemberut, menurutkan hatinya, akan tetapi di depan gurunya, Sin Lian dan para anggauta kai-pang, ia memaksa diri tersenyum” Benar-benar hidup tersiksa baginya. Lebih-lebih kalau ia mengingat akan sikap para suheng-suheng (kakak seperguruan) atau susiok-susiok (paman seperguruan) terhadap dirinya, membuat ia makin tidak kerasan lagi. Mereka itu, anggauta-anggauta kai-pang yang taat, memandang rendah dan hina kepadanya karena ia bukan termasuk golongan pengemis” Kalau tidak mau menjadi pengemis, mengapa belajar ilmu silat di situ dan memakai pakaian rombeng, demikian mereka sering kali menegurnya. Han Han sering kali dihina, dipukul dan diejek. Akan tetapi dasar dia memiliki watak keras dan berani, sedikit pun tidak mempunyai watak pengecut, ia tidak pernah mengeluh di depan gurunya. Bahkan di depan Sin Lian ia tidak pernah menceritakan perlakuan mereka itu terhadap dirinya. Sikap ini menolongnya karena para anggauta kai-pang yang gagah itu merasa kagum menyaksikan sikap Han Han dan gangguan-gangguan mereka makin berkurang. Sudah lima bulan Han Han berada di sarang Pek-lian Kai-pang itu. Pada suatu pagi, datanglah serombongan pengemis ke tempat itu. Mereka ini terdiri dari belasan orang pengemis, tampak kuat-kuat seperti para anggauta Pek-lian Kai-pang. Hanya bedanya, kalau pakaian para anggauta Pek-lian Kai-pang, biarpun bertotol-totol berkembang atau tambal-tambalan, dasarnya selalu warna putih, adalah rombongan pengemis yang datang ini pakaiannya serba hitam” Wajah mereka juga bengis-bengis, dan mereka dipimpin seorang pengemis tua bongkok berpakaian hitam yang matanya hanya satu, yaitu yang kanan karena mata kirinya buta. Han Han yang sedang berlatih bersama Sin Lian, segera berlari-lari menghampiri bersama gadis cilik itu yang menjadi tegang dan berbisik, “Ah, mereka adalah orang Hek-i Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Hitam). Tentu mencari keributan” Han Han menjadi berdebar tegang hatinya. Benar-benarkah akan terjadi bentrokan antara para pengemis? Alangkah aneh dan lucunya. Sama-sama pengemis, masih bertengkar” Ia dan Sin Lian menonton dari pinggir karena saat itu, Lauw-pangcu sendiri telah menyambut datangnya rombongan pengemis baju hitam ini bersama anak buahnya yang sudah berbaris rapi. Rata-rata para anggauta Pek-lian Kai-pang bersikap keren. Lauw-pangcu telah mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil berkata, “Biarpun belum pernah jumpa, namun tidak akan keliru dugaan saya kalau yang datang berkunjung ini adalah Song-pangcu (Ketua Pengemis Song) dari lembah utara” Kakek bongkok itu mengeluarkan suara mendengus seolah-olah sikap sopan dan ramah ini malah tidak menyenangkan hatinya. “Benar, Lauw-pangcu. Aku orang she Song ketua Hek-i Kai-pang dari seberang sungai. Tak perlu kiranya kita berpanjang debat, Lauw-pangcu, karena kita sama tahu bahwa di antara anak buah kita sudah sering kali timbul bentrok, dan....” “Bentrokan yang sengaja dilakukan oleh anggauta-anggautamu, Song-pangcu” bantah Lauw-pangcu dengan suara keren. “Sudah jelas daerah kita dibatasi sungai, namun para anggautamu sengaja menyeberang sungai dan mendesak daerah kami di selatan” “Tidak perlu dibicarakan lagi urusan itu” Song-pangcu memotong marah. “Kami tidak perlu lagi banyak cakap dengan segala pemberontak....” “Song-pangcu” Mengapa kau menuduh yang bukan-bukan?” “Ha-ha-ha” Menuduh, katamu? Siapa tidak tahu bahwa Pek-lian Kai-pang adalah cabang dan pecahan dari Pek-lian-kauw yang memberontak dan jahat? Siapa tidak tahu akan kontak antara kalian dengan pemberontak di barat?” Lauw-pangcu menjadi pucat mukanya lalu berubah merah sekali “Song-pangcu, memang tidak perlu banyak cakap. Antara kita terdapat jurang pemisah dan bibit permusuhan. Sekarang, kalian datang mau apa?” “Ha-ha, mau apa lagi? Membereskan urusan antara kita dengan senjata” kata It-gan Hek-houw sambil terkekeh dan menggerak-gerakkan tongkatnya yang juga berwarna hitam seperti pakaiannya. Lauw-pangcu memberi isyarat dengan tangan dan melompatlah lima belas orang anggauta Pek-lian Kai-pang tingkat tinggi. Mereka inilah yang oleh Sin Lian dan Han Han disebut susiok (paman guru) dan mereka ini yang mewakili Lauw-pangcu melatih ilmu silat kepada para murid. Hanya Sin Lian dan Han Han berdua saja yang menerima pendidikan langsung dari ketua Pek-lian Kai-pang ini. Lima belas orang itu bergerak secara teratur, berputaran dan terbentuklah sebuah barisan lingkaran tiga lapis. Yang luar terdiri dari delapan orang, sebelah dalamnya lima orang dan yang paling dalam dua orang. Bentuknya seperti teratai. “Song-pangcu, bicara tentang mengadu senjata berarti mengadu kepandaian. Seorang pangcu yang mempunyai banyak anak buah, tidak patut kalau turun tangan sendiri sebelum mengajukan anak buahnya. Cobalah kau pecahkan barisan kami yang bernama Pek-lian-tin (Barisan Teratai Putih) ini” kata Lauw-pangcu. Barisan itu hanya bentuknya saja seperti teratai, akan tetapi sebenarnya merupakan gabungan daripada pat-kwa-tin (barisan segi delapan) yang diwakili oleh lingkaran pertama di luar, ngo-heng-tin (barisan lima unsur) yang diwakili oleh lingkaran ke dua dan im-yang-tin (barisan im-yang) diwakili oleh dua orang, yaitu sesungguhnya bukan barisan hanya kerja sama antara dua orang yang menggunakan dua jenis tenaga yang berlawanan dalam gerakan mereka. Dapat diduga betapa hebat dan kuatnya barisan Pek-lian-tin yang terdiri dari gabungan tiga barisan kuat. Akan tetapi It-gan Hek-houw yang sudah mendengar akan Pek-lian-tin ini memandang rendah dan tertawa mengejek. Ia sudah siap dengan anak buahnya yang dipilih atas tokoh-tokoh terpandai dari Hek-i Kai-pang. Ia pun memberi tanda dengan tongkatnya diangkat ke atas maka majulah lima belas orang pengikutnya yang rata-rata bertubuh kuat, tidak seperti ketua mereka yang bongkok. Seperti Pek-lian-tin itu, mereka pun masing-masing memegang sebatang tongkat hitam, yang hanya warnanya saja berbeda dengan tongkat lawan yang putih. Lima belas orang pengemis pakaian hitam ini lalu bergerak pula membentuk lingkaran besar, mengelilingi Pek-lian-tin. Mereka ini harus terus berlari-larian mengelilingi barisan pengemis Pek-lian Kai-pang yang tetap pada kedudukan mereka, tidak bergerak, hanya pandang mata mereka saja tetap memperhatikan lawan yang berada di depan mereka masing-masing. Dengan lingkaran terdiri dari lima belas orang itu, maka barisan luar pat-kwa-tin yang terdiri dari delapan orang itu menghadapi jumlah lawan yang hampir dua kali lebih banyak. Namun mereka tetap tenang, siap dengan tongkat di tangan, demikian pula ngo-heng-tin yang berada di dalam, dan dua orang yang membentuk im-yang-tin. Han Han menonton dengan jantung berdebar. Baru sekali ini ia akan menyaksikan pertempuran hebat antara orang-orang yang pandai ilmu silat dan mulailah rasa tidak senang menggerogoti hatinya. Jadi mereka itu mati-matian berlatih ilmu silat hanya untuk ini? Untuk berkelahi, saling serang dan mungkin saling bunuh? Apakah kelak kalau dia sudah pandai ilmu silat juga seperti mereka ini? Ia pun memikirkan tuduhan kakek mata satu itu yang dilontarkan terhadap Pek-lian Kai-pang. Benarkah Pek-lian Kai-pang itu sebuah perkumpulan pemberontak? Benarkah Pek-lian Kai-pang adalah cabang dari Pek-lian-kauw? Dia sudah pernah membaca tentang Pek-lian-kauw ini, yang merupakan perkumpulan Agama Teratai Putih, akan tetapi sesungguhnya adalah perkumpulan kaum pemberontak yang gigih terhadap Kerajaan Beng-tiauw yang telah jatuh di tangan bangsa Mancu. Menurut patut, pemberontak terhadap Kerajaan Beng tentunya bekerja sama dengan bangsa Mancu” Akan tetapi mengapa sekarang masih disebut pemberontak dan malah tadi dituduh mengadakan kontak dengan pemberontak di barat? Han Han tidak mengerti dan menjadi bingung, akan tetapi hal itu ia lupakan karena perhatiannya lebih tertarik kepada pertempuran hebat yang akan berlangsung. “Anjing-anjing hitam itu tidak mungkin dapat menangkan Pek-lian-tin” kata Sin Lian dengan suara berbisik. “Akan tetapi jumlah mereka lebih banyak. Mana bisa lingkaran luar yang terdiri dari delapan orang dapat bertahan?” bantah Han Han yang mau tidak mau tentu saja berpihak kepada Pek-lian Kai-pang. “Kau lihat saja, nanti tahu kelihaian Pek-lian-tin.” Han Han tidak keburu bertanya lagi karena kini pertandingan sudah dimulai, perhatiannya tertarik dan ia menonton dengan hati tegang. Batu pertama kali ini selama hidupnya Han Han menonton pertempuran seperti ini dan karena ia tahu bahwa dalam pertempuran ini akan banyak orang terluka dan tewas, maka hatinya tegang sekali. Pertempuran itu dimulai dengan bentakan-bentakan dan sorakan-sorakan nyaring dari kedua pihak. Mula-mula lima belas orang pengemis baju hitam itu setelah tadi berlari-larian memutari Pek-lian-tin, bersorak dan menyerbu secara tiba-tiba. Lima belas orang itu bergerak dengan cepat dan dalam detik yang sama, karena memang mereka itu bergerak menurut aturan barisan yang telah mereka susun dan latih sebelumnya. Tongkat mereka maju menerjang dan setiap dua orang pengemis baju hitam telah memilih seorang pengemis Teratai Putih sebagai lawan sehingga penyerangan mereka tidak kacau, mempunyai sasaran yang tertentu. Kalau diukur tingkat kepandaian perorangan antara anggauta kedua “tin” ini, agaknya berimbang dan tidak banyak selisihnya. Maka jika seorang di antara mereka dikeroyok dua orang lawan, tentu akan kalah. Kalau lingkaran luar Pek-lian-tin itu menerima serangan lawan begitu saja, tentu mereka akan hancur mengingat bahwa jumlah mereka hanya delapan orang menghadapi serangan lima belas orang. Akan tetapi, setelah bertanding, barisan ini memperlihatkan kehebatannya. Tiba-tiba mereka itulah yang sekarang bergerak memutar sambil menangkis sebuah serangan. Dan karena mereka bergerak memutar ini maka setiap orang pengemis Pek-lian Kai-pang hanya cukup menangkis serangan seorang lawan saja lalu bergerak ke kiri menerima pula serangan tongkat hitam yang lain. Adapun orang ke dua pihak lawan yang menyerangnya otomatis telah “diterima” oleh teman yang datang menggeser dari kanan. Memang gerakan ini membuat mereka menerima serangan secara bertubi-tubi, namun tetap saja mereka itu masing-masing hanya menghadapi seorang lawan saja. Kemudian secara tiba-tiba sekali, barisan sebelah dalam yang terdiri dari lima orang, cepat dan tidak terduga-duga oleh barisan lawan yang sedang gembira mendesak lingkaran luar yang berputaran itu, menerjang dari celah-celah antara dua orang kawan yang membentuk Pak-kwa-tin. Mereka ini menerjang dengan tongkat mereka menuju ke sebuah sasaran saja, yaitu ke arah seorang lawan yang mereka lihat dari dalam tadi berada dalam posisi lemah. Terdengar teriakan-teriakan kesakitan dan robohlah tiga orang pengemis baju hitam. Lima orang anggauta Ngo-heng-tin itu telah berhasil merobohkan tiga orang lawan dan karena serangan mereka tadi amat tiba-tiba, maka pihak lawan hanya ada dua orang saja yang mampu menangkis, sedangkan yang tiga orang kena dihantam kepalanya dan roboh berkelojotan dengan kepala retak” “Nah, kau lihat kelihaian Pek-lian-tin” seru Sin Lian dengan suara nyaring, sebetulnya ucapan ini ditujukan kepada Han Han akan tetapi terdengar oleh semua orang karena keadaan di situ sunyi dan tegang, kecuali suara beradunya tongkat dan terengahnya napas mereka yang sedang bertempur. Han Han merasa kagum, akan tetapi juga ketidak-senangannya terhadap ilmu silat bertambah. Ia terbelalak memandang ke arah tiga orang pengemis baju hitam yang berkelojotan kaki tangannya, mulutnya mengeluarkan rintihan perlahan, darah mengalir dari mata, telinga, hidung dan mulut. Kemudian mereka berhenti berkelojotan dan tidak bergerak lagi. Han Han bergidik. Untuk inikah ilmu silat dilatih? Untuk inikah perkumpulan kai-pang dibentuk? Ia menyapu wajah mereka yang sedang bertempur seru. Wajah penuh keringat, berkilat-kilat, akan tetapi masih kalah oleh kilatan mata mereka yang penuh nafsu membunuh, mulut yang menyeringai, seolah-olah mereka amat gembira menghadapi perjuangan antara mati dan hidup ini” Seolah-olah mereka itu sekumpulan kanak-kanak tengah bermain-main, tidak ada ketakutan terbayang di wajah mereka, yang ada hanya nafsu untuk menang, untuk menghancurkan lawan, untuk membunuh” Setelah kehilangan tiga orang kawan, barisan pengemis baju hitam menjadi hati-hati sekali. Mereka maklum bahwa kalau dilanjutkan, selain penyerangan mereka akan gagal, juga mereka akan sukar melindungi diri dari serangan tiba-tiba yang dilakukan oleh lima orang di sebelah dalam barisan lawan itu. Terdengar It-gan Hek-houw ketua mereka bersuit nyaring dan kini barisan pengemis baju hitam mengubah gerakan. Mereka pun berjalan mengitari barisan lawan, mengimbangi gerakan Pat-kwa-tin, kemudian mereka menyerang lagi, bukan menyerang sambil berhenti di tempat seperti tadi, dan kini mereka menyerang tidak berbareng, melainkan berganti-ganti sehingga yang tidak menyerang dapat menjaga kawan yang menyerang dari bahaya. Keadan makin seru dan kacau karena pihak pengemis Pek-lian-tin dibikin bingung oleh penyerangan seperti itu. Mereka melawan sekuat tenaga, kadang-kadang dibantu oleh Ngo-heng-tin dari dalam yang kini bertugas membela kawan-kawan yang di luar. Perang campuh terjadi dan berjatuhanlah korban kedua pihak. Akan tetapi sekali ini, pihak Pek-lian-tin roboh empat orang sedangkan di pihak Hek-i Kai-pang roboh tiga orang lagi. Pat-kwa-tin yang kehilangan empat orang itu menjadi ompong dan kehilangan daya keampuhannya. Hal ini tidak disia-siakan oleh pihak pengemis baju hitam yang langsung menyerang dan menghimpit. Akan tetapi kini bergeraklah barisan Ngo-heng-tin, menutup bagian-bagian yang lowong dan balas menyerang. Terjadi perang tanding yang amat seru dan mati-matian antara sembilan orang pengemis Pek-lian-tin melawan delapan orang pengemis Hek-i Kai-pang. Akan tetapi terdengar bentakan-bentakan nyaring dan roboh pula empat orang pengemis baju hitam. Kiranya sekarang im-yang-tin yang terdiri dari dua orang itu telah bergerak. Gerakan mereka sungguh mengagetkan. Kiranya mereka ini merupakan “inti” dari Pek-lian-tin, dan tingkat kepandaian mereka lebih tinggi daripada tiga belas orang teman yang lain. Selain tingkat kepandaian mereka lebih tinggi, juga gerakan mereka sukar diduga lawan karena mereka itu menyusup di antara dua barisan depan yang sengaja menyembunyikan mereka dan hanya bergerak memberi jalan setelah mendapat isyarat dari dalam. Maka sekali menerjang keluar dalam keadaan tak terduga-duga, tongkat mereka berkelebat dan masing-masing dapat merobohkan dua orang lawan” Bersoraklah pihak Pek-lian Kai-pang melihat hasil ini. Kini pihak pengemis baju hitam sudah tewas atau luka berat sepuluh orang, sisanya hanya lima orang lagi saja” Sedangkan pihak Pek-lian Kai-pang hanya roboh empat orang, jadi masih sebelas orang. Kini keadaan terbalik, lima orang pengemis baju hitam melawan sebelas orang pengemis Pek-lian” Namun, harus dipuji semangat bertempur pengemis-pengemis baju hitam itu. Agaknya mereka ini merasa sakit hati sekali menyaksikan robohnya teman-teman mereka dan kini mereka bertanding seperti orang-orang kemasukan setan, dengan nekat dan tidak peduli akan diri sendiri. Karena amukan yang hebat ini, keadaan makin kacau. Pihak Pek-lian Kai-pang baru dapat merobohkan sisa lima orang lawan ini setelah merobohkan pihak sendiri dengan empat orang lagi” Lima belas orang pengemis baju hitam dan delapan orang anggauta Pek-lian Kai-pang menggeletak mandi darah, sebagian besar mati dan sebagian lagi luka-luka berat” Tujuh orang anggauta Pek-lian Kai-pang masih berdiri dalam bentuk barisan biarpun lawannya sudah roboh semua, wajah mereka membayangkan kebanggaan karena dalam pertempuran ini merekalah yang berada di pihak menang” Tapi pada saat itu, terdengar bentakan nyaring dan tubuh It-gan Hek-houw yang bongkok itu telah bergerak maju, tongkat hitamnya diputar-putar cepat sekali. Ia maju menerjang tujuh orang sisa barisan Pek-lian-tin itu yang tentu saja sudah cepat bergerak menyambut terjangan ketua Hek-i Kai-pang. Namun gerakan Si Bongkok bermata satu itu memang hebat. Tongkatnya yang hitam itu biarpun kecil, mengandung tenaga luar biasa sehingga terdengarlah suara pletak-pletok ketika tongkat-tongkat ketujuh orang lawannya itu patah-patah setelah bertemu dengan tongkatnya dan dalam waktu singkat saja, tongkatnya telah merobohkan tujuh orang Pek-lian-tin itu” Lauw-pangcu memekik marah melihat ini, dan tiba-tiba tubuh kakek ini mencelat ke depan, tongkatnya menyambar ganas. “Desssss....” Dua tongkat itu bertemu dengan hebat dan akibatnya, keduanya terhuyung mundur. Akan tetapi, kalau Lauw-pangcu hanya terhuyung dua langkah ke belakang, adalah Si Bongkok itu terhuyung enam tujuh langkah dan hampir terjengkang roboh. “It-gan Hek-houw” Engkau tua bangka tak tahu malu” Jangan hanya memperlihatkan kegarangan terhadap anak buahku, hayo lawanlah aku. Kita tua sama tua, mari kita lihat siapakah di antara kita yang lebih unggul” bentak Lauw-pangcu yang menjadi marah sekali menyaksikan musuh ini merobohkan anak buahnya. “Orang she Lauw, manusia sombong, pemberontak rendah” It-gan Hek-houw balas memaki sambil lari maju dan melakukan serangan dengan dahsyat. Lauw-pangcu yang memang sudah siap sedia, menyambutnya dan bertandinglah kedua orang ketua kai-pang ini dengan seru. Ilmu tongkat Lauw-pangcu yang diciptakannya sendiri dari gabungan banyak ilmu silat tongkat yang dikenalnya, diambil intinya dan bagian-bagian yang paling lihai, yaitu Ilmu Tongkat Pek-lian-kun-hoat, memang lihai luar biasa. Memang sesungguhnyalah bahwa Lauw-pangcu ini, yang tadinya bernama Lauw Tai Kim, adalah seorang tokoh dari Pek-lian-kauw yang telah dihancurkan oleh Kerajaan Beng-tiauw. Pek-lian-kauw sudah hancur dan tokoh-tokohnya banyak yang tewas, akan tetapi Lauw Tai Kim berhasil menyelamatkan diri. Diam-diam ia lalu mengumpulkan kawan-kawan, dan menerima kawan-kawan baru lalu membentuk perkumpulan pengemis Pek-lian Kai-pang. Memang benar bahwa Pek-lian-pai atau Pek-lian-kauw dahulu terkenal sebagai perkumpulan pemberontak yang merasa tidak puas dengan Kerajaan Beng. Akan tetapi hal ini bukan berarti bahwa jiwa Lauw-pangcu adalah jiwa pemberontak yang suka bersekutu dengan penjajah asing. Sama sekali tidak. Bahkan ketika Kerajaan Beng musnah lalu muncul Kerajaan Ceng yang didirikan oleh bangsa Mancu yang menjajah Tiong-goan, Lauw-pangcu ini diam-diam menentang penjajah ini dan mengadakan hubungan dengan Bu Sam Kwi yang membangun kerajaan kecil di barat dan menentang pemerintah Mancu. Bahkan perkumpulan Pek-lian Kai-pang ini sekarang dijadikan mata-mata untuk Bu Sam Kwi, dan diam-diam selain mengawasi gerak-gerik pemerintah Mancu, juga melakukan pengacauan-pengacauan, sabotase-sabotase terhadap pemerintah penjajah. Inilah sebabnya mengapa Lauw-pangcu sering kali bentrok dengan serdadu-serdadu Mancu. Akan tetapi pihak pemerintah Mancu juga tidak bodoh dan buta. Pemerintah ini, dengan menggunakan kekuasaan, pengaruh dan sogokan harta benda, berhasil pula memikat hati golongan-golongan di Tiong-goan sehingga suka bekerja sama dan membantu pemerintah mereka. Juga perkumpulan Hek-i Kai-pang telah menjadi kaki tangan pemerintah baru. Tentu saja lama-kelamaan gerak-gerik Pek-lian Kai-pang ketahuan dan karena ini pula maka Hek-i Kai-pang memusuhinya dan sampai hari ini terjadi bentrok hebat antara ketua sama ketua” It-gan Hek-houw juga bukan seorang lemah. Ilmu tongkatnya adalah gubahan dari ilmu toya Siauw-lim-pai, maka memiliki gaya yang kokoh kuat dan sukar ditundukkan. Namun. dalam hal ilmu kepandaian, ia masih kalah banyak oleh Lauw-pangcu sehingga setelah lewat lima puluh jurus, Lauw-pangcu berhasil memukul pundak kirinya. “Krakkk....” It-gan Hek-houw mencelat ke belakang, lalu terjatuh berlutut, akan tetapi cepat berdiri lagi. Lengan kirinya tergantung lumpuh, tulang pundak kirinya remuk. Mukanya pucat dan matanya yang tinggal sebelah itu mengeluarkan sinar penuh kemarahan dan kebencian. Tidak sedikit pun terdengar keluhan atau rintihan dari mulutnya dan hal ini saja membuktikan bahwa ketua Hek-i Kai-pang memang gagah. “Orang she Lauw, hari ini aku mengaku kalah. Akan tetapi kau tunggulah pembalasanku” Setelah berkata demikian, It-gan Hek-houw lalu membalikkan tubuh dan pergi dari situ, diikuti sisa orang-orangnya yang memondong teman-teman yang terluka. Beberapa orang tokoh Pek-lian Kai-pang bergerak maju dan hendak mengejar, akan tetapi Lauw-pangcu membentak dan melarang mereka. “Pangcu, anjing macam dia kalau tidak dibunuh sekarang, besok tentu akan menimbulkan keributan saja,” bantah seorang di antara mereka. “Jangan gosok-gosok luka yang sudah parah. Kita harus bersiap-siap dan segera pergi dari sini. Tak lama lagi tentu barisan Mancu datang menyerbu. Kalian sudah mendengar sendiri tadi ucapan-ucapan It-gan Hek-houw. Rahasia kita telah diketahui dan lebih baik kita kembali ke barat, bergabung dan menyampaikan laporan kepada Ong-ya (Raja). Sehari ini kita harus dapat membereskan segalanya dan berkemas, paling lambat besok pagi kita harus sudah berangkat meninggalkan tempat ini.” Wajah para pengemis itu berubah, sebagian besar merasa tidak suka untuk pergi dari daerah Tiong-goan yang sudah menjadi tempat mereka mencari rejeki. Akan tetapi tidak seorang pun berani membantah perintah ketua mereka dan diam-diam mereka itu hanya saling pandang, kemudian mulai mengurus mayat teman-teman mereka yang roboh dalam pertandingan tadi, serta merawat yang luka. “Han Han, engkau di mana....?” teriakan nyaring dari Sin Lian ini menyadarkan Lauw-pangcu yang sedang melamun sambil menonton ahak buahnya menolong para korban. Ia cepat membalikkan tubuhnya, dan menghampiri puterinya. “Ada apakah, Lian-ji? Ke mana Han Han?” Sin Lian mengerutkan alisnya yang kecil hitam. “Entahlah, Ayah. Tadi dia berada di sini bersamaku menonton pertandingan. Akan tetapi tiba-tiba ia lenyap entah ke mana. Kupanggil-panggil tidak menyahut.” Lauw-pangcu membantu puterinya memanggil-manggil dan mencari Han Han, akan tetapi tidak tampak bayangan anak itu. Bahkan ia lalu memerintahkan beberapa orang anak buah Pek-lian Kai-pang untuk bantu mencari. Namun sia-sia, Han Han telah lenyap tak meninggalkan bekas. Ke manakah perginya anak itu? Tadinya Han Han menonton pertandingan, dan ia menjadi kagum sekali menyaksikan ilmu tongkat gurunya yang amat hebat dan aneh. Akan tetapi, di sudut hatinya ia makin tidak senang. Ia benci melihat bunuh-membunuh itu, melihat sesama pengemis saling bunuh seperti itu. Andaikata mereka itu merupakan gembel-gembel biasa yang tidak tahu ilmu silat, tidak mungkin mereka itu akan bertengkar dan bercekcok lalu berkelahi saling bunuh seperti itu. Apalagi setelah ia mendengar ucapan gurunya, mengertilah ia bahwa memang betul perkumpulan pengemis yang dipimpin gurunya itu adalah perkumpulan pemberontak yang bergabung dengan kekuasaan yang dipimpin “ong-ya” di barat. Ia menjadi makin tidak senang. Bukan ia tidak senang melihat perlawanan terhadap pemerintah Mancu, hanya ia tidak ingin melibatkan diri ke dalam pertentangan politik yang ia tidak mengerti. Semua ini membuat hatinya makin terasa hambar terhadap pelajaran ilmu silat, maka ketika melihat bahwa Sin Lian sedang tertarik dan tidak memperhatikannya, diam-diam anak ini lalu pergi dari situ dan terus berlari cepat keluar dari dalam hutan. Ia takut kalau-kalau gurunya akan mengejar, maka ia berlari terus tak kunjung henti sehingga ketika Lauw-pangcu dan anak buahnya mencari-cari di sekitar hutan, ia telah berada amat jauh di luar hutan. Han Han kembali ke kota Tiong-kwan. Sudah hampir setengah tahun ia belajar di bawah asuhan Lauw-pangcu. Ketika ia memasuki pintu gerbang kota Tiong-kwan ia merasa betapa cepatnya sang waktu berlalu. Seolah-olah baru kemarin saja ia tiba di Tiong-kwan dan bertemu Lauw-pangcu di bekas rumah terbakar. Masih terbayang jelas betapa ia bertemu dengan gembel cilik dan membagi-bagi roti. Oh ya, siapa pula nama gembel cilik yang bercita-cita menjadi seorang perwira itu? Wan Sin Kiat” Berseri wajah Han Han ketika teringat akan bocah yang telah menjadi sahabatnya itu. Ia harus pergi mencarinya. Akan senang juga berkawan dan mengobrol dengan Sin Kiat. Pula, ia harus mencari pekerjaan, mencari hasil untuk mengisi perutnya. Maka pergilah Han Han ke tempat yang dahulu, di dekat pasar, bekas gedung yang terbakar. Dari jauh sudah terdengar suara ribut-ribut seperti suara anak-anak berkelahi. Han Han lari menghampiri dan ketika ia tiba di tempat itu, ia melihat seorang anak laki-laki berpakaian mewah memukul dan menendang roboh dua orang gembel cilik. Gerakan anak berpakaian mewah itu gesit sekali, dan pukulan serta tendangannya juga antep buktinya dua orang anak gembel itu roboh dan mengaduh-aduh. Ketika Han Han meneliti, kiranya seorang di antara dua anak jembel itu bukan lain adalah Wan Sin Kiat. Dan ketika ia memperhatikan anak berpakaian mewah itu, kemudian melihat pula seekor kuda tinggi besar berdiri di belakang anak itu, ia segera teringat dan merahlah mukanya. Bocah berpakaian mewah itu bukan lain adalah pemuda sombong yang pernah menyiksanya dan menyeretnya dengan kuda lima bulan yang lalu itu” Pemuda yang disebut Ouwyang-kongcu (Tuan Muda Ouwyang) dan yang ditakuti penduduk kampung” Melihat betapa kini Ouwyang-kongcu itu memukuli dua orang anak gembel itu, Han Han segera melompat maju dan berdiri menghadapinya sambil membentak marah. “Kau bocah sombong dan jahat” Di mana-mana kau suka memukul orang” Melihat datangnya seorang bocah gembel lain, Sin Kiat yang sudah lupa lagi kepada Han Han, mengeluh dan memegangi pantatnya. “Aduhhh.... kau main curang, awas kau kalau aku sudah dapat berdiri lagi....” Adapun bocah pengemis ke dua, yang usianya sudah jauh lebih tua, sedikitnya ada empat belas tahun, agaknya tidak memiliki nyali sebesar Sin Kiat. Buktinya dia yang sudah dapat bangkit kembali itu hanya berdiri mengaduh-aduh sambil memegangi pundak yang terpukul. Bocah berpakaian mewah membawa kuda itu memang Ouwyang Seng adanya. Berbeda dengan Sin Kiat yang sudah pangling dan tidak mengenal Han Han, Ouwyang Seng ternyata memiliki ingatan yang lebih kuat. Apalagi karena dia pernah digigit pundaknya oleh Han Han yang sampai sekarang pun masih ada bekas lukanya. Ia berdiri bertolak pinggang, memandang dengan sikap mengejek, kemudian berkata. “Hemmmmm, kau ini bocah edan yang dulu pernah kuhajar setengah mampus” Dahulu pun setengah tahun yang lalu, kau bukan lawanku. Apalagi sekarang setelah aku memperoleh kemajuan pesat dengan ilmu silatku. Kau petentang-petenteng, apa kau berani melawan kongcumu? Ingat, sekali ini kalau aku turun tangan, kau akan roboh dan tidak akan dapat bangun kembali.” “Sombong” Mentang-mentang kau ini anak bangsawan dan kaya, pandai silat, apa kau kira aku takut padamu? Apa artinya kebangsawananmu kalau itu tidak ditrapkan dalam tata susila dan kesopanan? Apa artinya kaya kalau kau tidak suka membantu orang-orang miskin? Apa artinya pandai silat kalau kau tidak mau membela yang lemah? Semua itu malah akan menyeretmu ke dalam jurang kehinaan, bocah setan” Ucapan Han Han ini sungguh tidak patut keluar dari mulut seorang bocah berusia sepuluh tahun seperti dia, akan tetapi Han Han pun hanya menyebut semua itu dari dalam kitab yang pernah dibacanya” “Wah-wah, yang sombong ini sebenarnya siapa? Engkau ini seorang bocah gembel tidak mengerti ilmu silat, bisanya hanya ngawur dan asal nekat saja. Aku adalah seorang gagah, mana mungkin turun tangan menghajar orang kalau tidak ada sebabnya?” “Huh, macam engkau bicara tentang kegagahan. Kalau kau memukuli dua orang miskin dan tak berdosa ini, apakah itu juga gagah?” “Kau tidak tahu” Aku dengan baik-baik menanyakan mereka di mana tinggalnya gembel tua yang suka berada di sini. Aku menanyakan di mana tinggalnya Lauw-pangcu. Akan tetapi mereka pura-pura tidak kenal. Aku sudah bersedia untuk memberi hadiah kalau mereka mau menunjukkan tempat Lauw-pangcu, akan tetapi mereka ini selain menyangkal malah memaki. Apakah itu tidak patut dihajar?” Han Han tertarik, jantungnva berdebar. “Mau apa kau tanya-tanya tentang tempat tinggal Lauw-pangcu?” “Eh, engkau tahu tempatnya?” “Tentu saja” Aku muridnya” Ouwyang Seng terbelalak memandang. “Kau....? Muridnya....? Ha-ha-ha” Kebetulan sekali. Kau tunjukkan padaku di mana dia” “Mau apa sih kalau sudah tau?” Han Han menjadi geli hatinya. Bocah ini amat sombong dan kurang ajar. Memang sebaiknya diberi hajaran. Akan tetapi dia belum belajar ilmu silat. Apakah segala macam kuda-kuda yang pernah ditatihnya itu akan ada gunanya untuk bertanding? Tak mungkin. Kalau ia hanya memasang kuda-kuda, betapa kuat pun kakinya, kalau terus dipukuli dan ditendangi lawan, tentu akan celaka. Akan tetapi, kalau bertemu dengan Sin Lian dan Lauw-pangcu, tentu bocah sombong ini akan dihajar sampai kapok. Juga gurunya tentu bukan orang baik, biarlah dihajar sekalian oleh Lauw-pangcu yang sudah ia saksikan kelihaiannya. “Siapa gurumu? Mana dia? Hayo suruh keluar, biar kutunjukkan kalian ke tempat guruku kalau memang kalian sudah gatal-gatal tubuh kalian minta diberi hajaran” “Ha-ha-ha-ha” Aku sudah berada di sini, apakah kau buta tak dapat melihat? Ha-ha-ha” Han Han memandang dengan hati terkejut dan terheran-heran. Tadi ia melihat bahwa kuda besar di belakang Ouwyang Seng itu kosong. Kenapa kini tiba-tiba saia ada orang duduk nongkrong di atas punggung kuda? Dari mana datangnya? Ia memandang penuh perhatian dan ternyata yang bicara dan tertawa tadi, yang tahu-tahu telah duduk di punggung kuda, adalah seorang kakek yang lucu sekali mukanya. Kepalanya botak kelimis. Kulit kepala bagian atas itu sama sekali tidak ada rambutnya, kulitnya halus licin dan terkena sinar matahari, kepala itu berkilauan seperti batu digosok. Sedikit rambut yang tumbuh di sekeliling kepala bagian bawah, kasar dan besar-besar, berwarna putih dan terurai di sekitar pundaknya. Kumisnya panjang, juga putih, melintang di bawah hidung, bergerak-gerak seperti dua ekor ular kecil. Alisnya tebal sekali, dan matanya mengeluarkan sinar aneh, seperti mata orang juling, padahal mata kakek ini tidak juling. Pakaiannya terbuat dari sutera kuning yang halus mahal, sepatunya juga terbuat dari kulit mengkilap. Sukar sekali menaksir usia orang tua ini. Dagunya halus tak berjenggot sama sekali, seperti orang-orang muda, sikapnya lincah seperti orang muda pula, tubuhnya kurus tinggi. Ia menggendong sebuah buntalan besar dari kain tebal. Entah apa isinya. Suhu, bocah gembel ini adalah murid Lauw-pangcu” Sungguh kebetulan sekali. Kita paksa dia mengantarkan kita kepada kakek gembel itu.” Si Botak tertawa lagi. “Memang sebaiknya begitu, ha-ha-ha” Sungguhpun tidaklah sukar untuk mencari sendiri. Nah, Kongcu, kau bawakan buntalan ini” Memang aneh kalau seorang guru menyebut “kongcu” atau tuan muda kepada muridnya. Memang demikianlah. Guru Ouwyang Seng menyebut kongcu karena bocah ini bukan anak biasa, melainkan putera dari Pangeran Ouwyang Cin Kok yang berpangkat tinggi dalam Kerajaan Mancu. Namun, hanya dalam sebutan saja guru itu menghormat, karena buktinya ia berani memerintah muridnya itu membawakan buntalannya yang besar. Ouwyang Seng menerima buntalan besar yang dilemparkan gurunya kepadanya. Cara menerimanya cekatan dan jelas membayangkan tenaga besar pada diri anak yang usianya paling banyak tiga belas atau empat belas tahun ini. Sambil tertawa Ouwyang Seng lalu mengambil sebuah cambuk dari sela kuda yang kini ditunggangi gurunya, lalu menggerakkan cambuknya ke atas. “Tar-tar-tar” Hei, bocah murid Lauw-pangcu” Siapa namamu?” Ujung cambuk itu melecut-lecut dan meledak-ledak di atas kepala Han Han, namun Han Han sedikit pun tidak merasa gentar, bahkan berkedip mata pun tidak. “Namaku Han Han, dan biarpun aku orang miskin, hal ini belum menjadi alasan bagimu untuk bersikap sombong kepadaku” “Ha-ha-ha-ha” Kongcu, bocah ini hebat” Lihat matanya.... aiiihhhhh, sebaiknya jangan lepaskan dia” Boleh dijadikan pelayan.” Kiranya kakek botak itu bermata tajam, dapat melihat keadaan Han Han yang aneh dan luar biasa. Dan memang kakek botak ini bukan manusia sembarangan” Kakek inilah yang oleh dunia kang-ouw diberi nama poyokan Si Setan Botak. Namanya Gak Liat, julukannya Kang-thouw-kwi (Setan Kepala Baja). Setiap orang di dunia persilatan kalau mendengar nama ini menjadi bergidik dan mengkirik, bahkan jarang ada yang berani mengeluarkan kata-kata keras menyebut nama ini yang lebih ditakuti daripada setan sendiri” Kang-thouw-kwi Gak Liat ini adalah seorang sakti yang memiliki tingkat kepandaian tinggi sukar diukur, seorang datuk hitam, pentolan kaum sesat yang hanya ada beberapa orang saja pada masa itu. Dan dialah seorang di antara datuk-datuk yang ditakuti. Karena pandainya pemerintah Mancu, datuk hitam ini sampai terpikat, tidak saja menjadi “pelindung” Pangeran Ouwyang Cin Kok yang mendapat tugas dari pemerintahnya untuk mempertahankan bagian selatan yang sudah ditaklukkan, juga Kang-thouw-kwi Gak Liat berkenan mengambil putera pangeran itu sebagai muridnya” Namun sesungguhnya, Kang-thouw-kwi Si Setan Botak tidaklah begitu menaruh harapan besar terhadap muridnya, bocah bangsawan ini. Ilmu-ilmunya terlampau tinggi sedangkan bakat yang dimiliki Ouwyang Seng terlalu rendah. Inilah sebabnya maka mata Si Setan Botak yang amat awas itu sekali melihat Han Han menjadi tertarik. Dia bertugas untuk mencari dan menyelidiki Lauw-pangcu dan perkumpulan pengemis yang disebut Pek-lian Kai-pang. Hal ini ada sangkut-pautnya dengan serdadu-serdadu yang pernah dihajar oleh Lauw-pangcu sehingga Pangeran Ouwyang Cin Kok yang mendengar akan hal ini, cepat memerintahkan jagoannya untuk turun tangan karena “gengsi” pasukan Mancu terancam kecemaran. Bagi seorang sakti seperti Setan Botak ini, tidak akan sukar mencari Lauw-pangcu. Akan tetapi karena muridnya rewel dan hendak ikut menyaksikan gurunya menghancurkan Pek-lian Kai-pang, maka usaha mencari perkumpulan itu menjadi lebih sukar dan lama. Akhirnya, secara kebetulan Ouwyang Seng bertemu dengan Han Han dan anak ini yang ingin memberi “hajaran” kepada Ouwyang Seng dan gurunya yang dipandangnya rendah, bahkan dengan senang hati mengantar mereka ke sarang Pek-lian Kai-pang” Di tengah jalan, Ouwyang Seng membentak, “Heh” Han Han” Enak saja kau berjalan tanpa membawa apa-apa. Mari kita mengadu tenaga. Siapa yang kalah harus membawakan buntalan suhuku ini sampai di tempat yang kau tunjukkan” Berani tidak kau mengadu tenaga melawan aku?” Kalau hanya ditantang berkelahi, tentu Han Han tidak sudi melayani. Dibujuk pun ia tidak akan sudi. Akan tetapi ditanya “berani atau tidak”, segera bangkit semangatnya. Kata-kata tidak berani merupakan pantangan besar baginya, karena di dalam hati bocah ini, semenjak kepalanya terbanting pada dinding setengah tahun yang lalu, tidak ada lagi rasa takut atau susah. “Tentu saja berani. Mengapa tidak? Mengadu tenaga bagaimana? Kalau berkelahi seperti dulu aku tidak sudi. Aku bukan tukang pukul, bukan tukang berkelahi macam kau” “Tidak usah berkelahi, kau takkan menang dan kalau kau mati, kami rugi. Kita saling dorong saja, siapa yang terdorong mundur keluar dari lingkaran yang dibuat di atas tanah, dia akan kalah dan harus memanggul buntalan suhu.” “Boleh” Han Han menjawab. Si Setan Botak hanya tertawa-tawa dan menghentikan kudanya untuk menonton permainan kedua orang anak itu. Ouwyang Seng menurunkan buntalannya, lalu membuat guratan melingkar di atas tanah. Keduanya lalu memasuki lingkaran, saling berhadapan. “Siap?” tanya Ouwyang Seng. “Siap” jawab Han Han. “Mulai” Ouwyang Seng mengeluarkan kedua lengannya ke depan, diturut oleh Han Han. Mereka mengadu kedua telapak tangan dan mulailah mereka saling dorong. Han Han yang merasa betapa kedua lengan lawan itu amat kuatnya, cepat ia mengerahkan tenaganya pada kedua kaki, memasang bhesi seperti yang pernah ia latih sampai berbulan-bulan di bawah asuhan Lauw-pangcu dan pengawasan Sin Lian. Kedua kakinya seperti telah berakar di tanah dan ia mempertahankan diri dari dorongan Ouwyang Seng. Untuk balas mendorong, Han Han tidak kuat karena ia segera dapat merasakan betapa tenaga yang tersalur pada kedua lengan Ouwyang Seng hebat bukan main. Maka ia sendiri harus menggunakan seluruh tenaganya untuk mempertahankan diri, disalurkan pada kedua kakinya. Kedua lengannya sudah terdorong, siku-siku lengannya sudah tertekuk dan kedua tangannya terdorong sampai menempel dadanya. “Heh-heh, Han Han, kau masih belum menerima kalah?” Ouwyang Seng tertawa mengejek. Masih dapat bicara dan tertawa dalam adu tenaga ini saja sudah membuktikan bahwa tenaga Ouwyang Seng memang amat besar dan lebih menang daripada Han Han. Namun Han Han menggeleng kepala. Ia tidak mampu bicara karena menahan napas, akan tetapi ia belum merasa kalah, karena dia belum keluar dari garis lingkaran” Ia sudah tertekuk sikunya, sudah mendoyong ke belakang tubuh atasnya, namun kedua kakinya masih kokoh berakar di tanah, belum terdorong mundur dan sama sekali belum keluar dari lingkaran. “Kau kepala batu” Ouwyang Seng menegur marah dan mulai mengerahkan seluruh tenaganya untuk menangkan pertandingan lebih cepat. Akan tetapi, daya tahan Han Han memang hebat. Tubuhnya sudah mendoyong, hampir terjengkang, namun ia enggan mengangkat kakinya dan bertekad untuk bertahan sampai roboh. Bukankah kalau sudah roboh sekalipun, ia masih belum kalah karena belum keluar dari garis lingkaran? “Huah-ha-ha-ha, anak luar biasa....” Terdengar tawa Si Setan Botak dari atas kudanya dan tiba-tiba tubuh Han Han terdorong, terseret berikut kakinya sampai keluar dari garis lingkaran” Han Han terkejut dan terheran-heran, mau tidak mau kagum karena mengira bahwa ia terdorong karena tenaga Ouwyang Seng yang hebat. Dia tidak tahu bahwa ia terdorong keluar karena ilmu kesaktian Si Setan Botak yang mengerahkan sedikit tenagat mendorongnya dengan hawa pukulan jarak jauh yang amat ampuh” Dengan bangga Ouwyang Seng lalu menghampiri Han Han yang masih terengah-engah namun sudah bangkit berdiri memandang heran, setelah putera pangeran ini menyambar bungkusan milik suhunya. “Nah, terang kau kalah jauh olehku, Han Han. Sekarang berlututlah engkau, agar mudah aku menaruh bungkusan ini di pundakmu” Han Han amat cerdik. Biarpun ia tidak tahu apa sebabnya dan bagaimana caranya, namun ia dapat menduga bahwa kekalahannya tadi tidaklah wajar. Hal ini membuatnya penasaran dan marah sekali. Apalagi sekarang mendengar penghinaan Ouwyang Seng yang menyuruh dia berlutut, padahal tadi tidak ada janji apa-apa tentang yang kalah harus berlutut. Kemarahan membuat jantungnya berdebar, darahnya panas naik ke kepala dan pandang matanya berkilat-kilat aneh sekali. “Aku? Berlutut padamu? Tidak sudi” Bentaknya dan suaranya makin tegas dan nyaring ketika ia menyambung, “Ouwyang Seng” Engkaulah yang sepatutnya berlutut di depanku, menyerahkan bungkusan itu dengan hormat” Tiba-tiba saja Ouwyang Seng lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Han Han dan mengangkat bungkusan itu, disodorkan kepada Han Han, sikapnya penuh penghormatan seperti sikap seorang bujang yang takut kepada majikannya” Han Han mengira bahwa Ouwyang Seng benar-benar memenuhi permintaannya karena menyesal atas penghinaan tadi, seketika lenyap kemarahannya. Ia menerima bungkusan itu, mengangkatnya ke pundak sambil berkata, “Wah, engkau baik sekali. Tidak perlu berlutut sungguh-sungguh. Aku hanya main-main” Ouwyang Seng kini tersentak kaget seperti orang bangun tidur. Melihat betapa ia berlutut di depan Han Han, ia lalu melompat berdiri dan mulutnya mengomel. “Kenapa....? Kenapa aku berlutut....?” “Ajaib.... ajaib....” Kang-thouw-kwi Si Setan Botak berulang-ulang mengomel dan tiba-tiba Han Han merasa betapa tubuhnya melayang ke atas. Tahu-tahu ia telah tergantung di atas kuda, dengan kakek botak itu yang memegangi tengkuk bajunya dan mendekatkan mukanya sehingga berhadapan dengan muka Si Botak. Ia melihat betapa sepasang mata Si Botak itu bersinar kekuningan, aneh sekali dan maniknya tidak mau berhenti, bergerak-gerak terus menjelajahi wajahnya sendiri. Ia sudah tidak marah lagi, hanya merasa terheran-heran dan juga kaget. “Ajaib.... bocah ajaib.... matamu ini.... ah, luar biasa” Si Setan Botak melontarkan tubuh Han Han yang melayang turun, akan tetapi ia turun dengan kedua kaki lebih dulu dan dapat berdiri dengan ringan dan seolah-olah lontaran itu sudah diatur tenaganya, membuat Han Han terhuyung pun tidak” Han Han makin terheran, akan tetapi ia sama sekali tidak tahu bahwa itulah penggunaan sin-kang yang amat luar biasa dari Si Kakek Botak. Adapun Ouwyang Seng yang tidak tahu apa yang telah terjadi atas dirinya tadi, tidak tahu betapa ia menurut dan taat saja “diperintah” oleh Han Han sehingga ia berlutut, kini menjadi uring-uringan. “Tar-tar-tar” Cambuk panjang di tangannya dilecutkan ke atas kepala Han Han dan ia membentak, “Han Han, hayo cepat berjalan, bawa kami ke tempat gurumu Si Gembel Tua” Han Han sudah berjalan sambil memanggul bungkusan besar itu. Mendengar ucapan Ouwyang Seng yang tadinya ia sangka berhati baik dan suka main-main, buktinya suka berlutut kepadanya, Han Han menjadi gemas. “Ouwyang Seng....” “Keparat” Menyebut aku harus Kongcu, mengerti? Gembel macam engkau berani menyebut namaku sesukanya?” “Namamu memang Ouwyang Seng, bukan? Kalau tidak mau dipanggil, sudahlah, aku pun tidak butuh memanggil namamu.” “Setan pengemis” Apa kau minta dipukul dan diseret-seret lagi?” Ouwyang Seng kembali membentak dan cambuknya kini menyambar, mengenai punggung dan kaki Han Han. “Tar-tar....” Han Han yang merasa betapa punggungnya dan kakinya sakit-sakit terkena ujung cambuk, melepaskan bungkusan itu yang jatuh ke atas tanah, berdebuk. Biarpun hatinya panas dan marah, namun Han Han maklum bahwa menghadapi Ouwyang Seng dengan kekerasan ia tidak akan menang, apalagi di situ masih ada guru bocah nakal itu, Si Botak yang aneh dan lihai. Maka ia lalu mengambil bungkusan itu lagi dan memanggulnya di atas pundak. Hidungnya mencium bau yang busuk dari dalam bungkusan, membuat ia mau muntah seperti bau bangkai tikus. Akan tetapi ia tidak mau menerima cambukan-cambukan lagi, ia diam saja dan mempercepat langkahnya menuju ke hutan yang menjadi sarang Pek-lian Kai-pang. Rasakan kalian nanti, bocah setan dan Si Botak yang sombong. Kalau berada di depan Lauw-pangcu yang banyak anak buahnya, kalian akan menerima hajaran yang setimpal” Demikian ia berpikir. Senja hari itu mereka tiba di dalam hutan dan langsung Han Han membawa dua orang guru dan murid itu ke sarang Pek-lian Kai-pang. Pada saat itu Lauw-pangcu dan para anak buahnya sedang berkemas karena besok pagi-pagi mereka harus sudah meninggalkan sarang mereka itu. Banyak barang-barang sudah dimuat dalam beberapa buah kereta dan kuda, dan mereka semua sibuk mengangkati barang-barang. Juga Sin Lian tampak membantu ayahnya. “Han Han....” Tiba-tiba Sin Lian berseru girang ketika melihat sutenya itu datang memanggul sebuah bungkusan besar, akan tetapi ia tidak jadi lari menyambut karena melihat bahwa Han Han datang bersama Ouwyang Seng dan seorang kakek botak yang menunggang kuda, dengan sikap tenang sekali. Semua anggauta kai-pang yang sedang sibuk bekerja berhenti, siap-siap menjaga segala kemungkinan dan semua mata ditujukan kepada penunggang kuda ini dengan kening berkerut. Sungguhpun Si Botak ini sama sekali tidak mendatangkan kesan yang mengkhawatirkan, namun semenjak peristiwa penyerbuan Hek-i Kai-pang, para anggauta Pek-lian Kai-pang selalu berhati-hati. Lauw-pangcu sendiri pada saat itu sedang berkemas di dalam pondok. Ketika mendengar seruan puterinya, ia terkejut dan girang. Ketua Pek-lian Kai-pang ini menaruh harapan besar kepada muridnya, karena ia tahu bahwa ada sesuatu yang hebat dalam diri Han Han, ada semacam kekuatan yang amat mukjizat dan yang ia sendiri tidak tahu dari mana datangnya. Tadinya ia kecewa ketika mereka tidak berhasil mencari Han Han yang lenyap dalam pertempuran, maka ia kini girang sekali mendengar Sin Lian memanggil muridnya itu dan bergegas ia lari keluar pondok. Akan tetapi begitu ia berada di luar pondok dan melihat penunggang kuda yang datang bersama Han Han, seketika wajahnya menjadi pucat sekali dan kedua kaki Lauw-pangcu menggigil. Ia mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya, untuk menekan perasaannya yang gentar dan berguncang, kemudian memaksa kakinya melangkah maju menghampiri kakek botak yang masih duduk di atas punggung kuda. Dapat dibayangkan betapa herannya para anggauta Pek-lian Kai-pang ketika melihat ketua mereka yang terhormat dan yang terkenal lihai itu kini menjura dengan penuh hormat kepada kakek botak penunggang kuda yang tidak mengesankan itu sambil berkata dengan suara mengandung rasa cemas. “Sungguh tidak tersangka-sangka dan merupakan penghormatan besar sekali bahwa Gak-locianpwe sudi mengunjungi tempat kami yang butut dan mohon maaf sebesarnya karena tidak tahu lebih dahulu, kami tidak dapat menyambut dengan sepatutnya.” Mendengar ucapan itu, para anggauta Pek-lian Kai-pang menjadi makin heran dan di dalam hati mereka bertanya-tanya, siapa gerangan kakek botak yang disebut Gak-locianpwe (Orang Tua Sakti she Gak) oleh ketua mereka itu. Akan tetapi sikap Lauw-pangcu yang sangat merendahkan diri ini seolah-olah tidak dihiraukan oleh Si Setan Bongkok, malah sebaliknya kakek ini menoleh kepada Han Han dan bertanya. “Bocah, apakah dia ini ketua Pek-lian Kai-pang dan gurumu?” “Benar,” jawab Han Han. Si Setan Botak tertawa. “Bagus, kalau begitu, bungkusan itu boleh kau hadiahkan isinya kepada gurumu, ha-ha-ha” Han Han menjadi girang. Memang dia tidak suka perkelahian, apalagi kalau ia ingat betapa perkumpulan suhunya sudah berkelahi sehingga jatuh banyak korban. Tadinya ia ingin supaya gurunya menghajar Ouwyang Seng dan gurunya, akan tetapi siapa kira, Si Botak itu bermaksud baik. Jadi buntalan yang selama ini ia panggul itu adalah hadiah yang akan diberikan suhunya” Tanpa berkata apa-apa lagi karena girang ia lalu menurunkan buntalan yang cukup berat itu, menurunkannya di depan kaki suhutiya dan membuka tali pengikatnya. Begitu bungkusan terbuka, tercium bau busuk yang membuat Han Han terpaksa menutup hidung, matanya terbelalak memandang isi bungkusan. Lauw-pangcu sendiri pucat wajahnya dan para anggauta Pek-lian Kai-pang yang tadi ikut melongok untuk melihat apa isi hadiah itu, berseru marah dan kaget. Kiranya bungkusan itu berisi lima buah kepala orang yang sudah kering darahnya. Lima kepala orang anggauta Pek-lian-pai yang merupakan tokoh di bawah Lauw-pangcu” Pantas saja tadi baunya menyengat hidung, seperti bau bangkai tikus” “Aihhh....” Banyak mulut mengeluarkan teriakan ini dan terdengar suara ketawa Kang-thouw-kwi Gak Liat Si Setan Botak. Lauw-pangcu memandang kepada Han Han dengan mata terbelalak melotot marah sekali. Telunjuk kirinya menuding ke arah anak itu. “Murid jahanam” Engkau kembali membawa malapetaka” Baiklah sebelum semua mati, kau harus mampus di tanganku lebih dulu” Setelah berkata demikian, Lauw-pangcu sudah menggerakkan tongkatnya dan tubuhnya melayang maju ke arah Han Han. Hebat bukan main serangan ini, gerakan tubuhnya seperti seekor naga menyambar, tongkatnya seperti cengkeraman maut menusuk ke arah dada Han Han. Jangan lagi Han Han yang belum mengerti ilmu silat, andaikata ia sudah belajar selama sepuluh tahun di bawah asuhan Lauw-pangcu sekalipun, ia tidak akan mungkin dapat menyelamatkan diri daripada serangan maut ini. Gerakan Lauw-pangcu ketika menyerang ini adalah jurus yang disebut Hui-hong-phu-lian (Angin Meniup Bunga Teratai), sebuah jurus yang paling ampuh dari Ilmu Tongkat Pek-lian-tung-hoat. Lawan yang bagaimana tangguh pun akan sukar menjaga diri dari tikaman dengan tubuh melayang dan meluncur di udara secepat dan sekuat itu. Mengapa Lauw-pangcu menjadi begitu marah dan membenci Han Han, dan mengapa pula menghadapi seorang bocah yang ia tahu belum pandai ilmu silat itu ia langsung mengeluarkan jurus terampuh untuk menyerangnya? Padahal diserang dengan jurus sembarangan sekalipun Han Han tak mungkin dapat menyelamatkan diri” Sesungguhnya adalah karena salah duga. Lauw-pangcu yang melihat Han Han pulang bersama Kang-thouw-kwi Gak Liat yang sudah ia dengar namanya yang besar, segera dapat menduga bahwa tentu bocah itu yang menjadi penunjuk jalan dan ia tahu pula bahwa ia dan teman-temannya menghadapi bencana hebat. Apalagi melihat Han Han tadi membawakan bungkusan terisi kepala dari lima orang pembantunya, tentu saja ia menganggap bahwa Han Han sudah mengkhianati Pek-lian Kai-pang dan menjadi pembantu musuh” Adapun mengapa ia mengeluarkan jurus mematikan yang paling ampuh, karena di situ terdapat Kang-thouw-kwi Gak Liat yang ia tahu mempunyai kesaktian luar biasa, maka ia ingin agar sekali turun tangan terhadap Han Han tidak akan gagal lagi. Han Han bukan tidak tahu bahwa gurunya marah-marah tanpa sebab dan hendak memukulnya dengan tongkat, akan tetapi karena dia memang berhati keras dan tidak kenal takut, ia hanya memandang tanpa berkedip. “Ayahhhhh....” Sin Lian menjerit. Anak ini lebih maklum bahwa Han Han berada di bawah ancaman maut mengerikan. Dia suka dan sayang kepada sutenya, maka tanpa ia sadari ia menjerit. Tiba-tiba tubuh Lauw-pangcu yang melayang dan yang sudah menggerakkan tongkatnya dekat dengan Han Han, hanya terpisah satu meter lagi, terpental ke samping dan roboh terguling” Kakek ketua Pek-lian Kai-pang ini cepat menggulingkan diri dan meloncat bangun, tongkat di tangannya dan wajahnya pucat sekali. Ia menoleh ke arah Si Setan Botak yang masih duduk di atas kuda, kemudian berkata, suaranya masih hormat namun nyaring dan ketus. “Gak-locianpwe, saya hendak turun tangan membunuh murid sendiri, mengapa locianpwe mencampurinya? Apakah perbuatan ini sesuai dengan nama besar locianpwe sebagai seorang di antara Lima Datuk Besar?” Baru sekarang semua yang hadir, termasuk Han Han sendiri, tahu bahwa tadi Lauw-pangcu yang hendak membunuh Han Han telah dihalangi oleh Si Setan Botak. Semua orang terkejut dan terheran. Kakek di atas kuda itu tidak kelihatan bergerak, bagaimana tahu-tahu Lauw-pangcu yang lihai luar biasa itu terlempar dan terbanting ke samping? Lebih-lebih Han Han memandang dengan penuh perhatian. Kakek botak itu manusia ataukah setan? Dia tadi sudah menyaksikan keanehannya, yaitu tahu-tahu si kakek itu berada di atas punggung kuda, seperti pandai menghilang saja. Kini tanpa bergerak atau turun dari kuda sudah merobohkan Lauw-pangcu dan menolong dia” Terutama sekali ia tertarik ketika mendengar disebutnya kakek botak ini sebagai seorang di antara Lima Datuk Besar” Apakah artinya Lima Datuk Besar? Dan siapakah mereka ini? Kang-thouw-kwi Gak Liat tampak melayang turun dari atas punggung kudanya. Kembali semua anggauta Pek-lian Kai-pang tertegun. Kakek ini turun dari kuda bukan meloncat karena kedua kakinya tidak bergerak sama sekali. Seolah-olah tubuhnya itu “terangkat” oleh tenaga yang tak tampak dan tahu-tahu tubuhnya sudah melayang turun dan berdiri tegak di tengah-tengah kepungan para anggauta Pek-lian Kai-pang, berhadapan dengan Lauw-pangcu” Mulutnya menyeringai dan kumisnya yang panjang bergerak-gerak seperti dua ekor ular kecil hidup. “Orang she Lauw” Bagus engkau mengenal aku. Engkau berani menegurku mencampuri urusanmu? Huh, lancang sekali engkau. Mendiang Pek-lian-kauwcu (Ketua Agama Teratai Putih) dahulu pun belum pernah berani menegurku. Bocah ini mungkin muridmu, akan tetapi sekarang telah menjadi pelayanku. Mana bisa kau bunuh dia begitu saja? Pula, kedatanganku ini memang hendak membasmi Pek-lian Kai-pang perkumpulan pemberontak rendah” Nah, kau serahkanlah kepalamu dan kepala semua anggauta-anggautamu seperti yang terjadi pada lima orang pembantu-pembantumu ini.” Ucapan ini terdengar seperti halilintar di siang hari dan menimbulkan kemarahan semua anggauta pengemis Pek-lian Kai-pang yang berkumpul di situ. Mereka tetdiri dari lima puluh orang lebih, tentu saja tidak takut terhadap kakek itu yang hanya datang seorang diri saja. Demikian pula pikiran Lauw-pangcu. Biarpun ia sudah mendengar akan kesaktian Kang-thouw-kwi Gak Liat sebagai seorang di antara Lima Datuk Besar, namun teman-temannya amat banyak dan pula, mereka adalah pejuang-pejuang yang tidak takut mati. Lauw-pangcu mengangkat tongkatnya ke atas, memberi isyarat kepada anak buahnya dan serentak para anak buahnya itu menerjang maju dengan tongkat mereka. Bagaikan air bah mereka ini menyerbu dan menerjang kakek botak itu dari segala jurusan. Melihat ini, hati Han Han sudah berdebar tegang. Tentu Si Botak akan dihajar oleh Pek-lian Kai-pang, pikirnya. Maka ia berseru kepada Sin Lian. “Suci, mari hajar bocah setan ini” katanya sambil menuding ke arah Ouwyang Seng. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika Sin Lian tiba-tiba malah menerjangnya sambil memaki. “Engkau murid murtad” Han Han yang amat kaget itu tidak dapat menghindar dan sebuah tendangan mengenai dadanya, tepat di ulu hati, membuat ia terjengkang dengan napas sesak dan jatuh terduduk. Setelah merobohkan Han Han, Sin Lian lalu menerjang Ouwyang Seng yang menyambutnya sambil tertawa-tawa mengejek. Bertandinglah dua orang anak itu dengan seru. Akan tetapi, ternyata Ouwyang Seng jauh lebih pandai dan Sin Lian segera terdesak. Hanya karena keberaniannya yang luar biasa ditambah kemarahannya saja yang membuat anak perempuan itu bergerak dengan ganas dan dahsyat sehingga untuk sementara dapat membuat Ouwyang Seng repot juga. Han Han lebih tertarik menonton ke arah Si Setan Botak yang diserbu oleh Lauw-pangcu dan anak buahnya, karena ia menduga bahwa tentu akan terjadi pertandingan hebat sekali. Jauh lebih hebat daripada perkelahian antara dua orang anak itu yang tidak menarik hatinya. Apalagi karena Sin Lian telah menendangnya, ia menjadi marah dan tidak sudi membantu anak perempuan itu menghadapi Ouwyang Seng. Dianggapnya bahwa dua orang anak itu sama saja jahatnya sehingga siapa pun juga yang kalah di antara mereka, ia tidak peduli. Dengan pikiran ini, Han Han lalu bangkit, dadanya masih sesak akan tetapi ia memaksa diri berjalan lalu memanjat pohon agar dapat menonton lebih jelas lagi. Apa yang dilihat Han Han membuat ia begitu kaget dan ngeri sehingga hampir saja ia terjungkal dari atas pohon kalau ia tidak cepat-cepat memeluk cabang pohon. Mula-mula yang maju adalah tujuh Orang pengemis Pek-lian Kai-pang yang mengurung kakek botak itu sambil menerjang dengan tongkat mereka. Akan tetapi Si Setan Botak hanya berdiri tegak. Sambil tersenyum ia menangkap tongkat pertama, mencengkeram ujung tongkat menjadi berkeping-keping dan sekali tangannya bergerak memutar, kepingan kayu itu menyambar sekelilingnya dan.... tujuh orang pengemis Pek-lian Kai-pang itu roboh dan berkelojotan terus mati” Itulah semacam kejadian yang seperti main sulap saja, sukar untuk dipercaya. Akan tetapi bagi para ahli silat di situ merupakan kepandaian yang amat hebat. Kepingan-kepingan ujung tongkat kayu itu hanya benda kecil yang ringan dan tidak terlalu keras, namun di tangan kakek botak ini, dapat menjadi senjata rahasia yang tepat sekali menancap dan memasuki dahi tujuh orang lawan sehingga menembus otak dan membuat mereka roboh binasa seketika” Kepandaian yang hebat dan juga kekejaman yang amat menyeramkan. “Heh-heh-heh....” Si Setan Botak terkekeh, kelihatannya girang sekali dan matanya memandang para anggauta Pek-lian Kai-pang yang menjadi marah dan mengepungnya ketat itu seperti mata seorang guru memandang murid-murid kecil yang nakal” Kembali belasan orang pengemis maju menerjang dengan tongkat, kini secara berbareng sambil berteriak keras. Harus diketahui bahwa para anggauta Pek-lian Kai-pang rata-rata memiliki ilmu silat tinggi sehingga serangan mereka ini bukanlah serangan ngawur, melainkan dengan jurus-jurus Pek-lian-kun-hoat yang ampuh. Namun, kakek botak itu sama sekali tidak mengelak. Belasan batang tongkat itu dengan tepat mengenai sasaran, ada yang mengemplang kepala botaknya, ada yang menghantam leher, menusuk dada, menotok lambung. Pendeknya, seluruh bagian tubuhnya yang berbahaya pada saat yang hampir sama secara bertubi-tubi menerima hantaman atau tusukan ujung tongkat. Riuh-rendah teriakan para pengemis, dan ramai pula suara bak-bik-buk tongkat-tongkat itu mengenai tubuh Si Kakek Botak. Namun sama sekali kakek itu tidak bergeming, senyumnya masih melebar dan tiba-tiba tangan kirinya menyambar kaki seorang pengemis dan mulailah ia mengamuk. Tubuh pengemis yang menjadi senjata di tangannya itu diputar sedemikian rupa dan terdengarlah suara “prak-prak-prak” berulang kali ketika kepala orang itu bertemu dengan kepala-kepala para lawannya. Para pengeroyok itu roboh malang-melintang dengan kepala pecah, sedikitnya ada sepuluh orang jumlahnya. Mereka itu binasa karena sedikitnya kepala mereka retak-retak bertemu dengan kepala orang yang dijadikan senjata. Adapun kepala orang itu sendiri setelah dilempar ke samping, telah hancur dan tidak menyerupai kepala” Lauw-pangcu marah bukan main sampai hampir pingsan. Melihat betapa anak buahnya tewas, dalam keadaan mengerikan seperti itu, ia bukannya menjadi takut, sebaliknya ia malah menjadi nekat untuk mengadu nyawa. Sambil berseru nyaring, Lauw-pangcu menyerbu ke depan, diikuti oleh teman-temannya yang masih ada kurang lebih tiga puluh orang. “Heh-heh-heh, bagus” Biar kubasmi habis kalian hari ini” kata Si Setan Botak dan tiba-tiba tubuhnya berputar satu kali, kedua lengannya didorongkan ke depan. Han Hen yang melihat kakek itu, terbelalak heran karena melihat betapa telapak kedua tangan kakek itu kemerahan dan mengepulkan asap, seolah-olah tangan itu telah menjadi besi panas” Dan akibatnya hebat sekali. Dua puluh orang lebih menjerit ngeri den roboh bergelimpangan, tak dapat bangun kembali” Hanya Lauw-pangcu, dan dua orang pembantunya yang paling tinggi ilmunya, terhuyung ke belakang akan tetapi tidak roboh. Muka mereka pucat dan napas mereka terengah-engah, mata mereka terbelalak memandang teman-teman yang roboh. Hampir lima puluh orang anggauta Pek-lian Kai-pang dalam sekejap mata saja, dalam tiga gebrakan, telah tewas menjadi korban Si Setan Botak yang ternyata lihai bukan main itu” Han Han kini menjadi ngeri, akan tetapi di dalam hatinya juga timbul rasa kagum terhadap Si Setan Botak. Bagaimana ada orang sampai bisa begitu sakti? Dan ia mulai khawatir melihat gurunya. Ketika ia mengerling ke arah Sin Lian, ternyata gadis cilik ini pun sudah terdesak hebat, bahkan beberapa kali telah kena ditampar oleh Ouwyang Seng. Ia melihat betapa Sin Lian menjadi nekat, menerjang maju tanpa perhitungan lagi den sebuah sabetan kaki Ouwyang Seng membuat gadis itu terguling roboh. Ouwyang Seng menubruknya denmenangkap kedua lengannya terus dipuntir ke belakang, ditelikung sehingga Sin Lian tidak mampu bergerak lagi” “Kau bocah galak seperti kucing” Kucing tidak berpakaian” Maka akan kutelanjangi kau, biar kapok dan hendak kulihat apakah kau masih berani banyak lagak” kata Ouwyang Seng tertawa-tawa dan tangannya mulai merenggut pakaian gadis cilik itu. Wajah Han Han menjadi merah. Teringat ia akan peristiwa di dalam rumahnya, teringat akan keadaan kakak perempuannya dan keadaan ibunya, dan dengan hati panas ia memaki. “Ouwyang Seng, kau bangsat kecil tak tahu malu” Apa yang akan kau lakukan itu? Tidak tahu sopan, tidak bersusila kau” Ouwyang Seng hanya terkekeh dan tangannya sudah mencengkeram leher baju Sin Lian yang meronta-ronta tanpa hasil. Pada saat itu, tubuh Ouwyang Seng terlempar dan seorang wanita cantik sudah berdiri di situ, membangunkan Sin Lian dan berkata halus. “Anak, kau minggirlah.” Han Han terbelalak. Gerakan wanita itu amat cepat seperti seekor burung walet menyambar, tiba-tiba sudah di situ, melemparkan tubuh Ouwyang Seng. Dia itu seorang wanita yang usianya antara tiga puluh tahun, cantik dan gagah sekali, pakaiannya serba hitam sehingga membuat kulit leher dan tangannya tampak amat putih kemerahan. Rambutnya disanggul tinggi dan di punggungnya tergantung sebatang pedang dalam sarung pedang indah terukir. Dan kiranya yang datang secara cepat dan aneh bukan hanya wanita cantik itu, karena entah dari mana Han Han sendiri tidak tahu, di situ telah berdiri pula dua orang. Yang seorang berusia kurang lebih empat puluh lima tahun, bertubuh pendek kecil dan tangannya memegang sebatang cambuk besi. Laki-laki ini biarpun pendek kecil, namun memiliki pandang mata yang keren berwibawa. Adapun laki-laki ke dua adalah seorang berusia empat puluh tahun, bertubuh tinggi besar berwajah gagah, di tangannya memegang sebatang toya kuningan yang kelihatannya berat sekali. Laki-laki pendek yang memegang cambuk besi itu menjura ke arah Lauw-pangcu yang masih pucat dan berkata, “Lauw-pangcu harap jangan khawatir, sekuat tenaga kami akan membantumu menghadapi iblis ini” Lauw-pangcu kelihatan lega ketika menyaksikan munculnya tiga orang ini, akan tetapi ia pun merasa tidak enak dan cepat berkata, “Kang-lam Sam-eng harap tidak mencampuri urusan ini, biarlah kami semua mati sebagai seorang ksatria di tangan Kang-thouw-kwi Gak Liat” Mendengar disebutnya nama ini, tiga orang gagah yang disebut Kang-lam Sam-eng (Tiga Pendekar Kang-lam) ini menjadi terkejut sekali. Otomatis mereka itu saling mendekati dan siap dengan senjata masing-masing, bahkan wanita cantik itu pun telah mencabut pedangnya. “Hemmm, sudah lama mendengar Kang-thouw-kwi Gak Liat sebagai seorang datuk persilatan tingkat tinggi, baru sekarang menyaksikan kekejamannya. Lauw-pangcu, kami akan siap membantu mati-matian” kata pula laki-laki pendek penuh semangat. Si Setan Botak memandang penuh perhatian lalu tertawa. “Ha-ha-ha, kalian bocah-bocah kemarin sore” Aku pernah mendengar bahwa Kang-lam Sam-eng adalah jago-jago cilik murid-murid Siauw-lim-pai. Benarkah?” “Kami memang anak murid Siauw-lim-pai. Dan sudah menjadi tugas setiap orang murid Siauw-lim-pai untuk membasmi orang jahat dan pengkhianat bangsa” kata wanita cantik itu, suaranya nyaring dan merdu. “Heh-heh, kau cantik dan bersemangat” Apakah kalian bertiga ini murid Ceng San Hwesio?” tanya pula Si Setan Botak memandang rendah. “Ceng San Hwesio adalah Sukong (Kakek Guru) kami” kini Si Tinggi Besar menjawab, suaranya sesuai dengan tubuhnya, menggeledek. Tiga orang itu bukanlah orang-orang sembarangan, melainkan murid-murid Siauw-lim-pai yang terkenal gagah perkasa. Karena mereka tinggal di Kang-lam dan selalu melakukan perjuangan bersama, maka mereka terkenal sebagai Kang-lam Sam-eng atau Tiga Pendekar Kang-lam yang amat disegani kawan ditakuti lawan. Yang tertua dan bertubuh pendek kecil itu adalah Khu Cen Tiam berjuluk Thi-pian-sian (Dewa Cambuk Besi). Orang ke dua yang tinggi besar bernama Liem Sian berjuluk Sin-pang (Si Toya Sakti) dan orang ke tiga, wanita cantik itu adalah seorang wanita yang masih gadis tidak mau menikah karena belum juga menjumpai pria yang mencocoki hatinya, bernama Bhok Khim dan berjuluk Bi-kiam (Si Pedang Cantik). Sebagai murid-murid Siauw-lim-pai, tentu saja mereka berjiwa patriot dan selalu mendukung perjuangan kaum pemberontak yang menentang masuknya penjajah bangsa Mancu. Akan tetapi ketika Kang-thouw-kwi Gak Liat mendengar jawaban Liem Sian, ia tertawa bergelak, “Ha-ha-ha-ha” Kiranya hanya cucu si tua Ceng San Hwesio? Ahhh, bocah-bocah tak tahu diri. Lebih baik kalian lekas pergi karena aku tidak mau melihat Ceng San Hwesio kehilangan tiga orang cucunya. Kalau Ceng San Hwesio sendiri yang datang, barulah patut melayani aku beberapa jurus.” Ucapan ini amat tekebur dan memang sesungguhnya bukan semata-mata karena sombong, akan tetapi karena memang tingkat kepandaian Si Setan Botak ini hanya akan dapat dilayani oleh ketua Siauw-lim-pai yang tua itu. Bagi Kang-lam Sam-eng yang belum pernah mengenal kelihaian Si Setan Botak, ucapan itu dianggap sombong dan amat menghina, maka mereka lalu membentak nyaring dan maju menerjang, diikuti pula oleh Lauw-pangcu dan dua orang pembantunya sehingga kini Si Setan Botak dikeroyok oleh enam orang yang berkepandaian tinggi. Han Han yang menonton dari atas pohon dan dapat melihat setiap pertempuran itu dengan jelas, merasa tak senang hatinya. Ia tidak tahu siapa salah siapa benar, siapa jahat siapa baik di antara kedua pihak itu, akan tetapi terhadap Si Setan Botak ia tidak senang karena menganggapnya amat kejam, membunuhi banyak orang seperti orang membunuh semut saja. Terhadap Lauw-pangcu dan Kang-lam Sam-eng, ia merasa tidak senang karena menganggap mereka ini curang, mengeroyok seorang lawan dengan begitu banyak kawan. Sebagai murid-murid perguruan tinggi Siauw-lim-pai, tentu saja Kang-lam Sam-eng tidak bersikap seperti para anak buah Pek-lian-pai yang suka “main keroyok” secara kacau-balau. Pertempuran sekacau itu hanya dilakukan oleh orang-orang yang masih rendah tingkatnya. Memang, mereka mengurung dan mengeroyok, namun mereka melakukan penyerangan secara teratur dan boleh dibilang satu demi satu, hanya saling susul dan berganti-ganti. Mula-mula terdengar bentakan nyaring dan tubuh Bhok Khim si wanita cantik sudah melayang ke atas, pedangnya berubah menjadi sinar terang ketika ia menyerang kakek botak itu. Sebuah serangan yang amat dahsyat, karena selain tubuh itu meluncur ke depan dengan cepat dan kuat, pedangnya digerak-gerakkan ujungnya, sukar diduga lawan bagian mana dari tubuhnya yang akan menjadi sasaran. Namun kakek botak itu hanya tertawa dan masih tetap berdiri tegak seperti tadi, sama sekali tidak mengelak. Ketika sinar pedang sudah menyentuhnya, ia hanya menggerakkan kedua tangan ke atas. “Krakkk” Brettttt....” Ha-ha-ha-ha” Tubuh Bhok Khim mencelat ke samping dan jatuh bergulingan, lalu gadis itu meloncat bangun, tangan kiri sibuk berusaha menutupkan baju bagian dadanya yang sudah robek lebar memperlihatkan sebagian buah dadanya, sedangkan pedangnya sudah pindah ke tangan kakek botak dalam keadaan patah menjadi dua” Pucatlah wajah semua orang. Kakek itu tadi menerima sambaran pedang dengan tangan kosong” Menangkap pedang dan mematahkannya sambil tangannya yang satu lagi secara nakal merobek baju Bhok Khim. Sungguh merupakan perbuatan yang amat luar biasa. “Iblis tua bangka” Liem Sian menerjang dengan toya kuningannya. Siauw-lim-pai amat terkenal dengan ilmu toyanya, terkenal kokoh kuat dan sukar dicari bandingnya. Dan kini Liem Sian membuktikan keunggulannya. Buktinya kakek botak itu tidak berani lagi berdiri diam, melainkan menggeser kakinya dan begitu ujung toya menyodok perutnya, ia memapaki ujung toya itu dengan tendangan kaki dari samping. “Ayaaa....” Liem Sian terhuyung. Bukan main kuatnya tendangan itu, membuat ia hampir saja roboh dan toyanya hampir terlempar. Saat itu dipergunakan oleh Khu Cen Tiam, orang tertua dari Kang-lam Sam-eng untuk menerjang dengan cambuk besinya. “Tar-tar....” Cambuk besi ini meledak dan menyambar kepala kakek botak. Kang-thouw-kwi Gak Liat tertawa dan mengangkat pedang rampasan yang tinggal sepotong tadi, membabat ujung cambuk. “Cringgg....” Bunga api berpijar dan ujung cambuk itu patah” Lauw-pangcu dan dua orang kawannya sudah maju pula menubruk dan mulailah Si Kakek Botak dikeroyok. Bahkan Bhok Khim yang sudah membetulkan bajunya yang robek kini telah menyambar sebatang pedang lain yang ia temukan di antara mayat-mayat anggauta Pek-lian Kai-pang, lalu maju mengeroyok. Kakek botak itu gerakannya tidak cepat, bahkan kelihatan amat lambat. Namun setiap gerakan mengandung tenaga sakti yang dahsyat sehingga senjata lawan tidak ada yang dapat menyentuh kulitnya. Sambil tertawa-tawa ia menghalau semua serangan dengan dorongan-dorongan hawa pukulan dahsyat ini, kemudian melanjutkan dengan pukulan. Setlap pukulan atau dorongan yang disertai pengerahan sin-kang yang aneh dari tangannya yang berubah merah dan mengeluarkan asap, tentu merobohkan lawannya” Akibatnya, dalam waktu singkat saja, dua orang pembantu Lauw-pangcu roboh tewas, Lauw-pangcu sendiri roboh terluka. Khu Cen Tiam kehilangan cambuk dan lengannya patah tulangnya. Liem Sian patah-patah toyanya dan sambungan pundaknya patah pula, adapun Bhok Kim sudah tertotok dan kini pinggang gadis itu dikempit oleh Kang-thouw-kwi Gak Liat” Kakek ini terbahak-bahak tertawa sedangkan muridnya, Ouwyang Seng, kini sudah datang mendekat sambil menuntun kuda, wajahnya berseri dan pandang matanya penuh kebanggaan. Sin Lian lari menubruk ayahnya yang terluka dadanya sambil memanggil nama ayahnya yang pingsan. “Ayah...., Ayahhh....” Biarpun lengannya sudah patah tulangnya, Khu Cen Tiam masih berdiri gagah. Demikian pula Liem Sian yang terlepas sambungan pundak kirinya. Mereka berdiri dengan muka pucat dan memandang kakek botak penuh kemarahan dan kebencian. Locianpwe adalah seorang datuk terkemuka. Kami sudah kalah, hal ini sudah lazim dalam pertandingan, kalau tidak menang tentu kalah. Akan tetapi mengapa locianpwe menawan sumoi kami? Harap locianpwe membebaskannya,” kata Khu Cen Tiam yang menyebut locianpwe, karena memang dalam hatinya ia takluk dan kagum akan kehebatan ilmu kepandaian kakek yang merupakan seorang di antara Lima Datuk Hitam itu. Lima Datuk Besar atau Lima Datuk Hitam sama saja karena Lima Datuk itu adalah lima orang berilmu tinggi yang merupakan orang-orang tingkat pertama di dunia persilatan, akan tetapi karena kelimanya merupakan tokoh-tokoh yang kejam, maka diam-diam orang menyebut mereka Lima Datuk Hitam” “Heh-heh-heh, kalau tidak memandang muka Ceng San Hwesio, apakah kalian bertiga masih dapat bernapas saat ini? Sumoimu ini manis, biar dia menemaniku untuk beberapa hari, sebagai penebus nyawa kalian” Khu Cen Tiam dan Liem Sian membentak marah. Biarpun sudah terluka, kemarahan mereka membuat mereka menerjang maju, namun dengan hanya dorongan tangan kiri saja, keduanya sudah terbanting dan terjengkang ke belakang” “Baik, kalau kamu iblis tua bangka memang ada keberanian, datanglah ke kota Tiong-kwan tiga hari lagi. Kami para anggauta Ho-han-hwe (Perkumpulan Para Patriot) menantangmu membuat perhitungan” “Sute....” Khu Cen Tiam menegur, akan tetapi ucapan sudah dikeluarkan dan kakek botak itu tertawa bergelak. “Bagus.... bagus.... kiranya akan diadakan pertemuan di Tiong-kwan? Tentu saja aku datang, sekalian mengembalikan sumoimu yang kupinjam. Ha-ha-ha” Setelah berkata demikian, sekali tubuhnya melayang, kakek itu sambil mengempit tubuh Bhok Khim yang tak dapat bergerak itu sudah berada di atas kuda, kemudian menoleh kepada Ouwyang Seng dan berkata, “Mari, Kongcu. Jangan lupa ajak pelayan itu” Dengan tangannya kakek itu mendorong ke arah pohon dan “kraaakkkkk” batang pohon itu patah dan pohonnya tumbang, membawa tubuh Han Han runtuh ke bawah bersama-sama” Han Han bergulingan, kulitnya lecet-lecet dan cambuk di tangan Ouwyang Seng sudah meledak di atas kepalanya. “Hayo tuntun kuda suhu, kau pemalas” bentak putera pangeran itu. Han Han menoleh ke arah Sin Lian, melihat Sin Lian melotot kepadanya. Ia menghela napas, mengangkat pundak, lalu berjalan menghampiri kuda dan menuntun kendali kuda itu, berjalan di depan kuda. Terdengar olehnya tangis Sin Lian, akan tetapi karena kuda itu jalannya cepat sehingga punggungnya beherapa kali terdorong moncong kuda, Han Han mempercepat langkahnya dan sebentar saja sudah keluar dari dalam hutan itu. *** Dapat dibayangkan betapa hancur dan sakit hati Lauw-pangcu melihat anak buahnya terbasmi habis oleh Si Setan Botak yang lihai itu. Kematian kurang lebih lima puluh orang anggauta Pek-lian Kai-pang ini hampir menghabiskan semua anggautanya sehingga mereka yang kebetulan tidak berada di situ dan bebas dari kematian hanya tinggal beberapa orang saja. Dengan dendam sedalam lautan, Lauw-pangcu mengurus jenazah semua anak buahnya, dibantu oleh Kang-lam Sam-eng yang kini tinggal dua orang, Khu Cen Tiam dan Liem Sian saja karena sumoi mereka, Bhok Khim, terculik oleh Si Kakek Sakti. Dua orang anak murid Siauw-lim-pai ini pun di samping amat menyesal, juga amat marah dan sakit hati. “Sudah kucegah tadi ji-wi enghiong bersama Bhok-lihiap untuk tidak mencampuri urusan kami,” demikian Lauw-pangcu berkata penuh penyesalan. “Sekarang terbukti, selain ji-wi terluka, juga Bhok-lihiap terculik. Ahh, semua ini gara-gara Pek-lian Kai-pang. Lebih celaka lagi, malapetaka ini dibawa datang oleh muridku sendiri, si jahanam Sie Han” Khu Cen Tiam dan Liem Sian menghibur ketua kai-pang yang berduka itu. “Pangcu jangan berkata demikian. Kita sama-sama anggauta Ho-han-hwe, sudah bersumpah sehidup semati menghadapi penjajah dan para pengkhianat bangsa. Lebih baik kita lekas bereskan pekerjaan di sini dan cepat mengumpulkan saudara-saudara di Ho-han-hwe untuk merundingkan hal ini dan agar dapat menolong Sumoi dari tangan iblis itu.” “Ahhhhh, iblis itu terlampau sakti. Di dunia ini hanya ada lima orang datuk besar yang ilmu kepandaiannya amat luar biasa. Kita di Ho-han-hwe, siapakah kiranya yang akan mampu melawannya?” demikian keluh Lauw-pangcu dengan hati gentar kalau ia teringat akan sepak terjang Si Setan Botak tadi. “Di antara saudara kita banyak yang lihai, kalau perlu aku akan memberi tahu para susiok dan juga tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw. Sute tadi telah menantangnya tiga hari lagi. Dalam waktu tiga hari kita harus dapat mendatangkan bala bantuan untuk membunuh iblis itu dan menolong sumoi.” Demikianlah, setelah penguburan sekian banyaknya jenazah itu selesai, tiga orang gagah ini bersama Sin Lian yang dalam usia sekecil itu sudah mengalami hal-hal yang menegangkan dan pembunuhan-pembunuhan massal yang mengerikan, pergi meninggalkan tempat itu menuju ke kota Tiong-kwan lalu menghubungi para pejuang yang bergabung dalam perkumpulan Ho-han-hwe. Sibuklah mereka semua itu mengundang orang-orang pandai dalam persiapan mereka menghadapi Kang-thouw-kwi Gak Liat. Adapun Kang-thouw-kwi Gak Liat yang menunggang kuda sambil memangku tubuh Bhok Khim yang tertotok lemas, diiringkan oleh Ouwyang Seng dan Han Han, pergi menuju ke timur menyusuri pantai Sungai Huang-ho. Setelah melakukan perjalanan setengah hari, mereka tiba di pantai yang berbatu-batu dan kakek itu berkata. “Berhenti di sini” Ia meloncat turun, masih memondong tubuh Bhok Khim. “Apakah disinik tempatnya batu-batu bintang yang suhu cari?” tanya Ouwyang Seng. Si Setan Botak mengangguk. “Kau ajak Han Han mencari di pantai, sebanyak mungkin. Kau sudah tahu macamnya, seperti yang pernah aku perlihatkan dulu, Kongcu. Batu-batu itu penting sekali untuk latihanmu. Nah, aku mau mengaso bersama Si Manis ini” Ouwyang Seng melihat betapa gurunya membungkuk dan mencium leher Bhok Khim yang menggeliat dan meronta lemah, tertawa bergelak, kemudian menangkap tangan Han Han dan ditarik sambil membentak. “Bujang malas, hayo bantu aku mencari batu bintang” Akan tetapi sekali merenggutkan tangannya, Han Han melepaskan diri. Matanya terbelalak marah memandang ke arah Gak Liat Si Setan Botak yang sudah duduk di atas batu-batu kecil yang halus sambil memangku tubuh Bhok Khim dan mempermainkan rambut gadis itu yang hitam panjang. Han Han dapat menduga apa yang akan dilakukan oleh kakek botak itu terhadap Bhok Khim dan terbayanglah semua peristiwa jahanam yang menimpa diri kakak perempuannya dan ibunya. Melihat Bhok Khim ia merasa seperti melihat cicinya sendiri yang telah lenyap, sungguhpun pandang mata Bhok Khim padanya bukanlah seperti pandang mata cicinya yang penuh kasih sayang. Dengan langkah lebar ia menghampiri Gak Liat dan setelah tiba di depannya, Han Han menudingkan telunjuknya dan berkata, suaranya nyaring. “Locianpwe adalah seorang yang sakti, dapat mengalahkan pengeroyokan puluhan orang. Akan tetapi mengapa kini melakukan perbuatan yang amat hina dan rendah?” “Han Han, tutup mulutmu yang busuk” Ouwyang Seng membentak marah, akan tetapi Si Setan Botak tertawa dan memberi isyarat dengan tangannya kepada muridnya untuk mundur. Kemudian ia memandang wajah Han Han. Sejenak pandang mata mereka bertemu dan kakek botak itu berseru perlahan. “Demi iblis....” Matamu mata iblis....” Eh, bocah, perbuatan hina dan rendah apa yang telah aku lakukan?” Han Han menuding ke arah Bhok Khim yang menggeliat-geliat di pangkuan kakek botak itu. “Lepaskan cici itu dan aku baru dapat menganggap locianpwe seorang gagah dan sakti yang tidak melakukan perbuatan hina” Si Setan Botak memandang terbelalak, lalu menunduk dan memandang wajah Bhok Khim yang cantik manis, kemudian tertawa terbahak-bahak. “Ini kau anggap perbuatan hina dan rendah? Ha-ha-ha-ha” Dengan sengaja kakek ini lalu mengelus-elus pipi Bhok Khim yang halus, kemudian jari-jari tangannya menjalar ke bawah, meraba-raba leher dan dada. Gadis itu menggeliat dan meronta lemah, akan tetapi karena ia berada dalam keadaan tertotok, ia tidak dapat melepaskan diri, kemudian meramkan mata dan merintih perlahan. Kemarahan Han Han memuncak. Depgan mata berapi ia memandang kakek botak itu dan membentak, “Locianpwe” Kau tidak boleh menghina wanita” Kakek itu mengangkat mukanya memandang sambil tertawa, akan tetapi begitu pandang matanya bertemu dengan sinar mata Han Han, seketika tawanya terhenti, ia terbelalak, mulutnya ternganga dan terdengarlah ia berkata perlahan, “Aku.... aku....” Tentu saja Ouwyang Seng menjadi bengong menyaksikan keadaan suhunya ini, maka ia berseru keras dan heran, “Suhu....” Apa artinya ini....?” Sesungguhnya, pandang mata dan suara Han Han yang sedang marah itu mengandung tenaga mukjizat yang tidak sewajarnya. Demikian kuat dan mukjizat tenaga sakti ini sehingga seorang seperti Kang-thouw-kwi Gak Liat sendiri, seorang di antara Lima Datuk Besar, sampai terpengaruh” Sayangnya, Han Han sendiri tidak sadar dan tidak tahu akan kekuatan dahsyat yang tersembunyi dalam pandang mata dan kekuatan pikirannya sehingga tentu saja ia tidak dapat memanfaatkannya. Selain itu, Kang-thouw-kwi Gak Liat adalah seorang kakek yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali dalam ilmu-ilmunya, maka ia cepat tersadar begitu mendengar seruan muridnya. Ia sadar dengan kaget sekali dan melempar tubuh Bhok Khim ke samping. Gadis itu terguling dan rebah miring, tanpa dapat bangun. Di lain saat Gak Liat telah menyambar lengan Han Han dan ditariknya anak itu duduk di atas batu-batu kali, di depannya. Sejenak kakek itu memandang dengan penuh perhatian sepasang mata Han Han yang masih bersinar-sinar sungguhpun kini kemarahan anak itu mereda karena melihat Bhok Khim sudah dilepaskan. “Eh, Han Han, coba katakan, siapakah nama Ayahmu?” Kalau Han Han ditanya riwayatnya, tentu ia tidak akan sudi menceritakannya, karena hal itu akan mengharuskan ia bercerita tentang malapetaka ngeri yang menimpa ayah bundanya. Akan tetapi kalau hanya ditanya nama ayahnya saja, ia tidak keberatan untuk menjawab, apalagi ia memang hendak menyenangkan hati kakek ini agar selanjutnya tidak akan mengganggu Bhok Khim. “Ayahku bernama Sie Bun An.” “Ayahmu ahli silat tinggi dan tokoh kang-ouw?” “Ah, tidak sama sekali, locianpwe. Ayah seorang sastrawan, dan semenjak kecil Ayah melarang aku belajar silat, hanya memberi pelajaran tulis dan baca.” Ia berterus terang dengan suara keras. Kalau dahulu di depan Lauw-pangcu ia tidak mengaku pandai membaca, kini di depan Si Setan Botak ia malah sengaja mengatakan ayahnya sastrawan. Hal ini pun ada sebabnya, yaitu karena di situ hadir Ouwyang Seng. Han Han yang sering kali mengalami penghinaan dari Ouwyang Seng putera pangeran, kini mendapat kesempatan untuk menyatakan bahwa dia adalah putera sastrawan dan pandai membaca kitab, dan dalam hal ini ia tidak mau kalah oleh Ouwyang Seng” Mendengar ini, kakek botak itu tampak kecewa dan pandang matanya penuh selidik terheran-heran. “Matamu itu.... hemmm.... Han Han, kau katakan, siapa nama Kong-kongmu (Kakekmu)? Barangkali aku mengenalnya.” “Aku tidak pernah melihat Kong-kong,” jawab Han Han sejujurnya. “Dan Ayahku tidak banyak bercerita tentang Kong-kong. Hanya mengatakan bahwa Kong-kong adalah seorang perantau dan namanya Sie Hoat....” Kakek botak itu meloncat bangun dan tertawa terbahak-bahak. “Sie Hoat....? Sie Hoat Si Dewa Pencabut Bunga? Ha-ha-ha-ha-ha, engkau cucu Jai-hwa-sian (Dewa Pencabut Bunga)? Pantas.... pantas....” Han Han bengong, mengira bahwa Si Botak ini selain lihai juga miring otaknya” Ayahnya adalah seorang sastrawan yang kaya raya, biarpun ayahnya belum pernah bercerita tentang kakeknya, namun ia dapat menduga bahwa kakeknya pun tentu seorang sastrawan. Mengapa kakek botak ini menyebutnya Jai-hwa-sian (Dewa Pencabut Bunga)? Dengan pandang mata penasaran Han Han menatap wajah kakek botak itu dan bertanya. “Kenapa locianpwe tertawa? Apakah locianpwe mengenal Kakekku?” “Ha-ha-ha” Mengenal Jai-hwa-sian Sie Hoat? Ha-ha, dia sainganku terbesar dahulu” Dia masih hutang beberapa pukulan dariku. Dan kau.... ha-ha-ha, engkau cucunya mencela aku karena aku membelai seorang gadis cantik? Sungguh lucu, dan ingin aku melihat muka Sie Hoat kalau mendengar dan melihat ini semua ha-ha-ha-ha” “Locianpwe, apa yang locianpwe maksudkan....?” Han Han bertanya dengan suara keras, hatinya penuh rasa penasaran. Akan tetapi Kang-thouw-kwi Gak Liat hanya tertawa bergelak, lalu seperti orang gila ia memandang ke atas, ke arah awan yang berarak di langit. “Dan kini cucumu menjadi pelayanku, Sie Hoat” Kalau engkau masih hidup, hayo datanglah dan jemputlah cucumu, ha-ha-ha” Kemudian matanya memandang ke arah tubuh Bhok Khim yang masih rebah miring di atas tanah dan dengan langkah lebar menghampiri, lalu menyambar tubuh itu yang diangkatnya. “Locianpwe tidak boleh....” Akan tetapi ucapan Han Han ini terhenti karena lengannya telah ditangkap oleh Ouwyang Seng dan tubuhnya diseret pergi dari tempat itu. “Engkau bocah tak tahu diri, berani sekali mengganggu suhu” Apakah engkau sudah bosan hidup? Anak kecil mencampuri urusan orang tua, sungguh lancang. Lebih baik kau bantu aku mencari batu-batu bintang. Kau pemberani, aku suka kepada anak pemberani dan aku tidak senang melihat kau dibunuh suhu kalau dia sudah marah. Kalau kau baik kepadanya, siapa tahu engkau akan diambil murid seperti aku” Han Han yang terus diajak pergi sampai di tepi sungai yang banyak batu-batu karangnya, mengerti juga betapa tak mungkin ia dapat mencegah perbuatan kakek botak yang demikian sakti itu. Sedangkan dalam pegangan Ouwyang Seng saja ia sudah tidak mampu berkutik. Ia tertarik mendengar tentang bintang dan tentang kemungkinan ia diambil murid. “Untuk apakah batu bintang? Dan batu bintang macam apa yang dimaksud?” tanyanya sambil memperhatikan ketika Ouwyang Seng mulai memilih-milih batu di antara batu karang yang banyak terdapat di situ. “Kau lihat baik-baik batu ini dan bantu mencari sebanyaknya, nanti kucerita kan,” jawab Ouwyang Seng. Han Han melihat batu yang dipilih bocah itu dan melihat bahwa batu itu kecil-kecil, paling besar sebesar tangannya dan bentuknya seperti pecahan batu karang, runcing-runcing dan tajam, akan tetapi warnanya kemerahan. Ia lalu membantu dan mencari batu-batu seperti itu yang tidak banyak terdapat di situ, harus dicari dan dipilih dengan teliti baru dapat menemukan beberapa potong. Sambil mencari Ouwyang Seng lalu memberi keterangan. Seperti yang pernah didengar bocah ini dari gurunya, ratusan tahun yang lalu banyak orang menyaksikan benda besar seperti bola api melayang turun di daerah lembah Sungai Huang-ho ini. Benda itu menurut dugaan banyak orang pandai adalah sepotong batu besar pecahan dari bintang, karena itu, melihat bahwa di daerah itu kemudian tampak banyak sekali pecahan-pecahan batu berwarna kemerahan, batu-batu ini disebut batu bintang. Akan tetapi ketika orang berusaha mempergunakannya, batu-batu yang kecil ini tidak ada gunanya, bahkan untuk bahan bangunan pun tidak sebaik batu kali biasa, maka sampai ratusan tahun kemudian batu-batu ini tidak diperhatikan orang. “Akan tetapi suhu yang sakti luar biasa melihat sifat yang mukjizat dari batu-batu ini,” demikian Ouwyang Seng melanjutkan ceritanya. “Sifat yang cocok sekali untuk memperhebat ilmu kepandaian suhu yang berdasarkan pada tenaga Yang-kang.” Sambil memandangi batu-batu kemerahan itu penuh perhatian dengan hati tertarik sekali, Han Han lalu bertanya. “Sifat mukjizat apakah? Dan apa itu Yang-kang?” “Ah, dasar kau hijau bodoh tidak tahu apa-apa” Ouwyang Seng mengomel. “Masa tidak tahu Yang-kang? Ketahuilah, guruku adalah seorang di antara Lima Datuk Besar, dan ilmu kesaktiannya menjulang setinggi bintang di langit. Di dunia ini tidak ada seorang pun manusia sanggup menandingi ilmunya yang disebut Hwi-yang-sin-ciang (Tangan Sakti Inti Api). Dengan hawa dari tangannya, guruku dapat membuat kayu terbakar. Nah, batu-batu bintang ini mengandung tenaga mukjizat dari Yang-kang, dan menurut suhu, ada inti panasnya matahari tersembunyi di dalamnya. Agaknya bintang yang pecah ini tadinya berada di dekat matahari, aku tidak tahu jelas. Batu-batu ini dipergunakan oleh suhu untuk melatih kedua lengan.” “Bagaimana caranya?” “Kau akan melihat sendiri” Tahukah engkau bahwa kedua lenganku ini dapat bertahan direndam air yang mendidih?” “Ah, masa....?” Tentu saja Han Han tidak percaya. Ouwyang Seng tersenyum bangga dan menyingsingkan kedua lengan bajunya sehingga tampak kedua lengannya yang berkulit putih dan halus. “Kedua lenganku ini kelak kalau sudah jadi benar seperti kedua lengan suhu, akan membuat aku dapat menjagoi seluruh jagat” Kalau sudah selesai latihanku, sekali sampok saja aku dapat membuat hangus tubuh lawan yang bagaimana kuat sekalipun” Han Han memandang dengan melongo, setengah tidak percaya, akan tetapi juga ngeri dan kagum. Benarkah di dunia ada ilmu seperti itu? Ia akan melihat dan membuktikan sendiri. Berkali-kali ia dihina orang karena ia tidak bisa silat dan tidak memiliki kekuatan yang mukjizat. Kalau dia sampai dapat menjadi seorang pandai, bukankah dengan mudah ia dapat menentang semua orang yang jahat-jahat itu? Memang ia dapat membayangkan betapa senangnya memiliki sepasang lengan tangan yang lihai seperti itu, dapat mengeluarkan hawa panas seperti api” “Benarkah semua yang kau katakan itu, Ouwyang Seng?” Tiba-tiba bocah itu melotot dan membentak marah, “Han Han” Di mana kesopananmu? Katamu sendiri kau keturunan sastrawan, mengapa tidak tahu sopan santun? Kau sekarang menjadi pelayan suhuku, berarti kau pelayanku juga. Dan ketahuilah bahwa Ayahku adalah Pangeran Ouwyang Cin Kok yang berpengaruh besar sekali di kota raja. Sudah seharusnya kalau kau juga menghormat padaku kalau kau tahu akan sopan santun” Wajah Han Han menjadi merah. Tentu saja ia tahu akan semua peraturan ini, peraturan “sopan santun” yang diciptakan oleh kerajaan, yang mengharuskan sikecil mencium ujung sepatu si bangsawan, si miskin menyembah-nyembah si kaya” Ia mengerti bahwa dia memang bersalah, maka ia menghela napas dan mengulangi pertanyaannya. “Maaf, benarkah semua yang kau ceritakan tadi, Ouwyang-kongcu?” Berseri wajah Ouwyang Seng. “Bagus” Memang benar dugaanku, kau bukan sembarangan pengemis dan kini aku percaya bahwa engkau tentu keturunan seorang terpelajar. Guruku sendiri menyebutku Kongcu, tentu saja engkau pun harus menghormatku. Tentu benar apa yang aku ceritakan tadi dan engkau ini memang bernasib baik sekali, Han Han. Menjadi pelayan guruku berarti menemukan harta yang tak ternilai harganya, karena sedikit banyak engkau tentu akan dapat memetik ilmunya. Akan tetapi sudah tentu saja jangan harap mendapatkan sebanyak aku, karena aku muridnya. Mengerti? Hayo cepat kumpulkan batu bintang yang banyak.” Han Han mengangguk dan mereka berdua asyik mencari-cari batu bintang sampai terkumpul cukup banyak. Ouwyang Seng membungkus batu-batu itu dengan kantung kain yang memang sudah dibawanya, lalu menyuruh Han Han memanggulnya. Mereka berdua lalu kembali ke tempat di mana tadi mereka meninggalkan Kang-thouw-kwi Gak Liat. Ketika kedua orang anak itu tiba di situ, Han Han melihat bahwa kakek botak itu duduk di atas batu dengan mata dipejamkan dan mulut menyeringai, sedangkan tak jauh dari situ ia melihat Bhok Khim sedang melangkah pergi. Wajah wanita itu pucat dan ia melangkah pergi sambil terisak menangis. “Ho-ho, Manis, kenapa menangis? Laporkan saja kepada Ceng San Hwesio bahwa akulah yang mengganggumu, dan dia tentu tidak akan bisa berbuat sesuatu ho-ho-ha-ha” Wanita muda itu tiba-tiba membalikkan tubuhnya dan Han Han melihat betapa mata yang merah itu memandang penuh kebencian, wajah yang pucat itu basah air mata dan ia bergidik. Belum pernah selama hidupnya ia menyaksikan wajah yang membayangkan kemarahan, kebencian dan dendam sehebat itu” Bhok Khim lalu membalikkan tubuhnya lagi dan berlari, meninggalkan isak tangis yang bercampur dengan suara ketawa bergelak Si Kakek Botak. “Sudah mendapatkan banyak batu bintang? Bagus, mari kita melanjutkan perjalanan pulang agar dapat cepat-cepat engkau berlatih, Kongcu.” Tubuh kakek botak yang tadinya duduk, tiba-tiba melambung ke atas dan pandang mata Han Han sampai menjadi berkunang ketika ia berusaha mengikuti gerakan kakek itu. Tahu-tahu Si Kakek Botak sudah duduk di atas punggung kudanya” Ouwyang Seng agaknya tidak heran menyaksikan demonstrasi kepandaian yang bagi Han Han seperti orang bermain sulap ini, bahkan lalu menepuk pundaknya. “Hayo kita berangkat, Han Han. Hari sudah hampir gelap” Kembali mereka melakukan perjalanan tanpa banyak cakap. Kuda yang ditunggangi oleh kakek botak yang duduk melenggut seperti orang mengantuk itu berjalan di depan, diikuti oleh Han Han yang memanggul kantung berisi batu-batu bintang, dan paling belakang adalah Ouwyang Seng yang berjalan sambil kadang-kadang mendorong pundak Han Han disuruh cepat agar jangan tertinggal langkah kuda. Menjelang malam, tibalah mereka di tempat yang dijadikan tempat tinggal Kang-thouw-kwi Gak Liat. Han Han tertegun dan memandang kagum. Rumah itu adalah sebuah gedung yang indah sekali, yang letaknya berada di sebelah timur kota Tiong-kwan, di dekat Sungai Suang-ho dan mempunyai tanah yang luas, yang dipagari dengan pagar tembok tinggi. Inilah bukan sembarang rumah, pikirnya. Seperti istana saja” “Rumah siapa ini....?” tanyanya ketika mereka memasuki rumah itu setelah dua orang pelayan menyambut kuda tunggangan Si Kakek Botak dan Ouwyang Seng mengajak Han Han untuk terus menuju ke belakang melalui pintu samping, berbeda dengan kakek botak yang langsung memasuki gedung dari pintu tengah. “Heh-heh, rumah siapa lagi? Ini rumahku” “Rumahmu....?” Han Han makin kagum. “Bodoh, bukankah sudah kukatakan bahwa Ayahku adalah Pangeran Ouwyang Cin Kok? Apa artinya rumah ini bagi Ayah? Ini hanyalah sebuah rumah pesanggrahan yang biasanya ditinggali keluargaku di waktu musim panas. Kini dipergunakan oleh suhu untuk mengajar ilmu silat kepadaku. Hayolah” Kau makan dulu, kemudian tidur. Besok kita bekerja” Ouwyang Seng lalu memanggil pelayan, menyuruh pelayan memberi makan kepada Han Han dan memberi sebuah kamar untuk tidur. Kemudian kongcu itu pun melenyapkan diri ke dalam rumah gedung dan malampun tiba. Pada keesokan harinya, Han Han terbangun pagi-pagi sekali. Keadaan di dalam gedung masih sunyi, tanda bahwa semua penghuninya masih tidur. Ia berindap-indap keluar dari kamarnya, yaitu sebuah kamar kecil di antara kamar-kamar untuk bujang di bagian belakang gedung, dan dengan hati-hati Han Han mencari jalan untuk lari minggat dari situ. Betapapun tertarik hatinya untuk menyaksikan Ouwyang Seng berlatih dan kalau mungkin dia sendiri menerima pelajaran dari Setan Botak itu, namun ia masih memilih bebas daripada tekanan mereka dan dipaksa menjadi pelayan. Karena kedua kaki Han Han telanjang, ia dapat melangkah secara hati-hati sekali tanpa mengeluarkan suara dan berhasil melewati kamar-kamar bujang tanpa membangunkan mereka. Akan tetapi alangkah kecewa hatinya ketika ia mendapat kenyataan bahwa rumah gedung itu terkurung tembok tinggi sekali dan tidak ada jalan keluar sama sekali kecuali memanjat pintu gerbang atau tembok” Akan tetapi pintu gerbang pun terlalu tinggi untuknya. Selagi ia termangu bingung, terdengar suara tertawa. “Ho-ho-ha-ha, kau hendak lari ke mana?” Han Han terkejut dan cepat menengok, akan tetapi keadaan di sekelilingnya tetap sunyi dan gelap. Tidak tampak bayangan seorang manusia pun, juga tidak tampak di mana adanya Setan Botak tua yang tadi ia dengar suaranya. Ia bergidik. Hebat bukan ilmu kesaktian kakek itu. Mungkinkah dapat melihatnya dari dalam gedung dan dapat mengirim suaranya seperti itu? Karena maklum bahwa usahanya untuk lari sia-sia belaka dan tak mungkin dapat ia lakukan, Han Han lalu kembali ke dalam kamarnya dan ia duduk bersila dan bersamadhi seperti yang pernah dilatihnya di bawah bimbingan Lauw-pangcu. Setelah Ouwyang Seng bangun, Han Han diajak pergi ke tempat latihan. Tempat ini dahulunya dijadikan sebuah gudang besar, akan tetapi sejak Gak Liat tinggal di situ, oleh kakek ini dijadikan semacam lian-bu-thia (ruangan bermain silat) lengkap dengan dapurnya di mana ia melatih diri dan muridnya untuk memperkuat Yang-kang dengan bantuan batu-batu bintang. Masih ada lagi sebuah tempat yang letaknya di belakang gedung dan tempat ini penuh rahasia. Kalau para pelayan di gedung itu masih diperbolehkan memasuki lian-bu-thia, maka tidak seorang pun kecuali kakek botak itu sendiri yang boleh memasuki tempat terlarang di belakang gedung ini. Tempat itu dahulunya menjadi kebun dari gedung itu, akan tetapi kabarnya sebelum Pangeran Ouwyang membangun gedung di situ, kebun itu dahulunya sebuah tanah kuburan kuno. Di tempat inilah Gak Liat secara rahasia menggembleng diri memperdalam kesaktian karena sebagai seorang di antara Lima Datuk Besar ia harus selalu memperdalam ilmu agar jangan sampai kalah oleh datuk lain. Han Han mendengar semua ini dari Ouwyang Seng. “Engkau harus taat akan perintah suhu kalau kau ingin hidup,” antara lain putera pangeran itu berkata. “Kalau suhu sudah marah dan menghendaki nyawamu, biar ada seribu orang dewa sekalipun tidak akan dapat menolongmu. Kau ingat baik-baik, sekali-kali jangan memasuki daerah terlarang di belakang gedung ini karena siapa saja, termasuk aku sendiri, kalau berani melanggar larangan ini, akan mati” Diam-diam Han Han tidak puas hatinya. Terlalu sekali Setan Botak itu, demikian pikirnya. Karena ketidak senangan hatinya ia memberi nama Setan Botak kepada kakek itu. Mudah saja memutuskan mati hidupnya orang lain” Akan tetapi ia tidak mau banyak cakap. Ia maklum bahwa keadaannya seperti seorang tahanan, tidak dapat lari dan terpaksa ia harus bekerja di situ. Ia tidak bodoh, tidak mau nekat memperlihatkan ketidak senangannya karena berada dalam keadaan tidak berdaya. Aku harus dapat memetik keuntungan sebanyaknya dalam keadaan seperti ini, pikirnya. Maka ia lalu membantu pekerjaan di dalam lian-bu-thia seperti yang diperintahkan Ouwyang Seng. Ia harus mengisi air yang diambilnya dari sumur, memenuhi sebuah kwali baja yang amat besar dan yang ditaruh di atas perapian. Juga ia harus memukuli batu-batu bintang sampai menjadi kecil-kecil, mempergunakan sebuah palu besi. Pekerjaan ini sukar dan meletihkan karena batu-batu bintang itu cukup keras. Tiap kali beradu dengan palu besi, mengeluarkan titik-titik api dan kalau mengenai kulit lengan, terasa panas sekali” Pecahan batu-batu bintang ini lalu dituangkan ke dalam kwali besar yang airnya mulai mendidih. Pada saat itu, muncullah Gak Liat dan seperti biasanya, kemunculannya secara tiba-tiba seperti ia pandai menghilang saja. Padahal ia dapat muncul seperti itu karena menggunakan gin-kang yang amat tinggi tingkatnya sehingga gerakannya selain ringan tak terdengar, juga amat cepat. “Suhu, apakah teecu (murid) sudah boleh berlatih dengan batu bintang?” Ouwyang Seng bertanya. “Hemmm...., masih jauh” Kedua lenganmu belum cukup kuat, Kongcu. Lebih baik kau tekun melatih kedua lenganmu dengan air panas beracun itu. Itu pun amat berguna, dan kelak kalau tingkatmu sudah cukup kuat, baru akan kulatih dengan air panas batu bintang. Mulailah, Kongcu. Dan kau, Han Han, air di kwali besar itu kurang penuh, hayo ambil lagi dan isi sampai penuh, kemudian besarkan apinya. Batu-batu kecil merah itu harus digodok sampai hancur” Dengan muka keruh karena kecewa Ouwyang Seng menghampiri kwali yang lebih kecil, yang tadi ia tumpangkan di atas perapian kecil di sudut. Air dalam kwali itu kelihatan menghitam, dan airnya sudah mulai panas akan tetapi masih belum mendidih. Setelah menggulung kedua lengan bajunya, Ouwyang Seng memasukkan kedua tangannya ke dalam kwali air hitam, akan tetapi ia menyeringai kesakitan dan menarik kembali kedua tangannya keluar. “Aduh, terlalu panas....” serunya. “Hemmmmm, Kongcu kurang tekun berlatih” Setan Botak menegur dan suaranya jelas membayangkan bahwa hatinya tidak puas. “Yang begini saja tidak kuat, apalagi berlatih dengan batu bintang. Masukkan lagi tangan Kongcu ke dalam kwali itu, jangan ragu-ragu, masukkan” Ouwyang Seng memandang ke arah suhunya dengan muka pucat, kemudian ia menggigit bibirnya dan dengan nekat memasukkan kedua lengannya ke dalam kwali di depannya. Tubuhnya menggigil dan hampir ia tidak kuat menahan, akan tetapi tiba-tiba kakek itu mengulur tangan kiri, menyentuh pundaknya dan tubuh Ouwyang Seng tidak menggigil lagi, bahkan wajahnya kelihatan tenang. “Bantulah dengan hawa dalam tubuh” Kongcu harus dalam keadaan siulian (samadhi) jika tidak kuat,” suara kakek itu mengomel. Ouwyang Seng lalu meramkan kedua mata dan mulai mengatur napas mengumpulkan perasaan, mengerahkan hawa dari dalam pusar dan ketika kakek itu menarik kembali tangannya, Ouwyang Seng tidak menggigil lagi, wajahnya tenang. “Berlatih terus sampai dua hari dua malam, jangan hentikan kecuali makan, dari ulangi lagi sampai aku kembali dari pertemuan Ho-han-hwe,” pesan Si Kakek sambil berdiri dan bertolak pinggang. Han Han yang sejak tadi berdiri memandang dan mendengarkan, menjadi terheran. Air hitam itu terang amat panas, bahkan sudah mulai menguap, akan tetapi kini Ouwyang Seng dalam keadaan samadhi mampu menahan dengan kedua lengannya direndam air panas” “Hei, mana airnya? Cepat tambah sampai penuh dan godok batu bintang sampai hancur. Kalau airnya menguap habis dan batunya masih belum hancur betul, tambah terus dan godok terus sampai hancur. Mengerti?” Han Han terkejut dan sadar dari keadaan bengong tadi, cepat-cepat ia menyambar ember kosong dan lari ke sumur, mengambil air dan menuangkannya ke dalam kwali besar berisi batu bintang. Kakek itu masih berdiri di situ, kemudian berkata. “Kerjakan penggodokan batu ini sampai hancur, terus besarkan api sampai aku datang kembali. Awas, kalau aku datang batu-batu ini belum hancur, kau yang akan aku masukkan ke dalam air ini” Setelah mengeluarkan kata-kata ini, tubuh Setan Botak yang tinggi kurus itu berkelebat dan lenyap dari situ. Han Han sejenak memandang dan mencari-cari dengan matanya, kemudian melirik ke arah Ouwyang Seng yang masih duduk bersamadhi dengan kedua lengan direndam air hitam yang panas. Han Han mengangkat pundak dan melanjutkan pekerjaannya, maklum bahwa ia tidak berdaya melarikan diri dan terpaksa harus melakukan perintah Setan Botak. Akan tetapi betapa mendongkol hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa batu-batu bintang itu benar-benar amat sukar dicairkan. Sampai berkali-kali ia harus menambah air lagi dalam kwali dan menambah kayu perapian sehingga hawa panas memenuhi ruangan “dapur” dari lian-bu-thia ini. Baiknya ia bekerja kepada Ouwyang Seng, putera pangeran yang amat dihormat, dan diperhatikan keadaannya oleh para pelayan sehingga pada waktu-waktu tertentu tidak pernah pelayan lupa untuk mengantar minuman dan makanan. Ouwyang Seng kelihatan gembira bahwa ia telah memperoleh kemajuan. Kini tanpa bantuan gurunya, ia sudah dapat bertahan merendam kedua lengannya di air racun yang panas. Karena kegembiraannya, ia sering bercerita di waktu mengaso sehingga Han Han banyak tahu akan keadaan yang aneh di tempat itu dan akan keadaan Setan Botak yang amat luar biasa itu. Diam-diam di dalam hatinya Han Han bergidik. Kalau saja ia tahu sebelumnya, tentu ia tidak akan membawa Setan Botak itu kepada sarang Pek-lian Kai-pang” Bergidik ia teringat betapa banyaknya manusia menjadi korban kekejaman Si Setan Botak ini. Menurut penuturan Ouwyang Seng yang sesungguhnya tidak banyak pengetahuannya tentang keadaan Kang-thouw-kwi Gak Liat, sebagaimana yang ia ceritakan penuh kebanggaan kepada Han Han, kakek itu adalah tokoh terbesar di antara Lima Datuk Besar yang pada saat itu menguasai dunia kang-ouw golongan hitam. Merupakan tokoh yang amat terkenal karena ilmunya yang mengerikan, yaitu Hwi-yang-sin-ciang, dan sudah banyak jasanya terhadap Pemerintah Mancu karena ketika barisan Mancu menyerbu ke selatan, kakek inilah seorang di antara tokoh-tokoh sakti yang melancarkan jalan dengan merobohkan pejuang-pejuang yang memiliki kesaktian. “Menurut kata Ayahku, Pangeran Ouwyang Cin Kok, ilmu kepandaian suhu tidak ada lawannya di kolong langit ini, maka aku disuruh menjadi muridnya. Kau lihat sendiri, betapa hebat ilmunya. Dan aku.... aku sudah mulai dapat menggembleng kedua lenganku agar kelak menjadi jago nomor satu di dunia, setelah suhu.” Han Han amat tertarik. Belum pernah ia mendengar tentang ilmu kesaktian yang aneh-aneh, sungguhpun sudah banyak ia membaca cerita tentang orang-orang sakti di jaman dahulu. Kini ia tidak saja mendengar, bahkan ia menyaksikan dengan mata sendiri. “Kongcu, tadi gurumu mengatakan telah mengenal Kakekku dan menyebut Kakekku Jai-hwa-sian, apakah kau pernah mendengar tentang Kakekku itu?” Ouwyang Seng menggeleng kepala. “Aku belum pernah mendengar nama itu. Mungkin para suheng (Kakak Seperguruan Laki-laki) atau suci (Kakak Seperguruan Perempuan) pernah mendengar dan mengetahuinya. Kelak akan kutanyakan mereka.” “Ah, jadi Kongcu masih mempunyai suheng dan suci?” Ouwyang Seng mengacungkan jempolnya. “Tentu saja, dan mereka pun hebat” Aku mempunyai dua orang suheng dan seorang suci, dan kepandaian mereka saja sudah cukup menggegerkan dunia dan tidak ada lawannya. Akan tetapi menurut suhu, kalau aku tekun belajar, aku akan lebih lihai daripada mereka” Han Han dapat menduga bahwa putera pangeran ini sedang bersombong, maka ia tidak begitu mengacuhkannya. Pikirannya sendiri bekerja dan ia amat tertarik untuk mempelajari ilmu yang aneh-aneh itu, bukan sekali-kaii karena ia ingin menggunakannya untuk berkelahi memukul apalagi membunuh orang, melainkan keanehan ilmu-ilmu itulah yang menarik hatinya. Ingin ia mengetahui rahasianya. Ketika ia menuangkan air tadi, ada air dari kwali, air yang mendidih dan berwarna agak merah, memercik ke atas dan setetes air mengenai lengannya. Kulit lengannya terasa panas sekali dan melepuh. Hal ini adalah wajar, akan tetapi mengapa Ouwyang Seng dapat merendam kedua lengannya di air panas tanpa terluka? “Kau lanjutkan pekerjaanmu menggodok batu bintang sampai hancur mencair, Han Han. Jangan sampai gagal dan jangan menggangguku. Ingat lagi, tak boleh sekali-kali kau keluar dari lian-bu-thia ini, apalagi berkeliaran di daerah terlarang di belakang gedung. Kalau melanggar, engkau akan mati dalam keadaan mengerikan” Sudah menjadi watak Han Han, juga mungkin watak sebagian besar anak-anak, makin terlarang makin ingin tahu. “Ada apanya sih di daerah terlarang itu, Kongcu?” “Hush” Mana aku tahu? Di situ tempat suhu bersamadhi dan melatih ilmu, tidak ada yang boleh masuk. Aku pun baru tiga kali diperkenankan masuk dan keadaannya mengerikan dan menyeramkan” Ada tengkorak-tengkorak hidup.... hihhh.... ada setan-setannya di situ. Akan tetapi, suhu menguasai setan-setan itu semua yang membantunya memperdalam ilmu-ilmunya.” Han Han merasa seram juga, akan tetapi diam-diam ia makin tertarik dan ingin sekali menjenguk daerah terlarang. Namun tentu saja hai ini hanya ia simpan dalam hati dan karena melihat Ouwyang Seng sudah tekun bersamadhi dan berlatih, ia pun lalu duduk bersila di depan perapian menjaga godokan batu bintang. *** Ho-han-hwe (Perkumpulan Kaum Patriot) adalah sebuah perkumpulan orang-orang gagah yang menentang pemerintah penjajah Mancu, terdiri dari tokoh-tokoh kang-ouw yang kemudian di dunia kang-ouw sendiri dikenal dengan golongan putih atau kaum bersih sebagai tandingan dari mereka yang mendukung pemerintah penjajah yang mereka namai golongan hitam atau kaum sesat” Di mana-mana ada Ho-han-hwe ini, namun tidak pernah ada tempat atau markasnya tertentu karena tentu saja perkumpulan ini merupakan perkumpulan rahasia yang oleh pemerintah Mancu dicap sebagai pemberontak. Setiap saat dapat saja diadakan pertemuan rahasia antara tokoh-tokoh patriot ini yang secara diam-diam selalu mengadakan hubungan satu dengan yang lain. Kang-lam Sam-eng Si Tiga Pendekar Kang-lam merupakan tokoh-tokoh bersemangat dari Ho-han-hwe. Tiga orang murid Siauw-lim-pai inilah yang memelopori pertemuan antara orang gagah di Tiong-kwan yang menjadi pusat dari Pek-lian Kai-pang. Tentu saja Pek-lian Kai-pang merupakan sepaham atau sahabat karena perkumpulan pengemis di bawah pimpinan Lauw-pangcu ini menjadi anak buah musuh Mancu di barat, yaitu Raja Muda Bu Sam Kwi. Akan tetapi, tiga hari sebelum pertemuan penting ini diadakan, terjadilah malapetaka menimpa Pek-lian Kai-pang sehingga hampir seluruh anggauta perkumpulan pengemis pejuang ini terbasmi habis oleh datuk hitam Gak Liat, bahkan Lauw-pangcu sendiri terluka, juga Kang-lam Sam-eng yang tadinya datang mengunjungi sahabat mereka ikut pula mengalami nasib malang. Khu Cen Tiam dan Liem Sian terluka dan Bhok Khim Si Pedang Cantik malah tertawan oleh Setan Botak yang lihai luar biasa itu. Semua ini masih ditambah lagi dengan terpecahnya rahasia pertemuan Ho-han-hwe sehingga kini pertemuan itu terancam oleh hadirnya Kang-thouw-kwi Gak Liat. Peristiwa ini yang segera terdengar oleh kaum bersih, membuat mereka sibuk sekali membuat persiapan. Nama besar Gak Liat sudah dikenal mereka semua, sungguhpun belum pernah ada yang bertemu, apalagi bertanding melawan datuk hitam itu. Mereka sibuk mengundang tokoh-tokoh besar dari golongan putih, namun tak seorang pun yang merasa akan sanggup menandingi kesaktian Setan Botak. Akhirnya, hati mereka lega, ketika Khu Cen Tiam dan Liem Sian berhasil mengundang Siauw-lim Chit-kiam (Tujuh Pendekar Pedang Siauw-lim-pai) yang masih terhitung paman-paman guru Kang-lam Sam-eng, atau murid-murid dari Ceng San Hwesio ketua Siauw-lim-pai. Agaknya hanya Siauw-lim Chit-kiam ini sajalah yang akan sanggup menandingi musuh itu. Selain Siauw-lim Chit-kiam yang diundang datang oleh Khu Cen Tiam dan Liem Sian, juga ada beberapa orang tokoh undangan lain sehingga kedudukan Ho-han-hwe yang diadakan di Tiong-kwan itu cukup kuat. Namun mereka itu telah mengatur siasat dan rencana, karena khawatir kalau-kalau yang muncul bukan hanya Setan Botak sendiri dan siapa tahu kalau-kalau di belakang Setan Botak ini terdapat pasukan pemerintah penjajah yang akan membasmi mereka. Demikianlah, pada hari yang ditetapkan, semua orang gagah berkumpul dengan hati berdebar, dalam suasana penuh ketegangan. Mereka memilih tempat di sebuah kuil tua, yaitu sebuah kuil di luar kota Tiong-kwan sebelah barat. Kuil ini selain sudah tua tidak terpakai lagi, juga memiliki pekarangan yang luas dan jauh dari tetangga, letaknya sunyi dan dari tempat itu akan mudah diketahui kalau ada pihak musuh datang menyerang. Semenjak pagi, sudah banyak anggauta-anggauta Ho-han-hwe yang berdatangan. Sambungan pundak Liem Sian yang terlepas telah dapat disambung kembali, dan lengan Khu Cen Tiam juga sudah diobati dan masih terbalut. Semua ini dapat dilakukan berkat ilmu pengobatan yang tinggi dari seorang di antara Siauw-lim Chit-kiam. Namun tentu saja kedua orang ini masih harus beristirahat dan tidak mungkin dapat menghadapi dan ikut dalam pertandingan melawan musuh pandai. Ada tiga puluh orang lebih yang berkumpul, kesemuanya merupakan tokoh-tokoh yang tinggi ilmu silatnya. Akan tetapi yang menjadi pusat perhatian, juga menjadi pusat harapan mereka, adalah Siauw-lim Chit-kiam yang rata-rata berusia lima puluhan tahun dan bersikap tenang sekali, ditambah lagi dua orang tokoh undangan lain yang namanya tidak kalah tenarnya dari Siauw-lim Chit-kiam. Mereka ini adalah seorang laki-laki tinggi besar berkulit hitam dan seorang lagi kakek kurus kering bermuka pucat. Laki-laki tinggi besar itu bernama Giam Ki, akan tetapi lebih terkenal dengan julukan Ban-kin Hek-gu (Kerbau Hitam Selaksa Kati). Dari julukannya ini saja mudah diduga bahwa laki-laki tinggi besar berusia empat puluhan tahun ini selain memiliki ilmu silat Bu-tong-pai yang lihai, juga memiliki tenaga yang dahsyat. Adapun laki-laki berusia enam puluhan tahun yang kecil tubuhnya dan bermuka pucat itu amat terkenal dengan julukannya It-ci Sin-mo (Iblis Berjari Sakti) dan bernama Tan Sun. Kalau Giam Ki terkenal dengan tenaga luar yang dahsyat, adalah Tan Sun ini terkenal sebagai ahli lwee-keh (tenaga dalam) yang amat pandai mempergunakan jari tangan untuk melakukan ilmu tiam-hiat-hoat (menotok jalan darah). Akan tetapi berbeda dengan sikap Siauw-lim Chit-kiam yang tenang dan diam, kedua orang ini agak sombong dan berlagak memandang rendah ancaman Kang-thouw-kwi Gak Liat” Sikap ini hanya mendatangkan perasaan lega dan percaya di antara golongan muda yang hadir di Ho-han-hwe itu, akan tetapi bagi mereka yang lebih tua, bahkan menimbulkan kekhawatiran dan keraguan. “Mengapa khawatir menghadapi Si Setan Botak?” Demikian antara lain Ban-kin Hek-gu berkata sambil mengangkat dadanya yang lebar dan kuat. “Kita sekalian hanya baru mendengar namanya sebagai seorang di antara Lima Datuk Hitam” Tak perlu gelisah” Macam datuk-datuk hitam yang berkecimpung di dunia kemaksiatan, mana mungkin bisa memiliki kesaktian tulen? Kalau dia datang, biarlah aku yang maju menghadapinya” Karena semua orang maklum bahwa Si Kulit Hitam tinggi besar ini memang berkepandaian tinggi dan lihai sekali, mereka tidak mau membantah, apalagi mereka semua sedang dalam suasana berkabung. Sebuah meja sembahyang besar dipasang di tengah ruangan dan mereka tadi satu demi satu telah melakukan sembahyang untuk mengenang dan menghormat kematian teman-teman mereka, yaitu anggauta-anggauta Pek-lian Kai-pang yang telah dibasmi oleh Setan Botak secara mengerikan. “Kami percaya akan kemampuan Giam-taihiap dan amat mengharapkan bantuan taihiap yang berharga,” kata pula Khu Cen Tiam tenang. “Akan tetapi kami harap sukalah Giam-taihiap dan semua saudara-saudara yang lain berhati-hati sekali. Setan Botak itu benar-benar amat lihai dan kesaktiannya dahsyat sekali. Kita telah mengatur rencana dan siasat, apabila dia datang dan tak dapat dilawan, kita harus mengandalkan tenaga bantuan ke tujuh orang susiok (Paman Guru) kami untuk menghadapinya.” Sambil berkata demikian, Khu Cen Tiam memandang ke arah tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai yang duduk diam dan sejak tadi tidak berkata-kata, hanya mendengarkan dengan sikap tenang. Seorang di antara Siauw-lim Chit-kiam yang tertua, kakek berjenggot putih panjang berpemandangan tajam dan bernama Song Kai Sin, berkata dengan suara halus dan tenang. “Kami bukanlah anggauta-anggauta Ho-han-hwe dan kami datang memenuhi undangan murid-murid keponakan kami hanya karena seorang keponakan perempuan kami ditawan oleh Kang-thouw-kwi Gak Liat. Meman, Gak Liat amat keji dan jahat, sudah menjadi kewajiban kami untuk menentangnya, apalagi kalau Bhok Khim dia ganggu. Akan tetapi, dia amat sakti, sungguhpun kami sendiri belum pernah melawannya, namun menurut perhitungan kami, hanya kalau kami bertujuh maju bersama, mungkin baru dapat menahannya. Kalau sudah terjadi demikian, hendaknya rencana diteruskan dan jangan pedulikan kami. Kami Siauw-lim Chit-kiam sekali turun tangan memenuhi kewajiban, sudah rela dan siap untuk mengorbankan nyawa untuk membersihkan dunia dari tangan kotor seorang di antara Lima Datuk Hitam.” Setelah bicara demikian, Song Kai Sin kembali menundukkan mukanya dan bersamadhi seperti enam orang saudara seperguruannya. Ketika orang memperhatikan, kiranya tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai ini sejak tadi bersamadhi untuk mengumpulkan tenaga dan diam-diam mereka sedang meyakinkan latihan untuk menyatukan semangat dan sin-kang mereka. Untuk menghadapi seorang tokoh besar seperti Setan Botak, tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai ini yang sudah maklum akan kelihaian lawan, tanpa banyak cakap telah berlatih dan bersiap-siap. Lauw-pangcu, ketua Pek-lian Kai-pang yang hadir pula dalam pertemuan ini, telah mendapat pengobatan pula dari lukanya di sebelah dalam tubuh akibat pukulan jarak jauh Setan Botak. Wajah ketua Pek-lian Kai-pang ini pucat sekali dan tubuhnya masih lemah, namun semangatnya sama sekali tidaklah lemah, bahkan berkobar-kobar karena ia merasa sakit hati terhadap Setan Botak atas kematian hampir seluruh anggauta Pek-lian Kai-pang. Setelah membawa puterinya, Sin Lian, ke rumah seorang sahabatnya di Tiong-kwan, menitipkan anak itu dan memesan kepada Sin Lian agar jangan keluar dari rumah, ia sebagai seorang terpenting dalam Ho-han-hwe itu lalu mengatur persiapan bersama Khu Cen Tiam dan Liem Sian. Mereka semua telah bersepakat menjalankan siasat, yaitu dengan cara apa pun harus dapat mereka tewaskan Si Setan Botak, kalau mungkin dalam pertandingan, kalau tidak mungkin, telah disediakan cara untuk membakar Setan Botak hidup-hidup di dalam kuil tua” Setelah semua hadir, pertemuan itu dibuka oleh Lauw-pangcu yang membicarakan tentang usaha perlawanan Raja Muda Bu Sam Kwi di wilayah barat untuk menentang pemerintah penjajah bangsa Mancu. Kemudian ia menceritakan pula malapetaka yang menimpa Pek-lian Kai-pang dan dengan suara pilu bercampur sesal hebat ia menambahkan. “Kalau saya merenungkan betapa malapetaka ini didatangkan oleh.... murid saya sendiri.... sungguh perih sekali perasaan hatiku....” Tak tertahankan lagi, Lauw-pangcu yang sudah tua ini menitikkan air mata. Ia merasa menyesal bukan main telah bertemu Sie Han dan mengambil anak itu sebagai murid. Lebih-lebih perih rasa hatinya betapa muridnya itu membawa datang Si Setan Botak, bahkan membawakan buntalan yang isinya lima buah kepala pembantu-pembantunya” Kenangan ini mendatangkan kemarahan luar biasa dan biarpun lukanya masih belum sembuh benar, ia menggerakkan tangan menghantam remuk sisa arca batu di sampingnya sambil berkata, “Selama hidup aku takkan melupakan murid murtad yang bernama Sie Han itu” Sekali waktu tentu akan kubalas dendam ini” Napasnya terengah dan ia menyambung, “Mohon bantuan para saudara untuk kelak menangkap murid ini dan menyerahkannya kepada saya.” Setelah berkata demikian, Lauw-pangcu muntahkan darah segar. Song Kai Sin, orang pertama dari Siauw-lim Chit-kiam, berkata tenang. “Lauw-pangcu, seorang gagah dapat menerima segala keadaan, betapapun buruknya, dengan penuh kesabaran dan ketenangan. Keluh-kesah dan kesedihan tiada gunanya, hanya akan melemahkan semangat dan badan.” Kemudian ia bangkit berdiri, menghampiri Lauw-pangcu dan menggunakan dua jari tangan kirinya menotok jalan darah di punggung ketua Pek-lian Kai-pang yang akhirnya menjadi tenang kembali. Akan tetapi ucapan kakek ini telah membangkitkan amarah di hati para orang gagah yang hadir dan diam-diam mereka ini pun membenci Sie Han, apalagi Khu Cen Tiam dan Liem Sian dua orang murid Siauw-lim-pai itu yang menganggap bahwa hilangnya sumoi mereka adalah gara-gara murid murtad itu pula. Kalau murid murtad Lauw-pangcu tidak berkhianat, tentu Setan Botak tidak akan datang dan sumoi mereka tidak akan terculik. Para anggauta Ho-han-hwe itu lalu saling menceritakan hasil perjuangan mereka menentang penjajah dan mengatur siasat untuk melakukan gerakan-gerakan selanjutnya. Ada yang mengusulkan agar mereka itu menculik anak-anak para pembesar Mancu sehingga selain hal ini merupakan pukulan batin bagi para pembesar penjajah, juga dapat mereka pergunakan untuk membebaskan teman-teman seperjuangan yang ditawan. Usul ini diterima, bahkan It-ci Sin-mo Tan Sun dan Ban-kin Hek-gu Giam Ki masing-masing berjanji untuk menculik anak pembesar yang paling tinggi kekuasaannya, kalau mungkin malah akan menculik putera Raja Mancu” Kesanggupan kedua orang sakti ini tentu saja disambut gembira. Di antara mereka yang hadir dan membicarakan semua rencana perlawanan dengan bermacam cara terhadap penjajah ini, hanya Siauw-lim Chit-kiam saja yang tidak mencampuri dan mereka tetap bersamadhi sambil melatih diri untuk menghadapi Setan Botak yang mereka tahu amatlah lihainya. Akan tetapi, sehari itu mereka menanti-nanti, Setan Botak belum juga tampak muncul. Menjelang senja, tiba-tiba dari luar menyambar sebatang piauw beronce merah ke arah Khu Cen Tiam. Pendekar Siauw-lim-pai ini cepat mengulurkan tangan dan menyambar piauw itu sambil berseru heran karena ia mengenal piauw ini sebagai senjata rahasia sumoinya. Juga Liem Sian mengenalnya, maka pendekar ke dua dari Kang-lam Sam-eng ini sudah melesat tubuhnya keluar dari kuil tua dan terdengar suaranya di luar kuil. “Sumoi....” Akan tetapi, tak lama kemudian Liem Sian kembali ke dalam kuil dengan wajah muram dan pandang mata heran. “Dia benar sumoi, akan tetapi sudah pergi jauh.” Ucapan ini ia tujukan kepada suhengnya. Khu Cen Tiam menarik napas panjang. “Biarlah, memang dia tidak ingin datang ke sini, buktinya ini dia mengirim surat dengan piauwnya. Betapapun juga, dia selamat, sute, dan kita boleh bersyukur karenanya.” Akan tetapi setelah Khu Cen Tiam membuka surat yang terikat pada piauw tadi, keningnya berkerut dan ia menoleh ke arah Siauw-lim Chit-kiam yang masih bersamadhi. “Susiok, teecu persilakan membaca surat sumoi,” bisik Khu Cen Tiam kepada Song Kai Sin. Kakek ini membuka mata memandang, lalu dengan tenang mengulur tangan menerima surat dan dibacanya. Wajahnya masih tenang, namun pandang matanya mengandung sinar kilat, lalu menyerahkan surat itu kepada hwesio gendut di sebelahnya, orang ke dua dari Siauw-lim Chit-kiam. Hwesio ini menerima surat, membaca dan bibirnya bergerak, “Omitohud....” lalu menyerahkan surat itu kepada orang ke tiga. Sebentar saja surat itu beralih tangan dan Siauw-lim Chit-kiam sudah membaca semua. Yang terakhir dari ketujuh orang tokoh Siaiw-lim-pai ini adalah seorang kakek kurus bermuka merah. Setelah membaca surat itu, bibirnya mengeluarkan suara mendesis seperti ular dan surat yang dikepalnya itu hancur menjadi bubuk ketika ia membuka kembali tangannya” Kemarahannya membuat kakek ini lupa diri dan kekuatan yang ia perlihatkan sungguh dahsyat. Mengepal hancur benda keras bukanlah hal yang amat mengagumkan, akan tetapi mengepal benda lemas seperti kertas sampai hancur membubuk, benar-benar tidaklah mudah dilakukan oleh sembarang ahli” “Chit-te (Adik ke Tujuh), simpan tenagamu untuk menghadapi lawan tangguh, bukan diumbar dan habis dihisap kemarahan,” kata pula Song Kai Sin dengan nada menegur. Orang ke tujuh yang bernama Liong Ki Tek ini menghela napas panjang dan segera meramkan mata kembali. Apakah bunyi surat yang dikirim secara aneh oleh Bhok Khim itu? Bunyinya pendek saja namun isinya difahami oleh dua orang suhengnya dan tujuh orang susioknya. Kedua Suheng, Perbuatan keji biadab Kang-thouw-kwi memaksa aku tidak ada muka untuk bertemu dengan orang lain, memaksa aku pergi mengurung diri ke dalam “kamar siksa diri” di kuil. Kalau suheng berdua dapat menewaskannya, syukurlah. Kalau tidak, aku akan memperdalam ilmu dan kelak aku sendiri yang akan menghancurkan kepalanya. Bhok Khim. Tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai itu diam-diam mengeluh dan menangis dalam hati. Mereka tahu bahwa murid wanita Siauw-lim-pai itu telah diperhina oleh Kang-thouw-kwi Gak Liat dan mereka tahu bahwa mengurung diri ke dalam “kamar siksa diri” merupakan perbuatan nekat seperti orang membunuh diri. “Siauw-lim Chit-kiam akan mengadu nyawa dengan Kang-thouw-kwi....” Tiba-tiba Song Kai Sin berseru keras ke arah luar kuil. Semua orang terkejut dan ketika mereka memandang keluar, ternyata Kang-thouw-kwi Gak Liat sudah tampak berdiri di luar kuil bersama dua orang lain yang kelihatan amat menarik karena perbedaan muka mereka. Yang seorang bertubuh tinggi besar bermuka hitam seperti pantat kwali, adapun yang seorang lagi bertubuh pendek kurus bermuka putih seperti kapur” Akan tetapi mereka yang mengenal dua orang ini maklum bahwa dua orang yang menemani Si Setan Botak ini bukanlah sembarang orang, melainkan tokoh-tokoh hitam yang amat terkenal, yaitu kakak beradik yang terkenal dengan julukan Hek-pek Giam-ong (Raja Maut Hitam Putih)” Mereka ini adalah murid-murid Si Setan Botak. Masih ada seorang lagi murid Si Setan Botak, yaitu seorang murid wanita yang bernama Ma Su Nio, berjuluk Hiat-ciang Sian-li (Dewi Bertangan Darah) yang kabarnya malah lebih lihai daripada Hek-pek Giam-ong dan lebih kejam daripada gurunya. Akan tetapi iblis wanita itu tidak nampak hadir. “Hah-ha-ha-ha-ha” Terdengar Si Setan Botak tertawa, akan tetapi tidak mengeluarkan kata-kata, hanya tertawa dengan nada mengejek. Yang membuka mulut bicara adalah Hek-giam-ong, muridnya yang bermuka hitam. Hek-giam-ong melangkah maju dan berkata, suaranya nyaring sekali. “Bukankah Siauw-lim Chit-kiam murid-murid Ceng San Hwesio? Sejak kapankah murid-murid Ceng San Hwesio bersekutu dengan para pemberontak?” “Sejak iblis-iblis macam kalian membantu penjajah Mancu” bentak Ban-kin Hek-gu Giam Ki yang suaranya lebih menggeledek dari suara Si Muka Hitam. “Kalau kalian berani, masuklah ke dalam kuil, di sini lega dan memang sudah disediakan untuk kita bertanding mengadu ilmu” Tantangan Ban-kin Hek-gu Giam Ki ini bukan sekedar karena wataknya yang keras dan kasar, melainkan menurut rencana Ho-han-hwe untuk memancing musuh yang tangguh ke dalam kuil. “Hah-ha-ha-ha-ha” Si Setan Botak makin keras tertawa dan ia melangkah memasuki kuil, diikuti oleh dua orang muridnya yang kelihatan agak ragu-ragu. Hek-pek Giam-ong maklum betapa berbahaya memasuki “sarang” musuh, akan tetapi karena di situ ada guru mereka, dan melihat guru mereka sudah memasuki kuil, tentu saja mereka berbesar hati dan melangkah masuk sambil mengangkat dada. Suara ketawa Si Setan Botak makin nyaring dan biarpun mereka bertiga sudah tiba di ruangan kuil yang luas, kakek botak ini masih tertawa terus, makin lama makin keras dan terkejutlah mereka semua yang hadir karena tubuh mereka tergetar hebat oleh suara ketawa yang mengandung tenaga khi-kang amat luar biasa ini. Hanya mereka yang sudah tinggi tingkat sin-kangnya saja yang tidak terpengaruh, hanya tergetar dan masih mampu mengatasi getaran hebat ini. Siauw-lim Chit-kiam, kedua Kang-lam Sam-eng, Lauw-pangcu, Ban-kin Hek-gu dan It-ci Sin-mo yang masih dapat bertahan, sungguhpun mereka ini diam-diam harus mengerahkan sin-kang untuk melawan suara ketawa itu. Beberapa orang anggauta Ho-han-hwe juga masih mampu melawan sambil cepat duduk bersila, akan tetapi belasan orang lain yang tingkat tenaga sin-kang mereka masih kurang kuat, sudah terjungkal dan cepat-cepat merangkak lalu berlari menjauhi ruangan itu ke sebelah belakang kuil sambil menutupi telinga mereka” Kalau mereka tidak cepat pergi dan menutupi telinga, mereka akan mati oleh suara ketawa itu yang mengguncangkan jantung” Melihat ini, Ban-kin Hek-gu Giam Ki yang berwatak keras berangasan menjadi marah sekali. Ia seorang ahli silat tinggi dan tentu saja maklum bahwa Setan Botak itu memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa, mengerti bahwa orang yang telah pandai mempergunakan khi-kang dalam suaranya untuk menyerang lawan dengan Ilmu Ho-kang seperti auman suara harimau, adalah seorang sakti yang sukar dikalahkan. Akan tetapi, selain kasar dan keras, Ban-kin Hek-gu ini juga terkenal tidak pernah takut menghadapi siapapun juga. Dengan kemarahan memuncak, keberaniannya bertambah dan ia menerjang maju menyerang Si Setan Botak sambil berseru. “Setan Botak” Jangan menjual lagak di depan Ban-kin Hek-gu” Ban-kin Hek-gu bertenaga besar dan kini menyerang dengan penuh kemarahan, maka pukulan tangan kanannya yang dikepal mengarah kepala Kang-thouw-kwi Gak Liat amatlah dahsyatnya. Pukulan belum tiba anginnya sudah menyambar hebat. Akan tetapi kakek botak itu tenang-tenang saja, masih tertawa lebar sungguhpun sudah tidak mengeluarkan suara lagi. Setelah kepalan tangan yang besar itu menyambar dekat, hanya tinggal sepuluh sentimeter lagi dari dahinya, kakek ini mengangkat tangan kirinya dan menerima kepalan tangan Ban-kin Hek-gu dengan telapak tangan. “Plakkk” Si Kerbau Hitam itu terkejut bukan main karena merasa betapa telapak tangan Setan Botak itu lunak dan panas seperti air mendidih, di mana tenaganya sendiri seperti tenggelam. Cepat ia menarik tangannya, akan tetapi kepalan itu melekat pada telapak tangan Setan Botak yang tertawa-tawa. Ban-kin Hek-gu Giam Ki meronta-ronta dan rasa panas dari telapak tangan itu menerobos lengannya, membuat tubuhnya mandi keringat dan mukanya yang hitam berubah makin hitam. “Ha-ha-ha, siapa yang berlagak?” Kang-thouw-kwi Gak Liat tertawa. “Pergilah, kau tidak berharga untuk bertanding melawan aku” Sekali kakek botak itu mendorongkan lengannya, Ban-kin Hek-gu Giam Ki terlempar ke belakang dan jatuh bergulingan. Akan tetapi dia memang bandel dan berani. Cepat ia meloncat bangun lagi dan memaki. “Siluman botak” Hayo bertanding menggunakan ilmu silat, jangan menggunakan ilmu siluman” Aku masih dapat berdiri, sebelum mati aku Giam Ki tidak sudi mengaku kalah terhadapmu” “Phuahhh, sombongnya” Hek-giam-ong yang juga bermuka hitam dan sama tinggi besarnya dengan Giam Ki sudah melompat maju dan bertolak pinggang. “Engkau ini berjuluk Kerbau Hitam, memang otakmu seperti otak kerbau” Suhuku telah berlaku lunak terhadapmu, akan tetapi kau masih banyak lagak. Kerbau macam engkau ini tidak perlu suhu melayaninya, cukup dengan aku yang akan mencabut nyawa kerbaumu” “Bagus” Memang hendak kubasmi sampai ke akar-akarnya, baik guru maupun murid harus dibasmi agar jangan mengotori dunia” Ban-kin Hek-gu Giam Ki sudah menerjang maju dengan kepalannya yang besar. Akan tetapi sekali ini ia bertemu tanding, sama tinggi besar dan karenanya suka mempergunakan tenaga kasar. Dengan ilmu Toat-beng Hwi-ciang (Tangan Api Pencabut Nyawa) ditambah tenaganya yang besar, dia benar amat lihai. Melihat datangnya pukulan Giam Ki, ia tidak mengelak melainkan menangkis dengan lengannya. “Dukkk” Dua buah lengan yang besar dan kuat bertumbuk dan keduanya terpental ke belakang. Tenaga mereka seimbang, akan tetapi Hek-giam-ong menang dalam hal “isi” lengannya yang mengandung hawa panas. Giam Ki merasa betapa lengannya panas akan tetapi ia maju terus dan ternyata bahwa gerakan tubuhnya lebih cepat daripada gerakan Hek-giam-ong. Dengan kemenangan ini ia bisa menutup kekalahannya dalam hal ilmu pukulan Hwi-ciang. Segera terdengar suara bak-bik-buk dan dak-duk-dak-duk ketika dua orang raksasa ini saling gebuk. Mereka ini selain bertenaga besar, juga memiliki kekebalan sehingga pukulan yang tidak tepat kenanya, tidak cukup merobohkan mereka. Akan tetapi terjadi perubahan aneh pada diri Ban-kin Hek-gu Ciam Ki sehingga membuat teman-temannya yang tentu saja menjagoinya menjadi heran dan juga gelisah. Kini raksasa tinggi besar hitam ini sering mempergunakan kedua tangannya bukan untuk menyerang lawan, melainkan untuk menggaruk-garuk seluruh bagian tubuhnya” Karena diseling dengan garuk sana garuk sini, pertandingan menjadi kacau karena ternyata gerakan-gerakan menggaruk ini malah membingungkan Hek-giam-ong. Raja Maut Hitam ini sudah mengirim pukulan Toat-beng Hwi-ciang ke arah dada lawan. Ketika melihat tangan kiri Giam Ki bergerak menuju ke dada, Hek-giam-ong menarik kembali pukulannya karena takut lengannya dicengkeram. Akan tetapi ternyata bahwa Giam Ki menggerakkan tangan itu bukan untuk mencengkeram tangan lawan, melainkan untuk menggaruk-garuk keras dadanya. Kemudian Giam Ki berseru aneh dan membawa tangan kanannya ke atas seperti hendak menyerang dari bagian atas. Melihat ini, Hek-giam-ong cepat mengelak, akan tetapi kembali ia kecelik karena tangan kanan yang bergerak ke atas itu kini menggaruk-garuk kepala” Kejadian-kejadian ini aneh dan lucu sekali, juga menegangkan dan mendatangkan kekecewaan bagi para teman kedua pihak. Hek-giam-ong menjadi marah, merasa seolah-olah ia dipermainkan, maka ia menerjang lagi dengan gerakan dahsyat. Giam Ki yang diam-diam mengeluh di hatinya karena secara tiba-tiba tubuhnya diserang penyakit gatal yang tak tertahankan, cepat menangkis dan kembali pertemuan dua lengan yang kuat itu membuat mereka terpental mundur. Giam Ki meloncat maju lagi, kini menggerakkan tangan kiri ke atas. Hek-giam-ong meragu. Hendak memukul ataukah hendak garuk-garuk tangan itu? Akan tetapi ia tidak mau menanggung resiko dan cepat menggerakkan kedua tangan ke atas, maksudnya kalau lawan memukul benar-benar, ia akan menangkap lengan itu dan akan mematahkannya, kalau hanya garuk-garuk, ia akan mencengkeram kepala lawan. Dan ternyata tangan kiri Giam Ki itu kembali hanya menggaruk kepala, akan tetapi kepalan kanannya sudah menonjok ke depan. Gerakan ini sama sekali tidak tersangka oleh Hek-giam-ong sehingga dadanya tertonjok. “Bukkk” Tubuh Hek-giam-ong terjengkang dan bergulingan di atas tanah. Dadanya ampek, napasnya sesak dan setelah terbatuk-batuk, barulah ia meloncat bangun dan menghadapi lawannya dengan mata merah. Akan tetapi Giam Ki tidak peduli dan masih terus garuk-garuk. “Kau masih belum mampus?” bentaknya dan kembali ia menerjang. Memang gerakan Giam Ki lebih cekatan daripada Hek-giam-ong. Kembali tangan Giam Ki diangkat ke atas. Hek-giam-ong mengejek dengan dengusan marah, ia tidak mau ditipu lagi dan tahu bahwa lawannya yang agaknya mempunyai penyakit kudis ini tentu mengangkat tangan untuk menggaruk kepala yang gatal. Maka ia pun tidak mau mengelak, bahkan cepat melangkah maju dan menonjok dada Giam Ki. “Bukkk” Desssss....” Dua tubuh yang tinggi besar itu terjengkang dan Ban-kin Hek-gu Giam Ki roboh kelenger (pingsan) karena tertonjok dadanya sehingga napasnya menjadi sesak, akan tetapi di lain pihak, Hek-giam-ong tadi pun kecelik karena sekali ini Giam Ki mengangkat tangan bukan untuk garuk-garuk lagi melainkan untuk memukul sehingga dalam saat yang bersamaan, Giam Ki berhasil menghantam pangkal leher Hek-giam-ong dengan tangan miring. Robohlah Hek-giam-ong dan tidak bergerak-gerak karena ia pun telah semaput (pingsan)” Pek-giam-ong sudah menyambar tubuh kakaknya dan ia merasa lega bahwa kakaknya tidak terluka parah, hanya terguncang oleh kerasnya pukulan. Di lain pihak, para anggauta Ho-han-hwe telah mengangkat tubuh Ban-kin Hek-gu, dipimpin oleh Lauw-pangcu. Atas isyarat Song Kai Sin orang pertama Siauw-lim Chit-kiang tubuh Giam Ki yang pingsan itu dibawa mendekat. Song Kai Sin cepat memeriksa dan ia menghela napas panjang. “Untung....” kata tokoh Siauw-lim-pai ini. “Tadinya ia keracunan maka ketika bertanding terus diganggu rasa gatal-gatal di tubuhnya. Tentu ia terkena racun ketika beradu tangan dengan iblis tua itu. Baiknya, pukulan Hek-giam-ong tadi pun mengandung hawa panas dan pukulan ini malah membuyarkan pengaruh racun di tubuhnya sehingga nyawanya tertolong.” Pek-giam-ong yang marah menyaksikan saudaranya terluka, kini melangkah maju dengan sikap menantang. Akan tetapi ia dibentak gurunya, “Mundurlah” bagaikan seekor anjing dipecut, Pek-giam-ong mundur dan kembali ia merawat kakaknya. Kini Kang-thouw-kwi Gak Liat melangkah maju, menyapu semua anggauta Ho-han-hwe dengan pandang mata yang membuat mereka itu merasa seram, kemudian sambil tersenyum lebar Si Setan Botak ini berkata. “Aku sudah datang, siapa di antara anggauta Ho-han-hwe yang ternyata hanyalah segerombolan pemberontak ingin menyusul para anggauta Pek-lian Kai-pang?” Suaranya penuh ejekan, akan tetapi matanya menatap ke arah Siauw-lim Chit-kiam karena hanya tokoh-tokoh Siauw-lim-pai ini sajalah yang dipandang cukup berharga untuk menjadi lawannya. It-ci Sin-mo Tan Sun biarpun tubuhnya kecil namun hatinya besar. Ia maklum akan kelihaian kakek botak ini, namun ia merasa tidak puas kalau ia tidak turun tangan. Kalah atau mati sekalipun bukan apa-apa bagi seorang patriot, akan tetapi sungguh hina dan rendah kalau dianggap takut bertemu dengan lawan tangguh. “Kang-thouw-kwi” Engkau bukan saja seorang datuk hitam yang jahat, juga sekarang malah menjadi pengkhianat bangsa” Aku It-ci Sin-mo Tan Sun tidak takut kepadamu, jagalah seranganku ini” Gerakan It-ci Sin-mo Tan Sun cepat sekali, jauh lebih cepat daripada gerakan Ban-kin Hek-gu Giam Ki. Tubuhnya melesat ke depan dan kedua tangannya digerakkan untuk menyerang dengan totokan-totokan maut. Si Setan Botak tertawa-tawa dan hanya tampak ia menggoyang-goyangkan tubuhnya akan tetapi aneh, semua totokan It-ci Sin-mo tidak ada satu pun yang menyentuh kulitnya. “Sut-sut-sut-cet-cet....” Cepat sekali It-ci Sin-mo Tan Sun melanjutkan totokan-totokannya secara bertubi-tubi, tubuhnya berloncatan mencari posisi yang baik. Namun, tak pernah ia mampu mengenai tubuh lawan biarpun kecepatan gerakannya membuat ia berada di belakang tubuh Si Setan Botak. Padahal Kang-thouw-kwi Gak Liat tak pernah mengubah kedudukan kedua kakinya, hanya tubuhnya saja yang bergoyang-goyang akan tetapi entah bagaimana semua serangan lawan tidak ada yang berhasil. Belasan orang anggauta Ho-han-hwe yang melihat betapa It-ci Sin-mo seperti dipermainkan, sudah bergerak mengurung hendak mengeroyok Si Setan Botak. Melihat ini, Pek-giam-ong berteriak keras dan tubuhnya menyambar ke depan, langsung ia menyerbu dan gegerlah tempat itu dengan jerit-jerit kesakitan dan robohnya beberapa orang anggauta Ho-han-hwe karena amukan Pek-giam-ong. “Krek-krekkk....” Setan Botak menggerakkan kedua tangan menampar lengan lawan dan tubuh It-ci Sin-mo Tan Sun terlempar, kedua tengannya tergantung lumpuh karena tulang-tulang lengannya telah patah-patah” “Huah-ha-ha-ha” Pek-giam-ong, pergilah dan bawa kakakmu pergi” Pek-giam-ong yang terkenal berwatak kejam seperti iblis itu kini merupakan seorang murid yang amat taat. Tanpa berani berlambat sedikit pun ia lalu meninggalkan para lawan yang tadi mengeroyoknya, menyambar tubuh kakaknya yang masih pingsan lalu sekali melompat ia lenyap dari tempat itu. Lauw-pangcu dan kedua orang saudara Kang-lam Sam-eng membiarkannya saja lewat, karena yang menjadi sasaran untuk dibinasakan adalah Si Setan Botak yang kini hanya seorang diri saja di dalam kuil. “Ha-ha-ha, Siauw-lim Chit-kiam, hanya kalianlah yang patut main-main denganku. Majulah” Lima orang anggauta Ho-han-hwe yang masih penasaran karena banyaknya kawan mereka yang roboh, masih mencoba untuk menyerang Si Setan Botak dengan senjata mereka, akan tetapi kini kakek botak itu berseru keras, kedua tangannya mendorong ke depan dan.... lima orang itu roboh dengan tubuh hangus dan mati seketika” Itulah kehebatan ilmu pukulan Hwi-yang-sin-ciang yang sengaja diperlihatkan oleh Kang-thouw-kwi untuk membikin gentar hati lawan. Memang semua anggauta Ho-han-hwe menjadi pucat wajahnya melihat kedahsyatan ilmu kepandaian kakek botak ini, akan tetapi melihat itu, Siauw-lim Chit-kiam bukannya menjadi gentar, sebaliknya malah menjadi marah sekali. “Kang-thouw-kwi, engkau telah berani menghina seorang murid Siauw-lim-pai. Hari ini kami Siauw-lim Chit-kiam akan mengadu nyawa denganmu” Beranikah engkau menghadapi gabungan Siauw-lim Chit-kiam?” kata Song Kai Sin dengan suara tenang namun sinar matanya membayangkan kemarahan. “Huah-ha-ha-ha” Siauw-lim Chit-kiam masih terlalu ringan, boleh ditambah guru kalian. Mana Ceng San Hwesio ketua Siauw-lim-pai? Boleh datang membantu kalian, aku masih akan kurang puas. Ha-ha” “Omitohud.... engkau benar-benar tokoh sesat yang sengsara, Gak-locianpwe,” kata Lui Kong Hwesio orang ke dua dari Siauw-lim Chit-kiam sambil menggeser duduknya, bersila di sebelah kiri Song Kai Sin. Kemudian secara berjajar, ketujuh orang tokoh Siauw-lim-pai ini duduk bersila, menurutkan urutan tingkat mereka. Dari kanan ke kiri mereka ini adalah Song Kai Sin, Lui Kong Hwesio, Ui Swan dan adiknya Ui Kiong, Lui Pek Hwesio, Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek. Sebetulnya, tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai ini merupakan orang-orang berilmu tinggi yang mempunyai keistimewaan masing-masing. Jika dinilai secara perseorangan, tingkat masing-masing masih lebih tinggi daripada tingkat Ban-kin Hek-gu Giam Ki atau bahkan It-ci Sin-mo Tan Sun. Akan tetapi, sekali ini, menghadapi seorang di antara Lima Datuk Besar, yaitu Kang-thouw-kwi Gak Liat yang amat terkenal di antara golongan sesat sebagai seorang yang memiliki kesaktian luar biasa, ketujuh orang takoh Siauw-lim-pai ini tidak berani berlaku sembrono, tidak berani memandang rendah dan karenanya mereka lalu bergabung untuk mengeluarkan ilmu gabungan mereka yang paling ampuh, yaitu Ilmu Pedang Chit-seng-sin-kiam yang secara khusus digubah oleh Ceng San Hwesio ketua Siauw-lim-pai untuk diajarkan kepada tujuh orang muridnya. Chit-seng-sin-kiam (Pedang Sakti Tujuh Bintang) ini dapat dimainkan secara perorangan dan sudah merupakan sebuah ilmu pedang yang ampuh, akan tetapi permainannya tidak akan menjadi lengkap dan utuh kalau tidak dimainkan secara bergabung oleh tujuh orang itu. Kalau dimainkan secara bergabung, maka Chit-seng-sin-kiam merupakan sebuah kiam-tin (barisan pedang) yang sukar dilawan karena amat kuat. Kang-thouw-kwi Gak Liat memandang dengan wajah berseri. Sudah lama ia mendengar akan ciptaan ilmu pedang ketua Siauw-lim-pai ini yang disarikan dari inti ilmu kepandaian Ceng San Hwesio. Kini ia berhadapan dengan kiam-tin ini, berarti bahwa ia berhadapan dengan Ceng San Hwesio, yang sejak dahulu merupakan lawan seimbang darinya. Kalau ia bisa menangkan kiam-tin ini, berarti ia akan dapat menangkan Ceng San Hwesio pula” Ia melihat betapa tujuh orang murid Siauw-lim-pai itu sudah duduk bersila dengan pedang di tangan kanan, pandang mata lurus ke depan menatapnya. Bahkan tujuh pasang mata itu seolah-olah bersatu ketika memandangnya, menimbulkan wibawa yang kuat sekali. “Ha-ha-ha, bagus sekali” Memang aku sudah lama ingin melihat sampai di mana lihainya Chit-seng-sin-kiam dari Ceng San Hwesio” Sambil tertawa, kakek botak ini lalu duduk bersila pula di depan ketujuh orang tokoh Siauw-lim-pai. Jarak di antara Setan Botak dan tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai itu ada tiga meter jauhnya, dan kalau tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai itu semua bersenjatakan pedang pusaka, adalah Setan Botak ini sambil tersenyum menghadapi mereka dengan kedua tangan kosong” Memang datuk hitam ini sombong, akan tetapi kesombongannya tidaklah kosong belaka. Ia memang amat sakti dan biarpun kakek botak ini menyimpan sebatang pedang lemas yang ia belitkan di pinggang sebelah dalam bajunya, namun tidak pernah orang melihat ia mempergunakan senjata dalam pertempuran. Hal ini berarti bahwa ia masih memandang rendah Siauw-lim Chit-kiam” Song Kai Sin dapat menduga sikap lawan, maka ia pun tidak mau banyak sungkan lagi. Kakek botak ini selain merupakan tokoh sesat yang amat jahat dan sudah sepatutnya dibasmi, juga telah menghina murid keponakan mereka, telah mencemarkannya dan berarti mencemarkan kehormatan Siauw-lim-pai pula. Oleh karena itu, Song Kai Sin dan adik-adik seperguruannya maklum bahwa sekali ini mereka akan bertanding mati-matian, bukan saja untuk melenyapkan seorang tokoh sesat yang jahat, juga untuk mempertabankan nama dan kehormatan Siauw-lim-pai. “Sudah siapkah engkau, Kang-thouw-kwi?” “Ha-ha, sudah, sudah” Lekas keluarkan Chit-seng-sin-kiam itu” jawab Si Botak sambil menggerak-gerakkan kedua lengannya yang segera menjadi kemerahan. “Lihat pedang” Song Kai Sin berseru dan pedang di tangannya itu ia tusukan ke depan. Menurut pendapat dan pandangan umum, biarpun lengan dilonjorkan ditambah panjangnya pedang, masih belum dapat melewati jarak tiga meter itu. Akan tetapi tanpa dapat dilihat mata, dari ujung pedang itu menyambar hawa pukulan yang amat kuat sehingga selain tampak sinar pedang yang keemasan juga terdengar suara mencicit yang aneh. Kang-thouw-kwi mengangkat lengan kirinya dan menggetarkan jari tangannya. Tentu saja tangannya tidak menyentuh pedang yang dipegang Song Kai Sin, akan tetapi jelas tampak betapa pedang itu terpental dan lengan tangan orang pertama dari Siauw-lim Chit-kiam itu tergetar” Melihat kehebatan tenaga sin-kang yang amat panas dari tangan Setan Botak, tokoh Siauw-lim-pai yang lainnya maklum bahwa mereka harus maju bersama. Maka serentak pedang-pedang mereka bergerak, ada yang membacok, ada yang menusuk, ada pula yang membabat. Tampak sinar pedang berkelebatan menyilaukan mata, pantulan cahayanya gemerlapan di dinding ruangan yang luas itu. Apalagi setelah beberapa orang anggauta Ho-han-hwe tadi menyalakan belasan batang lilin dan menaruh lilin-lilin itu di atas lantai di kanan kiri ruangan, maka sinar-sinar pedang itu menjadi amat indahnya. Tanpa terasa, senja telah berganti malam dan kini para anggauta Ho-han-hwe menonton pertandingan yang amat aneh dan yang belum pernah mereka saksikan selama hidupnya. Betapa mereka tidak akan terheran-heran dan bengong menyaksikan pertandingan itu? Baik ketujuh orang tokoh Siauw-lim-pai itu maupun Setan Botak, hanya duduk berhadapan, bersila di atas lantai dan jarak antara mereka terlampau jauh sehingga mereka itu tidak dapat saling menyentuh. Akan tetapi, kini mereka “bertanding” dan tujuh orang itu mengeroyok Si Setan Botak dengan serangan-serangan pedang yang berubah menjadi sinar-sinar gemerlapan. Sebaliknya, Setan Botak menggerak-gerakkan kedua lengannya, kadang-kadang menangkis, ada kalanya mencengkeram dan mendorong, bahkan balas memukul tanpa menyentuh pedang dan tubuh para pengeroyoknya. Kedua tangannya kini selain berwarna merah seperti api membara, juga mengepulkan uap putih seperti asap panas” Kalau dilihat begitu saja, seolah-olah Si Setan Botak dan ketujuh Siauw-lim Chit-kiam sedang bermain-main. Mereka tidak saling sentuh, namun mereka bergerak dengan sungguh-sungguh dan ruangan itu kini seperti dihujani sinar-sinar gemerlapan dan udara menjadi sebentar panas sebentar dingin. Hanya beberapa orang saja di antara mereka, yaitu Lauw-pangcu, kedua Kang-lam Sam-eng, Ban-kin Hek-gu yang sudah sadar dari pingsannya, dan It-ci Sin-mo yang maklum apa yang sedang terjadi dan mereka memandang dengan hati penuh ketegangan. Mereka ini mengerti bahwa Siauw-lim Chit-kiam sedang bertanding melawan Si Setan Botak mengadu ilmu pedang yang digerakkan oleh tenaga sin-kang tingkat tertinggi” Mengerti pula betapa selain sinar-sinar gemerlapan itu mengandung hawa maut, juga gerakan tangan Setan Botak itu mengandung hawa pukulan jarak jauh yang amat dahsyat. Akan tetapi mereka yang tidak mengerti cara pertandingan seperti ini, menjadi amat penasaran. Si Setan Botak dan kedua muridnya telah menyebar maut, kini Setan Botak itu hanya duduk bersila dan menggerak-gerakkan kedua tangan. Bukankah ini membuka kesempatan baik untuk membinasakannya? Mereka yang merasa amat benci kepada Setan Botak ini yang sudah membasmi Pek-lian Kai-pang dan menewaskan lima puluh orang lebih anggauta perkumpulan itu yang merupakan kawan-kawan seperjuangan mereka, kini ingin membalas dendam. Tujuh orang anggauta Ho-han-hwe setelah saling memberi isyarat dengan kedipan mata dan diam-diam mengambil jalan memutar, serentak maju menerjang tubuh kakek botak yang bersila itu dari belakang. Mereka bertujuh menggunakan senjata dan menyerang secara berbareng. “Celaka....” It-ci Sin-mo Tan Sun berseru. Juga teman-temannya yang tahu akan bahaya mengancam, berseru kaget namun sudah tidak keburu mencegah. Segera terdengar jerit-jerit mengerikan disusul robohnya tujuh orang anggauta Ho-han-hwe itu yang roboh tewas dengan tubuh tersayat-sayat dan ada pula yang roboh dengan tubuh hangus” Mereka tadi seperti sekumpulan nyamuk yang menerjang api, tidak tahu bahwa udara di sekitar arena pertandingan aneh itu penuh dengan berkelebatnya sinar pedang yang tajam dan hawa pukulan yang mengandung panasnya api. Sebelum mereka dapat menyentuh tubuh Si Setan Botak, tubuh mereka lebih dulu sudah dihujani sinar pedang yang menyambar-nyambar dan hawa pukulan yang membakar” Melihat ini, Song Kai Sin orang pertama Siauw-lim Chit-kiam berseru keras. Mereka bertujuh tadi terdesak hebat oleh Setan Botak yang benar-benar amat tangguh dan lihai sekali. Karena mereka melakukan pengeroyokan secara bertubi, maka setiap orang dari mereka mengadu tenaga dengan Kang-thouw-kwi dan ternyata bahwa mereka kalah kuat jauh sekali. Karena itu, gerakan pedang mereka makin lama makin lemah dan terdesak sehingga ketika tujuh orang anggauta Ho-han-hwe tadi maju, biarpun mereka tahu akan bahayanya, mereka tidak keburu menarik sinar pedang dan sinar pedang mereka itu ada yang mengenai tubuh para penyerbu. Maka begitu Song Kai Sin berseru keras, tujuh orang Siauw-lim Chit-kiam lalu menggunakan siasat terakhir. Dengan tangan kiri mereka menyentuh punggung kawan yang bersila di sebelah kiri, tangan kanan memegang pedang dan kini mereka telah menyatukan tenaga. Getaran sin-kang mereka bersatu dan karenanya gerakan pedang mereka pun sama, hanya merupakan satu serangan saja, akan tetapi yang mengandung tenaga tujuh kali lipat kuat daripada tenaga perorangan. Ketika Si Setan Botak menangkis dengan dorongan Hwi-yang-sin-ciang, menghalau sinar pedang yang amat besar dan kuat yang menyambarnya, ia mengeluarkan seruan marah dan kaget. Ia berhasil menghalau sinar pedang itu, akan tetapi telapak tangan kirinya robek sedikit dan mengeluarkan darah” “Keparat” Kalian sudah bosan hidup” bentaknya dan kini Si Setan Botak menggunakan kedua tangannya menahan. Hebat bukan main adu tenaga sakti ini. Tujuh orang Siauw-lim Chit-kiam yang menyentuh punggung dan menyalurkan tenaga disatukan dengan teman-teman seperguruan, sehingga tenaga mereka menjadi satu, kini menghadapi dorongan kedua tangan Setan Botak dan terjadilah adu tenaga, keras lawan keras” Mereka tidak bergerak-gerak lagi, pedang mereka menuding ke satu jurusan, yaitu ke arah Kang-thouw-kwi yang sebaliknya mengulur kedua lengan ke depan, dengan kedua telapak tangan mendorong ke arah tujuh orang pengeroyoknya. Wajah Siauw-lim Chit-kiam pucat dan penuh keringat, di lain pihak, wajah Kang-thouw-kwi menjadi merah sekali dan kepalanya mengepulkan uap panas” Dorong-mendorong terjadi, akan tetapi sedikit demi sedikit keadaan Siauw-lim Chit-kiam terdesak” Lauw-pangcu yang melihat keadaan tidak menguntungkan ini lalu mendekati Khu Cen Tiam dan Liem Sian. Mereka bertiga ini sudah terluka, tentu saja tidak berani membantu. Andaikata mereka tidak terluka sekalipun, tingkat kepandaian mereka masih terlalu rendah untuk mencampuri pertandingan tingkat tinggi itu. Mereka berbisik-bisik dan akhirnya mengambil keputusan untuk menjalankan siasat yang telah mereka atur sebelumnya, yaitu hendak membakar kuil itu selagi Si Setan Botak terikat dalam pertandingan mati-matian melawan Siauw-lim Chit-kiam” Memang siasat ini kalau dijalankan berarti akan membahayakan keselamatan Siauw-lim Chit-kiam sendiri, namun memang telah mereka sepakati sebelumnya bahwa untuk membasmi Si Setan Botak, Siauw-lim Chit-kiam bersedia untuk mergorbankan nyawa. Dengan isyarat Lauw-pangcu, mereka semua mengundurkan diri dan mulailah mereka membakar kuil itu dari luar. Khu Cen Tiam dan Liem Sian yang membantu pekerjaan ini mengucurkan air mata, karena maklum bahwa nyawa ketujuh orang susiok (paman guru) mereka terancam maut bersama nyawa Setan Botak. Para anggauta Ho-han-hwe demikian sibuknya dengan pekerjaan menuangkan minyak dan membakar kuil sehingga mereka tidak tahu betapa di antara kegelapan malam itu, sesosok tubuh kecil menyelinap memasuki kuil melalui bagian yang belum terbakar. Tubuh cilik ini bukan lain adalah Lauw Sin Lian, gadis cilik puteri Lauw-pangcu” Sin Lian tadinya dititipkan kepada seorang sahabatnya oleh Lauw-pangcu. Akan tetapi, anak perempuan ini diam-diam merasa tidak senang. Ia tahu bahwa ayahnya dan teman-teman ayahnya sedang berusaha membalas dendam atas kematian semua anggauta Pek-lian Kai-pang. Dia ingin sekali menonton, bahkan kalau mungkin ingin sekali membantu” Selain itu, juga anak ini amat mengkhawatirkan keselamatan ayahnya, maka diam-diam ia minggat keluar dari rumah sahabat ayahnya itu dan berlari menyusul ayahnya. Bocah ini amat cerdik dan ia menduga bahwa Ho-han-hwe pasti diadakan di kuil tua yang sudah tak terpakai di luar kota. Tanpa ragu-ragu ia langsung lari menuju ke kuil itu dan malam telah tiba ketika ia akhirnya sampai di tempat tujuan. Karena melihat banyak orang sibuk membakar kuil, hatinya makin gelisah. Ia tidak melihat ayahnya, dan untuk bertanya ia tidak berani, takut mendapat marah. Maka ia lalu menyelinap dan berhasil memasuki kuil dari bagian yang gelap dan yang belum dicium api. Ruangan dalam kuil kosong itu mulai berasap. Di antara asap tipis, Sin Lian melihat musuh besar ayahnya, Setan Botak, duduk bersila membelakanginya, tak bergerak seperti sebuah arca batu yang menyeramkan, dengan kedua lengan dilonjorkan ke depan dan telapak tangan dibuka ke arah tujuh orang laki-laki yang bersikap keren dan yang kesemuanya memegang pedang. Juga tujuh orang itu diam tak bergerak seperti arca, akan tetapi muka mereka pucat dan penuh peluh, bahkan tubuh mereka, terutama tangan yang memegang pedang, mulai gemetar. Melihat musuh besar itu, Sin Lian menjadi marah. Ia tidak tahu apa yang sedang dilakukan tujuh orang berpedang itu dengan musuhnya, akan tetapi melihat musuhnya duduk membelakanginya, diam seperti arca, ia melihat kesempatan baik untuk menyerang” Berindap-indap Sin Lian menghampiri kakek itu, setelah dekat ia lalu menerjang maju, memukul tengkuk. “Dukkk....” Sin Lian terjengkang dan terbanting keras. Kepalanya menjadi pening, tangannya sakit, akan tetapi ia bandel, terus melompat bangun dan siap menyerang lagi. Ia tadi merasa betapa tengkuk kakek botak itu keras seperti baja, dan amat panas seperti baja dibakar. Ia tidak tahu betapa tujuh orang Siauw-lim Chit-kiam memandang kepadanya dengan heran dan juga khawatir. Memang bocah ini masih baik nasibnya, tidak seperti tujuh orang anggauta Ho-han-hwe tadi yang tewas secara konyol. Kalau Siauw-lim Chit-kiam dan Setan Botak sedang bertanding seperti tadi, serang-menyerang antar sinar pedang yang digerakkan sin-kang dan pukulan jarak jauh Hwi-yang-sin-ciang yang amat dahsyat, tentu sebelum menyentuh tubuh Setan Botak, Sin Lian telah roboh tewas, kalau tidak hangus karena Hwi-yang-sin-ciang, tentu tersayat-sayat oleh sinar pedang Chit-seng-sin-kiam” Akan tetapi kebetulan sekali pada saat itu, kedua pihak sedang mengadu tenaga sehingga kedua pihak seolah-olah saling menempel, saling mendorong dan tidak bergerak ke mana-mana. Inilah sebabnya mengapa ketika Sin Lian memukul, ia tidak terkena pengaruh Hwi-yang-sin-ciang, melainkan terbanting roboh karena kekebalan tubuh kakek botak itu. Betapapun juga, karena berani memukul Kang-thouw-kwi, tentu saja nyawa anak ini berada dalam cengkeraman maut. Sekali saja Kang-thouw-kwi bergerak, tentu bocah itu takkan dapat tertolong lagi nyawanya. Hal inilah yang membuat Siauw-lim Chit-kiam menjadi gelisah. Keadaan mereka sendiri terancam maut dan sedang terdesak hebat, bagaimana mereka akan dapat menolong bocah ini? Mereka tadinya tidak mengharapkan dapat keluar sebagai pemenang karena makin lama, tenaga Setan Botak itu makin hebat, hawa di situ makin panas sebagai bukti bahwa Hwi-yang-sin-ciang makin unggul. Akan tetapi mereka merasa lega bahwa para anggauta Ho-han-hwe sudah mulai bergerak membakar kuil. Mereka akan mati dengan lega karena merasa yakin bahwa Si Setan Botak juga akan mati terbakar hidup-hidup” Kang-thouw-kwi Gak Liat maklum akan gangguan seorang anak perempuan di belakangnya. Akan tetapi ia tidak peduli, karena kalau ia membagi perhatian, apalagi membagi tenaga, ia akan celaka. Menghadapi persatuan Siauw-lim Chit-kiam ini ia merasa bahwa amat sukar mencapai kemenangan dan hanya dengan pengerahan tenaga sepenuhnya saja ia akan dapat menang. Akan tetapi kini kuil mulai terbakar dan tahulah ia bahwa keadaannya berada dalam bahaya pula. Kalau saja tidak ada gangguan ini, tentu ia akan dapat segera merobohkan Siauw-lim Chit-kiam dan masih ada kesempatan untuk menyelamatkan diri. Dalam usahanya untuk segera dapat merobohkan tujuh orang pengeroyok yang berilmu tinggi itu, Kang-thouw-kwi Gak Liat tidak mempedulikan Sin Lian sama sekali, karena anak itu sama sekali tidak ada arti baginya. Ia lalu mengerahkan seluruh tenaga, kedua lengannya menggigil dan lengan yang diluruskan ke depan itu menjadi makin panas. Kekuatan mukjizat yang amat dahsyat kini menerjang maju bagaikan hembusan angin badai yang panas ke arah Siauw-lim Chit-kiam” Getaran gelombang tenaga sakti ini segera terasa oleh Siauw-lim Chit-kiam dan betapa pun mereka ini menggerakkan tenaga mempertahankan diri, tetap saja tangan mereka yang menudingkan pedang gemetar keras. “Werrrrr.... cringgg.... krak-krak....” Pertahanan Siauw-lim Chit-kiam menjadi berantakan ketika dua batang pedang di tangan Ui Swan dan Ui Kiong, dua orang di antara mereka, patah dan terlepas dari tangan mereka, yang menjadi pucat wajahnya. Melihat betapa orang ke tiga dan ke empat dari Siauw-lim Chit-kiam ini kehilangan pedang yang tadi bergetar keras lalu patah-patah, lima orang tokoh Siauw-lim itu mengerahkan seluruh tenaga untuk menahan gelombang tenaga hebat yang menekannya, namun kini mereka jauh kalah kuat setelah tenaga mereka berkurang dua orang. Pedang mereka mulai tergetar hebat, muka mereka pucat dan napas terengah. Ui Swan dan Ui Kiong yang sudah bertangan kosong, tentu saja tidak dapat berdiam diri begitu saja menyaksikan keadaan saudara-saudaranya terdesak, mereka ini lalu menggunakan tangan kanan yang kosong untuk mendorong ke depan dengan pukulan jarak jauh, sedangkan tangan kiri masih menempel punggung saudara yang berada di sebelahnya seperti tadi. Akan tetapi dengan pedang di tangan saja mereka tadi tidak dapat bertahan, apalagi bertangan kosong. Begitu mereka mendorong dengan tangan, telapak tangan mereka bertemu dengan hawa panas yang menyusup kuat, terus menyerang isi dada. Kedua kakak beradik Ui ini mengeluh perlahan dan tubuh mereka rebah miring” Melihat ini, lima orang Siauw-lim Chit-kiam menjadi terkejut. Tahulah mereka bahwa mereka akan roboh semua, namun mereka berkeras untuk mempertahankan diri sampai api menjilat tempat itu agar musuh mereka yang amat tangguh itu mati pula terbakar. Pada seat mereka terhimpit den terancam hebat itu, tiba-tiba Kang-thouw-kwi Gak Liat berteriak marah den bajunya sudah termakan api” Bagaimanakah baju Setan Botak ini dapat terbakar padahal api kebakaran kuil itu belum menjilat ke situ? Bukan lain adalah hasil perbuatan Sin Lian” Karena tubuhnya terjengkang dan terbanting sendiri ketika memukul tubuh Setan Botak, Sin Lian menjadi penasaran den marah sekali. Sebagai puteri Lauw-pangcu yang tidak asing akan kehebatan ilmu silat, anak ini maklum bahwa tubuh Setan Botak itu kebal dan percuma saja kalau ia memukul. Maka ia lalu mencari akal dan barulah ia sadar bahwa tempat itu telah terkurung api yang mulai membakar ruangan” Dalam kaget dan paniknya, timbul akalnya. Ia lalu lari ke tempat kebakaran, mengambil sepotong kayu yang terbakar dan tanpa ragu-ragu lagi ia menghampiri Setan Botak den membakar pakaian musuh ini dengan api itu” Bahkan ia lalu berusaha membakar rambut di kepala botak itu pula” Kang-thouw-kwi Gak Liat adalah seorang ahli Yang-kang, bahkan kedua lengannya sudah memiliki Ilmu Hwi-yang-sin-ciang yang bersumber pada panasnya api. Boleh jadi kedua lengannya itu sudah kebal terhadap api, namun tubuhnya tidak, apalagi rambut di kepalanya. Begitu melihat bahwa bajunya terbakar, bahkan sebagian rambutnya dimakan api, ia terkejut dan marah sekali. Sambil berteriak dan menggereng seperti harimau, ia menggulingkan tubuhnya ke kiri, pertama untuk memadamkan api yang berkobar pada bajunya, ke dua untuk menyingkirkan diri daripada gelombang sinar pedang Siauw-lim Chit-kiam. Kemudian, setelah bergulingan dan keluar dari sasaran lawan, ia membalikkan tubuhnya dan memukul ke arah Sin Lian dari jarak jauh. Saking marahnya, kini ia menumpahkan semua kemarahan dan kebencian kepada anak perempuan itu. Kelima orang Siauw-lim Chit-kiam maklum bahwa nyawa bocah itu berada di cengkeraman maut. Mereka juga maklum bahwa bocah perempuan itulah yang telah menyelamatkan nyawa mereka yang tadi sudah tertekan hebat. Tentu saja sebagai pendekar-pendekar gagah perkasa, kini mereka tidak mungkin dapat berpeluk tangan saja menyaksikan penolong mereka terancam. Tanpa komando, lima orang Siauw-lim Chit-kiam itu kini menodongkan pedang mereka dan mengerahkan tenaga, menghadang pukulan jarak jauh Setan Botak yang ditujukan kepada Sin Lian. Tenaga serangan itu tertangkis oleh sinar pedang, akan tetapi biarpun Sin Lian dapat diselamatkan, sebagian hawa pukulan menerobos dan sedikit saja sudah cukup membuat Sin Lian terguling roboh dan pingsan dengan muka gosong” Karena ruangan itu mulai terbakar, Gak Liat yang tahu akan bahaya lalu tertawa dan tubuhnya sudah melesat keluar menerjang api lalu lenyap di dalam kegelapan malam di luar kuil. Lima orang Siauw-lim Chit-kiam tidak mengejar, karena selain mereka harus menyelamatkan dua orang saudara yang terluka dan gadis cilik yang pingsan, juga mengejar keluar kuil apa gunanya? Mereka takkan mampu mengalahkan Setan Botak yang lihai itu. Diangkutlah Ui Swan dan Ui Kiong, juga tubuh Sin Lian dan mereka pun cepat-cepat menerjang api menerobos keluar sebelum ruangan itu ambruk. Para anggauta Ho-han-hwe menjadi kecewa dan berduka. Tidak saja usaha mereka menewaskan Setan Botak itu gagal sama sekali, juga mereka harus cepat-cepat angkat kaki dari Tiong-kwan karena kini tentu kaki tangan pemerintah Mancu akan mencari untuk membasmi mereka. Terutama sekali Lauw-pangcu yang kehilangan lima puluh lebih anggauta Pek-lian Kai-pang, menjadi berduka sekali. Akan tetapi di samping kedukaan ini, ada sinar terang yang membahagiakan hati ketua kai-pang ini, yaitu bahwa Siauw-lim Chit-kiam berkenan mengambil Sin Lian sebagai murid mereka” Setelah Ui Swan dan Ui Kiong diobati, dan juga Sin Lian sembuh, anak ini lalu dibawa pergi Siauw-lim Chit-kiam untuk mendapat gemblengan ilmu di kuil Siauw-lim-si. Adapun Lauw-pangcu sendiri lalu pergi ke barat untuk menyampaikan laporan kepada Raja Muda Bu Sam Kwi dan membantu perjuangan raja muda itu dalam usahanya mengusir penjajah Mancu dari tanah air. Juga semua anggauta Ho-han-hwe yang mengunjungi pertemuan itu, cepat-cepat meninggalkan Tiong-kwan, akan tetapi tak seorang pun di antara mereka menghentikan atau mengurangi semangat perjuangan mereka yang anti penjajah. *** Kurang lebih setengah tahun lamanya Han Han berada di dalam gedung besar di pinggir kota Tiong-kwan, menjadi pelayan dari Setan Botak bersama muridnya Ouwyang Seng. Mengapa Han Han dapat bertahan sampai demikian lamanya menjadi pelayan di situ? Sesungguhnya hatinya amat tidak senang menjadi pelayan Ouwyang Seng, akan tetapi karena anak ini menemukan hal-hal yang amat menarik hatinya maka ia memaksa diri tidak mau meninggalkan tempat itu. Ia tertarik melihat cara-cara latihan yang diajarkan Setan Botak kepada Ouwyang Seng. Bahkan diam-diam kalau tidak dilihat guru dan murid itu, ia pun mulai melatih kedua lengannya dan merendamnya di dalam air panas bercampur racun” Mula-mula ia tidak berani, akan tetapi karena tekadnya memang luar biasa, ketika ia diberi tugas menggodok air beracun, ia mencelup kedua tangannya. Dengan kemauan yang amat luar biasa, terdorong oleh sifat aneh yang menguasainya, akhirnya dalam sebulan saja ia sudah mampu menahan kedua lengannya direndam air panas beracun sampai semalam suntuk” Apa yang dicapai oleh Ouwyang Seng dalam latihan dua tiga tahun, dapat ia peroleh hanya dengan latihan sebulan saja” Dan pada bulan-bulan berikutnya, ia bahkan telah jauh melampaui Ouwyang Seng karena ia sudah dapat bertahan untuk merendam kedua lengannya ke dalam air panas batu bintang” Padahal latihan merendam lengan di air batu bintang ini hanya dilakukan oleh Kang-thouw-kwi Gak Liat, sedangkan Ouwyang Seng hanya baru mulai dengan latihan yang berat ini” Guru dan murid yang wataknya aneh dan keras itu ternyata merasa suka kepada Han Han yang juga tidak kalah aneh wataknya. Han Han dapat menjadi seorang anak yang pendiam dan penurut sekali kalau ia kehendaki, dan ia pandai menyimpan rahasia, sehingga guru dan murid itu merasa suka, bahkan akan merasa kehilangan kalau tidak ada Han Han yang mengerjakan segala keperluan mereka berdua itu dengan alat-alat dan keperluan berlatih. Apalagi Ouwyang Seng, sama sekali tentu saja tidak pernah menduga bahwa kacung itu telah ikut berlatih, bahkan telah melampauinya. Sedangkan gurunya, Kang-thouw-kwi Gak Liat sendiri tidak pernah mimpi bahwa bocah gembel itu ternyata selain melatih diri dengan dasar-dasar ilmu Hwi-yang-sin-ciang, juga sudah berani memasuki daerah terlarang, tempat ia berlatih dan yang merupakan tempat terlarang bagi semua orang” Dan tidak pernah menduga bahwa semua ajaran teori yang ia berikan kepada Ouwyang Seng, diam-diam telah didengar jelas oleh Han Han, bahkan bocah ini segera mempraktekkan ajaran-ajaran itu. Apabila Kang-thouw-kwi Gak Liat sedang bepergian, dan hal ini sering kali ia lakukan tanpa ada yang mengetahui ke mana perginya, Ouwyang Seng yang pada dasarnya malas berlatih dan lebih suka berkuda atau berjalan-jalan keluar kota mengumbar kenakalannya, kesempatan ini dipergunakan sebaiknya oleh Han Han. Setelah ia dapat bertahan merendam kedua lengannya dalam air cairan batu bintang, mulailah ia diam-diam memasuki daerah tertarang” Mula-mula jantungnya berdebar dan ia merasa ngeri. Di kebun yang liar itu terdapat banyak lubang-lubang dan ketika ia memperhatikan, ia terbelalak memandang ke arah kerangka-kerangka manusia yang berada di dalam lubang-lubang itu. Tahulah ia bahwa kuburan-kuburan yang berada di situ seperti yang pernah diceritakan Ouwyang Seng kepadanya, kini telah dibongkar dan tulang-tulang manusia serta tengkorak-tengkorak berserakan di tempat itu” Benar-benar bukan merupakan tempat latihan seorang manusia. Lebih tepat dinamakan tempat seekor siluman atau iblis. Teringat pula ia akan cerita Setan Botak kepada Ouwyang Seng bahwa kalau latihan merendam lengan dalam cairan batu bintang sudah mencapai puncaknya, maka latihan dilanjutkan dengan membakar kedua lengan di atas api bernyala” “Bukan api sembarang api,” demikian ia menangkap pelajaran yang diberikan Setan Botak kepada Ouwyang Seng. “Melainkan api yang menyala dari tulang-tulang manusia yang dibakar. Api dari tulang-tulang itu mengandung sari hawa Yang-kang, sudah merupakan racun Hwi-yang. Dengan latihan itu, sari Hwi-yang akan meresap ke dalam kedua lengan memperkuat tulang lengan. Akan tetapi untuk mencapai tingkat ini, kau harus berlatih dengan tekun sampai sedikitnya sepuluh tahun, Kongcu.” Demikian antara lain penjelasan Setan Botak. Entah mengapa ia suka mempelajari semua ini, Han Han sendiri tidak akan dapat menjawab. Ia tidak bermaksud mendapatkan kekuatan pada kedua lengannya karena ia tidak suka, bahkan benci berkelahi. Akan tetapi mungkin sifat aneh pada pelajaran inilah yang menarik hatinya dan yang membuatnya ingin mencoba dan melatih diri” Maka setelah ia mendapat kesempatan memasuki daerah terlarang, ia segera mulai dengan latihan-latihan yang menegangkan hatinya. Mula-mula ia memanaskan kwali tua yang terisi cairan tulang-tulang tengkorak manusia, merendam kedua lengannya dalam cairan yang menjijikkan itu sebagaimana ia dengar dari penjelasan Setan Botak kepada Ouwyang Seng. Kemudian mulailah ia melatih kedua lengannya di atas api bernyala yang ia buat dengan bahan bakar kayu-kayu dan tulang-tulang kering manusia yang berserakan di tempat itu. Sampai setengah tahun lebih Han Han melatih diri di daerah terlarang itu. Tentu saja hal ini dilakukannya secara sembunyi-sembunyi, karena ia pun tahu bahwa kalau sampai hal ini diketahui Setan Botak, nyawanya takkan tertolong lagi” Kini sudah lebih dari setahun ia menjadi pelayan Ouwyang Seng dan gurunya, dan mulailah ia merasa bosan. Memang ia melatih diri selama ini tanpa pamrih apa-apa, hanya karena tertarik dan kini setelah ia dapat bertahan menaruh tangannya di dalam api berkobar sampai api itu mati sendiri kehabisan bahan bakar, ia menjadi bosan dan menganggap bahwa apa yang dicarinya sudah dapat. Ia mulai bosan setelah mengingat betapa ia telah membuang waktu dengan sia-sia. Kalau ia renungkan dan bertanya sendiri, apakah yang ia dapatkan selama setahun lebih ini? Ia tidak dapat menjawab karena harus ia akui bahwa kedua lengannya yang dapat menahan panasnya api itu sesungguhnya tidak ada guna atau manfaatnya sama sekali” Sungguh ia tidak tahu bahwa sebetulnya ia telah dapat menguasai dasar-dasar Ilmu Hwi-yang-sin-ciang yang amat hebat” Tidak tahu bahwa bakatnya jauh melampaui Setan Botak sendiri sehingga kalau ia latih terus dan melatih pula ilmu pukulannya, ia akan menjadi seorang ahli Hwi-yang-sin-ciang yang tidak ada tandingannya di dunia ini. Sayang bahwa Han Han sama sekali tidak tertarik kalau ia melihat Ouwyang Seng berlatih silat, juga tidak mau mendengarkan kalau Setan Botak memberi penjelasan tentang kouw-koat (teori silat) kepada Ouwyang Seng. Sampai saat itu pun Han Han masih belum suka akan ilmu silat, bukan hanya tidak suka, malah membencinya. Apalagi kalau ia terkenang akan pertandingan antara Setan Botak dengan orang-orang Pek-lian Kai-pang, ia menjadi muak dan makin membenci ilmu silat yang dianggapnya hanya merupakan ilmu membunuh manusia lain” Kalau dipikirkan memang lucu sekali. Anak ini membenci ilmu silat yang dianggapnya ilmu yang keji. Akan tetapi tanpa ia ketahui sama sekali, ia kini telah memiliki dasar Ilmu Hwi-yang-sin-ciang, padahal ilmu ini adalah ilmu golongan hitam atau ilmu sesat yang amat keji” Ilmu meracuni kedua lengan seperti ini, yang sebagian menggunakan tulang-tulang dan tengkorak-tengkorak manusia, tidak akan dipelajari oleh orang gagah di manapun juga kecuali oleh kaum sesat. Untuk memperkuat kedua lengan tangan, kaum gagah di rimba persilatan biasanya menggembleng lengan dengan pasir panas, pasir besi panas, dan lain-lain yang pada dasarnya hanya untuk memperkuat kedua lengan. Akan tetapi kaum sesat mencampurkan racun dalam latihan ini sehingga tangan mereka menjadi tangan beracun yang sesuai dengan watak mereka. Han Hen sama sekali tidak tahu akan hal ini, maka amatlah lucu kalau dipikirkan bahwa dia membenci ilmu silat namun diam-diam meniadi calon ahli Hwi-yang-sin-ciang” Akan tetapi, kebosanannya melatih diri ini menolongnya. Kalau ia lanjutkan, tentu akhirnya ia akan ketahuan dan hal ini berarti mati baginya. Dan kebetulan sekali sebelum kebosanannya membuat ia berlaku nekat dan minggat dari situ, pada pagi hari itu Setan Botak pulang dan siang harinya ia dipanggil Ouwyang Seng. “Han Han, lekas berkemas, bungkus pakaian-pakaianku yang terbaik. Kita akan pergi dari sini ke kota raja” “Kota raja?” Han Han bengong. Sebutan kota raja hanya ia dapat dalam kitab-kitabnya saja karena selama hidupnya belum pernah ia melihat kota raja. “Ya, kota raja di utara” Ha-ha-ha” Engkau akan bengong keheranan kalau melihat kota raja, dan aku sudah rindu kepada orang tuaku, kepada teman-temanku. Lekas berkemas, kalau terlambat, suhu akan marah.” “Aku.... aku diajak, Kongcu?” Han Han menyembunyikan debar jantungnya. Kalau ia minggat, ia sendiri tidak tahu akan pergi ke mana. Akan tetapi ia akan bebas dan merasa berbahagia. Dia tidak suka untuk menjadi pelayan selamanya. Betapapun juga, kalau diajak ke kota raja, ia akan mengesampingkan dulu ketidak sukaannya menjadi pelayan. Kota raja” Ia harus melihatnya” “Tentu saja kau kuajak. Bukankah kau pelayanku? Habis, kalau tidak diajak, siapa yang akan mengurus keperluan kami?” bentak Ouwyang Seng marah. “Siapa saja yang pergi, Kongcu?” “Siapa lagi kalau bukan suhu, aku dan kau? Sudahlah, cerewet amat sih” Lekas berkemas dan suruh tukang kuda menyediakan dua ekor kuda untuk suhu dan aku” “Dan aku sendiri jalan kaki? Apakah hal itu tidak akan memperlambat perjalanan, Kongcu?” Han Han membantah, penasaran. “Huh, mana ada pelayan menunggang kuda? Akan tetapi kalau suhu menghendaki perjalanan cepat, boleh membonceng di belakangku. Cuma, jangan lupa. Sebelum berangkat kau mandi yang bersih pula. Nah cukup, lekas berkemas” Han Han berkemas dan diam-diam mengomel. Biarpun ia menjadi pelayan, namun tidak pernah ia menerima upah, tidak pernah menerima pakaian, hanya mendapat makan setiap hari. Pakaiannya masih pakaian setahun yang lalu, penuh tambalan. Namun ia mempunyai satu stel pakaian cadangan, pemberian seorang pelayan di situ yang menaruh kasihan kepadanya. Pakaian ini pun sudah ia tambal-tambal. Dengan adanya cadangan pakaian ini, ia selalu berpakaian bersih, yang satu dipakai, yang satu dicuci. Biarpun penuh tambalan, pakaiannya selalu bersih” Setelah selesai berkemas, berangkatlah Kang-thouw-kwi Gak Liat, Ouwyang Seng dan Han Han meninggalkan gedung di kota Tiong-kwan. Perjalanan itu amat melelahkan bagi Han Han karena, berbeda dengan Kang-thouw-kwi dan muridnya yang masing-masing menunggang kuda, Han Han berjalan kaki. Akan tetapi biarpun amat melelahkan, perjalanan ini pun mendatangkan kegembiraan di dalam hatinya. Terlalu lama ia terkurung di dalam gedung Pangeran Ouwyang Cin Kok di Tiong-kwan dan kini ia selalu berada di alam terbuka, menyaksikan keindahan alam dan melalui bermacam kota dan dusun. Kadang-kadang kalau Kang-thouw-kwi menghendaki perjalanan dipercepat, baru Han Han diperbolehkan membonceng Ouwyang Seng, duduk di punggung kuda di belakang pemuda bangsawan itu. Dan di sepanjang perjalanan ini dia pulalah yang melayani segala keperluan mereka. Hanya dengan kemauan keras yang dikendalikan kecerdikannya saja membuat Han Han dapat menekan perasaaannya yang panas penuh dendam dan kebencian setiap kali ia memasuki kota-kota besar dan melihat tentara-tentara dan perwira-perwira Mancu berkeliaran dengan lagak sombong. Melihat tentara penjajah ini, teringatlah ia akan keluarganya yang terbasmi dan terbayang makin jelaslah wajah tujuh orang pembesar Mancu yang dilayani ayahnya ketika mereka berpesta-pora di dalam rumahnya. Terbayanglah wajah dua orang di antara ketujuh perwira itu, wajah yang sudah terukir di hatinya dan yang selamanya takkan pernah dapat ia lupakan, yaitu wajah perwira muka kuning dan perwira muka brewok. Pada suatu pagi mereka tiba di kaki Pegunungan Tai-hang-san dan Kang-thouw-kwi Gak Liat menyuruh muridnya berhenti. “Kita berhenti dan mengaso di sini” kata Setan Botak itu sambil meloncat turun dari kudanya. Han Han cepat-cepat meloncat turun dari belakang Ouwyang Seng dan menuntun kuda Setan Botak untuk diikat kepada sebatang pohon. Kemudian ia merawat kuda tunggangan Ouwyang Seng Pula. Sejak pagi-pagi sekali mereka melarikan kuda dan kini kedua ekor kuda itu berpeluh dan terengah-engah. Han Han cepat mengeluarkan kain kuning dari buntalannya yang tergantung di sela kuda, dan menyusuti tubuh kuda yang berpeluh. Dua ekor kuda yang sedang makan rumput itu menggosok-gosokkan telinga dan muka pada Han Han, seolah-olah mereka menyatakan terima kasih. “Kongcu, lihatlah, puncak di sana itu menjadi tempat tinggal seorang kenalan baik yang daerahnya sama sekali tidak boleh diganggu.” Ouwyang Seng memandang suhunya dengan heran. Baru sekali ini suhunya memperlihatkan dan memperdengarkan suara yang sifatnya segan kepada seseorang. “Suhu, siapakah kenalan suhu itu? Dia orang macam apa?” Kang-thouw-kwi Gak Liat memandang ke arah puncak gunung yang tertutup awan putih itu dengan kening berkerut, termenung sejenak lalu berkata, “Namanya Siangkoan Lee, julukannya Ma-bin Lo-mo (Iblis Tua Bermuka Kuda)” Semenjak muda dia menjadi sainganku, menjadi lawanku yang paling ulet. Hemmm.... lebih lima tahun aku tidak pernah bertemu dengannya. Entah bagaimana sekarang tingkat ilmunya yang paling diandalkan.” “Ah, jadi di sanakah tempat tinggal Ma-bin Lo-mo yang amat terkenal itu? Suhu, bukankah dia seorang diantara tokoh-tokoh yang disebut datuk-datuk besar di samping suhu?” “Benar dialah orangnya....” Kembali Kang-thouw-kwi tampak melamun, teringat ia akan masa dahulu di mana ia bersama Ma-bin Lo-mo malang-melintang di dunia kang-ouw dan hanya Si Muka Kuda itu sajalah yang merupakan lawan yang paling tangguh. “Dia bekas seorang menteri di Kerajaan Beng lima puluhan tahun yang lalu, kemudian mengundurkan diri. Entah bagaimana kedudukannya di jalan kerajaan baru ini....” “Ilmu apakah yang paling ia andalkan, suhu?” Setan Botak itu menghela napas panjang. “Dia sengaja memperdalam ilmu untuk menandingi Hwi-yang-sin-ciang” Ilmunya itu disebut Swat-im-sin-ciang (Tangan Sakti Inti Sari Salju). Ah, betapa inginku mengetahui sampai di mana sekarang tingkat ilmunya itu....” “Suhu, kenapa kita tidak naik ke sana saja kalau suhu ingin mencobanya? Teecu yakin suhu tidak akan kalah” “Hemmm, Kongcu. Lupakah engkau akan pelajaranku bahwa kalau kita ingin dapat lama bertahan di dunia kang-ouw, kita harus selalu pandai menilai keadaan lawan? Turun tangan kalau sudah yakin akan menang, dan berhati-hati apabila menghadapi keadaan yang akan dapat merugikan. Itulah syarat utama dan syarat itulah yang kupakai selama puluhan tahun ini sehingga namaku masih menjulang tinggi tak pernah runtuh.” Ouwyang Seng mengangguk-angguk dan diam-diam ia merasa kagum dan penasaran kepada tokoh yang julukannya Ma-bin Lo-mo itu. Ia tidak mau percaya dan tidak mau mengerti bahwa ada orang yang akan dapat menandingi gurunya. Adapun Han Han yang menyusuti keringat kuda, ikut mendengarkan semua itu. Tentu saja ia sama sekali tidak setuju dengan pendapat Setan Botak yang dianggapnya pengecut dan sama sekali tidak tepat menjadi watak orang gagah. Orang gagah mendasarkan wataknya kepada yang baik dan jahat. Betapapun kuatnya lawan, kalau jahat harus ditentang, sebaliknya, biarpun lawan lemah, kalau benar tidak semestinya ditentang, bahkan harus dibantu. Akan tetapi dia tidak peduli akan watak guru dan murid itu, hanya merasa kagum dan ingin sekali melihat tokoh yang dijuluki Iblis Tua Muka Kuda itu. “Han Han, lekas pergi ke dalam hutan di depan itu mencarikan buah-buahan untuk suhu” Jangan kembali kalau belum mendapatkan buah-buahan yang cukup banyak” Ouwyang Seng yang melihat bahwa Han Han mendengarkan percakapan mereka tadi memerintah karena betapapun juga ia merasa tidak senang melihat kacungnya itu mendengar betapa suhunya seolah-olah jerih terhadap tokoh yang berjuluk Iblis Tua Muka Kuda itu. Han Han yang juga merasa lapar, mengangguk lalu meninggalkan tempat itu, memasuki hutan yang berada di sebuah lereng dekat kaki gunung itu. Timbul lagi kegembiraan hatinya. Memasuki hutan liar itu seorang diri saja amat menyenangkan hatinya. Ia merasa seolah-olah menjadi satu dengan hutan itu, bebas lepas seperti burung yang beterbangan di antara pohon-pohon raksasa, seperti seekor di antara kera-kera yang berloncatan, kelinci-kelinci yang berlarian. Ah, betapa ingin hatinya untuk menggunakan kesempatan itu melarikan diri. Akan tetapi, ia ingin menyaksikan kota raja, dan juga ia tahu bahwa kalau ia melarikan diri, tentu akan mudah dikejar Setan Botak yang amat sakti itu, dan dia tentu akan mengalami hukuman di tangan Ouwyang Seng yang kejam dan suka menyiksa orang. Biarlah kucarikan buah untuk mereka, pikirnya. Belum tiba saatnya bagi dia melarikan diri. Untung baginya bahwa hutan itu mempunyai banyak pohon berbuah yang sudah matang dan tinggal pilih saja. Akan tetapi selagi ia menengadah mencari buah-buah apa yang akan dipilihnya, tiba-tiba ia mendengar suara bentakan-bentakan halus dan nyaring, “.... heiiiiit.... siaaat.... heiiiiittt” Han Han tertarik dan cepat ia menyelinap di antara pohon-pohon itu ke arah datangnya suara. Ternyata bahwa yang membentak-bentak itu adalah seorang anak perempuan, usianya takkan jauh selisihnya dari usianya sendiri. Bocah itu sedang berlatih ilmu silat, memukul, menangkis menendang, berloncatan dan sekali-kali mengeluarkan jerit membentak untuk memperkuat pukulan atau tendangan. Anak perempuan berusia sepuluh atau sebelas tahun itu amat cantik dan mungil, gerakannya gesit bukan main, mengingatkan Han Han akan Sin Lian, puteri Lauw-pangcu. Akan tetapi gadis cilik ini lebih cantik, dan mukanya manis sekali, tidak membayangkan kegalakan dan keliaran seperti yang terbayang pada wajah Sin Lian. Adapun gerakan-gerakannya jauh lebih cepat daripada gerakan Sin Lian, hal ini saja menjadi tanda bahwa tingkat kepandaian ilmu silat anak perempuan ini lebih tinggi daripada puteri Lauw-pangcu. Selain cepat, juga ilmu silat yang dimainkan gadis cilik itu bagi Han Han kelihatan amat indahnya, seperti menari-nari. Tubuh yang semampai itu berkelebatan, berloncatan dan kadang-kadang membuat gerakan kaki tangan demikian halus dan indah sehingga ia memandang dengan bengong penuh kekaguman. Ada sepuluh menit anak perempuan itu berlatih, kemudian mengakhiri latihannya dengan tendangan berantai dan tubuhnya mencelat ke atas, ketika kakinya seperti kitiran membuat gerakan menendang secara bertubi-tubi dengan kedua kaki bergantian sampai lima kali, baru tubuhnya berjungkir balik melompat ke belakang. Indah sekali gerakannya. “Bagus sekali....” Tak terasa lagi pujian ini keluar dari mulut Han Han. Anak perempuan itu menengok dan memandang. Han Han terkejut dan tahu bahwa dia telah berlaku lancang. Ia mengira bahwa anak perempuan itu, seperti halnya Sin Lian, tentu akan marah dan memakinya. Setelah ia bergaul dengan Sin Lian, kesannya terhadap anak perempuan adalah mudah marah, mudah memaki, akan tetapi mudah pula tertawa. Akan tetapi ia kecelik” Anak perempuan itu tidak marah melainkan memandang kepadanya dengan sinar mata penuh selidik, memperhatikannya dari atas sampai ke bawah, kemudian tersenyum dan melangkah maju menghampirinya. Setelah mereka berdiri saling berhadapan, gadis cilik itu memperhatikan pakaian di tubuh Han Han membuat Han Han menjadi merah mukanya karena ia merasa betapa pakaiannya sungguh tidak boleh dibanggakan. Penuh tambalan dan tidak begitu bersih lagi karena dia belum sempat berganti pakaian. Gadis cilik itu tiba-tiba merogoh saku bajunya den mengeluarkan dua potong uang tembaga, tanpa berkata-keta menjulurkan tangan, memberikan dua potong uang tembaga itu kepada Han Han. Tentu saja Han Han melongo dan tidak mengerti, terpaksa bertanya.\ “Untuk apa ini....?” “Sedekah seadanya untukmu. Engkau tersasar jalan, di daerah ini tidak akan kau temui dusun, akan percuma mencari sumbangan....” “Aku bukan pengemis” Han Han membentak dan mundur dua langkah, mata nya memandang penasaran. Gadis cilik itu menatap wajahnya dan agaknya kaget sekali ketika bertemu pandang dengan Han Han, lalu cepat-cepat menyimpan kembali uangnya dan mengalihkan pandangnya, meneliti pakaian tambal-tambalan dan kaki telanjang itu. Han Han merasa menyesal mengapa ia membentak karena kini ia tahu bahwa gadis cilik itu sama sekali bukan bermaksud menghinanya, melainkan keadaan pakaiannyalah yang membuat anak itu menduga bahwa dia seorang pengemis. Begitu berjumpa, tanpa diminta telah memberi sumbangan, benar-benar hati bocah ini tidak buruk, pikirnya. Cepat-cepat ia berkata dengan suara halus. “Aku memang miskin, pakaianku tambal-tambalan, akan tetapi aku belum pernah mengemis. Maafkan penolakanku.” Kembali anak itu mengangkat alis dan memandang dengan heran. Ucapan Han Han begitu halus dan susunan kata-katanya teratur rapi, bukan seperti seorang anak dusun, apalagi pengemis” “Kau..ini.. siapa? Dan apakah kehendakmu datang ke tempat ini?” “Aku bernama Han, she Sie. Aku hanya seorang kacung yang kebetulan mengikuti perjalanan majikanku. Mereka berhenti di kaki gunung dan menyuruh aku mencari buah-buah di hutan ini. Dan Engkau siapa? Kalau tadi kaukatakan di sini tidak ada dusun, bagaimana engkau bisa berada di sini?” “Namaku Cu, she Kim. Aku memang penghuni daerah ini, di puncak sana itu. Lebih baik engkau lekas pergi, dan katakan kepada majikanmu agar cepat pergi meninggalkan daerah ini. Daerah ini milik suhuku dan siapapun juga tidak boleh berada di sini. Lekas pergilah bersama majikanmu sebelum terjadi hal-hal yang hebat menimpa kalian.” “Nona Kim Cu, engkau baik sekali.” “Eh, baik bagaimana?” “Aku lancang memuji ilmu silatmu, kau tidak marah. Kini engkau menasehati aku agar tidak sampai tertimpa malapetaka. Benar-benar engkau seorang anak yang amat baik.” Anak perempuan itu menggeleng kepala. “Apa sih artinya baik? Engkau ini yang amat aneh. Pakaianmu seperti pengemis akan tetapi engkau tak pernah mengemis. Pekerjaanmu sebagai kacung akan tetapi sikap dan bicaramu seperti seorang anak terpelajar. Dan kau.... agaknya kau pandai ilmu silat, ya?” Han Han cepat menggeleng kepala. “Ah, mana aku bisa? Aku tidak bisa ilmu silat....” “Kalau tidak bisa, bagaimana tadi dapat memuji ilmu silatku?” “Karena memang bagus dan indah, seperti tarian. Nona Kim Cu, apakah gurumu itu pandai sekali ilmu silatnya? Aku tadi mendengar percakapan majikanku dan muridnya, menyebut-nyebut nama Ma-bin Lo-mo yang tinggal di In-kok-san. Kenalkah engkau dengan dia?” Tiba-tiba wajah gadis cilik itu berubah agak pucat dan seperti lupa diri, dia memegang lengan Han Han. “Wah celaka....” Siapa majikanmu itu, begitu berani mati menyebut-nyebut nama suhu....?” Melihat gadis cilik yang menimbulkan rasa suka di hatinya ini kelihatan gelisah, Han Han juga memegang tangannya dan berkata menghibur, “Nona, tidak perlu khawatir. Majikanku juga bukan orang biasa, julukannya Kang-thouw-kwi....” “Ihhhh....?” Pada saat itu, terdengar bentakan. “Han Han” Kau kacung malas” Disuruh mencari buah-buahan malah bermain gila dengan seorang gadis gunung” Han Han cepat melepaskan pegangannya pada tangan Kim Cu, menoleh dan memandang kepada Ouwyang Seng dengan penuh kemarahan. Ucapan yang menghina dirinya tidaklah mendatangkan kemarahan, akan tetapi teguran itu sekaligus menghina Kim Cu yang begitu baik. Masa Kim Cu dikatakan gadis gunung dan dituduh bermain gila dengan dia? “Ouwyang-kongcu, jangan bicara sembarangan....” Kim Cu yang sudah melepaskan tangannya dan dengan langkah lebar gadis cilik ini telah menghadapi Ouwyang Seng. Sepasang mata yang tadinya berseri dan bening itu kini kelihatan memancarkan cahaya kilat. “Sie Han, mengapa manusia macam ini kau sebut Kongcu? Pantasnya engkaulah yang harus dia sebut Kongcu, karena menurut pendapatku, dia ini menjadi kacungmu saja masih belum patut” “Budak hina, jangan membuka mulut besar kalau tidak ingin kuhajar mulutmu” bentak Ouwyang Seng yang menjadi marah sekali. Selama hidupnya baru sekali ini ada orang berani menghinanya seperti itu. “Kau yang membutuhkan hajaran” Kim Cu berseru dan tubuhnya sudah melesat ke depan dengan serangan kilat. Kedua kepalan tangan yang kecil itu dengan gerakan cepat sekali sudah menghantam ke arah kepala dan dada Ouwyang Seng” Akan tetapi, murid Kang-thouw-kwi ini tertawa mengejek, menggerakkan kedua tangannya untuk menangkap kedua kepalan itu. Anehnya, gadis cilik itu tidak peduli, bahkan membiarkan kedua kepalan tangannya tertangkap, padahal ini merupakan bahaya besar baginya. Ouwyang Seng memperkeras ketawanya karena ia yakin bahwa sekali cengkeram, kepalan kedua tangan gadis itu akan remuk-remuk tulangnya. Namun, segera dia berseru kaget, cepat melepaskan cengkeramannya dan berusaha meloncat mundur. Terlambat” Perutnya masih kena serempet ujung sepatu Kim Cu sehingga ia terjengkang ke belakang sambil memegangi perutnya dan meringis. Biarpun tidak mengalami luka, namun setidaknya perutnya menjadi mulas seketika. Dengan kemarahan meluap-luap, Ouwyang Seng kini membalas dengan serangan yang dahsyat. Bertempurlah kedua orang anak itu, ditonton oleh Han Han yang menjadi makin kagum. Jelas tampak betapa gadis cilik itu telah memiliki dasar yang matang, gerakan-gerakannya jauh lebih cepat daripada Ouwyang Seng sehingga dialah yang lebih banyak menghujankan serangan daripada murid Setan Botak itu. “Rebahlah, manusia sombong” Kim Cu berseru keras dengan serangan desakan yang sukar sekali dijaga karena kedua tangan itu seolah-olah telah berubah menjadi banyak saking cepat gerakahnya, dan tubuhnya pun berkelebatan di kanan kiri lawan. Bukkk....” Aduuuhhhhh....” Kembali Ouwyang Seng terjengkang karena pukulan tangan kiri Kim Cu bersarang di dadanya. Kini agak tepat kenanya sehingga napasnya menjadi sesak. Namun Ouwyang Seng yang terlath sejak kecil telah memiliki kekebalan, dan biarpun ilmu silatnya lebih unggul dan gin-kangnya lebih tinggi daripada Ouwyang Seng, namun agaknya gadis cilik itu belum memiliki tenaga yang cukup kuat untuk merobohkan lawan dengan beberapa kali pukulan saja. “Budak hina, engkau sudah bosan hidup” Ouwyang Seng marah sekali. Kedua matanya merah, mulutnya menyeringai seperti mulut harimau haus darah. Ia meloncat bangun, menggerak-gerakkan kedua lengannya kemudian ia menerjang maju, mengirim pukulan dengan mendorongkan kedua lengannya itu dengan jari-jari terbuka ke arah Kim Cu, tubuhnya agak merendah. Melihat ini, Han Han terkejut sekali. Itulah pukulan beracun yang dilatih Ouwyang Seng, dengan tenaga inti api sebagai hasil latihan merendam kedua lengan ke dalam air beracun mendidih. “Kongcu....” Ia berseru, akan tetapi Ouwyang Seng yang sudah amat marah itu lupa pula akan pesan suhunya bahwa tidak boleh ia semberangan mempergunakan dasar pukulan Ilmu Hwi-yang-sin-ciang itu. Kim Cu yang tadinya sudah beberapa kali berhasil memukul lawannya, tentu saja memandang rendah dan melihat datangnya pukulan, ia menangkis sambil miringkan tubuh. “Plakkk....” aughhh....” Tubuh Kim Cu terlempar dan masih untung bahwa ketika menangkis tadi ia miringkan tubuh sehingga pukulan api beracun itu tidak mengenainya dengan tepat. Namun hawa pukulan yang hebat itu cukup membuat gadis cilik itu terlempar dan terbanting keras. Dan selagi Kim Cu masih pening, berusaha bangkit, Ouwyang Seng yang masih belum puas telah meloncat dekat dan mengirim pukulan api beracun untuk kedua kelinya. Kalau mengenai tepat dan tidak ditangkis, pukulan ini akan membahayakan nyawa Kim Cu” “Jangan....” Han Han cepat meloncat dekat dan mendorongkan kedua tangan nya menyambut pukulan maut yang dilakukan Ouwyang Seng itu. “Desssss....” “Aiiihhhhh....” Kini tubuh Ouwyang Seng yang terlempar ke belakang sampai tiga meter lebih dan jatuh bergulingan lalu meloncat bangun dengan muka pucat sekali. Kedua lengannya seperti terbakar rasanya dan tenaganya tadi begitu bertemu dengan dorongan Han Han telah membalik dan membuat ia terlempar. Saking nyeri, marah dan heran ia sampai bengong terlongong. Akan tetapi pada saat itu berkelebat bayangan Setan Botak dan Han Han mengeluh karena ia sudah roboh tertotok oleh Setan Botak yang tahu-tahu telah berada di situ. “Anak setan, dari mana kau mencuri pukulan itu?” bentak Setan Botak yang kemudian menoleh kepada Ouwyang Seng dan bertanya, “Ouwyang-kongcu, engkau tidak apa-apa?” Ouwyang Seng menggeleng kepala, kini kemarahannya ditimpakan semua kepada Han Han. Cepat ia menyambar sebatang kayu yang terletak di bawah pohon, kemudian meloncat ke depan dan menggunakan ranting itu memukuli tubuh Han Han yang tertotok dan tidak mampu bergerak itu. Terdengar suara “bak-buk-bak-buk” ketika ranting itu jatuh seperti hujan di seluruh tubuh Han Han” “Pengecut....” Bentakan ini dikeluarkan oleh Kim Cu yang telah menerjang maju dan sebuah tendangannya tepat mengenai lengan Ouwyang Seng yang memegang ranting sehingga ranting itu terlepas di atas tanah. Ouwyang Seng sendiri meloncat ke belakang karena khawatir kalau mendapat serangan susulan dari gadis cilik yang amat cepat gerakannya itu. Di depan gurunya, tentu saja ia tidak berani lagi menggunakan pukulan api beracun. Kim Cu menolong Han Han dan membangunkannya, akan tetapi Han Han sudah dapat bergerak kembali dan kini ia bangkit duduk. Biarpun totokan Setan Botak itu amat lihai, akan tetapi karena tubuh Han Han memang memiliki sifat luar biasa, hanya sebentar saja anak ini terpengaruh. Dengan kemauannya yang hebat, timbullah hawa tan-tian dari pusarnya, mendorong jalan darah nya sehingga pengaruh totokan itu buyar. “Budak hina, kacung busuk” Tunggu saja, kalian tentu akan kuhajar sampai mampus” Ouwyang Seng menudingkan telunjuknya dan mengancam. “Engkau bangsawan berwatak rendah melebihi anjing” Kim Cu balas memaki dan diam-diam Han Han kecewa sekali mendengar betapa gadis cilik ini pun pandai memaki seperti Sin Lian. Dia sendiri amat marah kepada Ouwyang Seng dan diam-diam ia meraih ranting yang terletak di depannya, yang tadi dipergunakan kongcu itu untuk mencambuki tubuhnya. Akan tetapi perhatian Ouwyang Seng segera terpecah dan tertarik ketika ia mendengar suara ketawa terkekeh-kekeh yang amat aneh, persis suara ringkik kuda. Ketika ia memandang, kiranya suhunya telah bertanding melawan seorang kakek berpakaian hitam yang aneh sekali. Kakek itu mukanya persis muka kuda, lonjong dan meruncing ke depan. Rambutnya riap-riapan, namun pakaiannya yang serba hitam itu amat indah dan mewah, dihias pinggiran benang yang kuning emas” Caranya bertanding melawan gurunya juga aneh. Mereka itu tidak bergerak-gerak dari tempat masing-masing. Si Muka Kuda itu berdiri dengan kedua kaki terpentang, tangan kiri bertolak pinggang dan hanya dengan tangan kanan yang dibuka jari-jarinya saja ia menandingi Setan Botak” Ouwyang Seng belum pernah melihat suhunya berwajah serius seperti ketika berhadapan dengan Si Muka Kuda itu. Suhunya berdiri tegak pula dengan kedua kaki teguh memasang kuda-kuda, yang kiri di belakang yang kanan di depan, kemudian tangan kanannya menampar dengan jari terbuka ke arah dada Si Muka Kuda. Andaikata didiamkan saja pukulan itu pun tidak akan menyentuh baju Si Muka Kuda. Akan tetapi pukulan itu bukanlah sembarang pukulan, melainkan pukulan dahsyat yang amat ampuh dengan Ilmu Hwi-yang-sin-ciang” “Hi-yeh-heh-heh-heh-heh” Si Muka Kuda itu meringkik lalu menggerakkan tangan kanannya seperti menangkis. Bukan tangan Setan Botak yang ditangkisnya, melainkan hawa pukulan itu yang bagaikan angin panas menyambar-nyambar dahsyat. Dari kibasan atau tangkisan tangan kanan Iblis Tua Muka Kuda ini bertiup hawa yang dingin luar biasa karena untuk menghadapi pukulan sakti lawan, ia pun mengeluarkan ilmunya Swat-im Sin-ciang yang berhawa dingin melebihi salju” “Darrr....” Pertemuan dua hawa yang bertentangan itu menimbulkan suara nyaring dibarengi sinar berapi, seperti pertemuan dua hawa Im dan Yang di angkasa yang menimbulkan kilat halilintar” Dan tubuh kedua orang tokoh besar itu tergetar dan masing-masing mundur dua langkah. “Hi-yeh-heh-heh....” Hwi-yang Sin-ciang tidaklah begitu buruk....” Si Muka Kuda tertawa mengejek. Kang-thouw-kwi Gak Liat diam-diam terkejut sekali. Dari pertemuan tenaga sakti itu tadi saja ia sudah dapat mengukur kehebatan Swan-im Sin-ciang yang ternyata dapat menandingi ilmunya. Padahal di dalam hatinya ia sudah menganggap bahwa Hwi-yang Sin-ciang yang dilatihnya itu paling hebat di dunia. Ia menjadi penasaran dan mukanya merah oleh ejekan lawan. “Siangkoan Lee, kau sambutlah ini....” Kini dari tempat ia berdiri, Setan Botak itu mengerahkan seluruh tenaga Hwi-yang Sin-ciang disalurkan ke dalam sepasang lengannya. Mengepullah uap putih dari sepasang lengan itu yang kulitnya berubah makin merah seperti besi dibakar. Melihat ini, kembali Si Muka Kuda terkekeh meringkik-ringkik, namun sambil meringkik itu dia pun telah mengerahkan tenaganya sehingga kedua tangannya tampak mengebulkan uap pula, uap putih yang bergerak naik, keluar dari dalam lengan bajunya. Biarpun sepasang lengan mereka itu masing-masing mengeluarkan uap putih, akan tetapi sesungguhnya amatlah jauh bedanya. Uap yang keluar dari sepasang lengan Setan Botak adalah panas, sebaliknya yang mengebul keluar dari lengan Si Muka Kuda adalah uap dingin. Bentakan Kang-thouw-kwi itu disusul dengan mencelatnya tubuhnya ke udara dan ia telah menerjang Si Muka Kuda dengan pukulan Hwi-yang Sin-ciang sekuatnya. Namun Si Muka Kuda yang tahu pula akan kelihaian serangan ini, sudah melesat pula ke atas untuk menyambut pukulan lawan dengan pukulan Swat-im Sin-ciang pula. Kalau gebrakan yang pertama tadi dilakukan di atas tanah dan masing-masing hanya ingin mengukur kehebatan ilmu pukulan lawan, kini mereka bertumbukan di udara dengan pengerahan tenaga sepenuhnya. Karena kini mereka mengerahkan seluruh tenaga dan menggunakan kedua telapak tangan, maka benturan tenaga yang berlawanan sifatnya ini terjadi dengan dahsyatnya. Ledakan keras disusul sinar terang menyilaukan mata dan tubuh keduanya mencelat ke belakang seperti dilontarkan” Hanya bedanya, kalau Kang-thouw-kwi roboh setengah terbanting sehingga ia terhuyung-huyung di atas tanah, adalah Si Muka Kuda dapat berjungkir-balik dengan indahnya dan kemudian turun ke atas tanah dalam keadaan tenang. Hal ini membuktikan dalam hal gin-kang (ilmu meringankan tubuh) Si Muka Kuda masih berada di atas Setan Botak tingkatnya. “Suhu.... suhu.... tolong....” Mendengar seruan muridnya ini, Kang-thouw-kwi meloncat ke kiri di mana Ouwyang Seng sedang dihajar oleh Han Han dengan ranting, dicambuki dan setiap kali Ouwyang Seng hendak melawan, Han Han dibantu oleh Kim Cu. Dikeroyok dua, Ouwyang Seng menjadi repot sekali, dan tubuhnya sudah babak-belur dihajar sabetan ranting di tangan Han Han. Sambil meloncat, Kang-thouw-kwi mengulur tangannya dan tiba-tiba saja Han Han dan Kim Cu kehilangan lawan karena Ouwyang Seng telah lenyap dari depan mereka. Ketika mereka memandang ke depan, ternyata pemuda tanggung itu telah dikempit oleh lengan Kang-thouw-kwi yang sudah mengangguk ke arah Si Muka Kuda sambil berkata. “Siangkoan Lee, Swat-im Sin-ciang yang tersohor itu tidak buruk” Karena aku ada keperluan di kota raja, tidak ada waktu untuk lebih lama melayanimu. Kau perdalam ilmumu itu agar kelak kalau ada kesempatan dapat kita bertanding tiga hari tiga malam lamanya” Si Muka Kuda meringkik keras sekali, kemudian menjawab, “Gak Liat, engkau memang licik. Akan tetapi karena tidak sengaja kau datang melanggar wilayahku, biarlah kali ini kuampuni nyawamu” Lain kali boleh kita bertanding sampai mampus untuk menentukan siapa yang lebih unggul di antara kita.” Mendengar ucapan mereka itu, Han Han mendapat kesan bahwa keduanya adalah orang-orang yang tinggi hati dan sombong, menganggap diri sendiri terpandai. Akan tetapi pada saat itu, Kang-thouw-kwi sudah menoleh kepadanya dan membentak, “Han Han, hayo kita kembali” Pada saat itu, Han Han merasa betapa tangan kirinya dipegang orang, dipegang oleh sebuah tangan yang berkulit lunak halus. Tanpa melirik ia mengerti bahwa yang memegang tangannya tentulah anak perempuan yang bernama Kim Cu tadi. Ia merasa suka kepada anak ini, merasa seolah-olah mereka telah menjadi sahabat lama. Dan ia pun maklum bahwa ikut kembali bersama Kang-thouw-kwi dan Ouwyang Seng berarti mengalami siksaan karena Ouwyang Seng tentu akan membalas dendam. Maka ia lalu berkata dengan suara lantang. “Saya tidak mau kembali” Saya tidak sudi lagi dipaksa menjadi pelayan Ouwyang-kongcu yang jahat dan kejam” Sepasang mata Setan Botak mengeluarkan sinar kemarahan. Sejenak ia memandang tajam, lalu terdengar kata-katanya, “Engkau telah mencuri ilmu pukulanku, dan sekarang engkau tidak mau ikut, sepatutnya engkau mampus” Setelah berkata demikian, dengan lengan kiri masih mengempit tubuh muridnya, Kang-thouw-kwi mendorongkan tangan kanannya ke arah Han Han. Ia memukul anak itu dengan Hwi-yang Sin-ciang dari jarak jauh dengan penuh keyakinan bahwa sekali pukul tubuh bocah itu tentu akan menjadi hangus” Han Han maklum akan datangnya bahaya, maka ia menjadi nekat. Cepat ia pun mengerahkan seluruh kemampuannya dan memaksa hawa di pusarnya bergerak ke arah kedua lengannya yang ia dorongkan menyambut pukulan kakek botak itu. “Desssss....” Han Han tertumbuk hawa yang amat panas. Kedua lengannya yang ia dorongkan seolah-olah remuk seperti ditusuk-tusuk jarum nyerinya. Tubuhnya terlempar ke belakang, bergulingan dan ia roboh dengan mata mendelik. Ia telah pingsan” Kim Cu lari menubruknya dan melindungi tubuhnya sambil berteriak ke arah kakek botak yang memandang terheran-heran, “Jangan bunuh dia....” Kang-thouw-kwi Gak Liat benar-benar terheran-heran dan penasaran bercampur marah bukan main menyaksikan betapa kacungnya itu mampu menangkis dorongannya sehingga tidak roboh hangus dan mati, melainkan hanya pingsan saja” Dan ia juga dapat merasakan betapa dorongan anak itu mengandung hawa yang jauh lebih panas daripada tingkat yang dimiliki Ouwyang Seng. Tingkat seperti itu tidak mungkin dapat dimiliki anak ini kalau hanya meniru-niru Ouwyang Seng dalam berlatih, maka timbullah kecurigaannya bahwa kacung itu tentu telah menggeratak ke dalam daerah terlarang di gedung di Tiong-kwan itu yang menjadi tempat ia berlatih dengan rahasia” “Bocah setan, pencuri busuk” Mampuslah” Ia mengirim pukulan lagi, tidak peduli bahwa pukulannya kali ini membahayakan pula Kim Cu yang berlutut di dekat tubuh Han Han. “Desssss....” Hawa yang amat dingin menangkis pukulannya dari samping. Kiranya Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee, Si Muka Kuda itu telah menangkisnya dan kini berdiri bertolak pinggang sambil berkata. “Gak Liat, apakah engkau sudah tidak memandang aku sebagai orang setingkat, bahkan lebih tinggi daripadamu? Di daerahku ini tidak boleh engkau membunuh orang sembarangan saja tanpa seijinku” “Siangkoan Lee, aturan apa ini? Bocah ini adalah kacungku sendiri, mau kubunuh atau tidak, apa sangkut-pautnya denganmu?” Setan Botak itu membentak marah. Ma-bin Lo-mo tertawa meringkik. “Engkau boleh membunuh bocah itu, akan tetapi aku pun akan membunuh muridmu itu.” Gak Liat makin marah. “Mengapa?” “Hemmm, engkau ini tua bangka yang pura-pura bodoh. Kalau tidak ada bocah itu yang menolong muridku dari pukulan muridmu, apakah kau kira aku tinggal diam saja? Kalau bocah ini tadi tidak menangkis pukulan muridmu, tentu aku yang turun tangan dan apa kau kira muridmu masih dapat hidup sekarang? Aku sudah memandang mukamu yang buruk, apa engkau berani memandang rendah kepadaku? Aku telah mengampuni muridmu, apakah engkau masih berkeras hendak membunuh anak ini?” “Tapi, dia bukan muridmu, dia kacungku” “Kau keliru. Setelah dia menolong muridku, berarti dia pun menjadi orang In-kok-san” “Ahhh” Engkau tidak tahu siapa dia” Hemmm, dia telah mencuri ilmuku....” “Itu bukan alasan. Salahmu sendiri. Pendeknya, aku melarang engkau membunuhnya dan kalau engkau hendak melanjutkan pertandingan, silakan.” Setan Botak itu meragu. Ia tidak sayang kepada Han Han dan ia tidak peduli anak itu menjadi murid In-kok-san. Apalagi mengingat kakek anak itu” Hanya ia membenci anak itu yang sudah mencuri Hwi-yang Sin-ciang, sungguhpun ia tidak mengerti mengapa hal itu bisa terjadi. Ia mendengus marah. “Baiklah, lain kali masih banyak waktu untuk membunuhnya dan lain kali aku akan membalas kebaikanmu ini” Setelah berkata demikian, sekali berkelebat lenyaplah Setan Botak itu bersama muridnya. “Panggil saudara-saudaramu, bawa dia ke atas” Ma-bin Lo-mo berkata kepada Kim Cu dan ia pun berkelebat lenyap dari tempat itu. Kim Cu lalu memasukkan dua buah jari tangannya ke dalam mulut, menekuk lidah dan bersuit keras dam nyaring sekali. Suara suitan itu bergema ke empat penjuru dam dari sana-sini terdengar suitan-suitan balasan. Tak lama kemudian muncullah dua orang anak laki-laki dan dua anak perempuan yang usianya antara sepuluh sampai tiga belas tahun, berlari-larian dengan gerakan ringan. Mereka itu adalah anak-anak yang tampan dan cantik, dan segera mereka merubung Kim Cu dengan hujan pertanyaan sambil memandang tubuh Han Han yang masih menggeletak pingsan di atas tanah. “Nanti saja aku ceritakan. Namanya Sie Han, dia murid baru suhu. Mari bantu aku menggotongnya ke puncak.” Beramai-ramai lima orang anak ini menggotong tubuh Han Han. Sambil bercakap-cakap mereka menggotong Han Han mendaki puncak dan asyik sekali Kim Cu menceritakan peristiwa yang telah terjadi, tentang Kang-thouw-kwi Gak Liat yang sudah lama mereka dengar namanya itu. Siapakah sebenarnya kakek yang mukanya berbentuk muka kuda ini? Seperti telah diceritakan Setan Botak kepada muridnya, dia bernama Siangkoan Lee dan julukannya adalah Ma-bin-Lo-mo. Kakek ini di waktu mudanya adalah seorang pembesar tinggi Kerajaan Beng-tiauw, akan tetapi karena menyalah gunakan kedudukannya dan bersikap sewenang-wenang mengandalkan kedudukan, harta dan terutama sekali ilmu silatnya yang tinggi, ia dimusuhi orang-orang gagah di dunia kang-ouw sehingga akhirnya ia dipecat. Siangkoan Lee lalu melarikan diri dan memperdalam ilmunya sehingga kemudian ia muncul sebagai seorang tokoh atau datuk golongan sesat, melakukan segala macam perbuatan kejam dan tidak peduli akan prikemanusiaan. Namanya makin meningkat dan ditakuti semua orang setelah belasan tahun yang lalu ia berhasil mendapatkan sebuah di antara ilmu-ilmu yang mukjizat dan tinggi yang seolah-olah disebarkan oleh penghuni Pulau Es yang hanya dikenal dengan sebutan Koai-lojin (Kakek Aneh). Bersama-sama dengan puluhan orang tokoh kang-ouw dia mengejar dan memperebutkann ilmu-ilmu ini dan akhirnya ia kebagian ilmu yang diciptakannya menjadi Swat-im Sin-ciang, di samping Setan Botak yang mendapatkan ilmu inti sari tenaga Yang sehingga ia dapat menciptakan Ilmu Hwi-yang Sin-ciang. Biarpun puluhan tahun Ma-bin Lomo hidup sebagai seorang manusia iblis, namun di dasar hatinya dia adalah seorang yang berjiwa patriot. Dia tidak secara langsung menentang pemerintah penjajah Mancu, akan tetapi di lubuk hatinya ia membenci bangsa Mancu ini. Maka ia lalu memilih In-kok-san di Pegunungan Tai-hang-san, di mana ia mengumpulkan anak-anak berusia belasan tahun, anak-anak yang dia pilih bertulang dan berbakat baik, juga yang memiliki wajah yang elok-elok. Ia sudah mengumpulkan belasan orang anak yang ia gembleng sebagai murid-muridnya dengan cita-cita untuk kelak membentuk barisan murid-murid yang pandai untuk menentang dan menggulingkan pemerintah penjajah memimpin rakyat yang berniat memberontak terhadap Kerajaan Mancu. Ma-bin Lo-mo boleh jadi kejam dan tak berprikemanusiaan terhadap lawan-lawannya, akan tetapi ia memimpin murid-muridnya penuh ketekunan dan kasih sayang, bersikap seperti seorang kakek terhadap cucu-cucunya. Namun, di samping kasih sayang ini, ia pun menekankan disiplin yang amat keras sehingga kalau perlu ia tidak segan-segan untuk memberi hukuman yang mengerikan kepada murid yang bersalah. In-kok-san (Puncak Lembah Berawan) merupakan puncak indah yang mempunyai banyak lapangan datar. Di situ Ma-bin Lo-mo membangun beberapa buah pondok untuk dia dan murid-muridnya. Han Han digotong naik ke puncak In-kok-san dan dibawa masuk ke sebuah pondok. Ma-bin Lo-mo sendiri mengobati anak ini dari pengaruh dorongan hawa Hwi-yang Sin-ciang yang amat hebat. Dalam beberapa hari saja Han Han sudah sembuh kembali. Ketika ia siuman dari pingsannya, ia melihat Ma-bin Lo-mo, Kim Cu dan dua orang anak laki-laki berada di pondok menjaganya. Ia cepat bangkit dan memandang ke sekeliling. Sinar matanya penuh pertanyaan ditujukan kepada Kim Cu. Anak perempuan ini tertawa lalu berkata. “Han Han, engkau berada di In-kok-san dan engkau telah menjadi seorang di antara kami, menjadi murid suhu.” Mendengar ini, Han Han cepat meloncat turun dan berdiri memandang kakek muka kuda “Aku.... aku tidak mau menjadi murid di sini” Aku tidak mau belajar silat” “Eh, kenapa, Han Han?” Kim Cu bertanya heran. “Engkau sudah memiliki pukulan sakti” Kalau engkau pandai silat, tentu tidak akan mudah dipukul orang, seperti yang dilakukan Kongcu keparat itu kepadamu.” Dengan keras kepala Han Han menggeleng. “Belajar silat menjemukan, membuang waktu sia-sia belaka. Kalau sudah pandai hanya dipakai untuk memukul orang” Aku benci ilmu silat” Kalau aku tidak bisa silat, aku tidak akan berdekatan dengan orang pandai silat dan tidak akan mengalami pukulan.” “Wah, seorang jantan harus berani menghadapi pukulan, malah membalas lebih hebat lagi. Harus tabah dan tegas agar tidak sampai kalah oleh orang lain. Apakah senangnya menjadi orang lemah dipukul orang kanan kiri dan menjadi pengecut?” Ucapan ini keluar dari seorang anak laki-laki usianya paling banyak sepuluh tahun, bahkan lebih muda dari Kim Cu yang kurang lebih berusia sebelas tahun. Han Han yang merasa dimaki pengecut menjadi marah sekali. Ia menghadapi anak itu dan membentak, “Kau bilang aku pengecut? Siapa yang pengecut? Bukan aku, melainkan engkaulah” Engkau....” Di luar kesadarannya, Han Han kembali dalam kemarahannya telah memandang anak itu dengan sinar matanya yang aneh, membentaknya dengan suara yang mengandung getaran hebat. Anak laki-laki itu menjadi pucat, tubuhnya menggigil, kemudian jatuh berlutut dan mulutnya berbisik-bisik, “Ya.... aku...., akulah yang pengecut....” “Heiii, sute” Mengapa kau ini....?” Kim Cu meloncat dan menarik bangun anak itu. Han Han menjadi sadar dan teringat akan peristiwa aneh yang sama ketika ia marah-marah kepada Sin Lian dan Lauw-pangcu. Ia terkejut dan cepat menahan kemarahannya, menggunakan kekuatan kemauannya untuk tidak melanjutkan pengaruh aneh yang menguasai dirinya dan yang kalau ia pergunakan mudah saja mempengaruhi orang lain itu. Ia menundukkan mukanya, tidak peduli terhadap anak itu yang telah bangkit berdiri dan terheran-heran berkata, “Apa yang terjadi....? Ahhh.... apakah aku mimpi....?” “Ehhh.... tak mungkin....” Seruan ini keluar dari mulut Ma-bin Lo-mo dan ia sudah meloncat maju dan memegang kedua pundak Han Hang memaksa anak itu memandang wajahnya. Han Han sudah pernah diperiksa seperti ini oleh Lauw-pangcu dan juga oleh Kang-thouw-kwi, maka sekali ini ia berlaku cerdik. Cepat ia menindas segala perasaannya sehingga batinnya berada dalam keadaan “kosong”, maka ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Ma-bin Lo-mo, kakek itu tidak mendapatkan sesuatu yang aneh kecuali sinar mata bocah itu benar-benar amat terang dan tajam, seolah-olah dapat menjenguk ke dalam hatinya melalui sinar matanya. “Hemmm, aneh sekali. Bocah aneh, engkau akan hidup senang menjadi murid di sini, akan tetapi di samping itu pun engkau harus belajar taat. Aku menjamin kepada semua muridku kelak akan menjadi jago yang sukar dicari bandingnya, akan tetapi kalau tidak taat dan melanggar peraturan, akan kuhukum berat. Kalau berhati keras dan berkepala batu seperti engkau, sekali dijatuhi hukuman, lehermu akan putus” Hayo lekas ceritakan kepadaku tentang dirimu dan siapa saja yang pernah memberi pelajaran ilmu silat kepadamu” Di lubuk hati Han Han menentang, akan tetapi ketika ia mengerling kepada Kim Cu, ia melihat gadis cilik itu berkedip-kedip dan mengangguk kepadanya, pandang mata anak perempuan itu penuh kekhawatiran dan penuh pembelaan. Sadarlah Han Han. Ia tidak boleh main-main. Kakek ini tidak kurang kejamnya daripada Setan Botak. Kalau ia menentang dan dibunuh, apa untungnya? Pula belajar di sini agaknya lebih menyenangkan, terutama karena di situ ada Kim Cu yang manis budi. Ia duduk kembali di pembaringan menghadapi Ma-bin Lo-mo. Teringat ia akan tata susila, dan karena ia tidak melihat jalan keluar lagi, terpaksa ia lalu menekuk lututnya, berlutut di depan kakek muka kuda itu sambil berkata. “Teecu Sie Han menerima kebaikan suhu untuk memberi bimbingan.” “Heh-heh-hiyeeehhhhh....” Anak baik, lekas ceritakan riwayatmu. Tunggu dulu, mari kita keluar dan kau Kim Cu, kumpulkan semua saudaramu agar mengenal muridku yang baru, Sie Han” Han Han mengikuti mereka keluar dari pondok dan ternyata di luar pondok itu adalah tanah datar berumput yang luas sekali. Dari jauh tampak awan putih berkelompok seperti sekelompok domba berbulu putih. Hawanya dingin sekali dan di sekeliling tempat itu tampak halimun tipis seperti sutera putih yang jarang. Seperti juga tadi, Kim Cu memasukkan dua buah jari tangan ke mulut lalu bersuit nyaring beberapa kali. Terdengar suitan-suitan balasan dari empat penjuru dan tak lama kemudian datanglah berlari-larian lima belas orang anak-anak yang sebaya dengan Kim Cu, sekitar sepuluh sampai tiga belas tahun usianya. Jumlah semua murid, termasuk Han Han, ada lima orang anak perempuan dan empat belas orang anak laki-laki, kesemuanya sembilan belas orang. Dengan mata terbelalak Han Han melihat bahwa tiga orang laki-laki di antara mereka cacad, yang seorang buntung kaki kirinya, seorang buntung lengan kirinya dan seorang lagi buntung kedua daun telinganya” Namun gerakan mereka sama cepatnya dengan yang lain. Bahkan Si Buntung kaki itu pun dapat berlari cepat dibantu sebatang tongkat. Ma-bin Lo-mo duduk di atas sebuah batu hitam yang halus permukaannya, kemudian menarik tangan Han Han dan menyuruh anak itu duduk di dekatnya sambil mengelus-elus kepala anak itu. Diam-diam Han Han merasa agak terharu. Benarkah guru barunya ini adalah seorang yang kejam? Sentuhan tangan pada kepalanya mendatangkan perasaan haru karena semenjak ia tidak berayah ibu lagi, belum pernah ada orang mencurahkan kasih sayang seperti kakek ini. Namun hanya sebentar saja ia sudah dapat menguasai keharuan hatinya. “Nah, berceritalah, muridku.” “Jangan sungkan-sungkan dan banyak aturan, Han Han sute (Adik Seperguruan)” kata Kim Cu gembira. “Di sini kita berada di antara keluarga sendiri” “Benar” Benar sekali” teriak anak-anak itu dan mereka pun duduk membentuk lingkaran kipas menghadapi Han Han dan guru mereka. Timbul kegembiraan di hati Han Han. Agaknya, guru dan murid-muridnya ini merupakan orang-orang yang amat baik. Maka lenyaplah keraguan dan kesungkanan hatinya dan ia pun mulai bercerita. “Namaku Sie Han dan kedua orang tuaku, seluruh keluarga terbunuh oleh tentara Mancu....” “Aaahhh, aku juga, begitu....” “Orang tuaku juga” “Keluargaku juga terbunuh tentara Mancu....” Han Han tercengang. Semua anak itu, delapan belas orang banyaknya, termasuk Kim Cu, berteriak-teriak mengatakan bahwa orang tua dan keluarga mereka pun terbasmi oleh tentara Mancu” Mengapa begini kebetulan? Ataukah kakek muka kuda itu memang sengaja mengumpulkan murid-murid dari keluarga yang terbasmi orang Mancu? Betapapun juga, ia menjadi terharu dan baru kini terbuka matanya bahwa bukan dia seorang saja yang bernasib buruk, kehilangan orang tua dan keluarga yang menjadi korban keganasan orang Mancu. Baru sekarang yang berkumpul di In-kok-san saja sudah ada begini banyak, belum yang tidak ia ketahui. “Seorang diri aku mengembara merantau tak tentu arah tujuan. Kemudian aku bertemu dengan Lauw-pangcu dan menjadi muridnya hampir setengah tahun.” “Kau maksudkan Lauw-pangcu ketua Pek-lian Kai-pang?” Ma-bin Lo-mo tiba-tiba bertanya. “Benar, suhu.” “Hemmm, apa saja yang ia ajarkan kepadamu?” “Dalam waktu lima bulan lebih teecu hanya belajar memasang kuda-kuda dan langkah-langkah kaki saja, di samping belajar bersamadhi dan mengatur pernapasan.” “Bagus, coba kau berlatih langkah-langkah kaki menurut ajaran Lauw-pangcu.” Han Han mulai tertarik kepada kakek ini. Berbeda dengan Lauw-pangcu, agaknya guru baru ini penuh perhatian terhadap dirinya, maka sekaligus timbul kegairahan hatinya untuk belajar. Ia lalu melangkah ke depan, kemudian memainkan gerak-gerak langkah yang pernah ia pelajari dari Lauw-pangcu, atau lebih tepat dari Sin Lian karena anak perempuan itulah yang lebih banyak memberi petunjuk-petunjuk kepadanya. Ia sudah siap untuk bersikap sabar apabila murid-murid yang lain akan mentertawakannya karena ia tahu bahwa mereka itu rata-rata, seperti Kim Cu, tentu telah memiliki kepandaian ilmu silat yang tinggi. Akan tetapi ternyata mereka itu tidak ada yang tertawa, hanya memandang penuh perhatian. Setelah selesai mainkan langkah-langkah itu, Han Han kembali duduk di dekat gurunya yang mengangguk-angguk. “Baik sekali. Dasar-dasar langkah yang diajarkan Lauw-pangcu tepat dan memudahkan engkau mempelajari ilmu selanjutnya. Sekarang lanjutkan ceritamu.” “Kemudian muncul Kang-thouw-kwi yang membasmi Pek-lian Kai-pang dan dia memaksa aku ikut pergi bersamanya dan menjadi kacung di gedung Pangeran Ouwyang Cin Kok di Tiong-kwan. Aku dipaksanya melayani semua keperluan dia dan Ouwyang Seng yang berlatih ilmu silat di sana. Sampai setahun lamanya aku menjadi kacung mereka, lalu mereka mengajak aku melakukan perjalanan menuju ke kota raja dan akhirnya bertemu dengan suhu di sini....” “Nanti dulu, Han Han. Selama setahun engkau bekerja kepada Gak Liat. Apakah dia mengajar silat kepadamu?” “Sama sekali tidak, suhu.” “Hemmm, kalau tidak sama sekali, bagaimana engkau bisa melakukan pukulan Hwi-yang Sin-ciang?” “Pukulan Hwi-yang Sin-ciang?” Han Han memandang gurunya yang baru ini penuh keheranan. “Teecu sama sekali tidak mengerti dan tidak bisa....” “Perlihatkan lenganmu” Han Han mengangsurkan kedua lengannya. Ma-bin Lo-mo memegang tangan muridnya ini dan menekan. Rasa dingin menjalar ke dalam tangan Han Han, membuat kedua lengannya menggigil. Makin lama makin dingin dan karena ia merasa tidak tahan, terpaksa ia mengerahkan hawa dari pusarnya untuk melawan hawa dingin ini. Hawa panas yang timbul karena latihan-latihan secara diam-diam di tempat latihan Setan Botak merayap keluar melalui kedua lengannya dan kedua lengan itu menjadi hangat kembali. Ma-bin Lo-mo melepaskan kedua lengan anak itu dan berkata, alisnya berkerut. “Han Han, awas jangan engkau membohong. Apakah engkau minta dihukum?” Ketika kebetulan Han Han mengerling ke arah Kim Cu, ia melihat wajah anak perempuan itu menjadi pucat dan anak itu memberi tanda dengan kedipan mata. “Teecu sama sekali tidak membohong. Memang Setan Botak itu tidak memberi pelajaran apa-apa kepada teecu.” “Dari mana engkau bisa mendapatkan hawa panas yang keluar dari tan-tian di pusarmu?” Wajah yang tadinya ramah dari kakek itu kini menjadi bengis, seperti muka seekor kuda marah. Wajah Han Han menjadi merah karena malu. “Teecu mencurinya dari mendengarkan ajarannya kepada Ouwyang Seng dan secara diam-diam teecu berlatih seorang diri tanpa mereka ketahui.” Anak-anak itu kini tertawa, akan tetapi sama sekali bukan mentertawakannya karena terdengar mereka memuji. Bahkan Kim Cu bersorak, “Bagus sekali” Engkau cerdik sekali, Han Han” Han Han memandang anak-anak itu, hampir tidak percaya dia. Juga gurunya kelihatan girang dan mengangguk-angguk. Bagaimana mereka ini? Mendengar dia mencuri malah dipuji, dan dikatakan cerdik” Agaknya Ma-bin Lo-mo mengerti akan kebingungan muridnya, maka ia berkata, “Kemajuan hanya dapat diperoleh dengan kecerdikan. Untuk memperoleh kemajuan, segala jalan dapat ditempuh, bahkan mencuripun baik saja. Demi tercapainya cita-cita, segala cara boleh digunakan dan tidak ada yang buruk” Anak-anak semua, contohlah perbuatan Han Han yang cerdik” Di dalam hatinya Han Han sama sekali tidak menyetujui pendapat ini, akan tetapi mulutnya tidak membantah. Bahkan ia mulai meragukan pendapatnya sendiri berdasarkan kitab-kitab filsafat yang menyatakan bahwa kalau jalan yang ditempuh buruk, maka hasilnya pun tidak baik. Kalau dia yang benar, mengapa semua murid Ma-bin Lo-mo ini menerima dan menyetujui nasehat guru ini? Betapapun juga, kebenaran pendapat Ma-bin Lo-mo sudah terbukti. Kalau dia tidak mencuri, mana mungkin dia bisa memiliki kekuatan yang timbul dari latihan merendam kedua lengan datam air panas, bahkan membakarnya dalam nyala api tulang-tulang manusia? Han Han masih terlampau kecil untuk dapat yakin akan kebenaran, dan tentu saja anak seusia dia itu mudah terpengaruh keadaan sekelilingnya. Tanpa ia sadari, mulailah pengaruh-pengaruh buruk kaum sesat memasuki hatinya. “Coba ceritakan bagaimana caramu melatih kedua lenganmu di sana,” kata pula Ma-bin Lo-mo dengan suara memerintah. Anak-anak yang lain tidak ada yang bergerak atau mengeluarkan suara, semua mendengarkan dengan penuh perhatian. “Pertama-tama teecu merendam kedua lengan ke dalam air mendidih, yaitu air yang dicampuri obat-obatan dan racun oleh Kang-thouw-kwi, entah racun apa. Mula-mula memang terasa panas, akan tetapi dengan mempertebal tekad dan memperkuat kemauan sambil mengerahkan hawa dari pusar ke arah kedua lengan, akhirnya teecu kuat bertahan sampai semalam suntuk. Kemudian karena teecu disuruh menggodok batu bintang....” Han Han berhenti dan teringat dengan hati menyesal mengapa ia ceritakan ini semua” Ilmu yang dipelajari itu adalah rahasia. Mengapa ia begitu bodoh untuk menceritakan kepada orang lain? Kalau barang rahasia dibuka, tentu saja akan hilang keampuhannya. “Batu bintang? Benar-benarkah Si Botak mempergunakannya? Di mana dia mengumpulkan batu bintang itu?” Ma-bin Lo-mo bertanya penuh perhatian. Han Han tidak dapat mundur lagi. Biarlah kuceritakan sampai pada batu bintang itu saja, pikirnya. “Batu-batu bintang itu didapatkan di sepanjang Sungai Huang-ho di sebelah timur kota Tiong-kwan.” “Lalu bagaimana? Teruskan....” Desakan ini keluar dari mulut para murid Ma-bin Lo-mo yang agaknya ingin sekali tahu bagaimana cara melatih diri untuk mendapatkan Ilmu Pukulan Sakti Inti Api itu. “Diam-diam teecu lalu merendam kedua tangan teecu ke dalam air larutan batu bintang yang mencair setelah digodok berhari-hari lamanya. Panasnya hampir tak tertahan, akan tetapi berkat ketekadan teecu, akhirnya teecu kuat juga. Nah, hanya itulah yang secara diam-diam teecu lakukan, akan tetapi sesungguhnya, teecu tidak pernah mempelajari ilmu pukulan apa-apa dari Kang-thouw-kwi.” “Inilah yang dinamakan bakat dan jodoh” Han Han, engkau berbakat secara ajaib sekali sehingga tanpa bimbingan engkau dapat berhasil melatih Hwi-yang Sin-ciang. Dan engkau berjodoh dengan kami, berjodoh untuk menjadi muridku dan ini merupakan nasib baikmu. Aku akan menyelidiki Hwi-yang Sin-ciang, dan kelak engkau akan membikin Gak Liat kecelik karena kau akan melawannya dengan ilmunya sendiri. Ha-ha-ha, jangan khawatir, aku akan menyempurnakan latihanmu di samping kau mempelajari ilmu ciptaanku. Akan tetapi, untuk itu membutuhkan waktu yang lama dan ketekunan yang luar biasa. Sekarang, engkau harus melakukan kewajiban bersembahyang dan bersumpah, muridku.” “Bersumpah....?” Han Han tertegun dan terheran ketika melihat murid-murid itu tanpa diperintah telah berlari-lari dan mempersiapkan meja sembahyang di ruangan depan pondok. “Semua murid harus menjalankan sumpah,” ia mendengar Kim Cu berkata. Gadis cilik ini membawa sesetel pakaian dan menyerahkannya kepada Han Han. “Untuk sementara kau pakailah dulu pakaian seorang suheng (Kakak Seperguruan) ini sebelum dapat aku buatkan yang baru untukmu. Yang ada hanya warna putih ini. Warna apa yang paling kausukai?” “Putih....” jawab Han Han sekedarnya. Ia tidak ingin memakai pakaian orang lain, akan tetapi karena pakaiannya penuh tambalan dan kotor, dan dia tidak tega untuk menolak kebaikan Kim Cu, ia menerimanya juga. Pula, bukankah ia kini sudah menjadi murid di situ, berarti menjadi seorang di antara anak-anak itu? Masa ia memakai pakaian seperti pengemis? “Lekas kaupakai pakaian itu dan membersihkan diri. Suhu telah menanti untuk upacara pengambilan sumpah. Hayo kuantar, di sana ada air....” Tanpa menanti jawaban, Kim Cu memegang tangan Han han, ditariknya dan diajak berlarian ke belakang puncak. Ternyata di situ terdapat sumber air yang amat sejuk dan jernih sehingga segala batu-batuan di dasarnya tampak jelas dan air itu sendiri agak kehijauan saking jernihnya. “Lekas kau mandi dan tukar pakaian, sute.” Mendengar sebutan sute ini, sejenak Han Han tertegun kemudian ia teringat akan Sin Lian yang juga menyebutnya sute (adik seperguruan). Ia tersenyum dan diam-diam merasa geli hatinya. Ada dua orang gadis cilik yang keduanya lebih muda dari padanya, akan tetapi keduanya adalah sucinya (kakak perempuan seperguruan)” “Eh, kenapa kau tersenyum-senyum dan tidak lekas mandi?” Han Han tertawa. “Engkau.... engkau baik sekali, suci.” “Tentu saja” Bagaimana seorang suci tidak baik kepada sutenya? Kaupun harus baik dan taat kepada sucimu. Nah, hayo lekas mandi dan tukar pakaian bersih.” Han Han mendekati air dan hendak membuka bajunya. Akan tetapi ia melihat betapa Kim Cu masih berdiri di situ menghadapinya dan memandangnya, maka ia melepaskan lagi baju yang sudah ia pegang untuk ditanggalkan. “Eh, suci. Harap jangan memandang ke sini....” “Mengapa sih?” “Malu ah....” Kim Cu mengangkat alisnya, membelalakkan kedua mata kemudian tertawa terkekeh-kekeh, menutup mulut dengan tangan sambil membalikkan tubuh membelakangi Han Han. “Hi-hi-hik, engkau benar-benar orang aneh” Apakah tubuhmu mempunyai cacad maka kau malu untuk ditonton? Lekaslah mandi dan tukar pakaian, aku menanti di sana. Jangan lama-lama karena suhu sudah menunggu” Gadis cilik itu berlarian pergi dan Han Han cepat menanggalkan pakaian lalu membersihkan tubuh dengan pikiran melayang-layang. Benar aneh. Apakah bagi anak-anak di situ, bertelanjang di depan orang lain bukan merupakan hal yang membuat malu? Ia tidak mau mempedulikan hal itu lebih lanjut, melainkan cepat ia mandi. Air itu dingin sekali, membuatnya menggigil, akan tetapi seperti biasa, berkat kekuatan kemauannya yang luar biasa, secara otomatis timbul hawa dari pusarnya melawan rasa dingin sehingga tubuhnya tidak menggigil lagi, bahkan terasa sejuk dan segar. Setelah cepat-cepat berpakaian dengan warna putih yang bersih dan masih baru, memakai pula sepatu yang disediakan oleh Kim Cu, Han Han merasa seolah-olah menjadi orang baru. Di dalam saku baju itu ia menemukan sebuah pita rambut, maka setelah memeras rambutnya sampai kering, ia lalu mengikat rambutnya di atas kepala dan ketika pemuda tanggung ini kembali ke pondok, semua murid Ma-bin Lo-mo memandangnya dengan mata berseri dan kagum. Apalagi Kim Cu. Nona cilik ini menyambutnya dengan kata-kata memuji. “Sute, engkau benar-benar tampan dan gagah” Dipuji secara begitu terbuka di depan banyak anak-anak, wajah Han Han menjadi merah. Ma-bin Lo-mo tertawa dan memanggilnya dari belakang meja sembahyang. “Han Han, muridku, lekas engkau menyalakan sembilan batang hio dan bersembahyang, kemudian berlutut di depan meja sembahyang untuk bersumpah menirukan semua kata-kataku.” “Baik, suhu.” Han Han menghampiri meja sembahyang, ditonton semua murid di situ. Sambil menyalakan sembilan batang hio, ia mengangkat muka memandang. Di atas meja sembahyang itu terdapat arca setengah badan, arca seorang kakek tua yang wajahnya keren, hidungnya agak bengkok seperti hidung burung. Wajah yang tampan dan gagah akan tetapi membayangkan kekejaman. “Arca siapakah itu....?” Ia berbisik, akan tetapi gurunya tidak menjawab, dan sebaliknya ia mendengar suara Kim Cu di sebelah kanan. “Jangan banyak bertanya. Itu arca Suma-couwsu (Kakek Guru she Suma)....” Hemmm, arca itu tentulah arca guru Ma-bin Lo-mo atau kakek guru yang dipuja-puja di tempat itu. Ia tidak peduli lalu mulai bersembayang, mengacung-acungkan dupa bernyala itu dengan sikap hormat, kemudian menancapkan hio (dupa) itu di atas tempat dupa dan menjatuhkan diri berlutut dengan kedua tangan terkepal di depan dada. Pada saat itu, terdengar suara Ma-bin Lo-mo yang ditujukan kepadanya. “Murid baru Sie Han, sekarang bersumpahlah dan meniru semua kata-kataku.” “Baiklah, suhu. Teecu siap,” jawab Han Han, bulu tengkuknya meremang juga karena suasana hening itu menyeramkan, dengan asap hio mengepul dan berbau harum, ditambah suara Ma-bin Lo-mo yang terdengar parau mengandung getaran penuh kesungguhan. Maka bersumpahlah Han Han, tidak sepenuh hatinya karena ia hanya menirukan ucapan Ma-bin Lo-mo, dia bukan bersumpah secara suka rela, hanya untuk syarat paksaan. “Teecu Sie Han bersumpah di hadapan Couwsu yang mulia bahwa mulai saat ini teecu menjadi murid Suhu Siangkoan Lee dan berjanji akan belajar dengan tekun dan rajin, mematuhi segala perintah dan larangan suhu, siap untuk menerima hukuman apa pun juga jika teecu melakukan pelanggaran. Mulai saat ini, teecu menyerahkan jiwa raga ke tangan Suhu Siangkoan Lee yang akan menurunkan ilmu-ilmu warisan dari Couwsu yang mulia. Ilmu-ilmu itu kelak akan teecu pergunakan untuk mengangkat tinggi nama besar Couwsu dan nama besar suhu, untuk mengusir penjajah dari tanah air dan untuk melaksanakan segala perintah suhu.” Di dalam hatinya, Han Han amat tidak setuju dengan isi sumpahnya itu. Tentang ketaatan dan hukuman ia dapat menerimanya, akan tetapi mengapa setelah tamat belajar, cita-citanya hanya mengusir penjajah dan mengangkat tinggi nama guru? Mengapa tidak disebut-sebut tentang kewajiban para pendekar yang membela dan mempertahankan keadilan dan kebenaran, membela orang-orang tertindas dan menentang pihak yang sewenang-wenang? Akan tetapi agaknya Ma-bin Lo-mo memiliki ilmu untuk menjenguk isi hati orang, demikian pikir Han Han, karena kakek itu lalu mengajak mereka duduk di lapangan di luar pondok kemudian berkata. “Han Han, dan semua muridku. Jangan kalian mudah disesatkan oleh pendapat orang-orang yang menyebut diri pendekar-pendekar kang-ouw bahwa seorang yang berkepandaian berkewajiban untuk membasmi orang jahat dan membela orang benar. Karena, jahat dan baik atau benar itu merupakan pendapat prihadi yang sering kali menyesatkan” Yang penting bagi kita adalah kita sendiri” Tunjukkanlah setiap tindakan kalian untuk kepentingan dan keuntungan diri sendiri. Manusia adalah mahluk yang paling tidak mengenal budi, sehingga akan percuma belaka kalau kalian menggunakan kepandaian demi orang lain. Keliru sama sekali” Yang penting adalah diri kita sendiri dan demi tercapainya cita-cita kita, yaitu mengusir penjajah dan membentuk pemerintah bangsa sendiri dengan kita sebagai tokoh-tokoh pimpinan” Kembali timbul keraguan di dalam hati Han Han akan segala yang pernah dibacanya tentang syarat-syarat menjadi seorang budiman dan gagah, karena ia melihat semua murid mengangguk-angguk dengan wajah berseri, dan ia pun merasa bahwa yang terpenting di atas segalanya memang diri sendiri lebih dahulu. Buktinya, dia sudah banyak mengalami penghinaan dan kesengsaraan, tidak ada orang yang membelanya. Kalau dia tidak membela diri sendiri, tentu selamanya ia akan hidup terhina dan sengsara seperti itu. Pula, kalau dia tidak berkepandaian tinggi bagaimana ia akan dapat mengusir penjajah dan terutama sekali, menghancurkan tujuh perwira terutama perwira muka brewok dan muka kuning bangsa Mancu yang telah membasmi semua keluarganya? “Han Han, sebagai murid baru kini engkau mendapat kesempatan untuk bertanya. Tanyakantah apa yang perlu kau ketahui, dan jangan sembunyi-sembunyikan perasaan. Segala pertanyaanmu akan kujawab,” kata Ma-bin Lo-mo. Sampai lama Han Han memandang gurunya yang baru ini. Sukar baginya untuk menilai kakek yang bermuka kuda ini, karena muka itu tidak membayangkan sesuatu kecuali keanehan. Ia tidak tahu apakah gurunya ini jahat dan keji seperti Setan Botak, ataukah baik dan gagah seperti Lauw-pangcu. Betapapun juga, ia tahu bahwa gurunya ini amat lihai, dan pribadi suhunya diliputi banyak keanehan. Ingin ia mengetahui riwayat gurunya. Karena itu tanpa ragu-ragu lagi ia lalu bertanya. “Hanya ada sebuah pertanyaan teecu. Yaitu, siapakah suhu ini, bagaimana riwayat suhu dan siapa pula Couwsu yang kita puja-puja itu?” Terdengar seruan-seruan heran di antara murid-murid yang berada di situ. Semua murid ketika diterima selalu diberi kesempatan bertanya, akan tetapi mereka semua menanyakan tentang ilmu silat. Baru sekali ini ada murid baru yang datang-datang bertanya tentang riwayat gurunya dan riwayat Couwsu yang amat dihormati itu” Kim Cu memandang gurunya dengan wajah khawatir, karena ia takut kalau-kalau gurunya akan marah dan semua murid maklum betapa akan hebat akibatnya kalau guru itu marah. Akan tetapi aneh. Ma-bin Lo-mo malah tertawa dan suara ketawanya persis kuda yang meringkik-ringkik. Para murid lainnya tidak ada yang merasa heran, akan tetapi Han Han kembali memandang suhunya dengan mata terbelalak. Memang gurunya ini seorang aneh, lebih aneh daripada Setan Botak. “Pertanyaan yang aneh, akan tetapi sudah semestinya kalau murid-muridku mengenal siapa sesungguhnya guru mereka, terutama sekali Couwsu mereka. Dengarlah baik-baik, murid-muridku, karena sesungguhnya kalian adalah murid-murid dari orang yang bukan sembarangan” Couwsu kalian yang kita puja-puja itu adalah keturunan pangeran, nama lengkapnya adalah Suma Kiat. Ilmu silatnya tinggi bukan main, seperti dewa” Murid-muridnya hanya dua orang, yaitu aku sendiri dan suhengku yang bernama Suma Hoat, puteranya sendiri, putera tunggalnya. Betapapun tekun dan rajin aku belajar, namun dibandingkan dengan supekmu (Uwa Gurumu) Suma Hoat itu, aku masih kalah jauh” Kakek itu menarik napas panjang seolah-olah ceritanya mengingatkan dia akan masa lalu dan membuatnya termenung sejenak. “Di manakah supek itu sekarang, suhu?” tanya Kim Cu dengan suara penuh kagum. “Entahlah, sudah dua puluh tahun lebih aku tidak pernah bertemu dengannya, bahkan tidak pula mendengar namanya. Dia seorang yang suka sekali merantau, seorang petualang tulen yang ingin menikmati hidup ini sebanyak mungkin. Yang terakhir aku bersama supek kalian itu pergi mencari kakek sakti Koai-lojin untuk mohon bagian ilmu-ilmu yang beliau bagi-bagikan. Aku mendapat dasar-dasar Im-kang sehingga dapat kuciptakan Swat-im Sin-ciang, dan pada saat yang sama Kang-thouw-kwi Gak Liat mendapatkan dasar Yang-kang sehingga ia menciptakan pukulan Hwi-yang Sin-ciang. Adapun supek kalian itu mendapatkan lebih banyak lagi. Entah mengapa, agaknya Koai-lojin kakek sakti itu menaruh kasih sayang kepada supek kalian. Ilmunya menjadi amat tinggi dan sampai lama dia menjagoi di antara semua tokoh kang-ouw. Dia banyak melakukan hal-hal menggemparkan sehingga dimusuhi tokoh-tokoh kang-ouw, akan tetapi memang itulah sebuah di antara kesukaannya, yaitu berkelahi” Semua murid, termasuk, Han Han, mendengarkan dengan kagum. “Dan suhu sendiri?” tanya Han Han. Aku membantu sukong kalian, kemudian memperoleh kedudukan. Akan tetapi, mungkin karena petualangan supek kalian, atau juga karena kedudukan tinggi dan kepandaian sukong kalian menarik banyak orang gagah menjadi iri dan memusuhinya, sukong kalian banyak dimusuhi orang kang-ouw. Termasuk aku sebagai muridnya yang setia. Namun sukong kalian dan aku selalu mempertahankan diri dan selalu berhasil menghalau mereka yang datang memusuhi kami. Akhirnya, setelah sukong kalian meninggal dunia, aku tidak mau menghadapi sekian banyaknya musuh seorang diri, apalagi karena supek kalian yang dapat diandalkan telah pergi merantau entah ke mana. Aku lalu meninggalkan kedudukanku sebagas pembesar tinggi, merantau pula dan akhirnya aku tinggal di sini, apalagi setelah Kerajaan Beng-tiauw digulingkan oleh bangsa Mancu. Aku ingin menentang Mancu, akan tetapi sendirian saja mana mungkin berhasil? Banyak tokoh-tokoh besar, seperti Gak Liat itu, rela dijadikan penjilat penjajah. Aku tidak sudi dan aku lalu mengumpulkan kalian murid-muridku yang keluarganya telah dibasmi orang Mancu untuk kuwarisi kepandaianku agar kelak dapat menjadi patriot-patriot yang perkasa” Cerita itu jelas merupakan singkatan saja. Masih banyak hal-hal yang tersembunyi dan tidak diceritakan oleh Ma-bin Lo-mo. Namun yang ia ceritakan adalah bagian-bagian yang baik sehingga para murid menjadi kagum dan bangkit semangat mereka untuk belajar lebih tekun agar kelak dapat berjuang mengusir penjajah yang tidak saja sudah menjajah negara dan bangsa, juga telah membasmi keluarga mereka. Mulai hari itu Han Han menjadi murid di In-kok-san dan belajar ilmu silat. Mula-mula, ketika menerima pelajaran-pelajaran pokok, ia berlatih dengan tekun. Akan tetapi setahun kemudian, ia merasa bosan karena pelajaran yang diberikan hanya itu-itu saja dan diulang-ulang kembali. Memang benar bahwa kini ia selalu memakai pakaian baik, makan pun tidak pernah kekurangan, banyak teman dan setiap hari berlatih ilmu silat. Akan tetapi diam-diam Han Han menjadi bosan dan ingin sekali ia bebas seperti dahulu. Hidup menjadi murid Ma-bin Lo-mo merupakan hidup yang telah diatur dan seolah-olah ia telah dapat melihat bagaimana kelak jadinya dengan dirinya kalau ia berada di situ terus. Ia melihat dirinya seolah-olah logam yang digembleng dan dibentuk oleh Ma-bin Lo-mo” Dan dia tidak suka dirinya dibentuk seperti baja. Tidak suka dia hidupnya diatur oleh orang lain, menjadi dewasa menurut kehendak dan bentuka Ma-bin Lo-mo. Ia ingin bebas” Di antara murid-murid di situ, dia merupakan murid termuda, bukan muda usia melainkan muda karena dialah orang terbaru. Maka lima orang murid perempuan di situ adalah suci-sucinya, dan murid-murid laki-laki adalah suheng-suhengnya. Di antara mereka, hanya ada tiga orang murid yang paling ia sukai, dan yang merupakan sahabat-sihabatnya. Pertama tentu saja adalah Kim Cu yang selalu bersikap manis kepadanya. Ke dua adalah seorang suci lain yang usianya sebaya dengan Kim Cu, namanya Phoa Ciok Lin, juga seorang anak yatim-piatu yang orang tuanya dibunuh orang-orang Mancu. Ke tiga adalah seorang suheng, usianya baru sebelas tahun, setahun lebih muda daripada Han Han, namanya Gu Lai Kwan, seorang anak yang selalu gembira, penuh keberanian dan pandai bicara. Dengan tiga orang anak-anak inilah Han Han sering kali bermain-main dan berlatih. Akan tetapi sering kali, kalau Kim Cu yang lebih pandai daripada mereka, berlatih dengan Ciok Lin atau dengan Lai Kwan, Han Han termenung seorang diri, disiksa rasa rindunya akan kebebasan. Ia ingin merantau, ingin melihat kota raja. Cerita tentang supek mereka amat menarik hatinya. Ia ingin seperti supeknya itu, tukang merantau, petualang dan menikmati hidup sebanyak mungkin. Teringat ia akan bunyi sajak yang menganggap bahwa hidup ini laksana anggur, dan selagi hidup sebaiknya meneguk anggur sebanyaknya, sekenyangnya dan sepuasnya” Sering kali ia termenung dan kalau sudah demikian, Kim Cu yang selalu mendekatinya dan menegur serta menghiburnya. Kim Cu merupakan satu-satunya kawan yang agaknya mengenal keadaannya. “Kenapa kau murung selalu, sute?” pada suatu petang setelah mengaso dari berlatih, Kim Cu bertanya. Mereka duduk di bawah pohon dan Kim Cu menyusuti peluh yang membasahi leher dan dahinya. Tidak apa-apa, suci. Hanya.... ah, aku kepingin sekali berjalan-jalan keluar, turun gunung agar melihat pemandang lain. Bosan rasanya terus-menerus begini, sudah setahun lamanya....” “Tunggulah sebulan lagi, sute. Pada hari raya Sin-cia (Musim Semi atau lebih terkenal dengan istilah Tahun Baru Imlek), biasanya Suhu memperkenankan kita untuk turun gunung selama beberapa hari.” “Syukurlah kalau begitu. Kim-suci, senangkah engkau di sini?” Gadis cilik yang kini berusia dua belas tahun itu memandang wajah sutenya yang lebih tua setahun dari padanya, lalu tersenyum manis. “Mengapa tidak senang, sute? Habis ke mana lagi kalau tidak di sini? Aku.... sudah tidak mempunyai keluarga searang pun.” “Suci, engkau telah mendengar riwayatku, akan tetapi aku belum pernah mendengar riwayatmu. Maukah kau menceritakan riwayatmu kepadaku?” “Apakah yang dapat aku ceritakan? Ayah bundaku tinggal di utara, di sebuah dusun dekat kota raja. Kami diserbu orang-orang mancu, ayah bundaku dan tiga orang kakakku dibunuh semua. Aku ditolong suhu dan dibawa ke sini semenjak aku berusia delapan tahun, empat tahun yang lalu. Nah, hanya itulah yang kuingat.” “Dan semua suci dan suheng itu, apakah mereka itu juga yatim-piatu?” “Benar.” “Dan semua ditolong suhu?” “Begitulah, hanya engkau seorang yang tidak. Karena itu engkau murid istimewa. Menurut suhu, kelak engkau yang paling hebat di antara kita.” “Wah, jangan memuji, suci.” “Sesungguhnyalah, sute.” Dengan sikap ramah Kim Cu memegang tangan Han han. “Ada sesuatu yang aneh pada dirimu. Engkau belum pandai silat namun engkau memiliki tenaga sakti Hwi-yang Sin-ciang. Engkau amat kuat dan pandai akan tetapi engkau selalu menyangkal dan selalu merendahkan diri. Engkau hebat, sute.” Muka Han Han menjadi merah dan ia menarik tangannya. Jantungnya berdebar dan ia membenci diri sendiri mengapa ia menjadi begitu girang mendengar pujian Kim Cu. Untuk mengalihkan percakapan, ia cepat bertanya. “Tiga orang suheng yang cacad itu, apakah mereka menjadi korban orang-orang Mancu?” “Ah, belum tahukah engkau? Tidak, mereka itu adalah murid-murid yang mengalami hukuman.” “Hukuman? Siapa yang menghukum mereka?” “Siapa lagi kalau bukan suhu? Kumaksudkan, suhu yang menjatuhkan hukuman, tentu saja murid-murid lain yang melaksanakannya. Siauw-sute itu, yang kedua telinganya buntung, dijatuhi hukuman potong kedua daun telinga karena dia berani melanggar larangan dan mendengarkan suhu ketika suhu bercakap-cakap di dalam pondoknya dengan seorang tamu, sababat suhu.” “Wah....” Han Han juga tahu akan larangan mendengarkan atau mengintai suhu mereka kalau sedang berada di pondok. “Siapa yang melaksanakan?” “Aku.” “Hah....?” Han Han memandang sucinya dengan mata terbelalak. Kim Cu tersenyum geli. “Mengapa?” “Kau.... kau tega melakukan itu....? Kau.... mengapa begitu kejam....?” Kim Cu menggeleng kepala. “Sama sekali tidak, sute. Aku hanya mentaati perintah suhu dan syarat utama seorang murid harus taat kepada gurunya. Pula, aku melakukan hal itu sama sekali bukan karena kejam atau tidak tega, melainkan sebagai pelaksanaan hukuman yang harus diterima oleh Siauw-sute. Setelah membuntungi kedua daun telinganya, aku pula yang merawatnya sampai sembuh.” “Dia.... tidak mendendam kepadamu?” “Ah, tidak sama sekali. Dia mengerti bahwa dia harus menjalani hukuman itu.” “Dan.... yang lengannya buntung?” “Kwi-suheng? Dia telah mencuri baca kitab milik suhu tanpa ijin. Hal itu dianggap mencuri dan karena lengannya yang mencuri kitab, maka lengannya dibuntungkan.” Yang buntung kakinya?” “Lai-suheng? Dia hendak minggat, tertangkap dan karena kakinya yang melarikan diri, maka sebelah kakinya dibuntungkan.” Han Han bergidik. Kim Cu berkata lagi, “Akan tetapi cacad mereka tidak menjadi halangan karena suhu tidak membenci mereka, malah mengajarkan ilmu yang khusus untuk mereka. Kami semua diajar ilmu-ilmu yang khusus disesuaikan dengan keadaan dan bakat kita. Ilmu silat dasar memang sama, akan tetapi perkembangannya berlainan. Suhu memiliki ilmu-ilmu yang amat banyak.” “Hemmm...., sungguh ganjil. Tamu tadi, yang bicara dengan suhu di pondok, siapakah dia? Sudah setahun aku tidak pernah melihat ada tamu datang.” Kini Kim Cu memandang ke kanan kiri, kelihatannya jerih dan takut. “Tamu itu seorang manusia yang hebat, dan ilmunya kata suhu melampaui tingkat suhu. Dia itu adalah Ibu Guru dari suhu....” “Apa....? Suhu masih mempunyai Ibu Guru? Kalau begitu, dia isteri Suma-sukong itu....?” Kim Cu mengangguk. “Tidak ada yang tahu jelas. Pernah dalam keadaan mabuk suhu bercerita bahwa sukong mempunyai banyak sekali isteri dan agaknya Ibu Guru yang ini adalah isteri yang paling muda. Lihainya bukan main, bahkan suhu amat takut kepadanya. Suhu masih mencinta kita dan melakukan hukuman berdasarkan pelanggaran. Kalau Sian-kouw itu....” “Kau menyebutnya Sian-kouw (Ibu Dewi)?” Kim Cu mengangguk dan menelan ludah, agaknya hatinya tegang membicarakan wanita itu. “Kita para murid suhu diharuskan taat kepadanya dan menyebutnya Sian-kouw. Namanya tak pernah disebut suhu, akan tetapi julukannya adalah Toat-beng Ciu-sian-li (Dewi Arak Pencabut Nyawa).” Han Han bergidik. “Mengapa Ciu-sian-li (Dewi Arak)?” “Ke mana-mana dia membawa guci arak dan hampir selalu mabuk. Akan tetapi makin mabuk makin lihai dia. Sudahlah, sute, tidak baik kita bicara tentang Sian-kouw....” Kalau begitu kita bicara tentang tokoh-tokoh lain, suci. Ceritakanlah kepadaku tentang tokoh-tokoh besar dunia kang-ouw. Aku ingin sekali mendengar dan aku suka mendengar akan petualangan mereka, terutama sekali supek yang disebut-sebut oleh suhu, putera dari sukong itu.” “Banyak sekali tokoh-tokoh besar yang pernah diceritakan suhu kepada kami. Mengenai tokoh-tokoh yang dikenal suhu, kiraku Sian-kouw itulah yang paling lihai ilmunya. Menurut suhu, Sian-kouw banyak mewarisi ilmu silat sukong. Akan tetapi, tokoh-tokoh besar yang penuh rahasia dan amat aneh, yang tidak pernah dikenal suhu namun sudah terkenal namanya di jaman dahulu, banyak sekali.” “Seperti Koai-lojin (Kakek Aneh) yang pernah disebut suhu dahulu? Yang suka membagi-bagi ilmu?” Kim Cu mengangguk. “Benar, dialah merupakan orang pertama yang agaknya menduduki tempat paling atas dari segala golongan. Baik golongan yang menyebut dirinya golongan bersih maupun golongan yang disebut golongan sesat.” “Kita ini masuk golongan mana?” Kim Cu tersenyum. Manis sekali kalau gadis itu tersenyum, pikir Han Han dan tiba-tiba kedua pipinya menjadi merah ketika ia sadar bahwa perasaannya ini benar-benar tidak sopan dan tidak patut” “Kita ini golongan sesat, begitulah menurut pendapat dunia kang-ouw seperti yang diceritakan suhu. Akan tetapi, apa artinya sebutan-sebutan itu? Tentu mereka yang tidak suka kepada golongan kita yang menyebutnya sesat. Apakah artinya sesat? Dan siapa yang tidak sesat?” Han Han menjadi bingung. “Ceritakanlah tentang Koai-lojin itu, suci.” “Dia itu, menurut suhu, merupakan manusia dewa yang tak diketahui tempat tinggalnya oleh siapa pun. Juga usianya tidak ada yang tahu, mungkin dua ratus tahun, mungkin lebih atau kurang. Tingkat kepandaiannya pun tidak ada yang dapat mengukurnya, akan tetapi seluruh tokoh tingkat tinggi masih membutuhkan ilmu darinya. Juga tidak ada yang tahu dia itu sekarang sudah mati ataukah masih hidup. Sejak dahulu, semua tokoh besar selalu mencari-carinya, termasuk suhu sendiri. Namun tak pernah ada yang berhasil.” “Seperti dongeng saja....” kata Han Han kagum. “Memang seperti dongeng, dan bukan hanya nama Koai-lojin itu saja pernah didongengkan suhu. Menurut suhu, dunia kang-ouw pada jaman sukong masih muda, lebih seratus tahun yang lalu, atau bahkan dua ratus tahun yang lalu, memang seperti dongeng karena, menurut suhu pada waktu itu hidup tokoh-tokoh yang memiliki ilmu kepandaian silat seperti dewa saja” Suma-sukong sudah hebat kepandaiannya, akan tetapi Ayah Sukong kabarnya lebih luar biasa lagi dan tokoh-tokoh di jaman itu malah banyak yang memiliki ilmu silat aneh-aneh. Yang amat terkenal kabarnya adalah pendekar sakti Suling Emas yang kabarnya menerima ilmu-ilmunya dari manusia dewa Bu Kek Siansu” “Manusia Dewa? Namanya Bu Kek Siansu? Mengapa disebut manusia dewa?” “Entahlah. Siapa tahu? Menurut dongeng suhu, ada yang mengabarkan bahwa Koai-lojin kakek aneh itu pun menerima ilmu-ilmu dari manusia dewa itu. Masih ada lagi nama-nama tokoh besar dalam dongeng, seperti pendekar wanita sakti Mutiara Hitam yang sesungguhnya adalah Puteri Ratu Khitan. Antara Mutiara Hitam dan Suling Emas ini masih ada pertalian hubungan keluarga yang dekat, entah bagaimana. Akan tetapi menurut suhu, keluarga Suling Emas ini amat hebat dan menurunkan orang-orang yang sukar dilawan. Suma-sukong yang berkepandaian seperti dewa itu pun masih ada hubungan keluarga, entah bagaimana dengan Pendekar sakti Suling Emas.” Han Han mendengarkan penuh kekaguman dan melamun. Di dunia ini banyak terdapat orang-orang pandai seperti itu. Kalau dia hanya bersembunyi di In-kok-san saja, mana mungkin ia bertemu dengan orang-orang pandai yang kepandaiannya melebihi tingkat Setan Botak atau Setan Muka Kuda yang kini menjadi gurunya? “Heiiii, sute dan sumoi, kenapa kalian enak mengobrol saja? Hayo kita berlatih” Terdengar seruan Lai Kwan yang datang berlari-lari sambil bergandengan tangan dengan Ciok Lin, menghampiri Kim Cu dan Han Han. Dua orang anak ini lalu menjatuhkan diri duduk di atas rumput dengan muka berseri. “Sie Han sute bertanya tentang Suma-sukong dan tokoh-tokoh aneh dalam dongeng yang diceritakan suhu,” kata Kim Cu. Gu Lai Kwan yang berwatak gembira itu tertawa bergelak dan menepuk-nepuk pundak Han Han. “Eh, sute, apakah engkau ingin menjadi seorang yang sakti seperti Suma-sukong? Mana mungkin? Ilmu kepandaian suhu tentu saja kurang cukup mengajarmu menjadi seorang sakti seperti Suma-sukong” “Agaknya baru mungkin kalau engkau mendapat hadiah ilmu-ilmu dari Koai-lojin, sute,” Kim Cu ikut pula menggoda. “Atau ketemu dengan manusia dewa Bu Kek Siansu” “Ha-ha-ha” Lai Kwan tertawa terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya. “Untuk bertemu dengan dewa-dewa dalam dongeng itu, agaknya sute harus berangkat ke nirwana, karena mereka kini tentu telah berada di sana.” Han Han diam saja dan akhirnya Kim Cu yang menaruh kasihan, menarik tangannya dan berkata menghibur, “Sudahlah, sute. Kalau kita belajar dengan tekun di bawah bimbingan suhu, kelak pun kita akan dapat menjadi orang-orang gagah. Siapa orangnya yang tidak ingin menjadi sakti seperti Suma-sukong? Akan tetapi pada jaman ini kiranya tidak akan ada orangnya yang dapat mengajar kita....” Tiba-tiba terdengar suara ketawa terkekeh yang sekaligus membuat ucapan Kim Cu terputus. “Hih-hih-hih-he-he-he” Dua pasang anak-anak yang elok dan bersemangat” Kalian ingin menjadi seperti Suma Kiat? Akulah orangnya yang akan dapat membimbing kalian menjadi selihai dia, dan mulai saat ini kalian berempat menjadi muridku” Empat orang anak itu cepat membalikkan tubuh dan kiranya di depan mereka telah berdiri seorang nenek yang amat aneh. Begitu melihat nenek ini, Kim Cu, Ciok Lin dan Lai Kwan cepat-cepat menjatuhkan diri, berlutut dan mengangguk-angguk penuh hormat sambil menyebut, “Sian-kouw....” Kim Cu menarik kaki Han Han dan anak ini pun cepat menjatuhkan diri berlutut di samping Kim Cu. Han Han tadi terkejut mendengar sebutan tiga orang temannya, dan dari bawah ia mengerling ke atas penuh perhatian. Nenek itu benar-benar amat aneh dan menyeramkan. Melihat wajahnya yang kurus penuh keriput, masih dapat diduga bahwa dahulunya dia tentu seorang wanita cantik sekali. Kini muka itu penuh keriput, rambutnya sudah putih semua terurai ke belakang dan disisir rapi, mukanya bersih dan diselimuti bedak putih, mulut yang tak bergigi lagi itu kelihatan tersenyum selalu, senyum mengejek dan memikat. Yang hebat adalah kedua telinganya. Kedua telinga ini dihias dengan rantai besar dari perak, yang kanan agak pendek terdiri dari sembilan lingkaran mata rantai, yang kiri dua kali lebih panjang. Mata rantainya besar-besar seperti gelang tangan dan setiap kali kepalanya bergoyang, terdengarlah suara gemerincing yang amat nyaring. Tubuhnya yang kecil langsing itu masih seperti tubuh wanita muda, memakai pakaian dari sutera yang mahal dan mewah sungguhpun potongannya ketinggalan jaman. Di tangan kanannya tampak sebuah guci arak yang mengeluarkan bau harum dan amat keras. Muka yang putih keriputan itu agak merah di kedua pipi dan di pinggir mata, tanda bahwa nenek itu dalam keadaan terpengaruh hawa arak” “Hi-hi-hik, aku suka mendengar semangat kalian” Aku akan mengajar kalian menjadi seperti Suma Kiat” Hi-hik, yang dua laki-laki akan menjadi seperti Suma Kiat, dan yang dua perempuan akan menjadi seperti aku di waktu muda. Hebat” Tiba-tiba nenek itu lalu berpaling ke arah pondok dan suaranya melengking nyaring, “Heiiiii, Siangkoan Lee....” Ke sinilah kamu....” Ketika berseru memanggil ini, sikap Si Nenek Tua seperti seorang puteri memanggil hambanya, kemudian ia menenggak araknya dari guci arak, caranya minum arak dengan menggelogok begitu saja dan kasar sehingga ada dua tiga tetes arak tumpah dari ujung bibirnya. “Teecu datang menghadap....” Suara ini bergema dan datangnya dari arah pondok disusul berkelebatnya bayangan dan tahu-tahu Ma-bin Lo-mo sudah berada di situ, berdiri membungkuk penuh hormat kepada nenek tua itu. “Harap Sian-kouw sudi maafkan, karena tidak tahu akan kedatangan Sian-kouw, maka teecu terlambat menyambut.” Sikap dan kata-kata Si Muka Kuda benar- benar amat menghormat, seperti seorang murid terhadap ibu gurunya. Hal ini saja sudah menjadi bukti bagi Han Han yang amat memperhatikan sejak tadi bahwa nenek aneh ini tentu memiliki ilmu kepandaian yang hebat, jauh lebih hebat daripada kepandaian Si Muka Kuda. Teringat ia akan cerita Kim Cu bahwa nenek ini berjuluk Toat-beng Ciu-sian-li (Dewa Arak Pencabut Nyawa)” “Siangkoan Lee, aku datang untuk memberitahukan hal penting kepadamu. Akan tetapi lebih dulu aku beritahukan bahwa empat orang anak ini, dua pasang yang elok, mulai saat ini menjadi murid-muridku dan aku sendiri yang akan mendidik mereka menjadi Suma Kiat kecil dan Bu Ci Goat kecil” Ma-bin Lo-mo mengangguk. “Terserah kepada Sian-kouw dan hal itu hanya berarti bahwa nasib mereka ini amatlah baik.” “Karena mereka telah menjadi murid-muridku yang akan kudidik dan latih di tempatmu ini, maka mereka bukan orang lain dan biar mereka ikut mendengarkan. Siangkoan Lee, engkau harus cepat-cepat bersiap karena kini pemerintah Boan (Mancu) sudah mulai berusaha mencari Pulau Es. Celakalah kalau sampai kita kedahuluan mereka” Semua orang gagah juga sudah sibuk dan sudah dimulai lagi perlombaan mencari Pulau Es yang sudah puluhan tahun dianggap lenyap dari permukaan laut itu.” Ma-bin Lo-mo mengerutkan keningnya dan wajahnya berubah keruh. “Ah, apa saja yang tidak dilakukan anjing-anjing penjajah itu” Dan sudah tentu Gak Liat Si Setan Botak itu menjadi pelopor, menjadi anjing penjilat penjajah.” “Soal Gak Liat mudah saja. Kalau aku turun tangan, apakah dia masih berani banyak cakap lagi? Yang penting sekarang engkau harus dapat meneliti gerak mereka. Pemerintah baru ini telah membangun sebuah kapal besar. Maka engkau cepat pergilah melakukan persiapan, mencari anak buah dan mengusahakan sebuah perahu besar. Kalau mungkin supaya dapat mulai bekerja sehabis musim semi, jadi paling lama dua bulan lagi.” Ma-bin Lo-mo mengangguk-angguk. “Sudahlah, kau boleh membuat persiapan dan aku akan mulai mengajar kouw-koat (teori silat) kepada empat muridku yang tampan-tampan dan manis-manis. Pondok terbesar untuk aku dan murid-muridku” kata pula Si Nenek. Ma-bin Lo-mo kembali mengangguk-angguk lalu berkelebat pergi. Nenek itu lalu melangkah ke arah pondok besar sambil memberi isyarat dengan lirikan mata dan senyum yang dahulunya, puluhan tahun yang lalu, tentu akan amat manis tampaknya, akan tetapi sekarang kelihatan menyeramkan seperti kalau orang melihat seorang gila tersenyum-senyum. Empat orang anak itu saling pandag, kemudian Kim Cu yang agaknya paling tabah, juga di antara mereka berempat dialah murid yang tertua dalam kedudukan, memberi tanda dengan anggukan kepala. Tiga orang adik seperguruannya lalu bangkit dan bersama dia mengkuti nenek itu memasuki pondok. “Kalian semua sudah pernah disumpah, bukan?” tanya nenek ini setelah dia duduk di atas pembaringan di dalam pondok, sedangkan empat orang muridnya itu berlutut di atas lantai. Empat orang anak itu mengangguk. “Syarat-syarat dan hukum-hukumnya tidak berubah, hanya kini akulah guru kalian dan aku pula yang akan menjalankan keputusan hukum terhadap setiap pelanggaran. Biarpun kalian menjadi muridku, namun kalian harus tetap menyebut Sian-kouw dan kelak tidak ada yang boleh menyebut namaku sebagai guru. Pelanggaran ini akan dihukum dengan pemenggalan kepala. Tahu?” Empat orang anak itu mengangguk-angguk kembali akan tetapi di hatinya Han Han mengomel. Guru macam apa ini? Tidak mau diaku sebagai guru. Mana pertanggungan jawabnya? Timbullah rasa tidak suka di hatinya, akan tetapi karena ia tahu bahwa nenek itu lihai sekali dan dia mulai suka mempelaiari ilmu-ilmu yang aneh-aneh seperti tokoh-tokoh dalam dongeng yang ia dengar dari Kim Cu, maka ia pun menyimpan saja perasaan tak senang itu dalam hatinya. “Gerak silat boleh kalian latih terus seperti yang telah kalian pelajari dari Siangkoan Lee. Yang penting, aku akan mengajarkan kalian menghimpun sin-kang, karena dengan kuatnya sin-kang di tubuh, maka kalian akan dapat melatih segala macam ilmu silat dengan mudah. Lihatlah aku” Aku sudah berusia seratus delapan puluh tahun paling sedikit” Akan tetapi lihat wajahku. Masih muda dan cantik, bukan?” Nenek itu menggoyang-goyang muka ke kanan kiri agar murid-muridnya dapat melihat mukanya dari berbagai jurusan. Kemudian ia bangkit berdiri di atas pembaringan sambil bertolak pinggang dan menggoyang-goyang pinggangnya ke kanan kiri sambil berkata, “Lihat pula tubuhku. Masih seperti seorang dara remaja, bukan? Nah, inilah berkat kekuatan sin-kang yang hebat” Ia duduk kembali. Han Han tertawa geli di dalam hatinya. Celaka, pikirnya, biarpun lihai, kiranya guru yang baru ini seorang yang miring otaknya” “Golongan kami mengutamakan Im-kang, karena itulah maka Siangkoan Lee menciptakan ilmu pukulan Swat-im Sin-ciang yang mengandung tenaga Im-kang. Jangan kalian memandang rendah sin-kang dingin ini, karena kalau sudah dapat menguasai dengan sempurna, kalian akan dapat membunuh setiap orang lawan hanya dengan sebuah pukulan. Sekaii pukul, biarpun targan tidak mengenai tubuh lawan, cukup membuat darah di tubuh lawan membeku, jantungnya berhenti berdenyut dan tentu dia mampus seketika. Lihat baik-baik ini” Nenek itu mengangkat cawannya dan menuangkan arak ke mulut, terus ditelan. Kemudian mulutnya menyemburkan ke atas dan.... berdetakanlah butir-butir es keluar perutnya melalui mulut, bertebaran di atas lantai” “Im-kang yang sudah amat kuat dapat membuat air panas seketika menjadi butiran es, dapat membuat air membeku, juga darah di tubuh lawan dapat dibikin beku dengan pukulan yang mengandung Im-kang kuat. Nah, sekarang kalian harus mulai belajar samadhi untuk menghimpun Im-kang.” Setelah memberi pelajaran teori tentang ilmu silat dan samadhi, nenek itu lalu meninggalkan empat orang muridnya di dalam pondok dengan perintah bahwa mereka harus berlatih samadhi dan tidak boleh berhenti sebelum diperintah” Dan ternyata kemudian bahwa nenek itu tidak memerintahkan empat orang muridnya menghentikan latihan siulian sebelum dua hari dua malam” Dapat dibayangkan betapa hebatnya penderitaan mereka. Bagi Han Han hal seperti itu biasa saja karena memang dalam tubuh anak ini terdapat suatu kelebihan yang tidak wajar, dan dia memiliki kemauan yang luar biasa pula. Akan tetapi tiga orang temannya amat sengsara. Biarpun begitu, Kim Cu dan teman-temannya tidak ada yang berani melanggar karena mereka maklum betapa kejamnya hukuman bagi pelanggar. “Bagus, kalian memang patut menjadi muridku” Demikian nenek itu memuji dengan suara gembira. Dan sesungguhnya nenek itu sama sekali bukan ingin menyiksa empat orang murid barunya, melainkan hendak menguji mereka. Setelah memberi kesempatan mereka makan dan mengaso, nenek itu mulai memberi penjelasan tentang latihan samadhi yang akan dapat menghimpun sin-kang mereka, bahkan ia sendiri turun tangan “mengisi” mereka dengan sin-kangnya untuk membuka jalan darah mereka seorang demi seorang. Akan tetapi ketika tiba giliran Han Han nenek itu terkejut setengah mati. Seperti tiga orang murid lain, Han Han disuruhnya duduk bersila dan dia lalu menempelkan tangannya pada punggung anak itu, lalu mengerahkan Im-kang untuk disalurkan ke dalam tubuh anak itu, membantu anak itu agar dapat membangkitkan tan-tian yang berada di dalam pusar. Harus diketahui bahwa setiap manusia mempunyai tan-tian ini, yang merupakan pusat bagi tenaga dalam di tubuh manusia ini. Hanya bedanya, tanpa latihan maka tan-tian ini akan menjadi lemah dan tidak dapat dipergunakan, hanya melakukan tugas menjaga tubuh manusia dari dalam, bekerja, diam-diam menciptakan segala macam obat yang diperlukan oleh tubuh manusia. Namun dengan latihan samadhi dan peraturan napas dengan cara tertentu, tan-tian menjadi kuat dan hawa sakti akan timbul dan dapat dikuasai. Nenek itu mengerahkan Im-kang dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia merasa betapa Im-kang yang ia salurkan itu tiba-tiba “macet” dan berhenti penyalurannya. “Aihhhhh....” Di mana kau belajar mengerahkan sin-kang untuk melawanku?” Han Han juga kaget. Cepat ia menyimpan kembali hawa yang timbul secara otomatis dan di luar kesadarannya itu sambil berkata, “Maaf, Sian-kouw. Teecu hanya pernah belajar dari Lauw-pangcu dan dari Suhu Siangkoan Lee.” “Hemmm, kau jauh lebih kuat dari saudara-saudaramu. Sekarang kosongkan tubuhmu dan jangan melawan.” Han Han merasa tersiksa sekali. Berbeda dengan Kim Cu dan teman-teman lain yang pada dasarnya belum memiliki sin-kang dan yang dapat menerima Im-kang yang tersalur dari nenek itu secara wajar, dia merasa betapa tubuhnya dijalari hawa dingin yang seolah-olah hendak meremukkan tulang-tulangnya. Ia memaksa diri tidak melawan akan tetapi ketika Im-kang itu menyusup sampai ke pusarnya, otomatis hawa sakti di pusarnya bergerak dan menolak. “Nah, latihlah dengan tekun. Engkau masih belum dapat menguasai tenagamu sendiri.” Akhirnya nenek itu berkata setelah memberi penjelasan kepada empat orang muridnya. Cara nenek ini melatih sungguh amat jauh bedanya dengan cara Ma-bin Lo-mo melatih murid-muridnya. Nenek ini melatih secara langsung dan kemajuan yang diperoleh empat orang murid ini memang cepat dan hebat. Akan tetapi bagi Han Han, latihan yang diperolehnya ini amat menyiksa dan ia tidak pernah berhasil karena selalu terjadi pertentangan dan perlawanan dalam tubuhnya antara hawa Im dan hawa Yang. Hawa Yang dia peroleh dari latihan diam-diam ketika ikut Kang-thouw-kwi. Dan cara nenek ini memberi contoh melatih siulian juga amat jauh bedanya dengan yang diberikan Lauw-pangcu dan yang ia baca dari kitab-kitab. Misalnya tentang pemusatan pikiran. Lauw-pangcu mengajarnya untuk bersamadhi dengan memusatkan pikiran pada pernapasannya sendiri, yang oleh Lauw-pangcu disebut bersamadhi sambil menunggang naga sakti. Yang diumpamakan naga sakti adalah pernapasan sendiri yang keluar masuk melalui hidung, dengan napas panjang-panjang sesuai dengan aturan bernapas dalam samadhi. Latihan ini dapat membuat pikirannya terpusat sehingga akhirnya dapat membuat ia mudah menguasai pribadinya sehingga terbukalah jalan untuk menghimpun tenaga sakti di dalam tubuhnya. Sungguhpun cara yang dipergunakan Lauw-pangcu ini berbeda dengan cara-cara yang ia kenal dari kitab kuno, namun tidaklah menyimpang. Banyak cara yang terdapat dalam kitab-kitab tentang pelajaran samadhi, sesuai dengan kebiasaan dan agama yang mengajarkan soal samadhi. Kaum beragama To menganjurkan agar dalam samadhi, orang selalu menujukan pikirannya kepada Thai-siang-lo-kun dengan mantera yang disebut berulang kali : Gwan-si-thian-cun. Thong-thian-kauw-cu, Thai-siang-lo-kun. Bagi yang beragama Buddha menujukan pikirannya kepada Sang Buddha dan membaca mantera : Lam-bu-hut, Lam-bu-kwat, Lam-bu-ceng. Dan bagi para pemuja Khong-cu menujukan pikiran kepada Thian dengan mantera : Hwi-le-but-si, Hwi-le-but-thing, Hwi-le-but-gan, Hwi-le-but-thong. Kesemuanya itu untuk mencegah agar panca inderanya jangan melantur, agar pikiran jangan menyeleweng sehingga dapat dipusatkan. Akan tetapi yang diajarkan Toat-beng Ciu-sian-li lain lagi. Nenek ini menasehatkan agar murid-muridnya dalam bersamadhi mengikuti saja ke mana jalan pikirannya melayang, kemudian kalau sudah mendapat sesuatu yang disenangi, terus-menerus memikirkan hal ini, tidak peduli hal ini dianggap baik atau pun buruk. “Kalau engkau suka membayangkan tubuh seorang wanita telanjang dan kau menikmati bayangan itu, tujukan pikiranmu ke situ” Kalau engkau menaruh dendam kepada seseorang dan bayangan orang itu selalu tampak, tujukan pikiranmu mengingat dendammu” Yang penting tujukanlah pikiran kepada hal yang menjadi perhatian pikiranmu dan demi kesenangan hatimu. Dengan demikian engkau akan dapat menguasai pikiranmu.” Memang cara yang aneh, akan tetapi sesungguhnya jauh lebih mudah dilaksanakan daripada ajaran-ajaran yang lain karena memang pikiran itu amat sukar dikendalikan. Justeru pelajaran nenek itu tidak mengharuskan si murid mengendalikan pikiran, bahkan disuruh membebaskan pikiran ke mana ia melayang” Tanpa disadarinya, mulailah Han Han tenggelam makin dalam ke cara-cara kaum sesat mengejar ilmu silat dan kesaktian. Dan memang cara yang dipergunakan kaum sesat ini lebih menarik dan lebih mudah dilaksanakan. Makin sering Han Han melatih diri secara ini, makin sukarlah baginya kalau ia hendak memusatkan pikiran melalui atau menggunakan cara-cara kaum bersih seperti yang ia baca dalam kitab atau seperti yang pernah ia latih dibawah bimbingan Lauw-pangcu. Sebulan lewat dengan cepat. Sin-cia atau perayaan menyambut musim semi tiba. Murid-murid In-kok-san diberi kebebasan selama tiga hari untuk pergi ke mana mereka suka. Mereka malah diberi pakaian-pakaian baru dan diberi bekal uang untuk berfoya-foya ke bawah gunung. Adapun Ma-bin Lo-mo sendiri sedang sibuk mempersiapkan perahu besar untuk melaksanakan tujuan yang diperebutkan kaum kang-ouw, yaitu mencari Pulau Es yang terahasia. Juga Toat-beng Ciu-sian-li tidak tampak di puncak In-kok-san, entah ke mana perginya tidak ada orang mengetahui. Han Han tadinya diajak oleh Kim Cu untuk berpesiar ke kaki gunung sebelah selatan. Akan tetapi Han Han menolaknya dan seorang diri ia turun dari puncak menuju ke utara. Keadaannya kini jauh bedanya dengan hampir setahun yang lalu. Setahun yang lalu ia berpakaian compang-camping penuh tambalan seperti pakaian seorang pengemis. Akan tetapi kali ini pakaiannya indah dan bersih, rambutnya tersisir rapi dan diikat di atas kepala. Usianya sudah tiga belas tahun dan ia kelihatan tampan dan gagah. Tubuhnya tegap dan berisi, membayangkan kekuatan. Han Han kelihatan seperti seorang kongcu muda yang berpesiar seorang diri, wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum-senyum. Berjalan seorang diri, timbul pula kegembiraan hatinya karena ia merasa bebas lepas seperti burung di udara. Ia melakukan perjalanan menuruni bukit dan menjelang senja ia sudah berada jauh di sebelah utara kaki bukit. Dengan hati gembira Han Han memasuki sebuah dusun yang cukup besar dan ramai. Seperti juga kota-kota dan dusun lain pada hari itu, penduduk dusun itu merayakan hari raya Sin-cia dengan meriah. Apalagi dusun itu merupakan dusun kaum petani. Musim semi merupakan musim yang dinanti-nanti dan dicinta, karena musim ini menjadi harapan para petani agar mendatangkan kemakmuran bagi mereka. Musim semi adalah musim bercocok tanam, maka disambutlah musim semi sebagai menyambut seorang dewa yang membagi-bagikan rejeki kepada mereka. Menyaksikan kegembiraan dan kemeriahan dusun itu, Han Han menjadi gembira sekali. Wajah semua orang nampak berseri, terutama sekali anak-anak berpakaian serba baru kelihatan riang gembira, berlari-larian dan bermain-main setelah perut mereka terisi kenyang dengan hidangan-hidangan istimewa, tangan mereka membawa main-mainan yang dihadiahkan oleh orang tua mereka. Akan tetapi betapa heran hati Han Han ketika ia melalui sebuah rumah gedung yang berpekarangan lebar, ia mendengar suara anak perempuan menangis” Suara tangis ketakutan disusul bentakan-bentakan suara laki-laki kasar dan parau. Saking herannya, apalagi karena hatinya tergerak penuh rasa iba kepada anak yang menangis, Han Han lupa diri dan memasuki pintu gerbang pekarangan itu. Padahal kalau dalam keadaan biasa, ia tidak akan berani melakukan hal yang tidak sopan ini, memasuki tempat kediaman orang tanpa ijin” Begitu memasuki pintu gerbang, alis Han Han berkerut. Ia melihat seorang gadis cilik, paling banyak sepuluh tahun usianya, berpakaian compang-camping penuh tambalan, sedang berdiri dan menangis, menyusuti air mata yang membasahi kedua pipi yang pucat dengan jari-jari tangannya yang kotor. Seorang laki-laki yang bermuka kejam, berpakaian sebagai seorang jago silat atau seorang tukang pukul, berdiri dengan muka merah di atas anak tangga, tangan kanan bertolak pinggang di atas sebatang golok besar yang tergantung di pinggang, tangan kiri menuding-nuding dengan marahnya sambil membentak-bentak. “Maling cilik” Bocah hina” Kalau tidak lekas minggat, kuhancurkan kepalamu” Anak itu menggigil seluruh tubuhnya. “Aku.... tidak mencuri apa-apa....” “Tidak mencuri, ya? Kau hendak maling buah dan bunga, masih berani bilang tidak mencuri? Mau apa kau memanjat pohon ang-co (korma) tadi?” “Aku.... aku ingin makan buahnya.... dan ingin memetik sedikit bunga, masa tidak boleh?” “Setan alas” Masih banyak membantah?” Laki-laki itu lalu melangkah maju dan mencengkeram baju anak perempuan itu. Sekali ia menggerakkan tangan kiri yang mencengkeram, tubuh anak itu terangkat ke atas. Anak itu terbelalak ketakutan memandang wajah yang begitu bengis menakutkan, yang amat dekat dengan mukanya. Mata anak perempuan itu amat lebar, dan karena muka dan tubuhnya kurus, mata itu kelihatan makin lebar. Tiba-tiba laki-laki itu menyeringai. “Eh, engkau cantik juga, ya? Mukamu manis, kulitmu halus putih....” Hemmm, sayang engkau masih begini kecil, dan kurus....” Kini tangan kanan laki-laki itu meraba-raba ke dada anak yang tergantung itu secara kurang ajar. “Ah, masih terlalu kecil.... kalau kau lebih besar dua tahun lagi, hemmm.... hebat juga....” “Lepaskan aku....” Lepaskan....” Anak itu meronta-ronta. “Ha-ha, tentu saja kulepaskan kau. Minggat” Laki-laki itu lalu melontarkan tubuh itu ke arah pintu gerbang. Han Han cepat menggerakkan tubuh dan menangkap tubuh anak perempuan itu. Ia lalu menurunkan tubuh anak perempuan yang menggigil ketakutan dan menangis itu, kemudian melangkah maju sambil memandang laki-laki yang kejam tadi dengan sinar mata penuh kebencian. “Kau manusia berhati keji, pengecut rendah yang hanya berani menghina anak perempuan kecil” Han Han memaki. Laki-laki itu terbelalak heran dan kaget ketika melihat tubuh anak perempuan itu tahu-tahu disambar oleh seorang pemuda tanggung. Melihat pakaian pemuda itu, laki-laki yang bekerja sebagai pengawal dan tukang pukul di gedung itu mengira bahwa Han Han adalah putera seorang berpangkat atau hartawan, maka ia berkata. “Kongcu siapakah dan hendak mencari siapa? Harap jangan pedulikan gembel busuk ini” “Keparat” Hayo lekas berlutut dan mohon ampun kepadanya” Han Han menuding ke arah anak itu. Merah muka si tukang pukul. “Apa? Engkau siapa?” “Aku seorang pelancong yang kebetulan lewat dan menjadi saksi kekejamanmu.” “Wah-wah, lagaknya. Habis, kau mau apa kalau aku tidak mau minta ampun?” Tukang pukul itu mengejek dan berdiri tegak sambil bertolak pinggang. Tentu saja ia memandang rendah pemuda tanggung yang kelihatan lemah ini. “Kalau tidak mau, aku akan memaksamu” “Ha-ha-ha” Engkau bosan hidup? Baik, mampuslah” Tukang pukul yang mengandalkan kekuatan dan ilmu silatnya ini sudah menerjang maju dengan sebuah tendangan kilat ke arah dada Han Han. Melihat gerakan orang itu masih amat lambat, Han Han tidak menjadi gugup. Ia mengatur langkah, menggerakkan tubuhnya miring mengelak dan tangan kirinya dengan jari-jari terbuka ia hantamkan ke arah kaki yang menendang. “Krakkk....” Aauggghhh....” Tubuh laki-laki itu terpelanting dan ia meringis kesakitan karena tulang betisnya telah patah” “Tidak lekas minta amppn?” Han Han membentak dan di dalam hatinya anak ini merasa puas. Wajah laki-laki itu baginya seolah-olah berubah menjadi wajah perwira muka kuning dan muka brewok, dan anak perempuan itu mengingatkan ia akan cicinya dan juga ibunya yang sudah diperhina dan diperkosa perwira-perwira tadi. “Setan kecil” Tukang pukul itu tentu saja tidak mau terima dan biarpun kakinya terasa nyeri, ia sudah meloncat bangun, golok besar terpegang di tangannya. Sambil menggereng seperti harimau terluka ia meloncat terpincang-pincang, menggunakan goloknya membacok. Biarpun dia pandai ilmu silat, akan tetapi ilmu silatnya hanyalah ilmu silat tukang pukul rendahan, sedangkan Han Han biarpun tidak pandai silat namun dia telah dibimbing oleh orang-orang sakti yang berilmu tinggi. Dengan mudah Han Han mengelak dan kini karena dorongan hawa marah, tangan kanannya memukul ke arah kepala orang itu. “Prokkk....” Tubuh orang itu terbanting, goloknya terlempar dan kepalanya pecah” Di luar kesadarannya, Han Han yang amat marah itu telah menggunakan tenaga yang timbul karena latihan Hwi-yang Sin-ciang” Dia terbelalak dengan muka pucat, sejenak seperti arca memandang ke arah mayat orang itu yang menggeletak dengan kepala pecah, muka penuh darah, amat mengerikan. Tiba-tiba ia mendengar tangis terisak-isak. Cepat ia menoleh dan melihat betapa anak perempuan gembel itu menangis, menggosok-gosok kedua matanya seolah-olah hendak menyembunyikan penglihatan yang menimbulkan takut di hatinya. Han Han tersadar bahwa dia telah membunuh orang, dan tentu akan berakibat hebat. Maka ia cepat meloncat, mendekati anak perempuan itu, menyambar tangannya dan diajaknya anak itu berlari. “Hayo kita cepat pergi dari sini” bisiknya Berlari-larianlah kedua orang ansk itu keluar dari dalam dusun. Penduduk dusun yang sedang berpesta-ria merayakan hari Sin-ciag tidak ada yang mempedulikan mereka karena memang dalam suasana pesta seperti itu, tidak mengherankan melihat dua orang anak itu berlari-larian yang mereka anggap sebagai dua orang anak yang sedang bergembira dan bermain-main. Keganjilan melihat seorang anak laki-laki berpakaian utuh dan baik belari-lari menggandeng tangan seorang anak perempuan yang pakaiannya seperti anak gembel, tidak terasa pada saat itu. “Aduhhh.... aduhhh.... kakiku.... aahhh, berhenti dulu.... napasku mau putus....” Anak perempuan gembel itu menangis dan merintih-rintih, kakinya terpincang-pincang dan ia tersaruk-saruk ketika diseret oleh gandengan tangan Han Han yang lupa diri dan mempergunakan ilmu lari cepat. Mereka telah tiba jauh di luar dusun, di tempat sunyi. Han Han berhenti dan melepaskan tangan anak itu. Anak perempuan itu lalu menjatuhkan diri saking lelahnya, duduk dan memijit-mijit kedua kakinya sambil menangis. Han Han berdiri memandangnya. “Engkau bocah cengeng benar” katanya dengan suara gemas, akan tetapi sebenarnya, hatinya penuh rasa iba terhadap anak ini. Teringat ia akan keadaannya sendiri dahulu, yang menjadi seorang gembel berkeliaran tanpa teman. Anak perempuan itu mengangkat muka memandang. Sepasang matanya lebar sekali, lebar dan jeli, memandang dengan sinar mata polos ke wajah Han Han, air matanya menetes turun ke atas pipi, kemudian terdengar ia berkata, “Apakah engkau juga akan membunuhku?” Melihat sepasang mata itu, seketika timbul rasa suka di hati Han Han, rasa suka dan kasihan. Wajah dan sikap serta kata-kata anak ini jelas menunjukkan bahwa dia bukan seorang bocah dusun biasa. Hanya pakaiannya yang gembel, tapi anaknya sendiri tidak patut menjadi gembel. Han Han segera ikut pula duduk di atas rumput dekat anak itu. “Tentu saja tidak” kau ini siapa? Di mana rumahmu? Siapa orang tuamu dan mengapa engkau berkeliaran di dusun itu dalam keadaan seperti anak gembel?” Mendengar pertanyaan ini, anak itu menutupi mukanya dan menangis lagi, kini menangis sesenggukan. Han Han menghela napas dan menggeleng-geleng kepala. Ia sebenarnya jengkel melihat anak ini perengek benar, akan tetapi karena dia pernah mengalami hal-hal yang amat pahit dalam hidupnya, ia dapat memaklumi keadaan anak ini dan bersikap sabar. Ia membiarkan anak itu menangis, kemudian setelah tangis itu agak reda, ia berkata. “Sudahlah, jangan bersedih. Engkau hidup sebatangkara, bukan? Kehilangan keluargamu?” Anak itu mengangguk, pundaknya bergoyang-goyang karena isaknya. “Nah, aku pun sebatangkara, aku pun kehilangan keluarga. Biarlah mulai sekarang engkau menjadi adikku, dan aku menjadi kakakmu. Dengan begitu, kita masing-masing mendapatkan seorang saudara, bukan?” Anak perempuan itu menghentikan tangisnya dan memandang kepada Han Han dengan mata merah dan muka basah. Sejenak mereka berpandangan, anak itu seolah-olah hendak menyelidiki kesungguhan hati Han Han dengan sinar matanya yang bening. Han Han tersenyum. “Maukah engkau menjadi Adikku?” Anak itu mengangguk perlahan, kemudian tersenyum pula, senyum di antara isak tangis. Dan hati Han Han makin suka kepada anak ini. Tidak hanya sepasang matanya yang indah bening dan lebar, juga senyumnya membuat sinar matahari menjadi makin cerah” “Engkau menjadi Adikku dan kusebut engkau Moi-moi, sedangkan kau menyebut aku Koko, namaku Han Han, she Sie. Nah, Moi-moi, sekarang ceritakan, siapakah namamu dan bagaimana kau sampai sebatangkara dan tiba di tempat ini?” Sejenak anak itu memandang Han Han dengan mata terbuka lebar, kemudian tiba-tiba ia menubruk dan merangkul Han Han, menangis di atas dada Han Han. Kali ini ia menangis keras, sampai tersedu-sedu. Dan mulut yang kecil itu berbisik, setengah mengerang atau merintih. “Koko.... Han-ko (Kakak Han).... Koko....” Han Han menjadi terharu. Ia mengerti bahwa anak perempuan ini sekarang menangis karena mendapat hiburan yang amat mendalam, menyentuh hatinya seolah-olah anak yang tadinya terombang-ambing dipermainkan ombak sehingga dalam keadaan ketakutan dan kengerian selalu, tiba-tiba mendapatkan pegangan yang dapat dijadikan penyelamat. Maka tak terasa lagi Han Han mengedip-ngedipkan kedua matanya agar matanya yang mulai menjadi panas tidak sampai menjatuhkan air mata. Setelah tangis anak itu mereda, ia lalu memegang kedua pundaknya, mendorong muka dari dadanya, memandangnya dan berkata. “Moi-moi yang baik, sekarang katakan, siapa namamu?” “Lulu....” Han Han tercengang. “Eh, namamu lucu sekali” Lulu? Ayahmu she apa?” “Ayahku seorang pembesar Mancu di kota raja....” “Haaahhh....?” Han Han benar-benar merasa kaget sekali dan ia memandang wajah Lulu dengan mata terbelalak. Dia ini anak Mancu? Anak pembesar Mancu? “Ayahmu seorang perwira Mancu?” tanyanya seperti dalam mimpi dan terbayanglah wajah perwira muka kuning. Suaranya mengandung kebencian dan terdengar ketus dan dingin. Kedua tangannya yang masih memegang pundak Lulu mencengkeram. Lulu terkejut dan meringis kesakitan. Cengkeraman itu tidak terlalu erat, namun cukup menyakitkan. “Ada apakah, Han-ko....?” Akan tetapi Han Han sudah mendorong tubuh anak itu sehingga terjengkang dan bergulingan. Anehnya, sekali ini Lulu malah tidak menangis, melainkan merangkak bangun dan berdiri menghadapi Han Han dengan matanya yang lebar itu terbelalak. “Ko-ko, engkau kenapa?” “Aku benci orang Mancu” bentak Han Han sambil membalikkan tubuhnya membelakangi anak itu karena sesungguhnya hatinya penuh penyesalan mengapa ia telah memperlakukan Lulu seperti itu. Melihat sepasang mata itu, ia tidak dapat menahan dan membalikkan tubuh. Lulu lari menghampiri dan memegang lengan Han Han, sinar matanya yang tajam dan polos itu menjelajahi wajah Han Han penuh pertanyaan. “Kenapa, Han-ko? Apakah kau membenci aku juga? Engkau begitu baik....” “Benci, ya, benci” Aku benci semua orang Mancu” “Tapi, kenapa....? Tentu ada alasannya. Apakah engkau.... pemberontak?” Kalau bukan Lulu yang ia hadapi, tentu ia sudah meninggalkan anak itu, pergi dan tidak sudi bicara lebih banyak lagi. Akan tetapi pandang mata itu seperti mengikutinya, membuat ia tidak dapat pergi, bahkan kini ia menjawab sebagai penjelasan sikapnya. “Orang tuaku dibunuh, keluargaku dibasmi oleh orang-orang Mancu” Maka aku benci orang Mancu.” “Membenci aku juga?” “Kalau kau orang Mancu, ya” “Tapi aku Adikmu” “Aku tidak sudi mempunyai Adik seorang Mancu.” Tiba-tiba Lulu menjatuhkan diri berlutut di depan Han Han, lalu memeluk kedua kakinya. Ia tidak menangis, tapi muka pucat sekali dan Lulu berkata dengan suara gemetar. “Han-ko, jangan.... jangan membenci aku. Aku Adikmu.... jangan membenci aku. Aku Adikmu...., dan aku akupun sebatangkara. Ayah bundaku, biarpun orang-orang Mancu, mengalami nasib yang sama dengan orang tuamu. Ayah bundaku dibunuh orang, keluargaku dibasmi, dan aku dilepas oleh orang-orang itu hanya dengan maksud agar aku menderita, agar aku menjadi seorang gembel. Malah pakaianku ditanggalkan lalu aku dipaksa memakai pakaian gembel....” Yang melakukan pembasmian keluargaku adalah pemberontak-pemberontak, para pengemis pemberontak, dan dan.... mereka adalah sebangsamu. Akan tetapi.... aku tidak membenci semua orang pribumi, tidak membenci engkau, Koko” Han Man tertegun mendengar ini. Ia menunduk dan memandang wajah yang tengadah itu dan ia percaya. Kenyataan bahwa gadis cilik yang dibasmi keluarganya ini tidak membenci semua orang yang sebangsa dengan mereka yang membasmi keluarganya, menusuk perasaannya. Memang sungguh tidak adil kalau dia membenci semua orang Mancu, apalagi gadis cilik ini yang tidak tahu apa-apa. Mereka berdua hanyalah menjadi korban perang yang kejam dan jahat. “Maafkan aku, Moi-moi....” Ia berkata dan menarik bangun Lulu yang tiba-tiba terisak lagi sambil memeluk Han Han. Mereka berpelukan dengan perasaan dua orang kakak beradik yang saling menemukan setelah lama berpisah dan hilang. Kemudian Han Han mengajaknya melanjutkan perjalanan memasuki hutan, karena ia khawatir kalau-kalau ada yang mengejar mereka dari dusun. Padahal tidak mungkin akan terjadi demikian karena andaikata orang telah mendapatkan mayat si tukang pukul, siapa yang akan menyangka seorang anak kecil seperti dia yang telah membunuhnya? “Lulu-moi, kau bilang tadi bahwa pembasmi keluargamu adalah kaum pengemis?” Lulu mengangguk sambil berjalan di sisi Han Han. Mereka bergandengan tangan, atau lebih tepat Lulu yang selalu memegang tangan Han Han, agaknya anak ini khawatir sekali kalau-kalau dia ditinggalkan kakak angkatnya ini. “Ayah sedang berangkat ke selatan untuk menempati tugas baru di selatan, sekalian memboyong keluarganya, yaitu ibu, dua orang Kakakku, aku sendiri dan para pelayan. Di tengah jalan kami dihadang oleh sekelompok pengemis, terjadi perang dan rombongan Ayah terbasmi semua. Hanya aku seorang yang tidak dibunuh, melainkan ditukar pakaianku dengan pakaian ini dan disuruh pergi. Para pemberentak itu lihai sekali, semua pengawal Ayah dibunuh. Terutama sekali kepalanya, seorang gembel tua yang membawa tongkat butut, tinggi kurus dan rambutnya riap-riapan. Dialah yang membasmi Ayah Ibuku dan kedua Kakakku, akan tetapi dia pulalah yang melarang anak buahnya membunuhku kemudian membebaskan aku. Dia pembunuh Ayah bunda dan Kakakku, aku tidak akan lupa kepadanya, dan sekali waktu aku pasti akan membalas semua ini. Aku tidak akan melupakan kakek gembel yang disebut Lauw-pangcu itu” Tiba-tiba kaki Han Han tersandung batu sehingga ia membawa Lulu terseret ke depan, terhuyung hampir jatuh. “Hemmm...., dia....?” kata Han Han dengan jantung berdebar. Pembunuh orang tua dan saudara Lulu ini adalah gurunya, guru pertama, Lauw-pangcu” “Mengapa? Kau kenal dia Koko?” “Ya, begitulah.” “Kau hebat, kau lihai, dapat membunuh tukang pukul tadi. Engkau tentu bukan orang sembarangan, Koko. Maukah kau membalaskan sakit hatiku ini terhadap Lauw-pangcu? Aku kan Adikmu. Mau, bukan?” “Ah, mudah saja kau bicara, Moi-moi. Untuk dapat membalas musuhmu, juga musuhku, kita membutuhkan kepandaian yang amat tinggi. Marilah engkau ikut bersamaku dan kita belajar sampai menjadi orang-orang pandai, baru kita bicara tentang membalas dendam. Mulai sekarang engkau ikut dengan aku, ke manapun aku pergi.” Lulu mempererat pegangannya, hatinya terhibur dan ia sudah tersenyum-senyum lagi, wajahnya yang manis berseri dan matanya yang lebar itu bersinar-sinar. “Baiklah, Koko. Sampai mati aku tidak mau berpisah darimu.” Ucapan terakhir ini mengharukan hati Han Han. Mereka melanjutkan perjalanan dan Han Han memutar otaknya. Tidak ada lain jalan lagi. Dia harus membawa Lulu kepada Ma-bin Lo-mo, minta kepada gurunya itu untuk menerima Lulu menjadi murid. Hanya dengan jalan inilah adik angkatnya tidak akan berpisah darinya, dan Lulu akan dapat mempelajari ilmu yang tinggi. “Sute....” Han Han dan Lulu berhenti dan membalikkan tubuh. Kiranya Kim Cu yang memanggil Han Han dan anak perempuan ini datang berlari-lari cepat sekali sehingga Lulu memandang penuh kekaguman. Kim Cu memakai pakaian yanS indah, dan sebuah bungkusan menempel di punggungnya. Wajah yang ayu itu kemerahan karena ia telah berlarian cepat mengerahkan tenaga ketika dari jauh melihat bayangan Han Han. “Wah, sute” Setengah mati aku mencarimu” “Ada apakah, suci? Bukankah waktu libur masih sehari lagi sampai besok?” “Ada perubahan, sute. Suhu sendiri yang memerintah aku agar menyusulmu. Kita semua harus kembali sekarang juga karena suhu hendak pergi jauh, juga Sian-kouw akan pergi, karena itu kita harus berada di sana. Dan.... eh, siapakah dia ini?” Agaknya karena ketegangan hatinya dan kegembiraannya dapat menemukan orang yang dicari, baru sekarang Kim Cu mendapat kenyataan bahwa di situ ada orang ke tiga, seorang anak perempuan bermata lebar yang berdiri memandangnya penuh kagum dan heran. “Aku hendak membawa dia menghadap suhu, agar dapat diterima menjadi murid di In-kok-san.” “Wah, agaknya tidak akan mudah, sute. Siapa sih anak ini?” “Namanya Lulu, seorang bocah Mancu.... heee, tahan, suci....” “Dukkk” Tubuh Kim Cu terhuyung-huyung ke belakang ketika pukulannya ke arah Lulu ditangkis oleh Han Han. Muka Kim Cu menjadi merah, matanya melotot marah. “Sute” Apa-apaan ini? Kenapa kau malah melindungi seorang setan cilik Mancu? Melindungi musuh? Biarkan aku membunuh dia” Kim Cu melangkah maju mendekati Lulu yang berdiri dengan mata terbelalak ketakutan itu. “Tidak, suci. Jangan” Dia ini bukan musuh kita.” “Siapa bilang bukan kalau dia seorang setan cilik Mancu? Orang-orang Mancu yang telah membasmi keluargaku, dan keluargamu juga” “Benar, akan tetapi bukan dia ini yang membasmi keluarga kita, suci. Sebaliknya, keluarga Lulu ini pun terbasmi habis oleh bangsa kita, dan Lulu toh tidak menganggap kita sebagai musuhnya. Kita harus berpikir luas dan adil, suci. Kalau seseorang melakukan kesalahan lalu seluruh bangsa orang itu dianggap ikut bersalah, alangkah picik dan tidak adilnya ini” Bangsa apa pun juga di dunia ini pasti mempunyai orang-orang yang jahat, termasuk bangsa kita, suci. Kalau karena kejahatan beberapa gelintir orang-orang itu lalu bangsanya dianggap jahat juga, wah, agaknya dunia ini tidak akan ada bangsa yang baik dan perang akan terus-menerus terjadi. Tidak, suci. Lulu ini bagi kita bukanlah orang jahat, bukan musuh kita biarpun dia anak seorang perwira Mancu.” Kim Cu termenung. Memang semenjak berdekatan dengan Han Han, dia tahu betapa sutenya ini amat pandai, betapa pikiran sutenya amat luas dan sutenya mengerti akan segala macam urusan dunia. Hanya ilmu silat sajalah yang agaknya tidak begitu diperhatikan sutenya dan tingkat sutenya masih lebih rendah daripada tingkat murid lainnya. Ucapan Han Han itu berkesan di dalam hatinya dan sekaligus membuat Kim Cu timbul rasa kasihan kepada Lulu yang berdiri dengan mata terbelalak. Alangkah indahnya mata itu, pikirnya, dan melihat pakaian Lulu begitu buruk, ia makin kasihan dan lenyaplah semua kemarahannya. Memang Kim Cu seorang anak yang jujur dan wataknya bersahaja, mudah pula menguasai perasaan hatinya. “Agaknya engkau benar dalam hal ini, sute. Akan tetapi engkau salah besar kalau engkau hendak membawa Lulu kepada suhu untuk dijadikan muridnya. Begitu dia bertemu suhu, dia tentu akan langsung dibunuh tanpa banyak cakap lagi. Engkau harus pulang bersamaku dan kau tidak boleh membawanya ke In-kok-san, sute.” “Tidak bisa, suci. Kalau dia ini tidak bisa ikut dan akan dibunuh suhu, lebih baik aku tidak kembali ke In-kok-san.” “Eh, mengapa begitu? Apamukah bocah ini, sute? Jangan bodoh....” “Dia ini Adikku” Apa? Adikmu? Anak Mancu ini.... mana mungkin Adikmu....?” “Dia betul Adikku, dan aku Kakaknya. Baru saja kami telah bersaudara. Aku sudah berjanji akan melindunginya, tidak akan berpisah lagi. Dia tidak punya siapa-siapa, hanya aku yang telah menjadi kakaknya, suci,” kata Han Han, suaranya tetap. Wajah Kim Cu menjadi berduka. “Sute, kalau kau tidak kembali.... bagaimana dengan aku? Aku akan kehilangan....” “Suci, engkau adalah murid In-kok-san, dan engkau mempunyai banyak saudara-saudara seperguruan. Sedangkan Lulu tidak mempunyai siapa-siapa. Dia harus ikut bersamaku, dan pula, sudah berkali-kali aku katakan bahwa aku tidak betah tinggal lebih lama lagi di In-kok-san. Aku akan pergi bersama Adikku ini, suci. Harap suci suka mengingat hubungan baik kita dan membiarkan aku pergi.” Kim Cu termenung dengan muka sedih. “Kalau engkau tidak kembali, suhu akan marah sekali. Terutama sekali Sian-kouw. Lupakah kau bahwa kau telah menjadi murid Sian-kouw? Engkau pasti akan dicari suhu, dan kalau sampai engkau tertangkap.... ah, hukumannya mengerikan, sute.” “Kalau melarikan diri dan tertawan, hukumannya potong kaki, bukan?” Lulu mengeluarkan jerit tertahan. “Keji....” Kim Cu memandang bocah itu dengan mata marah. “Tidak keji. Ini peraturan dan orang yang berdisiplin saja yang akan mendapatkan kemajuan” Sute, engkau sudah tahu akan hukumannya. Maka harap kau jangan pergi.” “Biarlah, aku sudah mengambil keputusan. Aku akan melarikan diri bersama Adikku, akan bersembunyi. Kalau sampai tertangkap, terserah. Akan tetapi aku percaya engkau tidak akan mengatakan di mana kau bertemu denganku, suci.” Kim Cu menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepala. “Aku tidak akan memberi tahu, sute. Tapi.... ah....” “Sudahlah, suci. Harap suci suka kembali. Aku mau pergi sekarang juga. Marilah, Lulu.” Kim Cu berdiri dengan muka sedih memandang bayangan dua orang itu yang makin menjauh. “Sute....” Tunggu dulu....” Ia meloncat dan berlari mengejar. Han Han membalikkan tubuh, alisnya berkerut. “Suci, benarkah engkau akan melupakan persahabatan dan hendak menghalangi aku?” Kim Cu maju dan memegang tangan Han Han. Air matanya menitik turun. “Tidak sama sekali, sute. Aku.... aku hanya mengkhawatirkan engkau. Dan dia ini.... ah, setelah dia menjadi Adikmu, mana bisa berpakaian seperti itu? Tunggu dulu....” Gadis cilik ini lalu menurunkan buntalan pakaiannya, mengeluarkan sepasang sepatu cadangan dan satu stel pakaian, diserahkannya kepada Lulu. “Lulu, kau pakailah ini agar engkau pantas menjadi adik Sie Han sute.” Lulu menerima pakaian dan sepatu, memandang terharu, lalu berkata, “Enci, kau baik sekali, dan alangkah mendalam cinta kasihmu terhadap Han-koko....” “Cihhhhh....” Kanak-kanak bicara tentang cinta” Cinta apa?” “Engkau mencinta Han-ko, Enci....” “Hush” Sudahlah....” Suara Kim Cu mengandung isak dan gadis cilik ini lalu membalikkan tubuh dan lari dari situ dengan gerakan yang amat cepat. Han Han berdiri melongo, memandang bayangan Kim Cu sampai gadis itu lenyap dari pandang matanya, kemudian ia menoleh kepada Lulu dan berkata, “Apa kau bilang tadi? Cinta? Cinta bagaimana?” Lulu tersenyum. “Dia sungguh cinta kepadamu, Koko. Dan dia seorang gadis yang baik sekali. Kelak aku akan senang sekali mempunyai seorang soso (kakak ipar) seperti dia.” “Eh-eh, gilakah engkau?” Entah bagaimana, sungphpun ia hanya menduga-duga dan hanya mengerti setengah-setengah saja apa yang dimaksudkan Lulu, mukanya menjadi panas dan jantungnya berdebar-debar. “Lebih baik lekas pakai pakaian itu dan kita melanjutkan perjalanan.” Lulu segera bersembunyi di balik semak-semak untuk bertukar pakaian. Ketika ia muncul kembali, Han Han memandang kagum. Benar saja. Lulu ternyata ada lah seorang gadis cilik yang cantik jelita. Setelah kini pakaiannya bersih dan baik, dia menjadi seorang anak yang manis sekali. “Kita ke mana, Koko?” “Hayo ikut sajalah. Aku ingin ke kota raja, akan tetapi belum tahu jalannya” “Aku datang dari sana, akan tetapi juga tidak tahu jalannya. Di jalan kita nanti tanya-tanya orang, tentu akan sampai juga.” Maka pergilah kedua anak ini, tergesa-gesa karena Han Han ingin cepat-cepat menjauhkan diri dari In-kok-san. Ia tahu bahwa gurunya, Ma-bin Lo-mo tentu marah sekali dan akan mencarinya, dan kalau yang mengejar dan mencarinya seorang sakti seperti itu, benar-benar tak boleh dibuat main-main. Juga ia tidak berani sembarangan bertanya-tanya pada orang, bahkan menghindari perjumpaan dengan orang-orang agar tidak meninggalkan jejak. Ia selalu mengambil jalan yang sunyi, keluar masuk hutan, naik turun gunung. Karena perjalanan mengambil jalan yang liar dan sukar ini maka biarpun pakaian yang dipakai Lulu pemberian Kim Cu itu masih bersih dan baik, setelah lewat sebulan mulai robek di pundak dan oleh Lulu ditambal sedapatnya mempergunakan robekan ujung baju yang baginya agak kepanjangan. Han Han menjadi makin suka kepada Lulu, setelah mendapat kenyataan bahwa gadis cilik itu benar-benar memiliki watak yang menyenangkan. Biarpun usianya baru sembilan atau sepuluh tahun, Lulu adalah seorang anak yang tahu diri, tidak rewel, tidak banyak kehendak, penurut dan juga tahan uji. Ia mentaati segala kehendak Han Han sebagai seorang adik yang baik, bersikap penuh kasih sayang kepada kakaknya ini, dan juga tidak pernah mau ketinggalan kalau Han Han mencari makanan untuk mereka. Betapapun lelahnya jika Han Han memaksanya melanjutkan perjalanan yang sukar, gadis cilik ini tak pernah mengeluh, maklum bahwa kakaknya kini menjadi seorang buronan. Ia pun berkali-kaii menyatakan kegelisahannya kalau-kalau kakaknya akan tertangkap oleh guru kakaknya yang dianggapnya seorang manusia keji dan mengerikan. Banyak ia bertanya tentang Ma-bin Lo-mo dan Han Han juga menceritakan apa yang ia ketahui tentang Ma-bin Lo-mo, Toat-beng Ciu-sian-li dan lain-lain tokoh kang-ouw yang terkenal. Lulu amat tertarik mendengar cerita itu dan berkali-kali menyatakan bahwa ia pun ingin belajar silat agar kelak menjadi seorang yang pandai, sehingga ia akan dapat membalas dendam kepada musuh yang telah membasmi keluarganya. Harus diakui bahwa Han Han yang semenjak kecil banyak membaca kitab-kitab, pengertian umumnya sudah amat dalam, bahkan ia tahu akan filsafat-filsafat hidup. Namun karena ia hanyalah seorang bocah, tentu saja wawasannya pun amat terbatas dan banyak hal-hal yang tidak ia ketahui benar intinya. Sedapat mungkin ia berusaha untuk menerangkan Lulu tentang dendam pribadi dan tentang bencana akibat perang. “Lulu, kurasa engkau keliru kalau menaruh dendam kepada Lauw-pangcu, karena sesungguhnya dia seorang yang baik, seorang patriot sejati yang gagah perkasa,” katanya hati-hati ketika pada suatu hari mereka mengaso di bawah pohon besar dalam sebuah hutan. Lulu memandang kakaknya dengan mata lebar dan penuh penasaran. “Koko, keluargamu terbasmi oleh perwira-perwira Mancu seperti yang pernah kauceritakan kepadaku. Apakah engkau tidak mendendam kepada perwira-perwira itu?” “Tentu saja.” “Kalau engkau menaruh dendam kepada pembasmi keluargamu, mengapa aku tidak boleh mendendam kepada pembasmi keluargaku?” “Ah, jauh sekali bedanya, Moi-moi. Keluargaku terbasmi oleh orang-orang yang melakukan hal itu menurutkan nafsu mereka pribadi, tidak ada sangkut-pautnya dengan perang sungguhpun hal ini terjadi dalam perang, pembasmi-pembasmi keluargaku melakukannya dengan rasa benci dan nafsu pribadi, terdorong oleh watak mereka yang jahat dan kejam. Keluargaku bukanlah musuh mereka dalam perang, dan mereka melakukan pembasmian itu karena dua hal, yaitu ingin memperkosa wanita-wanita dan ingin merampok harta benda” Berbeda sekali dengan apa yang dilakukan oleh Lauw-pangcu kepada keluargamu. Lauw-pangcu dengan kawan-kawannya adalah pejuang-pejuang yang berusaha menentang bangsa Mancu yang menjajah, dan Ayahmu adalah seorang pembesar Mancu. Tentu saja Lauw-pangcu menganggap keluargamu musuh, bukan musuh pribadi, melainkan musuh negara dan bangsa. Lauw-pangcu melakukan pembasmian bukan berdasarkan kebencian pribadi, melainkan sebagai pelaksanaan tugas perjuangan. Tahukah engkau bahwa dalam sekejap mata saja anak buah Lauw-pangcu yang jumlahnya lima puluh orang lebih dibasmi habis oleh seorang kaki tangan Mancu?” Lulu merengut dan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Apapun yang menjadi alasan, akibatnya sama saja, Koko. Apa pun yang menjadi dasar daripada perbuatan para pembasmi yang kejam itu, akibatnya tiada bedanya, buktinya engkau menjadi yatim-piatu dan aku pun sama juga. Apakah engkau hendak mengatakan bahwa aku tidak lebih sengsara dari padamu? Apakah karena sebab-sebab itu aku lalu diharuskan memaafkan mereka?” Ditegur oleh bocah yang matang dalam penderitaan ini, Han Han membungkam, ia tidak dapat menjawab, hanya berkali-kali menghela napas kemudian berkata, “Ah, entahlah, Moi-moi. Memang kalau dipikir-pikir, semua perbuatan yang sifatnya membunuh di dalam perang adalah keji” Perang menimbulkan malapetaka yang mengerikan. Perang membuktikan betapa kejamnya mahluk yang disebut manusia. Perang dan bunuh-membunuh antar manusia dilakukan dengan penuh semangat, demi perjuangan dan cita-cita alasannya. Perjuangan dan cita-cita yang hanya diciptakan oleh beberapa gelintir manusia belaka” Aku tidak tahu, hanya yang kuketahui sekarang, kalau kita sudah memiliki kepandaian, kita harus membasmi orang-orang yang menjadi musuh kita, orang-orang yang kita anggap jahat” “Koko, bagaimanakah orang yang jahat itu? Lauw-pangcu dalam anggapanku adalah seorang yang sejahat-jahatnya karena dia telah membuat keluargaku lenyap, telah membuat hidupku merana. Akan tetapi engkau tidak menganggapnya sebagai orang jahat, malah gagah perkasa. Bagaimana ini?” “Tidak tahulah.... tidak tahulah.... mungkin kelak kita akan lebih mengerti.” Mereka melanjutkan perjalanan dan setelah mereka keluar dari hutan itu, tampaklah sebuah bukit di sebelah depan. Senja telah mendatang dan di dalam cuaca yang sudah suram itu samar-samar tampak dinding di puncak bukit. “Di puncak bukit itu tentu tempat tinggal para pendeta, kalau tidak kuli tentu sebuah dusun. Sebaiknya kita pergi ke sana. Aku akan bekerja untuk mencarikan beberapa stel pakaian untukmu, Moi-moi.” “Bukan hanya untukku, Koko, engkau pun perlu akan pakaian cadangan. Lihat, pakaianmu sudah mulai rusak pula. Aku pun dapat bekerja, apa saja, kalau perlu membantu di sawah, atau mencuci, membersihkan rumah, apa saja.” “Engkau puteri seorang pembesar, mana bisa bekerja kasar?” “Jangan begitu, Koko. Dahulu puteri pembesar, sekarang hanya seorang bocah gemb....” “Hanya Adikku yang baik dan manis” Han Han memotong dan mereka tertawa, bergandengan tangan dan mulai mendaki bukit yang tidak berapa tingginya itu. Namun, ketika mereka telah tiba di lereng, tak jauh lagi dari puncak di mana tampak dinding putih yang ternyata adalah pagar tembok yang tinggi, Lulu menuding dan berseru. “Lihat” Kebakaran” Benar saja. Api yang berkobar-kobar tampak di balik dinding itu, makin lama makin membesar dan sinar api merah itu memperlihatkan dengan jelas bahwa di balik pagar tembok itu terdapat sekelompok rumah-rumah yang kini terbakar. “Celaka....” Hayo kita naik terus, sedapat mungkin kita bantu mereka memadamkan api, Moi-moi.” “Aku.... takut...., Koko.” “Ada aku di sampingmu, takut apa? Hayolah” Han Han menggandeng tangan adiknya dan dengan bantuan sinar api mereka mendaki terus menuju ke pagar tembok. Akhirnya mereka tiba di luar pagar tembok dan tiba-tiba Han Han menarik tangan adiknya untuk mendekam dan berlindung di tempat gelap. Dari pintu gerbang yang terbuka mereka dapat melihat ke sebelah dalam perkampungan itu dan keadaan di dalam perkampungan itulah yang membuat Han Han menarik tangan adiknya diajak bersembunyi. Kiranya di dalam perkampungan itu terjadi perang tanding yang hebat. Tampak bayangan-bayangan manusia berkelebatan, kilatan-kilatan senjata tajam dan terdengar nyaring suara senjata beradu. Di sana-sini, jelas tampak karena disinari api yang membakar rumah, menggeletak mayat-mayat orang, malang-melintang dalam keadaan mandi darah. Mengerikan” Tubuh Lulu menggigil ketika ia merapatkan diri kepada kakaknya, napasnya terengah-engah. Han Han juga merasa tegang, akan tetapi ia mengelus-elus kepala adiknya untuk menenangkannya. Perang tanding yang lebih banyak terdengar daripada terlihat itu berlangsung semalam suntuk” Demikian pula kebakaran yang agaknya tidak ada yang berusaha memadamkannya itu. Dapat dibayangkan betapa gelisah dan sengsara dua orang bocah yang bersembunyi di luar tembok. Jerit-jerit ketakutan dan pekik-pekik kematian terdengar oleh mereka, bercampur dengan suara pletak-pletok terbakarnya rumah-rumah yang makin menghebat. Kiranya rumah-rumah dalam perkampungan itu amat berdekatan sehingga setelah api membakar dan tidak ada usaha memadamkannya, semua dimakan api dan kebakaran itu berlangsung sampai pagi” Han Han yang memberanikan hatinya merangkak dan mengintai dari balik pintu gerbang, menjadi silau matanya menyaksikan berkelebatnya dua sinar putih. Sebagai seorang yang pernah menjadi murid seorang pandai, ia dapat menduga bahwa dua sinar putih itu tentulah sinar senjata yang dimainkan oleh dua orang yang amat tinggi ilmu kepandaiannya. Dua sinar itu berkelebatan di antara puluhan orang yang mengepungnya dan ia dapat menduga babwa tentu ada dua orang lihai yang dikeroyok oleh banyak sekali orang. Yang mengerikan hatinya adalah ketika di antara tumpukan mayat ia melihat pula mayat-mayat wanita dan anak-anak kecil. Semalam suntuk tidak tidur sekejap mata pun, semalam suntuk terus mendekam bersembunyi, namun bagi kedua orang anak itu, agaknya semalam itu lewat dengan amat cepatnya. Tahu-tahu sudah pagi” Dan menjelang pagi, api mulai padam dan ketika mereka mendengarkan, ternyata tidak ada suara apa-apa lagi. Sunyi di dalam perkampungan itu, hanya tampak asap hitam mengepul dan masih ada suara pletak-pletok lirih. Akan tetapi tidak ada suara manusia, tidak ada suara pertempuran. Han Han bangkit berdiri, akan tetapi terduduk kembali karena ujung bajunya sebelah belakang dipegang erat-erat oleh Lulu yang ketakutan. Han Han menoleh dan melihat betapa tubuh Lulu gemetar, adiknya yang biasanya cerah itu kini pucat dan matanya terbelalak seperti seekor kelinci dikejar harimau. Ia memberi isyarat agar adiknya itu bangkit berdiri, kemudian ia memasuki pintu gerbang itu perlahan-lahan. Lulu yang masih menggigil ketakutan, berjalan di belakangnya, tidak pernah melepaskan ujung bajunya yang belakang. Dua orang anak itu seperti sedang main naga-nagaan, berjalan perlahan dan muka bergerak memandang ke kanan kiri, wajah pucat dan mata terbelalak. Hati siapa tidak akan ngeri menyaksikan keadaan dalam perkampungan itu. Semua pondok habis terbakar, kini menjadi arang dan hanya tinggal asapnya karena sudah tidak ada lagi yang dapat dibakar. Yang amat mengerikan adalah banyaknya mayat orang berserakan di mana-mana. Ada puluhan orang banyaknya, bahkan mungkin seratus orang lebih. Sebagian besar laki-laki tinggi besar akan tetapi banyak pula wanita-wanita, tua dan muda, ada pula anak-anak. Mereka semua telah mati dengan tubuh terluka besar, seperti terbabat senjata tajam, ada yang perutnya pecah, dadanya berlubang, leher hampir putus. Mayat ini mandi darahnya sendiri “Han-koko.... aku.... aku takut hiiii....” Hampir Lulu tidak dapat melangkahkan kakinya yang menggigil, wajahnya pucat sekali dan sepasang mata yang lebar itu terbelalak. “Tenanglah, Adikku.... aku pun takut, akan tetapi mari kita lihat ke sana..... eh, dengar.... ada orang merintih....” Hayo ke sana, suaranya datang dari belakang puing rumah itu....” “Aku.... aku takut.... nge.... ngeri....” Akan tetapi Han Han sudah menarik tangan adik angkatnya. Melihat sekian banyaknya manusia menjadi mayat, tidak seorang pun yang masih hidup, tidak ada yang merintih atau bergerak, membuat hatinya menjadi tertarik sekali ketika ia mendengar suara merintih itu. Dari jauh ia sudah melihat dua orang yang tidak mati, namun terluka hebat karena dua orang itu masing-masing tertusuk pedang di bagian perut, tertusuk sampai tembus ke punggung” Mengerikan sekali, akan tetapi juga aneh, karena justeru dua orang ini di antara puluhan mayat yang hidup. Han Han memiliki ketabahan yang luar biasa, tidak lumrah manusia biasa. Biarpun Lulu sudah hampir pingsan saking ngerinya, namun Han Han tidak apa-apa, bahkan ia lalu melepaskan tangan Lulu dan mempercepat langkahnya menghampiri dua orang itu sambil berkata. “Moi-moi, ada orang terluka. Mari kita tolong mereka....” Kasihan sekali Lulu. Sudah takutnya setengah mati, kakaknya melepaskan tangannya dan lari meninggalkannya. Seperti seekor kelinci ketakutan ia lalu memaksa kakinya yang lemas itu untuk lari pula mengejar. “Koko.... Han-ko, tunggu aku....” Han Han sudah berlutut di dekat dua orang yang terluka itu. Ia memandang dengan kagum dan terheran-heran. Dua orang itu adalah seorang kakek dan seorang nenek. Usia mereka tentu tidak akan kurang dari tujuh puluhan tahun, akan tetapi jelas tampak betapa mereka berdua itu dahulunya tentulah orang-orang yang elok dan gagah. Kakek itu masih tampak gagah dan tampan, pakaiannya bersih dan dari rambutnya sampai sepatunya terawat rapi, pakaiannya seperti seorang sastrawan. Jenggot dan kumisnya terpelihara baik-baik. Adapun nenek itu biarpun sudah tua masih nampak cantik, tentu di waktu mudanya merupakan seorang wanita yang jelita. Juga pakaiannya rapi dan bersih. Kakek itu bersandar pada meja batu yang terdapat di taman, sebatang pedang menancap di perutnya sampai tembus punggung. Adapun nenek itu setengah rebah menyandarkan kepala di pundak kanan itu, juga sebatang pedang menancap di dadanya, menembus ke punggung. Yang mengherankan Han Han, pedang itu sama benar bentuknya, juga serupa gagangnya, pedang yang amat indah, yang putih berkilau seperti perak. Si nenek menyandarkan kepalanya sambil merintih dan rintihan nenek inilah yang tadi terdengar oleh Han Han. Tangan nenek itu meraba-raba perut kakek yang tertancap pedang. Kakek itu sendiri sama sekali tidak mengeluh, seolah-olah perut ditembusi pedang tidak terasa nyeri olehnya, dan lengannya merangkul si nenek penuh kasih sayang. “Tenanglah, Yan Hwa.... tenanglah menghadapi maut bersamaku, sumoi (Adik Seperguruan) tenanglah, Adikku, kekasihku....” “Oughhh.... suheng (Kakak Seperguruan) aduhhh, Koko (Kanda), mengapa baru sekarang menyebut kekasih....? “Aku.... aku.... selamanya cinta kepadamu, suheng....” “Hushhh.... ada orang datang, diamlah....” “Aughhh.... ahhh, panas rasa kerongkonganku...., aduh, Kanda, minum.... minum....” Hati Han Han sebenarya sudah tidak mudah lagi terharu. Perasaan hatinya sudah setengah membeku oleh peristiwa hebat yang dialaminya dahulu. Namun kini menyaksikan keadaan kakek dan nenek itu, ia terheran-heran dan juga timbul rasa iba di hatinya. “Locianpwe, biarlah saya yang mencarikan air minum....” Tanpa menanti jawaban dua orang yang sedang dalam sekarat itu, ia bangkit den cepat pergi mencari air. “Han-ko.... tunggu....” Lulu berteriak dan meloncat pula mengejar kakaknya. Anak kecil ini merasa terlalu ngeri kalau ditinggal sendirian di dekat kakek dan nenek yang sekarat itu. “Mari kita mencari air minum untuk mereka. Kasihan mereka....” kata Han Han yang menanti adiknya lalu menggandeng tangan adiknya. Sebentar saja mereka mendapatkan sebuah tempat air dan mengisinya dengan air lalu kembali ke dalam taman. Wajah kedua orang tua itu sudah pucat karena darah mereka terus mengucur keluar dari luka di perut dan dada. “Ini airnya, locianpwe,” kata Han Han. Ia menyebut locianpwe karena ia dapat menduga bahwa mereka berdua itu tentulah bukan sembarang orang, bahkan ia menduga bahwa kematian puluhan orang itu tentu ada hubungannya dengan mereka. Adapun Lulu berdiri di belakang Han Han, terbelalak memandang dua orang yang terluka berat dan sedang saling berpelukan mesra itu. “Oohhh, mana air....?” Nenek itu mengeluh. Kakek itu membuka matanya dan sejenak pandang matanya bertemu dengan pandang mata Han Han. Kakek itu membelalakkan mata, seperti terpesona memandang wajah Han Han, akan tetapi segera menerima tempat air dan memberi minum nenek yang kehausan dan sedang sekarat itu. Air diminum dengan lahap sampai terdengar menggelogok dan sebagian besar tumpah. Nenek itu terengah kepuasan, wajahnya menjadi tenang, dengan sikap manja merebahkan pipi kirinya di atas pundak kakek itu, tangannya memeluk pinggang, matanya merenung seperti orang ngantuk, akan tetapi tidak merintih lagi. Kakek itu tidak minum, bahkan tiba-tiba ia menggerakkan tangan yang memegang tempat air. Han Han terkejut sekali melihat tempat air itu melayang jauh sekali dan jatuh ke atas tanah, tidak pecah, bahkan air di dalamnya yang masih setengah itu tidak tumpah, muncrat setetes pun tidak, seolah-olah tempat air itu dibawa melayang tangan yang tidak tampak dan diletakkan di tempat itu” Wajah kakek itu kelihatan dingin ketika memandang kepadanya dan bertanya. “Engkau siapa?” Han Han adalah seorang anak yang amat kukoai (aneh), babkan tidak kalah kukoai oleh datuk-datuk persilatan yang bagaimana aneh wataknya sekalipun. Kalau tadi ia merasa iba, kini menyaksikan sikap kakek itu, timbul keberaniannya dan ia pun hanya berdiri sambil memandang. Sinar kemarahan terpancar keluar dari pandang matanya dan ia menjawab, sama kakunya dengan suara kakek itu. “Namaku Sie Han” Hanya sekian ia berkata karena tidak ada hasrat hatinya lagi untuk mengetahui siapa adanya kakek dan nenek itu dan apa yang terjadi sehingga mereka terluka seperti itu. Kembali dua pasang mata beradu pandang dan kakek itu makin terbelalak. “Eh....” Matamu....” “Mataku kenapa?” balas tanya Han Han, makin penasaran. “Seperti....” “Mata setan” Han Han melanjutkan, makin mendongkol dan teringat akan pengalamannya dengan Lauw-pangcu dan juga dengan Kang-thouw-kwi dan Ma-bin Lo-mo. Mereka itu semua menyatakan keheranan akan matanya. Lama-lama ia menjadi bosan juga kalau tokoh besar selalu menyebut-nyebut matanya. Kakek itu menggeleng-geleng kepala, dan aneh.... dia tersenyum geli. “Wah, tidak hanya matanya, juga wajahmu dan sikapmu yang kepala batu.... akan tetapi pada dasarnya berhati penuh welas asih.... eh, engkau benar-benar bocah aneh, mengingatkan aku akan seorang sahabatku yang amat baik.” “Hemmm, locianpwe yang aneh. Bicara tentang sahabat, akan tetapi keadaan locianpwe berdua ini tidak membayangkan bahwa locianpwo baru saja bertemu dengan seorang sahabat,” Han Han menuding ke arah dua batang pedang yang masih menancap di tubuh mereka. Nenek itu mengangkat muka memandang kakek yang masih dipeluknya. “Koko.... siapa bocah setan ini? Perlu apa bicara dengan dia? Mana.... mana dia.... Jai-hwa-sian?” “Sabar, Moi-moi.... Jai-hwa-sian belum juga datang.... ahhh, sayang sekali.... kalau sampai kita keburu mampus sebelum dia muncul....” Han Han terkejut sekali. Tadinya ia merasa geli dan juga iba mendengar betapa dua orang tua renta ini demikian kemesra-mesraan dan menyebut koko dan moi-moi. Akan tetapi mendengar nama Jai-hwa-sian disebut-sebut, ia terkejut. “Locianpwe mencari Kong-kongku?” Kakek itu mengangkat muka memandang, cemberut. “Siapa mencari Kong-kongmu? Siapa itu Kong-kongmu?” “Jai-hwa-sian....” “Hehhh....?” “Ihhhhh....?” Kakek dan nenek itu berseru kaget dan kini memandang Han Han yang masih berdiri dengan muka merah. Dia tadi telah kelepasan bicara, mungkin ia men gaku Jai-hwa-sian sebagai kakeknya hanya karena merasa penasaran tidak dipandang mata oleh kakek itu, juga karena ia terkejut dan teringat akan sangkaan Kang-thouw-kwi bahwa dia adalah cucu Jai-hwa-sian “Heh, anak setan, siapa nama Kong-kongmu?” “Namanya Sie Hoat.” Kakek itu mengerutkan alisnya, sedangkan nenek itu yang masih lemah telah menyandarkan kembali pipinya ke pundak Si Kakek dengan sikap manja. “Bagaimana kau tahu kakekmu itu berjuluk Jai-hwa-sian?” “Yang memberi tahu adalah Setan Botak.” “Setan Botak? Kau maksudkan Setan Botak si....?” “Siapa lagi kalau bukan Setan Botak Kang-thouw-kwi? Apakah ada Setan Botak ke dua di dunia ini?” kata Han Han, masih panas hatinya, apalagi karena kakek itu menganggapnya main-main. Kini mata kakek itu makin terbelalak. Baru sekarang, setelah menghadapi kematian, ia menemukan seorang anak yang begini kukoai, berani memaki Kang-thouw-kwi dengan julukan Setan Botak. Padahal, ratusan orang gagah di dunia kang-ouw akan berpikir-pikir seratus kali lebih dulu untuk berani memaki seperti itu” “Di mana Kakekmu yang berjuluk Jai-hwa-sian itu sekarang?” Kakek itu mulai menduga-duga barangkali Jai-hwa-sian benar-benar datang bersama cucunya dan sengaja menyuruh cucunya itu datang lebih dulu. Kalau anak ini benar-benar cucu Jai-hwa-sian, tidaklah begitu aneh kalau berani memaki Kang-thouw-kwi. Akan tetapi anak itu menggeleng-geleng kepala. “Aku sendiri tidak tahu. Mungkin sudah mati, seperti yang diduga Ayah. Aku sendiri tidak pernah melihatnya, sudah puluhan tahun pergi merantau, menurut cerita Ayah....” “Siapa nama Ayahmu dan di mana tinggalnya?” “Ayah bemama Sie Bun An, dahulu tinggal di Kam-chi....” “Sie Bun An? Suma Bun An? Di Kam-chi katamu? Ha-ha-ha-ha-ha, betul juga” Kakek itu tertawa bergelak sehingga Han Han menjadi heran dan mengira bahwa tentu kakek yang sudah sekarat ini menjadi berubah ingatannya alias menjadi gila. “Sekarang di mana adanya Ayahmu itu? Di mana Suma Bun An?” “Locianpwe” Ayahku adalah Sie Bun An, apa ini Suma-suma segala?” “Ha-ha-ha” Dasar pengecut, mengingkari she apakah berarti dapat membersihkan diri dari noda? Ya.ya, biarlah, Sie Bun An. Di mana dia kalau engkau tidak tahu di mana adanya Kakekmu?” “Ayah dan sekeluargaku telah dibunuh perwira-perwira Mancu....” “Ha-ha-ha-ha-ha, hukum karma....” Ha-ha-ha, tak dapat dihindarkan lagi....” “Locianpwe” Han Han membentak, marahnya bukan main. Belum pernah dia menceritakan riwayatnya kepada siapapun juga dan kalau dia mau menceritakan tentang ayahnya dam keluarganya kepada kakek ini hanyalah karena ia tahu betul bahwa orang yang perutnya sudah tertembus pedang itu takkan dapat hidup lebih lama lagi. Akan tetapi, dia yang sudah berterus terang menceritakan, malah ditertewakan” Inilah yang benar-benar dapat disebut bocengli (tak tahu aturan)” Akan tetapi kakek itu tidak peduli, malah tertawa terus dan berkata-kata seorang diri, “Ha-ha-ha, hukum karma” Jai-hwa-sian, engkau tak dapat lari dari kenyataan” Engkau orang sesat, datuk sesat, hukum karma pasti mengejarmu, betapapun engkau baik terhadap kami. Hukum karma akan mengejar setiap manusia, semua perbuatan jahat akan menimbulkan akibat, buah daripada pohon perbuatan sendiri akan dipetik sendiri.... seperti juga kami berdua...., kami berdua mungkin lebih sesat daripada engkau, maka buahnya pun lebih pahit.... aahhh” Kakek itu kini menangis terisak-isak” “Kakek.... kenapa menggali hal-hal lampau....? Tidak, buah yang kita petik tidak begitu pahit.... engkau mati di tanganku, aku mati di tanganmu, kita menemukan kembali cinta kasih, di ambang maut.... kita mati dalam cinta.... alangkah bahagianya....” Dengan napas terengah-engah nenek itu memeluk leher kakek itu dan mencium bibirnya” Mereka berciuman seperti dua orang muda yang sedang diamuk asmara, berciuman mulut dengan mesra, sedangkan darah menetes-netes dari mulut mereka” Kini Han Han berdiri melongo. Kemarahan dan penasaran di hatinya lenyap tak berbekas seperti awan ditiup angin. Ia terheran-heran dan memandang terbelalak, menyaingi sepasang mata Lulu yang sejak tadi terbelalak penuh kengerian. Akan tetapi nenek itu sudah hampir putus napasnya, tidak kuat berciuman lama, dan ia terengah-engah, meletakkan kembali pipi kirinya di atas pundak Si Kakek, bibirnya merah sekali, merah terkena darah, darahnya sendiri dan darah kakek itu. Bibirnya tersenyum, penuh kebahagiaan, penuh pasrah, seperti seorang bayi akan tidur di pangkuan ibunya. “Moi-moi.... anak ini cucunya.... kita berikan saja kepadanya, ya?” “Terserah, Koko.... terserah kepadamu. Lekas berikan.... aku sudah ingin sekali melayang pergi bersamamu, Koko....” Kakek itu kini dengan tangan menggigil merogoh sakunya di sebelah dalam jubahnya, dan tangan kirinya mengeluarkan sebuah kitab dari saku bajunya, sedangkan tangan kanannya meraba-raba dan merogoh saku di balik baju Si Nenek, mengeluarkan sebuah kitab pula yang sama bentuk dan warnanya, kekuning-kuningan. Ia menumpuk dua buah kitab itu di tangan kirinya lalu berkata, suaranya sungguh-sungguh, namun lemah sekali. “Dengar, anak yang bernama Sie Han.... dengarlah baik-baik, berlututlah....” Suara yang lemah menggetar itu mempunyai wibawa yang luar biasa dan Han Han tak dapat membangkangnya. Ia tahu bahwa saat kematian kakek dan nenek itu sudah dekat sekali, maka demi menghormat dua orang yang hendak mati, ia pun berlututlah. Lulu yang tidak disuruh berlutut, namun juga dapat merasakan suasana penuh kengerian dan ketegangan ini, merangkap kedua tangan di depan dada, penuh hormat dan takut-takut. Dengan tangan gemetar, kakek itu mengangsurkan tangan kirinya yang memegangi dua buah kitab kuning. “Kau terimalah ini.... kau simpan baik-baik dalam bajumu” Lekas.... jangan bertanya, simpan dulu, nanti kuberi penjelasan....” Han Han tidak diberi kesempatan membantah dan seperti ada sesuatu yang menggerakkan hatinya anak ini menerima sepasang kitab yang kecil itu, langsung ia masukkan ke balik bajunya. “Dekatkan telingamu....” Han Han menggeser lututnya, mendekat dan mendengar mulut kakek itu berbisik lirih di dekat telinganya, “Tambah satu titik di kiri, tambah dua coretan melintang, buang dua titik di bawah, buang satu coretan menurun....” “Sudah mengertikah engkau?” Han Hen mengangguk dan mencatat pesan itu di dalam hatinya, sungguhpun ia sama sekali tidak mengerti apa maksudnya. “Simpan kitab-kitab itu dan kalau kelak kau dapat bertemu dengan Jai-hwa-sian, berikan kepadanya berikut pesan yang kubisikkan tadi. Berjanjilah sebagai seorang jantan untuk memenuhi pesan kami berdua, pesan dua orang yang mau mati.” Kembali Han Han penasaran. Tidak percayakah kakek ini kepadanya? “Aku berjanji, locianpwe.” Kakek itu menarik napas panjang, agaknya hatinya menjadi lega. Keadaannya sudah makin lemah terutama nenek itu yang kini benar-benar sudah seperti orang tertidur pulas. Kakek itu mengerahkah tenaga, mengembangkan dada, lalu berkata, suaranya tidak selemah tadi, penuh semangat. “Sie Han, dengarkan baik-baik, tiada banyak waktuku. Ketahuilah, kami berdua yang dikenal sebagai Siang-mo-kiam (Sepasang Pedang Iblis). Tidak ada datuk persilatan yang tidak mengenal kami berdua. Kami datang dari utara, menjagoi di empat penjuru. Aku Can Ji Kun bukan sombong, mungkin aku sendiri atau sumoiku Ok Yan Hwa ini masih dapat ditandingi orang, akan tetapi kalau kami berdua bergabung menjadi satu, aku Si Iblis Jantan dan dia ini Si Iblis Betina, tidak akan ada orang yang mampu mengalahkan kami....” “Juga Koai-lojin tidak mampu....?” Untuk terakhir kalinya kakek yang bernama Can Ji Kun itu terbelalak heran. “Engkau tahu pula akan Koai-lojin?” “Hanya mendengar penuturan orang lain. Akan tetapi aku memang bermaksud hendak mencari Koai-lojin,” jawab Han Han sederhana dan sejujurnya. “Engkau memang anak yang aneh, dan aku makin percaya bahwa kakekmulah Jai-hwa-sian itu. Kulanjutkan penuturanku selagi aku masih kuat bicara. Kami suheng dan sumoi, seperti engkau saksikan sendiri, saling mencinta dan kelihatannya rukun dan saling membela, saling membantu, saling melindungi. Sayang sekali, kenyataannya selama puluhan tahun tidaklah demikian. Kami tidak bisa menjadi suami isteri, tidak bisa menikah karena sumpah kami di depan guru kami....” “Sumpah apakah, locianpwe?” Han Han bertanya, tertarik hatinya. Juga Lulu yang masih berdiri di belakang Han Han, mendengarkannya dengan hati tertarik dan berkurang rasa ngerinya. Keadaan yang bagaimana mengerikan sekalipun akan kalah oleh biasa, lama-kelamaan hati akan terbiasa juga. “Guru kami menyumpah bahwa murid-muridnya tidak boleh menikah, kalau dilanggar harus ditebus nyawa....” “Iihhh...., kejam....” seru Lulu. “Karena itu, biarpun saling mencinta, kami berdua tidak dapat mengikat tali perjodohan. Hal ini membangkitkan semacam kedukaan, kekecewaan dan akhirnya berubah menjadi kebencian. Kami lalu mulai mengumbar nafsu kebencian ini, kami saling berlomba berebut untuk membunuh-bunuhi orang yang dianggap jahat. Kami tidak pandang bulu, dan karena itulah kami dikenal sebagai Sepasang Pedang Iblis yang telengas. Dusun ini adalah sarang berandal, dahulu, puluhan tahun yang lalu kami berdua hampir celaka oleh kecurangan perampok-perampok ini, untung ada Jai-hwa-sian yang menolong kami. Karena itu, hari ini kami yang kebetulan mendapatkan sarang mereka, datang membasmi mereka. Akan tetapi, kembali kami saling berlomba dan akhirnya kami tidak hanya bersaing, melainkan saling serang sehingga akhirnya.... engkau lihat sendiri akibatnya....” Suara kakek itu mulai lemah. Nenek itu membuka mata dan berkata, suaranya seperti orang berbisik, “Memang, jodoh antara kira harus ditebus dengan nyawa, Koko.... dan aku.... aku girang sekali.... aku bahagia....” Kakek itu mencium kening nenek itu. “Sie Han.... Thian (Tuhan) telah mengirim engkau sebagai ahli waris kami.... kalau engkau tidak dapat menemukan Jai-hwa-sian, sepasang kitab itu kuberikan kepadamu.... engkau.... engkau mulai saat ini menjadi murid kami, dan aku girang mempunyai murid seperti engkau....” Han Han yang tahu bahwa dua orang itu takkan bebas dari kematian, tidak mau mengecewakan mereka. Gurunya sudah banyak. Lauw-pangcu, Ma-bin Lo-mo dan yang terakhir Toat-beng Ciu-sian-li. Sekarang ditambah lagi dengan Sepasang Pedang Iblis ini, tidak mengapalah. Ia lalu menelungkup sebagai penghormatan dan mengangguk-anggukkan kepalanya. “Teecu (murid) menghaturkan terima kasih kepada suhu dan subo (Ibu Guru).” Akan tetapi kakek itu sudah tidak mempedulikannya karena kini ia mengalihkan perhatiannya kepada nenek itu. Mereka kembali saling rangkul, saling mencium dan.... mereka menghembuskan napas terakhir dalam keadaan seperti bersandar pada meja batu dan kalau saja tidak ada sepasang pedang yang menancap dan menembus tubuh mereka, tentu mereka itu disangka sebagai dua orang yang sedang tenggelam dalam permainan cinta. “Suhu....” Subo....” Han Han mengguncang-guncangkan tubuh mereka, seperti orang hendak membangunkan dua orang dari tidur nyenyak. Namun mereka berdua itu tidak akan bangun lagi dan guncangan tubuh mereka itu membuat rangkulan terlepas dan tubuh mereka terguling, satu ke kanan satu ke kiri. “Me.... mereka.... sudah mati.... oohhh....” Lulu menahan isaknya, merasa ngeri kembali karena baru sekarang selama hidupnya ia melihat orang menghembuskan napas terakhir. “Aku harus mengubur mereka....” “Hayo kita pergi. Han-ko...., aku takut sekali....” “Nanti dulu, Lulu. Aku harus mengubur jenazah mereka. Mereka ini adalah suhu dan subo. Aku tidak mau menjadi seorang murid yang tidak mengenal budi. Tunggulah sebentar” “Kalau begitu, mari kubantu engkau, Han-ko.” Dua orang anak itu lalu bekerja keras mengggali sebuah lubang di bawah pohon dalam taman itu. Untung bahwa Han Han memiliki tenaga besar yang tidak disadarinya, sehingga dalam waktu beberapa jam, setelah matahari naik tinggi, tergalilah sebuah lubang cukup besar. Lulu juga membantunya, mempergunakan dua buah cangkul yang mereka temukan di dusun yang sudah terbakar itu. “Pedang-pedang itu bagus sekali” bisik Lulu. Han Han menggeleng kepala. “Untuk apa pedang bagi kita, Moi-moi? Pedang itu adalah pedang mereka dan agaknya mereka itu senang sekali terbunuh dengan pedang masing-masing. Biarlah kita mengubur mereka berikut pedang-pedangnya.” Lulu tidak berani membantu ketika Han Han mengangkat tubuh dua orang tua itu, satu demi satu, ke dalam lubang. Akan tetapi ia membantu dengan rajin ketika Han Han menguruk lubang itu dengan tanah galian. Selesailah penguburan sederhana itu, dan Han Han lalu berlutut memberi hormat untuk terakhir kalinya di depan makam suami isteri yang menjadi gurunya. Lulu juga ikut-ikutan berlutut memberi hormat. “Sekarang kita harus cepat pergi dari sini....” kata Han Han. Sebetulnya Lulu telah lelah sekali bekerja setengah hari dan tidak makan, hanya minum air yang bisa mereka dapatkan di bekas dusun itu. Akan tetapi karena ia merasa ngeri untuk berdiam lebih lama lagi di dusun yang penuh mayat bergelimpangan, ia merasa girang diajak pergi dan setengah berlari mereka keluar dari dusun yang terbasmi habis oleh keganasan sepasang manusia aneh itu. Setelah agak jauh dari dusun itu, Han Han teringat bahwa keadaannya tadi amatlah berbahaya. Puluhan mayat berada di dalam dusun yang terbakar habis, dan yang hidup hanyalah dia dan Lulu” Bagaimana kalau sampai ada orang lain datang ke dusun itu? Tentu dia dan Lulu akan disangka menjadi penyebab kejadian mengerikan itu. Berpikir demikian, ia lalu memegang tangan Lulu dan diajaklah anak itu berlari. “Aduh.... aduh.... perlahan-lahan, Koko.... kakiku sakit....” Akan tetapi Han Han yang kini sadar akan bahaya yang mengancam mereka kalau sampai ada orang tahu, segera berjongkok dan berkata, “Lekas, mari kugendong....” Lulu sudah merasa lelah sekali, lelah karena semalam tidak tidur, ditambah tadi bekerja keras menggali kuburan, terutama sekali karena mengalami ketegangan hebat. Maka giranglah hatinya ketika kakak angkatnya hendak menggendongnya. Tanpa banyak cakap ia lalu merangkul leher Han Han dari belakang dan mengempit pinggang kakaknya dengan kedua kaki. Han Han bangkit berdiri lalu lari secepatnya. Tubuh Lulu yang hangat menempel tubuhnya membuat hatinya merasa girang sekali, merasa bahwa kini ada orang yang menyayangi, yang juga amat disayangnya dan yang harus ia lindungi. Keluarganya sudah habis, dan kini semua rasa sayang terhadap keluarganya itu ia tumpahkan kepada diri Lulu. Sambil merangkul kedua kaki adik angkatnya, ia berlari terus tanpa mengenal lelah. Ia harus pergi sejauh mungkin dari bukit di mana terdapat dusun perampok yang terbasmi habis itu. Sambil berlari, Han Han teringat akan semua peristiwa tadi. Ia bingung dan terheran-heran. Benarkah kakeknya adalah orang yang berjuluk Jai-hwa-sian itu? Kalau benar, mengapa ayahnya atau ibunya tidak pernah bercerita tentang kakeknya? Pernah ia bertanya tentang kakeknya, namun ayahnya hanya mengatakan bahwa kakeknya sudah pergi jauh tak diketahui tempatnya semenjak ayahnya masih kecil. Yang ia ketahui hanya bahwa kakeknya itu bernama Sie Hoat. Agaknya tidak mungkin kalau kakeknya itu adalah seorang sakti dan aneh seperti mendiang Can Ji Kun si Iblis Jantan, atau seperti Kang-thouw-kwi dan datuk-datuk lain. Kalau kakeknya seorang sakti, sedikitnya tentu ayahnya seorang yang berkepandaian pula. Akan tetapi ayahnya.... ah, hatinya kecewa sekali kalau ia teringat akan ayahnya. Teringat akan segala peristiwa yang menimpa ayahnya. Ayahnya memang tewas sebagai seorang gagah yang membela keluarga, akan tetapi seorang gagah yang lemah dan sama sekali tidak memiliki kepandaian silat. Ayahnya seorang lemah. Mungkinkah ayahnya putera seorang sakti? Jai-hwa-sian” Dewa Pemetik Bunga” Sudah banyak ia baca, dan ia tahu apa artinya seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga), yaitu seorang penjahat cabul yang suka memperkosa wanita” Biarpun sakti dan berilmu tinggi, akan tetapi jahat. Dan dia menjadi cucu seorang penjahat cabul? Ah, tak mungkin” Dan ia tidak sudi. Tentu hanya kesalahan tafsir belaka. Bukan” Dia bukan cucu Jai-hwa-sian. Akan tetapi, dia harus memenuhi permintaan Sepasang Pedang Iblis tadi yang telah menjadi gurunya, dia harus mencari Jai-hwa-sian dan menyerahkan sepasang kitab ilmu pedang itu. Apa pula rahasianya? Han Han memiliki daya ingatan yang amat kuat. Ketika ia mengenangnya kembali, terngiang di telinganya bisikan Can Ji Kun si Iblis Jantan, “Tambah satu titik di kiri, tambah dua coretan melintang, buang dua titik di bawah, buang satu coretan menurun.” Dia tidak tahu apa artinya ucapan itu, akan tetapi dia harus menghafalnya dan tak boleh melupakannya, karena ucapan rahasia itu harus disampaikan pula kepada Jai-hwa-sian bersama sepasang kitab ilmu pedang. Akan tetapi ke mana ia harus mencari Jai-hwa-sian? Dan ke mana ia harus pergi? Suhunya yang ke dua, Ma-bin Lo-mo tentu akan mencarinya dan kalau ia sampai ditangkap, celakalah” Dia harus pergi jauh, bersama Lulu. Ke mana? Ke kota raja” Dengan keputusan hati ini, Han Han melanjutkan larinya. Tanpa ia sadari kedua kakinya sudah lelah sekali. Hanya berkat kemauannya yang keras luar biasa maka ia dapat berlari terus sampai menjelang senja di mana ia tiba di pinggir sebuah sungai yang airnya jernih. Melihat air gemilang inilah yang membuat lemas seluruh persendian tulangnya. Sekali ia melihat air dan merasa haus, terasalah seluruh kebutuhan jasmaninya. Haus, lapar, lelah” Kakinya tersandung batu dan ia jatuh terguling” Akan tetapi karena teringat kepada Lulu, ia cepat memutar tubuh dan menyambar tubuh adik angkatnya, membiarkan dirinya yang jatuh terbanting di bawah, sedangkan tubuh Lulu tidak sampai terbanting. Bahu dan pundaknya terasa nyeri, akan tetapi ketika ia memandang Lulu yang dipeluknya, ia tertawa. “Bocah malas” Enak saja kau, ya?” Ia mengomel, akan tetapi yang diomelinya tidak menjawab sama sekali karena sejak tadi Lulu memang sudah tertidur pulas di atas punggung Han Han. Demikian pulas tidurnya sampai dia tidak merasa bahwa dia hampir terbanting jatuh. Melihat keadaan adiknya, hati Han Han diliputi penuh rasa sayang dan kasihan. Ia lalu merebahkan tubuh anak perempuan itu perlahan-lahan di atas rumput hijau tebal di pinggir sungai, kemudian ia turun ke sungai, mandi dan minum sampai kenyang. Setelah itu, ia kembali ke bawah pohon di mana Lulu masih tertidur nyenyak. Ia lalu menanggalkan bajunya dan diselimutkan pada tubuh Lulu karena ia melihat betapa anak itu dalam tidurnya agak menggigil, menarik kedua kakinya sampai lutut menempel ke dada tanda kedinginan. “Kasihan....” bisiknya penuh kasih sayang. Aku harus mencarikan makanan untuknya. Akan tetapi pada saat Han Han berdiri dan membalikkan tubuh hendak mencari makan, hampir ia menjerit saking kaget dan cemasnya. Ternyata, tanpa dapat didengarnya sama sekali, di situ telah berdiri Ma-bin Lo-mo” Bukan hanya kakek muka kuda itu sendiri yang datang, melainkan berempat, yaitu ada tiga orang lain lagi yang berdiri seperti arca dengan pandangan mata tak acuh kepada Han Han. Seorang adalah laki-laki gundul seperti hwesio, ke dua seorang laki-laki bermuka tengkorak saking kurusnya, dan yang ke tiga seorang laki-laki bermuka bopeng, penuh totol-totol hitam. Usia mereka itu rata-rata lima puluhan tahun, dengan sikap dingin yang menyeramkan. Adapun Ma-bin Lo-mo sendiri memandang kepada Han Han dengan muka bengis” Han Han bukan seorang penakut. Sama sekali tidak. Rasa takut seakan-akan telah terhapus dari hatinya bersama dengan terbasminya keluarganya. Dan ia memiliki rasa tanggung jawab yang tercipta daripada pengetahuannya tentang filsafat. Ia cerdik pula, kecerdikan yang timbul dari keadaan tidak wajar setelah ia hampir mati disiksa para perwira di rumahnya yang terbasmi dahulu. Kini ia pun cepat menggunakan pikirannya, tahu bahwa ia tak mungkin dapat meloloskan diri dari tangan gurunya yang amat lihai ini. Tahu pula bahwa tiada gunanya melawan atau mencoba untuk melarikan diri. Nasibnya sudah pasti. Akan tetapi dia tidak mau kalau sampai Lulu terbawa-bawa mengalami ben cana. Oleh karena itu, cepat pikirannya bekerja dan ia sudah menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Ma-bin Lo-mo. “Suhu.” “Hemmm, murid durhaka” Engkau sadar akan dosamu?” “Teecu sadar dan teecu tidak menyangkal. Teecu telah melarikan diri dari In-kok-san karena teecu ingin bebas.” Dia tidak mau menyebut terus terang bahwa kepergiannya itu terutama sekali karena ia tidak mau berpisah dari Lulu. “Karena itu, harap suhu suka menjalankan hukuman. Teecu menyerahkah sebelah kaki teecu, aken tetapi setelah hukuman terlaksana, harap Adik angkat teecu ini tidak diganggu dan biarkan teecu bersama dia.” Setelah berkata demikian, Han Han mengubah duduknya, tidak berlutut melainkan duduk dan melonjorkan kedua kakinya untuk dipilih suhunya, mana yang akan dibikin buntung” Diam-diam Ma-bin Lo-mo kagum bukan main. Belum pernah selama hidupnya ia menyaksikan seorang bocah yang memiliki ketabahan dan kekerasan hati seperti ini” Menyerahkan kaki begitu saja untuk dihukum potong tanpa sedikit pun memperlihatkan hati takut atau gentar, bahkan penyesalan pun tidak, minta maaf pun tidak, melainkan berani bertanggung jawab sepenuhnya” “Enak saja kau bicara” Karena Sian-kouw yang langsung mengajarmu, dia pula yang berhak menghukummu. Dan bocah ini yang menjadi gara-gara, akan kuhukum sendiri, hukum penggal kepala di depanmu” Kaget bukan main hati Han Han. Hal ini sama sekali tak pernah ia sangka-sangka, maka ia lalu menoleh kepada Lulu. Anak perempuan itu agaknya terjaga karena mendengar suara ribut-ribut, membuka matanya, mengucek-ucek mata kemudian memandang dengan sepasang mata lebar kepada Ma-bin Lo-mo dan tiga orang temannya. Melihat Han Han duduk bersimpuh, ia seperti merasa bahwa ada hal-hal tidak beres. Cepat ia menubruk kakaknya dan berkata. “Koko...., ada apa....? Siapakah orang-orang jahat ini” “Ssttt, diamlah Moi-moi. Beliau ini adalah guruku dan karena aku sudah bersalah meninggalkan perguruan, kakiku yang harus dihukum potong. Akan tetapi tidak mengapa asal kita tidak saling berpisah....” “Kakimu dipotong....? Tidak....” Tidak boleh” Wah, kau manusia jahat” Tidak boleh mengganggu Kakakku” Pergi.... pergi....” Lulu yang biasanya penakut itu, mendadak saja menjadi beringas dan galak seperti seekor anak harimau, berdiri menentang Ma-bin Lo-mo dengan mata terbelalak marah. “Moi-moi, ke sini....” Jangan begitu, aku melarangmu” Han Han berkata, maklum betapa berbahayanya sikap Lulu itu. “Tidak, sekali ini aku tidak mau menurutmu, Koko” Aku harus menentang niat keji manusia-manusia jahat ini” Enak saja, masa kaki mau dipotong? Tidak boleh, hayo kalian pergi, kakek-kakek jahat” Lulu masih berdiri dengen sikap menantang dan matanya yang lebar itu seolah-olah mengeluarkan api yang hendak membakar Ma-bin Lo-mo dan tiga orang temannya. Ma-bin Lo-mo memandang Lulu dengan alis berkerut. “Eh, bocah, kau siapakah? Mengapa kau membela muridku yang durhaka ini?” “Namaku Lulu dan aku telah menjadi adiknya, kakakku Han Han. Tentu saja aku membelanya” “Lulu namamu?” Ma-bin Lo-mo menggerakkan lengannya dan tahu-tahu ia sudah menyambar baju di punggung anak itu dan mengangkatnya. Lulu meronta-ronta dengan mata terbelalak, bergidik ketakutan melihat muka yang seperti kuda itu begitu dekat, mata yang bersinar aneh itu menelitinya. “Hemmm, namamu Lulu dan mukamu seperti ini, matamu.... hemmm, kau anak Mancu, ya?” Biarpun mulai ketakutan, namun Lulu masih marah. “Bukan, suhu.... bukan....” Han Han berteriak, mukanya pucat dan ia mengkhawatirkan keselamatan adik angkatnya itu. Akan tetapi alangkah kaget dan gelisahnya ketika ia mendengar Lulu menjawab nyaring, “Benar” Ayahku perwira Mancu dan keluargaku dibasmi orang-orang jahat seperti engkau ini” Lepaskan aku” Lepaskan” “Ngekkk” Lulu dibanting dan anak itu pingsan seketika. “Suhu” Jangan bunuh dia” Buntungkan kakiku, bunuhlah aku, akan tetapi jangan bunuh dia” Han Han berteriak-teriak sambil meloncat maju hendak menolong Lulu yang disangkanya mati. Sebuah tendangan membuat tubuh Han Han terguling. Ma-bin Lo-mo memandangnya dengan mata melotot marah. “Bocah setan” Murid durhaka” Engkau bersahabat malah mengangkat saudara dengan anak seorang perwira Mancu? Keparat” Tak tahu malu” Seharusnya kuhancurkan kepalamu sekarang juga kalau engkau bukan sudah menjadi murid Sian-kouw” Biar Sian-kouw yang akan menghukum dan menyiksamu” Dan bocah Mancu ini....” Ma-bin Lo-mo mengangkat tangan ke atas hendak memukul tubuh Lulu yang sudah pingsan tak bergerak itu. “Suhu, jangan....” Tiba-tiba terdapat perubahan pada wajah Ma-bin Lo-mo. Ia menyeringai dan mengangguk-angguk. “Hemmm...., bagus sekali. Dia anak seorang perwira Mancu, ya? Bagus” Bisa dipakai untuk mengundurkan orang-orang Mancu yang menjadi saingan mencari pulau....” Ia tidak melanjutkan kata-katanya, melainkan cepat sekali tangannya bergerak dan ia sudah menotok Han Han. Kemudian ia memberi isyarat kepada tiga orang kawannya. Laki-laki muka tengkorak lalu menyambar tubuh Lulu yang sudah lemas dan dikempitnya. Adapun laki-laki yang mukanya bopeng dan bertotol-totol hitam itu lalu menyambar tubuh Han Han yang tak mampu bergerak, juga dikempitnya. Kemudian mereka berempat lalu lari cepat sekali meninggalkan tempat itu. Kiranya tak jauh dari situ terdapat sebuah perahu yang diikat di pinggir sungai. Mereka melompat ke dalam perahu dan setelah mendayung perahu ke tengah dan layar dipasang, meluncurlah perahu itu, menuju ke laut. Han Han dan Lulu diikat kaki tangannya lalu dilemparkan ke dek perahu, kemudian totokannya dibebaskan. Lulu juga sudah siuman dan mengeluh. Ketika melihat, bahwa dia terbelenggu dan terlentang di atas dek perahu, Lulu cepat memandang ke arah kaki Han Han yang juga terbelenggu di sampinnya. Anak ini menarik napas lega dan berbisik. Han-ko.... syukur kakimu masih utuh....” Anak ini terisak. “Diamlah Lulu. Jangan menangis...” “Aku.... aku.... takut, Koko.” “Jangan putus harapan. Selama nyawa kita masih ada, tidak perlu kita putus harapan.” “Tapi.... mereka jahat sekali....” “Hushhh, diamlah....” Mereka itu seperti dua ekor kelinci muda yang akan disembelih. Hanya mata mereka saja yang dapat bergerak memandangi empat orang itu yang duduk di tengah perahu. Si Muka Bopeng mengemudikan perahu dan yang tiga lainnya duduk diam tak bergerak. Kemudian Ma-bin Lo-mo yang duduknya paling dekat dengan kedua orang anak itu, memandang Han Han dan menghela napas panjang seperti orang menyesal sekali. Mulutnya mengomel. “Murid murtad....” Murid durhaka....” Han Han tidak putus harapan. Kalau gurunya itu hendak membunuh Lulu, tentu dilakukannya sejak tadi. Dengan menawan mereka berdua, hal itu menyatakan bahwa untuk sementara ini mereka berdua selamat, tidak akan terbunuh, dan tentu masih dibutuhkan. Dia tidak takut menghadapi hukuman potong kaki, yang dikhawatirkan adalah keselamatan Lulu yang kini telah dikenal sebagai puteri seorang perwira Mancu. “Suhu, murid sudah mengaku berdosa dan siap menerima hukuman. Akan tetapi Lulu ini sama sekali tidak berdosa, harap suhu mengampuni anak kecil yang tidak tahu apa-apa ini.” “Cerewet” Engkau akan menerima hukuman dari Sian-kouw sendiri, adapun bocah Mancu itu, setelah aku tidak membutuhkannya lagi, akan kupenggal di depan matamu” “Suhu....” “Diam” Kau murid murtad, pengkhiahat yang berkawan dengan musuh” Membuka mulut lagi, akan kutampar mulutmu sampai rusak” Han Han tidak bodoh, dan tidak mau lagi membuka mulut. Ma-bin Lo-mo segera bercakap-cakap sambil berbisik-bisik dengan tiga orang kawannya, tidak mempedulikan lagi kepada Han Han dan Lulu. “Han-ko,” Lulu berbisik. “Dia itu kejam dan jahat, mengapa engkau berguru kepada seorang seperti dia?” “Hushhh, diamlah, Lulu. Dia sakti sekali, maka aku berguru kepadanya.” Perahu kecil itu meluncur cepat sekali dan menjelang malam perahu masuk ke lautan dan mulailah pelayaran itu amat sengsara bagi Han Han dan Lulu. Perahu diombang-ambingkan ombak laut dan kedua orang anak yang tidak biasa naik perahu di laut itu menjadi mabuk laut. Han Han yang telah memiliki sin-kang yang amat kuat, dapat menahan rasa mabuk itu dan tidak terlalu pening, akan tetapi sungguh kasihan sekali keadaan Lulu. Bocah ini menjadi pening, mukanya pucat sekali dan ia muntah-muntah. Karena tangan kedua orang anak itu dibelunggu ke belakang, maka Han Han tidak dapat menolongnya dan Lulu sendiri terpaksa hanya dapat memutar tubuhnya, rebah miring sehingga muntahannya tidak mengotorkan pakaian. “Suhu....” Harap tolong membebaskan belenggu tangan Adikku lebih dulu....” Dia....” Dia sakit” Ma-bin Lo-mo hanya menengok, lalu memberi isyarat kepada Si Kepala Gundul yang bangkit berdiri menghampiri Lulu. Tangannya bergerak cepat menotok pundak Lulu yang segera menjadi lemas dan.... tertidur. Karena tertidur ini maka anak itu tertolong, tidak begitu menderita lagi dan tidak lagi mabuk-mabuk. Han Han bersyukur akan tetapi juga kagum. Kiranya tiga orang kawan gurunya itu pun bukan orang-orang sembarangan dan tentu memiliki kepandaian yang amat lihai. Malam itu mereka berdua diberi makan dan minum dan untuk keperluan ini mereka dibebaskan sebentar. Setelah makan dan minum, mereka disuruh tidur di dekat dek perahu dengan kedua tangan masih dibelenggu ke belakang dengan tubuh mereka, akan tetapi kaki mereka bebas. Tentu saja dalam keadaan seperti itu, Han Han dan Lulu sama sekali tidak dapat tidur pulas. Lulu mulai menangis, akan tetapi dihibur oleh Han Han yang tetap bersemangat tinggi dan berhati besar. “Lihat, alangkah indahnya pemandangannya, Adikku. Lihat itu di langit, bintang-bintang bertaburan seperti intan berlian. Dan laut amat tenangnya, seolah-olah kita tidak bergerak, ya? Padahal lihat layarnya berkembang dan perahu ini sebetulnya maju cepat sekali.” Lulu terhibur dan setelah melihat ke kanan kiri yang adanya hanya air yang tertimpa sinar bintang-bintang yang suram, ia bertanya. “Kita ini.... dibawa ke mana, Koko?” “Entahlah, akan tetapi kalau tidak salah, suhu dan teman-temannya itu sedang mencari sebuah pulau. Pernah aku mendengar para suheng dan suci bercerita tentang Pulau Es.” “Pulau Es? Di mana itu? Mau apa ke sana?” Lulu bertanya, suaranya penuh kekhawatiran. “Aku sendiri pun tidak tahu. Aku selalu berada di sampingmu, bukan? Selama aku di sampingmu, tidak usah kau takut. Aku akan melindungimu dengan sekuat tenagaku.” “Koko....” Lulu menangis. “Eh, malah menangis. Ada apa?” “Koko, mengapa kau begini baik kepadaku?” Suara Lulu terisak-isak. “Aihhh, aneh benar pertanyaanmu. Kau kan Adikku, tentu saja aku baik kepadamu. Di dunia ini aku hanya mempunyai kau, dan kau hanya mempunyai aku.” “Han-ko....” Lulu kembali menangis dan anak ini lalu menggeser tubuhnya, merebahkan kepalanya di dada kakak angkatnya itu. Dalam keadaan seperti ini, akhirnya kedua orang anak itu tertidur. Perahu kecil itu melakukan pelayaran selama tiga hari tiga malam. cepat sekali karena di waktu angin berkurang, mereka berempat menggunakan dayung dan karena mereka berempat merupakan orang-orang sakti yang memiliki sin-kang kuat sekali, biarpun hanya didayung, perahu itu meluncur amat cepatnya. Tujuan perahu itu adalah ke arah utara. Kalau air laut sedang tenang, Han Han dan Lulu tidak amat menderita, akan tetapi apabila perahu dipermainkan gelombang besar, mereka menderita sekali, terutama Lulu. Pada hari ke empat, pagi-pagi sekali matahari mulai muncul di permukaan air sebelah timur, Si Muka Bopeng tiba-tiba berseru kaget. “Perahu di sebelah depan” Mereka semua memandang, termasuk Han Han dan Lulu. Benar saja, di sebelah depan tampak sebuah perahu yang mengembangkan layarnya, perahu yang bercat hitam, juga layarnya berwarna hitam. Ma-bin Lo-mo memandang ke utara, ke arah perahu itu dan melindungi matanya dari sinar matahari dari kanan. Pandang matanya tajam sekali, lebih tajam daripada kawan-kawannya dan setelah memandang dengan pengerahan tenaga sakti pada kedua matanya, ia berkata. “Perahu itu bukan perahu pemerintah Mancu. Selain tidak begitu besar, juga kulihat tidak ada tentara di atas perahu, hanya ada belasan orang. Juga bukan perahu nelayan, agaknya perahu orang-orang kang-ouw yang akan menjadi saingan kita. Kejar” Kita harus basmi mereka, lebih sedikit saingan lebih baik” Layar tambahan dipasang, Si Muka Bopeng memegang kemudi dan tiga orang sakti itu masih menambah kelajuan perahu dengan gerakan dayung mereka. Perahu kecil ini meluncur cepat sekali melakukan pengejaran terhadap perahu yang berada di depan. Tak lama kemudian perahu itu dapat disusul dan agaknya perahu yang berada di depan juga melihat adanya perahu kecil yang menyusul mereka, dan para penumpangnya agaknya tidak merasa takut, buktinya perahu itu tidak melarikan diri, bahkan seolah-olah menanti datangnya perahu kecil yang mengejar. Akhirnya perahu itu berdekatan, dengan jarak hanya beberapa meter. Kini tampak jelas kebenaran ucapan Ma-bin Lo-mo tadi. Perahu itu bukan perahu pemerintah, juga bukan perahu nelayan. Yang berada di atas perahu itu adalah tiga belas orang, yang sebelas pria yang dua wanita. Kedua orang wanita itu berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, cantik dan gagah. Sebelas orang pria itu berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun. Yang amat mencolok adalah pakaian mereka yang dasarnya berwarna hitam dan mereka semua membawa golok yang tergantung di pinggang dan tampaknya sikap mereka gagah. Han Han memandang dengan hati tegang. Ia maklum bahwa akan terjadi hal yang mengerikan. Ketika ia menoleh ke arah Ma-bin Lo-mo, ia melihat Iblis Muka Kuda itu duduk bersila dan memandang ke arah perahu itu dengan pandang mata dingin dan sikap tak acuh. Si Hwesio dan Si Muka Bopeng juga memandang penuh perhatian, sedangkan orang yang bermuka tengkorak segera berkata lirih kepada Ma-bin Lo-mo. “Mereka adalah orang-orang dari Hek-liong-pang (PerkumpuJan Naga Hitam)” “Sikat saja, habiskah mereka” kata Ma-bin Lo-mo dengan suara dingin sehingga Han Han yang maklum maksudnya menjadi ngeri. Lulu hanya memandang dengan mata terbelalak, tidak tahu apa yang akan terjadi. “Akan tetapi, Siangkoan-locianpwe mereka itu adalah orang segolongan..” Si Muka Tengkorak berkata dengan muka berubah, ragu-ragu dan khawatir. Ma-bin Lo-mo memandang kawannya ini dengan sinar marah. “Orang she Swi, kau ini pembantu macam apa? Kita sudah berjanji, kalian bertiga yang sudah biasa dengan pelayaran dan tahu jalan, menjadi pembantu-pembantuku dan jika berhasil perjalanan ini, kalian akan kuberi masing-masing sejilid kitab ciptaanku mengenai ilmu silat tinggi. Syaratnya kalian harus menurut dan melaksanakan semua perintahku. Sian-kouw yang memilih kalian. Apakah kini engkau hendak membantah? Apakah kau takut menghadapi tikus-tikus itu?” “Tidak.. tidak takut. hanya.” “Cukup” Hadapi mereka, dan sampaikan pesanku agar mereka tiga belas orang itu cepat meloncat ke laut karena perahu mereka akan aku tenggelamkan. Dengan demikian, kita tidak membunuh mereka, hanya merusak perahunya.” Han Han bergidik. Gurunya ini benar-benar kejam sekali. Kalau tiga belas orang itu dipaksa meninggalkan perahu dan meloncat ke laut, apa bedanya dengan membunuh mereka? Mereka berada di laut bebas, tidak tampak dara tan, mana mungkin mereka dapat berenang menyelamatkan diri? Kalau tidak mati tenggelam tentu akan mati di perut ikan” Sementara itu, tiga belas orang di atas perahu hitam itu agaknya sudah mengenal Si Muka Tengkorak. Seorang di antara mereka, yang tertua, berusia empat puluh tahun dan berjenggot panjang, segera mengangkat tangan menjura ke arah Si Muka Tengkorak sambil berkata nyaring. “Ah, kiranya Swi Coan Lo-enghiong yang membalapkan perahu mengejar kami? Harap Lo-enghiong menerima salam hormat kami yang melakukan perintah ketua kami melakukan pelayaran ini.” “Cu-wi (Tuan Sekalian) melaksanakan perintah apa maka berlayar sampai disini?” Suara Si Muka Tengkorak terdengar dingin. Pimpinan orang-orang Hek-liong-pang itu mengerutkan alisnya yang tebal. “Kami menerima tugas rahasia dari Pangcu (Ketua) kami dan bukanlah hak kami untuk menceritakannya kepada siapa juga. Kalau Lo-enghiong ingin mengetahui, hendaknya Lo-enghiong bertanya kepada Pangcu kami sendiri.” “Bukankah kalian disuruh mencari Pulau Es? Berarti kalian menyaingi kami” Si Muka Tengkorak bertanya, suaranya marah karena biarpun di hatinya ia tidak setuju akan perintah Ma-bin Lo-mo, namun untuk melaksanakan perintah ini ia harus mencari alasan. Pimpinan rombongan Hek-liong-pang yang berjenggot panjang itu tersenyum dan berkata. “Mana mungkin kami dapat menang bersaing dengan Lo-enghiong? Kami hanya mengandalkan nasib baik Pangcu kami.” “Hemmm, kalian sudah berani mati menyaingi kami mencari Pulau Es, maka jangan sesalkan aku kalau harus mengambil kekerasaan terhadap kalian.” Tiga belas orang Hek-liong-pang itu mengeluarkan seruan marah. Mereka semua mengenal Si Muka Tengkorak dan tahu akan kelihaiannya, akan tetapi karena selama ini Si Muka Tengkorak bersahabat dengan Pangcu mereka, sungguh mereka tidak menyangka bahwa orang tua itu akan memusuhi mereka. “Swi Coan Lo-enghiong” Pulau Es adalah sebuah pulau yang bebas, bahkan pemerintah sendiri belum pernah menguasainya. Siapapun berhak untuk mencarinya. Kami melaksanakan perintah Pangcu kami, dan Lo-enghiong adalah seorang yang sudah mengenal baik Pangcu kami. Dalam usaha yang bebas ini, bagaimana Lo-enghiong mengatakan kami menyaingi dan Lo-enghiong hendak melarang kami? Harap Lo-enghiong suka ingat akan persahabatan Lo-enghiong dengan Pangcu kami.” “He-hemmm..” Si Muka Tengkorak terbatuk-batuk dan menjadi agak kikuk juga. Dia tidak takut kepada orang-orangHek-liong-pang ini, dan terhadap Pangcu mereka, dia hanya merupakan seorang kenalan saja. Tentu saja ia merasa sungkan, akan tetapi dia pun sudah mengenal siapa Ma-bin Lo-mo dan melanggar janji terhadap kakek sakti ini berarti bunuh diri. Maka ia lalu berkata. “Kalian mentaati perintah, aku pun demikian. Tidak ada jalan lain, kalian harus meninggalkan perahu kalian, sekarang juga karena perahu kalian harus ditenggelamkan di sini” Kembali seruan marah dan penasaran keluar dari tiga belas buah mulut dan wajah para rombongan Hek-liong-pang menjadi merah. Si Jenggot Panjang yang tahu bahwa perintah itu merupakan perintah yang mengajak berkelahi, menyangka bahwa tentu diantara orang-orang yang berada di samping Swi Coan itu yang merupakan biang keladinya. Akan tetapi dia tidak mengenal yang lain-lain dan melihat bahwa di situ terdapat dua orang anak dalam keadaan terbelenggu, dia mengerutkan keningnya dan bertanya. “Kalau kami boleh bertanya, siapakah yang mengeluarkan perintah gila itu? Apakah Losuhu (sebutan untuk hwesio) itu?” Si Muka Tengkorak Swi Coan tersenyum dan mukanya makin mengerikan karena seperti tengkorak yang dapat tertawa. “Losuhu ini adalah sahabatku yang terkenal di dunia kang-ouw, yaitu Kek Bu Hwesio seorang tokoh dari Kong-thong-pai.” Tiga belas orang anak buah Hek-liong-pang terkejut. Nama Kek Bu Hwesio memang amat terkenal sebagai seorang tokoh yang menyeleweng dari Kong-thong-pai sehingga terusir dari perkumpulan silat yang besar itu. Mereka semua maklum bahwa hwesio itu memiliki kepandaian yang tinggi sekali. “Adapun dia itu adalah Ouw Kian yang terkenal dengan julukan Ouw-bin-taihiap (Pendekar Besar Bermuka Hitam).” Kembali tiga belas orang itu terkejut. Dalam dunia kang-ouw nama Si Muka Bopeng ini sungguh tidak kalah oleh nama besar Kek Bu Hwesio atau bahkan Si Muka Tengkorak sendiri. Ouw-bin-tai-hiap hanya julukannya saja taihiap (pendekar besar), akan tetapi sebetulnya memiliki cacat yang amat menyolok, yaitu merupakan seorang pendekar yang biarpun suka memusuhi orang-orang golongan liok-lim (perampok dan bajak) namun terkenal pula sebagai seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga alias tukang memperkosa wanita). Tak mereka sangka bahwa Si Muka Tengkorak itu kini berkawan dengan orang-orang pandai itu. “Hemmm, nama besar kedua orang Lo-enghiong ini pun sudah kami dengar sejak lama, namun sepanjang ingatan kami, belum pernah kami dari Hek-liong-pang bentrok dengan mereka. Mengapa mereka sekarang memusuhi kami?” “Sama sekali tidak memusuhi” kata Si Muka Tengkorak Swi Coan. “Seperti juga aku, kedua orang sahabatku ini pun hanya pembantu-pembantu yang mentaati perintah beliau ini.” Dia menuding ke arah Ma-bin Lo-mo yang masih duduk bersila sambil tidak menghiraukan mereka sama sekali, seperti orang mengantuk. Kini tiga belas pasang mata memandang ke arah Ma-bin lo-mo dengan heran dan penuh rasa penasaran. Kakek berpakaian hitam itu kelihatannya saja aneh, mukanya amat buruk dan lucu, seperti muka kuda. Akan tetapi mereka belum pernah melihatnya sama sekali. Tiga orang itu biarpun sakti, namun para anak buah Hek-liong-pang yang mengandalkan jumlah banyak masih tidak merasa gentar, apalagi terhadap kakek asing yang mukanya seperti kuda itu. “Siapakah locianpwe ini?” tanya Si Jenggot Panjang menyebut locianpwe karena dapat menduga bahwa biarpun mereka belum mengenalnya, namun kakek yang memiliki tiga orang pembantu seperti tiga orang tokoh itu pastilah seorang yang amat tinggi kepandaiannya dan pastilah terkenal. Swi Coan tersenyum lebar. “Kalian ini orang-orang muda seperti tidak bermata dan tidak bertelinga, masa tidak mengenal Siangkoan-locianpwe dari In-kok-san?” Si Jenggot Panjang dan para adik seperguruannya memandang dengan mata terbelalak penuh perhatian, namun mereka tidak juga dapat mengingat siapa adanya seorang sakti she Siangkoan yang berdiam di In-kok-san. Akan tetapi seorang di antara dua wanita itu berkata lirih. “Mukanya.. jangan-jangan dia.. Ma-bin Lo-mo..” Tiga belas orang itu terkejut dan memandang makin terbelalak. Ma-bin Lo-mo menengok dan memandang tiga belas orang itu. “Lihat baik-baik, bukankah mukaku seperti muka kuda? Aku memang Ma-bin Lo-mo. Hayo kalian lekas-lekas meloncat ke air dan hal ini hanya kulakukan mengingat kalian telah mengenal Swi Coan.” Tiga belas orang anggauta Hek-liong-pang itu benar-benar kaget. Mereka tidak pernah mengira akan berjumpa dengan seorang di antara datuk-datuk persilatan yang kabarnya sudah menyembunyikan diri itu, di antaranya adalah Si Muka Kuda ini. Akan tetapi karena perintah gila itu sama artinya dengan membunuh diri, tentu saja mereka sedapat mungkin hendak membela diri. “Maaf, Locianpwe. Terpaksa kami tidak dapat meninggalkan perahu, karena kami harus tunduk terhadap perintah Pangcu kami.” “Swi Coan, tidak lekas turun tangan menunggu apa lagi?” Ma-bin Lo-mo membentak kepada tiga orang pembantunya. “Kalian tidak lekas meloncat meninggalkan perahu?” teriak Si Muka Tengkorak sambil berjalan ke pinggir perahu, diikuti oleh dua orang temannya. “Suhu” Kalau mereka disuruh meloncat ke air, bukankah hal itu sama saja dengan membunuh mereka? Mereka tidak bersalah, mengapa akan dibunuh?” Han Han tidak dapat menahan kemarahannya lagi, berteriak nyaring. “Tutup mulutmu, murid murtad” bentak Ma-bin Lo-mo marah. Tentu saja tiga belas orang anggauta Hek-liong-pang menjadi terheran-heran mendengar betapa anak laki-laki yang dibelenggu itu menyebut suhu kepada Ma-bin Lo-mo. Murid sendiri dibelenggu seperti itu, apalagi terhadap orang lain. Alangkah kejamnya Si Muka Kuda itu. Akan tetapi karena mereka semua maklum bahwa kalau meloncat ke air tentu mati, Si Jenggot Panjang berkata. “Sungguh mentakjubkan” Si murid lebih bijaksana daripada gurunya” Sam-wi Lo-enghiong (Tiga Orang Tua Gagah), karena kami adalah orang-orang yang menjunjung kegagahan dan sebagai anak buah Hek-liong-pang yang mentaati perintah Pangcu, juga sebagai orang-orang gagah yang tentu saja hendak mempertahankan nyawa, kami terpaksa akan membela diri dan tidak mau menurut perintah gila itu” “Orang-orang muda yang keras kepala” teriak Ouw Kian si muka Bopeng dan mereka bertiga sudah meloncat dengan gerakan ringan sekali ke atas perahu Hek-liong-pang itu. Sebagai orang-orang yang lebih tinggi tingkatnya, tiga orang itu tidak mengeluarkan senjata mereka dan hendak memaksa tiga belas orang lawan mereka itu untuk dilempar ke laut. Akan tetapi mereka kecelik. Tiga belas orang itu adalah tokoh-tokoh pilihan dari Hek-liong-pang dan kini ketua mereka mengutus mereka melakukan pekerjaan yang amat penting, yaitu mencari Pulau Es. Tentu saja ketua Hek-liong-pang tidak mau mengutus anak buah yang kepandaiannya rendah. Begitu melihat tiga orang kakek yang lihai itu meloncat ke perahu mereka, tiga belas orang itu sudah siap mencabut golok masing-masing dan membentuk sebuah barisan melingkar, merupakan lingkaran yang kokoh kuat, barisan golok yang sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Begitu tiga orang kakek itu mendarat di perahu mereka, tiga belas orang yang membentuk lingkaran ini sudah bergerak, setengah berlari berputaran sehingga lingkaran itu bergerak-gerak dan tiga orang kakek berada di luar lingkaran. Ketika tiga orang kakek itu sambil berteriak maju menyerang dengan kedua tangan mereka, hendak mencengkeram seorang lawan dan dilempar ke laut, mereka masing-masing bertemu, dengan tiga empat buah golok yang sekaligus menangkis dan membacok secara lihai sekali. Mereka terkejut dan cepat mengelak dan hendak membalas dengan hantaman kilat. Namun lingkaran itu bergerak dan mereka berhadapan dengan lain lawan sehingga mereka kembali harus mengubah posisi dan gerakan. Ternyata barisan tiga belas golok ini lihai sekali dan dapat bekerja sama dengan baik, saling membantu dan saling melindungi. Tiga orang kakek itu mulai berputaran mengelilingi lingkaran itu, melakukan segala usaha untuk menyerang, namun selalu tidak berhasil. Andaikata tiga belas orang anggauta Hek-liong-pang itu mau menyerang, tentu mereka bertiga akan dapat “memasuki” pertahanan mereka dan merobohkan seorang di antara mereka. Akan tetapi, tiga belas orang itu tahu bahwa tingkat kepandaian lawan mereka jauh lebih tinggi maka mereka memusatkan perhatian dan tenaga mereka semata-mata untuk pertahanan sehingga kedudukan mereka kuat sekali. Betapapun tiga orang kakek itu berusaha, selalu serangan mereka gagal, karena setiap serangan seorang diantara mereka berhadapan dengan tiga empat orang yang menangkisnya. Setelah lewat dua puluh jurus belum juga tiga orang pembantunya merobohkan seorang pun di antara tiga belas orang anggauta Hek-liong-pang, Ma-bin Lo-mo menjadi hilang sabar. “Sialan” Kalian menjadi pembantu-pembantuku namun tiada gunanya. Mundur semua” Seruan ini segera diturut oleh tiga orang pembantunya yang meloncat kembali ke perahu kecil. Sesungguhnya, kalau mereka itu mau mencabut, senjata masing-masing dan mengeluarkan seluruh kepandaian, agaknya mereka akan berhasil. Namun mereka memang setengah hati dalam pertandingan itu, masih agak segan mengingat bahwa Hek-liong-pang bukanlah musuh dan bahkan masih terhitung segolongan. Ketua Hek-liong-pang yang bernama Ciok Ceng, berjuluk Hek-hai-liong (Naga Laut Hitam) adalah seorang bajak laut dan juga bajak sungai yang terkenal sekali, dan terkenal sebagai bajak yang hanya mau membajak perahu-perahu saudagar dan pembesar, tidak pernah mengganggu rakyat atau nelayan, dan juga tidak pernah memusuhi orang-orang kang-ouw. Kini terdengarlah lengking tinggi yang menyeramkan dan tubuh Ma-bin Lo-mo yang tadinya masih duduk bersila, tahu-tahu mencelat ke arah perahu Hek-liong-pang itu dengan gerakan yang cepat sekali. Tiga belas orang itu terkejut melihat tubuh kakek muka kuda itu tahu-tahu sudah menyambar ke arah mereka dan barisan itu cepat bersiap-siap dengan golok melintang di dada. Akan tetapi mereka menjadi makin terkejut karena kakek itu begitu menotolkan kedua kaki di perahu mereka, perahu itu terguncang keras sehingga kuda-kuda kaki mereka pun menjadi kacau. Dan pada saat itu Ma-bin Lo-mo melakukan gerakan meloncat seperti terbang mengelilingi mereka dengan kedua lengannya bergerak-gerakseperti mendorong. Terdengar pekik-pekik mengerikan dan dalam sekejap mata saja terdengar golok terlepas dari tangan, berjatuhan di lantai perahu berkerontangan disusul robohnya tubuh mereka. Tiga belas orang itu roboh malang-melintang dan menggeliat-liat dengan wajah berubah, mula-mula pucat, kemudian makin lama menjadi biru dan tubuh mereka yang menggeliat-geliat itu menggigil kedinginan. Mereka itu telah menjadi korban pukulan Swat-im Sin-ciang dan akibatnya benar-benar mengerikan sekali. Mereka itu mati tidak hidup pun tidak, melainkan tersiksa oleh rasa nyeri yang diakibatkan oleh hawa dingin yang seolah-olah membuat isi dada mereka membeku” “Hemmm, kalian memang sudah bosan hidup” kata Ma-bin Lo-mo, kemudian kakek sakti ini menyambar sebatang golok musuh yang berserakan di lantai perahu, dan dengan senjata ini ia meloncat ke kepala perahu, membacok beberapa kali ke lantai dan pecahlah dasar perahu sehingga air mulai menyemprot masuk” Setelah melempar golok itu ke air, ia lalu melompat dengan enaknya ke perahu sendiri. Empat orang kakek itu berdiri di perahu mereka, memandang perahu hitam yang mulai tenggelam, membawa tiga belas orang yang menggeliat-geliat dalam sekarat. “Ohhh.. kejam sekali.. aahhh, Koko, aku takut..” Lulu berkata lirih dan mulai menangis. Han Han hanya menggigit bibir dan diam-diam membuat perbandingan antara kakek yang menjadi gurunya ini dengan Kang-thouw-kwi Gak Liat, sukar ia menentukan siapa di antara kedua orang itu yang lebih kejam hatinya. Memang mereka memiliki “pegangan” yang berbeda, yaitu kalau Kang-thouw-kwi Gak Liat merupakan seorang yang mau tunduk kepada kerajaan Mancu, sedangkan Si Muka Kuda ini menjadi seorang penentang bangsa Mancu, namun baginya, kedua orang itu merupakan orang-orang yang memiliki pribadi yang amat mengerikan, memiliki watak kejam yang mudah saja membunuhi orang lain seperti orang membunuh semut saja. Ketika perahu Hek-liong-pang itu tenggelam, Han Han membuang muka, bukan merasa ngeri, melainkan merasa muak dan diam-diam ia mempertebal keinginannya untuk mempelajari ilmu silat sehingga menjadi orang pandai yang kelak akan dapat menentang manusia-manusia iblis seperti Kang-thouw-kwi Gak Liat dan Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee yang dianggap sebagai datuk-datuk golongan hitam ini. Kembali tiga hari tiga malam telah lewat. Kini mereka benar-benar berada di tengah lautan yang bebas dan kedua orang anak itu kini tidak dibelenggu lagi, karena mereka diharuskan membantu memasak air dan nasi. Han Han dan Lulu bekerja tanpa banyak cakap, hanya di waktu malam, kalau Lulu kedinginan karena mereka diharuskan tidur di dek yang terbuka, Han Han memeluk adiknya ini untuk menghangatkan tubuh adiknya, menghibur jika adiknya menangis dan ketakutan. Dan pada hari ke empatnya, jadi telah tujuh hari mereka memasuki lautan, perahu tiba di daerah yang banyak pulau-pulaunya. Pulau-pulau kecil yang mulai tampak dari jauh. “Sudah belasan kali aku berkeliaran di antara pulau-pulau itu, selama puluhan tahun yang lalu, namun tak pernah berhasil menemukan Pulau Es,” kata Ma-bin Lo-mo kepada tiga orang pembantunya sambil berdiri di kepala perahu dan menghela napas. “Akan tetapi, sekarang kabarnya banyak yang mulai mencari-cari, tentu pulau itu telah muncul pula di permukaan air.” “Apakah dahulu pulau itu tenggelam?” tanya Kek Bu Hwesio, tertarik. “Begitulah, agaknya. Ada kalanya tenggelam dan ada kalanya timbul. Kalau tidak begitu, masa dahulu dicari oleh banyak orang tidak pernah dapat ditemukan?” “Siangkoan Locianpwe, benarkah kabarnya bahwa di atas Pulau Es itu dahulu tinggal seorang yang maha sakti?” Tanya Si Muka Tengkorak. “Saya mendengar, manusia dewa Koai-lojin tinggal di sana..?” tanya Ouw Kian si Muka Bopeng. “Kalian bantu saja aku mendapatkan Pulau Es itu, tak usah banyak tanya-tanya. Kalau berhasil, kitab-kitab ciptaanku akan membuat kalian menjadi orang-orang yang benar-benar lihai, tidak seperti sekarang ini, mengalahkan tiga belas ekor tikus Hek-liong-pang saja masih sulit.” “Ada perahu lagi..” Terlambat Han Han menutup mulut Lulu dengan tanganya. Empat orang itu sudah menengok ke belakang dan benar saja, tampak sebuah perahu besar sekali datang dengan cepatnya dari arah belakang. Kalau Han Han yang melihatnya, dia tentu tidak akan mau memberi tahu karena ia khawatir kalau-kalau penumpang-penumpang perahu itu akan menjadi korban kekejaman Ma-bin Lo-mo lagi. Akan tetapi mereka sudah mendengar dan sudah melihat datangnya perahu itu, maka ia pun hanya ikut memandang dengan kening berkerut. Seperti juga tiga hari yang lalu ketika perahu Hek-liong-pang itu muncul, kini Ma-bin Lo-mo menggunakan kekuatan pandang matanya untuk meneliti perahu besar itu dan suaranya terdengar tegang ketika ia berkata. “Wah, sekali ini perahu Mancu” Kalian bertiga harus hersiap-siap dan jangan seperti anak kecil seperti ketika menghadapi Hek-liong-pang. Kurasa Setan Botak berada di pulau itu dan kita harus bersiap untuk bertempur mati-matian. Lawan yang sekarang ini tidak boleh dipandang rendah.” “Setan Botak ? Kang-thouw-kwi...?” Si Muka Tengkorak Swi Coan berkata dengan suara gentar. Menggelikan sekali bagi Han Han melihat orang yang mukanya buas mengerikan seperti itu kini kelihatan ketakutan” “Tak usah khawatir” Gak Liat adalah lawanku dan kalian hanya menghadapi orang-orang Mancu. Gak Liat tidak akan begitu bodoh untuk membawa orang-orang kang-ouw membantunya. Dia sendiri mengilar untuk mendapatkan pulau itu, dan hanya membonceng kepada orang-orang Mancu. Ha-ha-ha” Sekali ini pun dugaan Ma-bin Lo-mo amat tepat. Perahu besar itu perahu Kerajaan Mancu dan karena besar dan layarnya banyak, amat laju dan sebentar saja perahu Ma-bin Lo-mo tersusul. Setelah makin dekat, tiga orang kakek itu pun dapat melihat seorang botak berdiri di kepala perahu, sedangkan anak buah perahu besar itu terdiri dari kurang lebih tiga puluh orang tinggi besar berpakaian perwira-perwira Mancu” “Bagus” Hanya tiga puluh orang perwira Mancu” Tiga belas orang Hek-liong-pang tadi masih lebih berat kalau dibandingkan dengan tiga puluh ekor anjing Mancu. Kalian bertiga sikat habis mereka, dan mengenai Setan Botak, akulah lawannya” kata Ma-bin Lo-mo penuh semangat. “Mereka berada di sekitar daerah ini, kalau begitu tujuan kita tidak keliru. Pasti Pulau Es berada di sekitar tempat ini. Perwira-perwira Mancu itu tidak akan membuang waktu sia-sia kalau belum tahu dengan pasti.” Pada saat itu, biarpun jarak di antara kedua perahu itu masih jauh, terdengar suara yang terbawa angin, jelas dan mengandung getaran amat kuatnya” “Ha-ha-ha-ha” Iblis Muka Kuda, engkau di sana itu? Ha-ha-ha, bagus sekali” Aku akan setengah mati kegirangan menyaksikan engkau mampus di tengah lautan” Swi Coan, Kek Bu Hwesio, dan Ouw Kian terkejut sekali. Seorang yang memiliki khikang begitu kuat, yang dapat mengirim suara menerobos angin laut sehingga dalam jarak sejauh itu dapat terdengar begitu jelas, adalah seorang lawan yang amat berat” Akan tetapi kegelisahan mereka lenyap dan terganti kagum ketika mereka melihat Ma-bin Lo-mo berdiri di kepala perahu sambil mengeluarkan suaranya yang didorong oleh khikang yang amat kuat. Suara itu terdengar perlahan saja oleh tiga orang itu, akan tetapi menggetar dan penuh tenaga mujijat. “Gak Liat Si Setan Botak” Engkau menggiring anjing-anjing Mancu ke sini? Bagus, dekatkan perahumu dan mari kita bertanding sampai seorang di antara kita menjadi santapan ikan” Adapun anjing-anjing Mancu itu, suruh mereka mengeroyok” Ha-ha-ha, Ma-bin Lo-mo, apakah kau kira aku begitu bodoh? Kulihat kau membawa pembantu-pembantu. Si MukaTengkorak, Si Hwesio Palsu, dan Si Muka Bopeng” Para Ciangkun yang datang bersamaku tentu tidak mau merendahkan diri bertanding melawan pembantu-pembantumu. Ha-ha” Kau sendiri tentu akan mampus kalau melawanku, akan tetapi ada pekerjaan penting yang lebih berharga bagiku. Maka, menyesal sekali aku tidak ada waktu untuk melayanimu, Iblis Muka Kuda” Sekarang mampuslah bersama para pembantumu” Setelah terdengar suara Kang-thouw-kwi ini, dari perahu para perwira Mancu itu meluncur banyak anak panah yang tertuju kepada Ma-bin Lo-mo dan tiga orang pembantunya. Namun, dengan kibasan tangan mereka, empat orang kakek sakti itu dapat meruntuhkan semua anak panah yang menyambar mereka. Adapun Han Han cepat menarik tangan Lulu diajak bertiarap di atas dek perahu, kemudian sambil merangkak Han Han menggandeng Lulu, hendak diajak mengungsi dan bersembunyi di dalam kamar perahu. Melihat ini, Si Muka Tengkorak lalu menendang kedua orang anak itu roboh. “Belenggu mereka, agar jangan mengganggu” kata Ma-bin Lo-mo yang teringat bahwa Han Han pernah menjadi kacung Setan Botak dan khawatir kalau-kalau murid murtad itu akan berkhianat. Si Muka Tengkorak cepat melaksanakan perintah ini, mengikat tubuh kedua orang anak dengan tangan mereka ditelikung ke belakang, kemudian melemparkan mereka di sudut lantai perahu. “Ha-ha-ha, Setan Botak” Anak panah-anak panah macam ini kau kirim kepada kami? Boleh habiskan anak panah-anak panah semua anjing Mancu” Ma-bin Lo-mo tertawa mengejek untuk memanaskan hati lawan agar perahunya makin mendekat sehingga ia bersama tiga orang pembantunya dapat meloncat dan menyerbu. Ia percaya bahwa tiga orang pembantunya pasti akan dapat mengalahkan para perwira Mancu dan agaknya hal itu diketahui pula oleh Kang-thouw-kwi. Akan tetapi, ternyata Kang-thouw-kwi amat cerdik dan biarpun para perwira Mancu membujuk dengan hati panas untuk mendekatkan perahu, Si Setan Botak menolaknya, bahkan lalu memberi saran untuk melepas anak panah berapi”
Bersambung...

No comments:

Post a Comment