Friday, April 23, 2010

Bu Kek Siansu 02

Ketika seorang pengawal yang membawa obor mendekat, Pat-jiu Kai-ong melihat bahwa dua orang pengawalnya yang terlentang itu telah tewas dengan mata melotot dan dari mata, hidung, telinga, dan mulut keluar darah hitam sedangkan di dahi mereka itu tampak jelas cap jari tangan yang kecil panjang, tiga buah banyaknya dan mudah dilihat bahwa itu adalah tanda jari telunjuk, jari tengah, dan jari manis. Begitu dalam gambar jari itu sampai garis-garisnya tampak! "Kurang ajar! Mari kita berkumpul semua...!" Akan tetapi kembali terdengar pekik mengerikan dari sebelah kiri gedung. Mereka kembali berlari-lari ke tempat itu dan melihat tiga orang pengawal lain sudah menjadi mayat dalam keadaan yang sama seperti dua orang korban pertama. Segera tersusul pula pekik-pekik mengerikan itu dari belakang gedung. Pat-jiu Kai-ong dan tiga orang pengawalnya ini, termasuk pengawal kepala Si brewok, mengejar ke belakang dan empat orang pengawal sudah menggeletak tewas dalam keadaan mengerikan, presis seperti yang lain. Dalam sekejap mata saja sembilan orang pengawal telah tewas. Mereka itu berada di depan, di sebelah kiri, di belakang gedung, akan tetapi kematian mereka susul menyusul begitu cepatnya, seolah-olah banyak musuh yang datang dari berbagai jurusan.

Namun, biarpun mulutnya tidak menyataakan sesuatu, Pat-jiu Kai-ong maklum bahwa tanda dari jari tangan itu dibuat oleh jari tangan yang sama, dan bahwa pembunuhnya itu hanya satu orang saja, seorang yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa sehingga para pengawal itu agaknya sama sekali tidak mampu melakukan perlawanan. Tiga orang pengawal saling pandang dengan muka pucat. Melihat muka mereka, Pat-jiu Kai-ong menjadi penasaran dan merah sehingga timbul kembali keberaniannya yang tadi agak berkurang karena jerih. Dia berteriak memaki, "jahanan pengecut! Hayo keluarlah dan lawan aku Pat-jiu Kai ong!" Setelah dia mengeluarkan kata-kata ini dengan suara nyaring, keadaan menjadi sunyi sekali, sunyi yang amat menggelisahkan damn menyeramkan, seolah-olah dalam kegelapan dan kesunyian malam itu tampak mulut iblis menyeringai dan menanti saat untuk menerkam dan mencabut nyawa ! Pat-jiu Kai-ong makin penasaran. Dia sendiri adalah seorang manusia yang dikenal sebagai iblis, jarang menemui tandingan dan ditakuti banyak orang dari semua golongan. Akan tetapi malam ini dia, Raja Pengemis yang menjadi ketua Pat-jiu Kai-pang yang terkenal, memiliki anggauta ratusan orang banyaknya, seorang di atara datuk kaum sesat atau golongan hitam yang ditakuti orang, dia dipermainkan orang! Dan orang itu, kalau melihat namanya sebagai ratu tentulah seorang wanita! Apa lagi dia melihat bahwa bekas jari tangan di dahi para korban itu pun jari tangan wanita yang kecil meruncing! "Hem, pengecut benar dia, "katanya kepada tiga orang pengawalnya yang diam-diam telah kehilangan separuh dari nyali mereka. "Kita harus menggunakan pancingan. Biar aku mengintai dari atas, kalian berjalan-jalan di sini. kalau dia muncul menyerang, aku tentu dapat melihatnya dan aku akan meloncat turun. Bersiaplah kalian!" Setelah berkata demikian, dengan gerakan ringan seperti seekor kelelawar, Pat-jiu Kaiong melompat ke atas genteng dan mendekam di wuwungan sambil mengintai. Dia melihat tiga orang pengawalnya itu masing-masing telah mencabut senjata mereka. Si Brewok menggunakan sebatang tombak panjang yang ujungnya berkait, orang ke dua mengeluarkan golok besar dan orang ketiga sebatang pedang. Mereka berdiri saling membelakangi dan mata mereka memandang tajam ke depan, telinga mereka memperhatikan setiap suara. Akan tetapi sunyi saja sekeliling tempat itu. Tiba-tiba Pat-jiu Kai-ong melihat sesosok bayangan melayang turun dari atas pohon! Celaka pikirnya. Kiranya si laknat itu bersembunyi di dalam pohon yang tumbuh di depan gedung. Bayangan itu sukar di lihat bentuknya karena cepat sekali gerakannya, tahu-tahu telah berada di depan Si Brewok. Tiga orang pengawal itu menggerakan senjata, akan tetapi anehnya, tampak oleh Pat-jiu Kai-ong betapa tiga buah senjata mereka itu telah berpindah tangan! entah bagaimana caranya karena dari atas genteng itu dia tidak dapat melihat jelas. Yang dia ketahuinya hanyalah betapa tiga orang pengawalnya itu kini lari ketakutan! "Hik-hik-hik!" Suara ketawa ini membuat bulu tengkuk Pat-jiu Kai-ong berdiri dan dia melihat sinar-sinar menyambar ke arah tiga orang pengawal yang lari, melihat mereka roboh dan memekik, terjungkal tak bergerak lagi karena punggung mereka ditembus oleh senjata mereka masing-masing! "Keparat jangan lari kau!" Pat-jiu Kai-ong sudah melayang turun dan tongkatnya sudah diputar-putar. Akat tetapi bayangan itu melesat dan lenyap dari tempat itu! Pat-jiu Kai-ong menoleh ke kanan kiri, akan tetapi tidak tampak gerakan sesuatu. Dia makin penasaran. Dihampirinya tiga orang pengawalnya. Mereka telah tewas dan hanya mereka bertiga yang tidak dicap dahinya dengan tiga buah jari tangan hitam akan tetapi kematian mereka cukup mengerikan. Tombak golok dan pedang itu menembus punggung pemilik masing-masing sampai ujungnya keluar dari hulu hati! Dan sambitan tiga buah senjata yang berlainan bentuknya itu dilakukan secara berbareng dari jarak yang cukup jauh, tepat mengenai tiga sasarannya yang sedang berlari. Hal ini saja membuktikan pula betapa hebatnya kepandaian orang aneh itu Mendadak Pat-jiu Kai-ong tersentak kaget. Di dalam gedung! Betapa tololnya dia! Semua pengawalnya yang berjumlah dua belas orang telah tewas semua. Tentu sekarang musuh itu masuk ke dalam gedung untuk membunuh orang-orang di dalam gedung. Secepat kilat dia meloncat dan lari memasuki gedung. Benar saja, terdengar pekik susul-menyusul dan begitu melewati pintu depan, dia sudah melihat para pelayannya telah menjadi mayat dan berserakan di sana-sini. Cepat dia lari ke dalam kamarnya dan dengan mata terbelalak dia melihat lima orang selirnya telah mati semua, dahi mereka juga ada bekas tanda tapak tiga jari tangan dan semua lubang di muka mereka mengalirkan darah hitam! Sunyi sekali di dalam gedung itu, kesunyian yang penuh rahasia. Lu-san Lo-jin! Pat-jiu Kai-ong teringat dan dia cepat lari ke dalam tempat tahanan, hanya untuk melihat bahwa kakek itu pun telah tewas dan di dahinya terdapat pula tanda tapak tiga jari tangan dan semua lubang di muka mereka mengalirkan darah hitam! Kini dia benar-benar bingung. Jelas bahwa musuh ini bukanlah kawan Lu-san Lojin seperti yang disangkanya semula! Makin bingunglah dia dan dia lari pula ke dalam ruangan besar di mana dia tadi makan minum dengan Lu-san Lojin dan dua anaknya, di mana dia tadi menanti datangnya musuh rahasia. Dan begitu memasuki ruangan itu, dia tertegun! Ruangan itu kini terang sekali, agaknya ada yang menambah lampu penerangan. Ketika dia melihat, benar saja bahwa di situ terdapat banyak lampu, banyak sekali karena agaknya semua lampu penerangan dibawa dan dikumpulkan di ruangan itu. Dan di atas kursinya yang tadinya ditinggalkan kosong, kini tampak duduk seorang wanita! Di depan wanita itu, juga duduk di atas kursi, tampak seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun yang memandangnya dengan mata penuh selidik. Wanita itu cantik, pakaiannya mewah dan indah, anak itu pun tampan dan bersih serta mewah pakaiannya. Wanita itukah yang membunuh semua orang di gedungnya? Tak mungkin agaknya. wanita itu usianya paling banyak tiga puluh lima tahun, cantik dan kelihatan halus gerak-geriknya, hanya sepasang matanya mengeluarkan sinar yang aneh dan dingin sekali. "Ibu, dia inikah orangnya?" Tiba-tiba anak kecil itu bertanya, suaranya nyaring, memecahkan kesunyian yang sejak tadi mencekam. "Benar, dialah Si Bedebah Pat-jiu Kai-ong." Wanita itu berkata, suaranya halus akan tetapi dingin menyeramkan. "Kalau begitu, mengapa ibu tidak lekas membunuhnya?" Wanita itu tersenyum dan wajah yang cantik itu makin cantik, akan tetapi juga makin dingin menyeramkan, kemudian bangkit berdiri berlahan-lahan. "Kau lihat sajalah ibumu menundukan Si jembel busuk ini." Wanita itu ternyata bertubuh tinggi ramping dan ketika melangkah maju, tampak gerakan kedua kakinya lemah lembut. Pat-jiu Kai-ong sudah dapat menguasai hatinya dan timbul keberaniannya setelah melihat bahwa orang itu hanyalah seorang manusia biasa, wanita yang kelihatan lemah pula, bukan seorang iblis yang menyeramkan sama sekali. "Siapakah engkau? Siapa pembunuh orang-orangku dan apa hubunganmu dengan Ratu Pulau Es yang mengancamku?" Wanita itu kini tiba di depan Pat-jiu Kai-ong sehingga raja pengemis ini dapat mencium bau harum semerbak yang keluar dari rambut dan pakaian wanita itu. "Akulah Ratu Pulau Es, aku pula yang telah membunuh semua mahluk hidup di dalam gedungmu, semua telah kubunuh kecuali engkau, Pat-jiu Kai-ong. Aku harus membunuhmu berlahan-lahan, menyiksamu sampai puas hatiku." Mendengar ancaman ini, Raja Pengemis yang biasanya berhati kejam dan keras itu, menjadi berdebar juga. Akan tetapi kemarahannya melenyapkan semua rasa jerih dan dia membentak, "Perempuan sombong! Siapakah engkau dan mengapa engkau memusuhi Pat-jiu Kai-ong?" Pat-jiu Kai-ong, agaknya kejahatanmu sudah begitu bertumpuk-tumpuk sehingga engkau tidak dapat mengenal korban-korbanmu lagi. Pandanglah aku baik-baik dan kumpulkan ingatanmu! Lupakah kau apa yang terjadi di kaki pegunungan Jeng-hoa-san sepuluh tahun yang lalu?" Pat-jiu Kai-ong memandang dan terbayanglah peristiwa di Jeng-hoa-san sebelum dia naik ke puncak gunung itu untuk mencari Sin-tong. Kini dia dapat mengenal wajah ini, wajah cantik yang pernah merintihrintih dan memohon pembebasan, namun yang dia permainkan secara kejam. "Kau... kau... Cap-she Sin-hiap...?" Tanyanya ragu-ragu. "Benar. Aku adalah anggauta paling muda dari Cap-sha Sin-hiap. Dua belas orang suhengku telah kaubunuh. Ingatkah sekarang kau?" Pat-jiu Kai-ong tertawa. Hatinya lega. Kalau hanya wanita muda itu, yang telah diperkosanya dan yang hanya menjadi orang ke tiga belas dari Cap-sha Sin-hiap, perlu apa dia takut? Biar perempuan ini agaknya telah memperdalam ilmunya selama sepuluh tahun ini, akan tetapi perlu apa dia takut? "Ha-ha-ha, kiranya engkaukah ini, manis? Tentu saja aku masih ingat kepadamu, siapa bisa melupakan kenang-kenangan manis selama tiga hari itu? Ha-ha-ha, betapa mesranya!" ”Jahanam! Kematian sudah di depan mata dan kau masih berlagak? Pat-jiu Kai-ong, aku telah datang dan rasakanlah pembalasanku, aku akan membuat kau menyesal mengapa kau pernah dilahirkan ibumu!" "Perempuan sombong, mampuslah!" Pat-jiu Kai-ong sudah menerjang dengan tongkatnya melakukan penyerangan dengan dahsyat, menusukan tongkatnya yang tentu akan menembus dada wanita itu kalau tidak depat wanita itu mengebutkan ujung lengan bajunya menangkis. "Trakk!" Tongkat itu menyeleweng dan terkejutlah Pat-jiu Kai-ong. Ternyata lawannya ini benar-benar telah memperoleh kemajuan hebat dan telah memiliki sinkang yang tak boleh dipandang ringan. Tentu saja! Wanita itu bukan lain adalah The Kwat Lin yang selama sepuluh tahun ini menjadi istri atau permaisuri Raja Pulau Es, Han Ti Ong yang sakti! Wanita ini selama sepuluh tahun telah menggembleng diri, di bawah petunjuk suaminya yang amat mencintainya. Bahkan suaminya telah menurunkan ilmu-ilmu yang khusus untuk menghadapi ilmu tongkat Pat-jiu Kai-ong dan ilmu mujijat Hiat-ciang Hoat-sut dari Raja Pengemis ini atas permintaan The Kwat Lin. Karena itu, biarpun ada sebatang pedang menepel di punggungnya, The Kwat Lin tidak menggunakan senjata melainkan ujung lengan bajunya untuk menghadapi tongkat dan memang kedua ujung lengan baju ini yang merupakan sepasang senjata yang dilatihnya khusus untuk mengatasi tongkat Raja Pengemis itu. Seperti telah dituturkan di bagian depan, The Kwat Lin menggunakan kesempatan selagi Han Ti Ong pergi menyerbu Pulau Neraka, untuk meninggalkan Pulau Es. Hal ini sudah bertahun-tahun dia citacitakan. Dia menjadi istri Han Ti Ong hanya karena ingin mewarisi ilmu kepandaiannya, akan tetapi setelah menjadi permaisuri, dia pun ingin memiliki pusaka Pulau Es dan benda-benda berharga lainya. Maka dia menanti kesempatan baik untuk meninggalkan pulau, tentu saja meninggalkan untuk selamanya karena pada hakekatnya dia tidak suka tinggal di pulau itu. Siapa suka tinggal di Pulau Es yang membosankan itu, jauh dari dunia ramai? Pergilah dia mengajak puteranya, Han Bu Hong, meninggalkan Pulau Es sewaktu suaminya tidak ada, membawa pusaka Pulau Es. Dengan alasan akan menyusul suaminya yang menyerbu Pulau Neraka, tidak ada seorang pun berani menghalangi kepergiannya dan akhirnya, dengan kepandaiannya yang sudah tinggi, dia berhasil mendarat. Berbulan-bulan dia menyelidiki dan akhirnya dia dapat menemukan tempat tinggal musuh besarnya di lereng Heng-san. Dia mengajak puteranya dan setelah menyembunyikan puteranya, dia menyelidiki istana Raja Pengemis itu. Melihat Swi Liang dan Swi Nio, dia tertarik sekali, maka dia menculik mereka dan membawa mereka ke dalam hutan di mana Bu Hong menanti ibunya. "Kalian kuselamatkan dengan maksud untuk mengangkat kalian berdua menjadi muridku ," dia berkata tanpa banyak cerita lagi. "Tinggal kalian pilih, mati atau hidup. Kalau ingin mati, kalian semestinya mati karena kalian berada di gedung Pat-jiu Kai-ong. karena sekarang belum malam, maka kalian belum mestinya dibunuh dan karenanya boleh pula kukeluarkan dari sana. Kalau kalian ingin hidup harus suka menjadi muridku. Bagaimana?" Tentu saja dua orang muda itu ingin hidup dan segera berlutut di depan calon Subo (ibu guru) mereka. "Harap subo sudi menolong Ayah kami...." kata Swi Liang. "Kalian tinggal saja di sini menemani sute kalian ini. Tentang Ayahmu, kita lihat saja nanti." The Kwat Lin meninggalkan dua orang murid itu bersama puternya, kemudian mulailah dia turun tangan membunuh-bunuhi semua binatang peliharaan gedung raja Pengemis itu lalu membunuhi semua pengawal, pelayan, selir dan juga Lusan Lojin dibunuhnya karena dia sudah berjanji akan membunuh semua orang di dalam gedung itu, apalagi dia tahu bahwa kalau tidak dibunuh, kakek itu tentu akan menjadi penghalang baginya mengambil murid Swi Liang dan Swi Nio yang menarik hatinya. Akhirnya dia keluar dari gedung, menyuruh kedua orang muridnya menanti di hutan. Akhirnya bersama puteranya, dia dapat berhadapan dengan musuh besarnya itu setelah membunuh semua orang di dalam gedung. Han Bu Ong anak laki-laki yang baru berusia sepuluh tahun itu, duduk di kursi dan menonton pertandingan dengan mata terbelalak dan jarang berkedip. Dia sama sekali tidak merasa takut atau khawatir. Dia percaya penuh kepada kelihaian ibunya dan memang sejak kecil anak ini memiliki keberanian luar biasa dan kekerasan hati yang amat aneh bagi seorang anak sebesar itu. Melihat kekejaman-kekejaman yang terjadi, dia tidak pernah merasa ngeri, bahkan merasa gembira! Barulah hati Pat-jiu kai-ong terkejut sekali setelah selama lima puluh jurus dia mainkan tongkatnya dia tidak mampu menembus pertahanan sepasang ujung lengan baju lawannya. Bahkan lawannya terkekeh-kekeh mengejeknya dan biarpun lawannya hanya mainkan ujung lengan baju, namun ternyata tongkat yang biasanya dia andalkan itu sama sekali tidak berdaya! "Keparat, mampuslah!" Tiba-tiba Pat-jiu Kai-ong berseru keras, disusul dengan gerengan dahsyat yang menggetarkan seluruh ruangan itu. Han Bu Ong terplanting jatuh dari kursinya, akan tetapi bocah ini sudah duduk bersila dan mengatur pernapasan, menutup pendengaran. Ternyata sekecil itu, Bu Ong telah digembleng hebat oleh ayahnya sehingga dengan dasar latihan sinkang Inti Salju, dia kini mampu menulikan telinga dan menghadapi auman Sai-cu Ho-kang dari Pat-jiu Kai-ong! Padahal lawan yang tidak begitu kuat sinkangnya, mendengar auman Sai-cu Ho-kang yang berdasarkan Khi-kang yang amat kuat ini, sudah akan roboh. Sementara itu, The Kwat Lin yang melihat puteranya dapat menyelamatkan diri, sudah mengeluarkan suara terkekeh-kekeh dan lawannya terkejut bukan main karena dari suara ini keluar getaran yang menghancurkan ilmunya bahkan menyerangnya dengan hebat. Terpaksa dia menghentikan auman Sai-cu Ho-kang dan mempercepat gerakan tongkatnya dengan ilmu Tongkat Pat-mo-tung-hoat (Ilmu Tongkat Delapan Iblis) yang dahsyat. The Kwat Lin memang hendak mempermainkan lawannya, maka dia hanya menangkis dan mengelak. Hal ini sengaja dilakukannya untuk memamerkan kepandaiannya dan untuk meyakinkan lawan bahwa akhirnya lawan akan roboh olehnya sehingga lawannya yang amat dibencinya itu akan ketakutan setengah mati! Dan memang usahanya ini berhasil. Keringat dingin membasahi muka pat-jiu Kai-ong dan tahulah kake ini bahwa mengandalkan ilmu silat saja, dia tidak akan menang melawan wanita yang pernah dipermainkannya dan diperkosanya selama tiga hari tiga malam itu. Maka dia lalu mengerahkan tenaganya, menggerakan sinkang dan tiba-tiba dia memekik dan menghantamkan tangan kirinya dengan telapak tangan terbuka. The Kwat Lin sudah menduga bahwa lawannya tentu akhirnya akan menggunakan ilmu Hiat-ciang Hoatsut ini. Dan dia sudah mendengar dari suaminya akan ilmu mujijat ini, maka dia bersikap hati-hati dan tidak berani memandang rendah. Bahkan ketika menyaksikan cahaya merah menyambar keluar, merasakan getaran mujijat dan mencium bau amis darah yang memuakan, dia terkejut sekali dan cepat dia menekuk kedua lututnya sedikit, kemudian mendorongkan telapak tangan kanannya dengan tiga buah jari tangan diluruskan. Hawa dingin meluncur keluar dari telapak tangannya menyambut hawa pukulan Hiat-ciang Hoat-sut. "Dess!" dua benturan tenaga mujijat bertemu dan tubuh kedua orang itu tergetar hebat! Kiranya tenaga Hiatciang Hoat-sut sudah sedemikian ampuhnya sehingga dalam benturan tenaga ini, Pat-jiu Kai-ong dapat mengimbangi tenaga The Kwat Lin. Kalau kakek itu merasa betapa tubuhnya mendadak menjadi dingin sekali, sebaliknya The Kwat Lin merasa tubuhnya panas! Namun keduanya dapat melawan hawa ini dan berkali-kali mereka mengadu tenaga sinkang lewat telapak tangan mereka . Tiba-tiba ujung lengan baju kiri The Kwat Lin menyambar kearah ubun-ubun kepala kakek itu yang menjadi terkejut sekali dan menangkis dengan tongkatnya. Ujung lengan baju melihat dan tangan The Kwat Lin menyambar ke depan dari dalam lengan baju itu, menangkap tongkat. Pat-jiu Kai-ong cepat menghantamkan tangan kirinya lagi dengan tenaga Hiat-ciang Hoat-sut sekuatnya, mengarah kepala lawan. Namun hal ini sudah diperhitungkan oleh wanita itu yang cepat sekali menarik tongkat yang dicengkramnya menangkis. "Krekkkk!" Tongkat raja pengemis itu hancur terkena pukulannya sendiri dan selagi dia terkejut bukan main, tahu-tahu ujung lengan baju kanan wanita itu sudah menyambar ke arah matanya! Dia berteriak kaget, miringkan kepala, akan tetapi ternyata ujung lengan baju itu tidak menyerang mata, melainkan menyeleweng ke bawah dan menotok lehernya. "Auggghh...!" Kalau orang lain yang terkena totokan yang tepat mengenai jalan darah, tentu akan roboh dan tewas. Akan tetapi tubuh Pat-jiu Kai-ong sudah kebal, maka totokan yang kuat itu hanya membuat ia terhuyung ke belakang. Melihat ini, The Kwat Lin tertawa terkekeh, kedua tangannya bergerak dengan cepat sekali dan biarpun raja pengemis itu sudah berusaha mati-matian membela diri, namun karena totokan pertama membuat pandangan matanya berkunang sehingga gerakannya menjadi kurang cepat, dua kali totokan lagi dan sebuah tamparan dengan tiga jari tangan yang tepat mengenai punggungnya membuat dia roboh pingsan! Ketika dia siuman. Pat-jiu Kai-ong mendapatkan dirinya sudah rebah terlentang di atas lantai dan dia tidak mampu menggerakan kaki tangannya, bahkan tidak mampu mengeluarkan suara karena selain tertotok jalan darah yang membuatnya menjadi lumpuh, juga urat ganggu di lehernya telah ditotok. Tahulah dia bahwa dia tak berdaya lagi dan nyawanya berada di tangan lawan, dan dia pun maklum bahwa wanita ini tidak akan mungkin mengampuni kesalahannya.Maka dia memejamkan mata menanti datangnya kematian. "Bret-bret-brettt..., hi-hik! lihatlah, Bu Ong, lihat binatang ini!" Pat-jiu Kai-ong memaki dalam hatinya. Apa maunya perempuan ini? Seluruh pakaiannya direnggut lepas semua sehingga dia terlentang dalam keadaan telanjang bulat sama sekali! Karena ingin tahu, bukan karena jerih sebab seorang datuk macam Pat-jiu Kai-ong juga tidak mengenal takut, dia menggerakan pelupuk mata dan mengintai dari balik bulu matanya. Dia melihat anak laki-laki turun dari kursinya, memandanginya dan tertawa. "Heh-heh, ibu,dia lucu sekali! Lucu dan amat buruk... eh, menjijikkan!" The Kwat Lin tertawa-tawa, kemudian sekali ujung lengan bajunya bergerak menyambar ke arah leher Patjiu Kai-ong, kakek ini terbebas dari totokan urat ganggunya dan dapat mengeluarkan suara. "Perempuan hina, mau bunuh lekas bunuh! Aku tidak takut mati!" teriaknya marah. "Hi-hik, enak saja! Ingatkah kau betapa aku dahulupun minta-minta mati kepadamu? Tidak, engkau harus mengalami siksaan, mati sekarat demi sekarat! Bu Ong, dia inilah yang membunuh dua belas orang Supekmu secara kejam . Maukah kau membalaskan sakit hati dan kematian para Suoekmu?" "Tentu saja! Akan kubunuh anjing tua ini!" Bu Ong sudah melangkah maju dan anak ini memandang dengan muka bengis. "Nanti dulu, Bu Ong.Terlampau enak baginya kalau dibunuh begitu saja. Tidak, untuk setiap orang dari suhengku, dia harus menderita satu macam siksaan. Jari tangannya. Hi-hak, jari-jari tangannya berjumlah sepuluh, itu untuk sepuluh orang suheng! Dan dua buah daun telinganya itu untuk kedua suheng yang lain," The Kwat Lin mencabut pedangnya, menyerahkan kepada puteranya sambil tertawa-tawa, kemudian dia menggerakan khikangnya, "mengirim suara" dengan ilmunya yang tinggi ini sehingga suaranya hanya terdengar oleh Pat-jiu Kai-ong, akan tetapi sama sekali tidak terdengar oleh anaknya, "Pat-jiu Kai-ong, tahukah kau siapa bocah ini? Dia ini adalah puteramu! Keturunanmu! hasil kotor dari perkosaanmu atas diriku. Nah, sekarang kaulihatlah anakmu, darah dagingmu sendiri yang akan menyiksa dirimu!" Sepasang mata Pat-jiu Kai-ong terbelalak lebar, mukanya pucat sekali. Puluhan tahun dia ingin sekali memperoleh keturunan, terutama seorang putera, akan tetapi biarpun dia sudah berganti-ganti selir sampai ratusan kali, tetap saja para selir itu tidak pernah memperoleh keturunannya. sekarang, secara tidak sengaja dia telah memperoleh seorang putera! dan puteranya itu dengan pedang di tangan menghampirinya, siap untuk menyiksanya! Tadi dia terheran melihat betapa bekas anggauta Cap-sa Sin-hiap, murid Bu-tong-pai yang terkenal gagah itu menjadi begitu keji, mengajar putera sendiri melakukan kekejaman. Kira-kira wanita itu memang sengaja hendak menyiksanya dengan menggunakan tangan keturunanya sendiri! Kiranya wanita itu juga membenci anak itu seperti juga membencinya, maka sengaja membiarkan anak itu menyiksa dan membunuh ayah sendiri! "Anak... jangan...dengarkanlah...." "Pratttt...!" Pat-jiu Kai-ong tidak dapat melanjutkan kata-katanya yang tadinya hendak mmperingatkan anak laki-laki itu karena urat ganggunya dileher telah ditotok oleh lengan baju The Kwat Lin yang terkekeh menyeringai. "Pat-jiu Kai-ong, begini pengecutkah engkau? Haiii... di mana kegagahanmu sebagai seorang datuk? Lihatlah baik-baikdan nikmatilah siksaan anak ini! Bu Ong, pergunakan pedang itu . Pertama buntungi kedua daun telinganya untuk Twa-supek dan Ji-supekmu!" "Baik, Ibu!" Bu Ong lalu melangkah maju dan dua kali pedang itu berkelebat karena anak itu ternyata sudah pandai menggunakan pedang itu dan buntunglah kedua daun telinga Pat-jiu Kai-ong ! Dapat dibayangkan betapa nyeri, perih dan pedih rasa badan dan hati kakek itu. Air matanya meloncat keluar membasahi pipinya! "Ha-ha, ibu! Lihat, dia menangis !" Anak itu bersorak dan mengambil dua buah daun telinga itu. "He-he, seperti teling babi!" Memang Pat-jiu Kai-ong menangis! Akan tetapi bukan menangis karena rasa nyaeri dan pedih karena kedua daun telinganya buntung, melainkan nyeri di hati yang lebih hebat lagi melihat betapa anaknya sendiri yang sejak puluhan tahun yang lalu dirindukannya, kini bersorak girang melihat penderitaannya! Dia tidak takut mati, tidak takut sakit, akan tetapi melihat betapa dia menghadapi siksaan dan kematian di tangan anaknya sendiri, benar-benar merupakan tekanan batin yang hampir tak kuat dia menanggungnya . "Teruskan,Bu Ong.Masih ada sepuluh orang Supekmu yang belum dibalaskan sakit hatinya.Jari-jari tangannya yang sepuluh itu! Perlahan-lahan saja, satu demi satu buntungkan!" Mulailah penyiksaan yang amat mengerikan itu dilakukan oleh Bu-ong. Anak ini seolah-olah telah menjadi gila, dengan tertawa-tawa dia membuntungi semua jari tangan kakek itu satu demi satu dan setiap buntung sebuah jari, dia bersorak kegirangan. Memang sejak dapat mengerti omongan, anak ini dijejali dendam oleh ibunya, dendam terhadap Pat-jiu Kai-ong dan diceritakan betapa Pat-jiu Kai-ong telah membunuh dua belas orang suhengnya dan betapa raja pengemis itu menyiksanya dan Bu Ong kelak harus membalas dendam itu. Maka kini anak itu samasekali tidak menaruh rasa kasihan, bahkan hatinya puas sekali dapat menyiksa kakek itu. Dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan Pat-jiu Kai-ong. Namun dia tidak menyesali nasibnya karena dia maklum bahwa dia pun telah melakukan perbuatan sewenang-wenang atas diri The Kwat Lin sehingga pembalasan ini sudah jamak. Hanya satu hal yang membuat air matanya bercucuran adalah melihat betapa dia disiksa dan akan dibunuh oleh darah dagingnya sendiri. Dia menangis melihat darah dagingnya sendiri itu, yang baru berusia sepuluh tahun, telah menjadi seorang iblis cilik yang demikian kejam! Kini The Kwat Lin membebaskan totokan yang membuat kaki tangannya lumpuh. Begitu kaki tangannya dapat bergerak, Pat-jiu Kai-ong meloncat dan menerkam ke arah Bu Ong dengan ke dua tangan yang sudah tak berjari lagi itu, yang berlumuran darah. Niat hatinya untuk membunuh saja anaknya itu agar kelak tidak dijadikan iblis cilik oleh ibu yang membencinya. Akan tetapi sebuah tendangan dari samping yang dilakukan oleh The Kwat Lin membuat dia terguling lagi. Rasanyeri pada kedua ujung tangannya membuat kakek itu menggeliat-geliat. "Mundurlah, Bu-ong. lihat sekarang ibumu yang akan turun tangan. Aku akan membalas sendiri perbuatannya kepadaku terdahulu!" The Kwat Lin menghampiri musuhnya dengan pedang di tangan. "Pat-jiu Kai-ong, ingatlah engkau akan peristiwa dahulu itu? Bayangkanlah,hi-hik, bayangkanlah betapa nikmatnya bagimu dan betapa menyiksa dan sengsaranya bagiku. Sekarang aku yang menikmati dan kau yang menderita . Sudah adil bukan? Nah, terimalah ini... ini... ini...!" Bertubi-tubi pedang di tangan The Kwat Lin bergerak dan tubuh kakek itu bergulingan, berkelojotan karena rasa nyeri yang amat hebat ketika ujung pedang itu membabat keseluruh tubuhnya, dengan tepat sekali membabat ujung semua jari kakinya, hidungnya, dagunya. Babatan itu hanya mengenai ujung sedikit, tidak membahayakan keselamatan nyawa namun menimbulkan rasa nyeri yang hebat. Seluruh tubuh kakek itu kini berlepotan darah, mukanya dipenuhi oleh kerut-merut menahan nyeri. "Hi-hik, bagaimana? Masih kurang? Nah, rasakanlah ini!" Kembali pedang itu digerakan, kini menusuknusuk dan seluruh tubuhnya ditusuki ujung pedang bertubi-tubi. Ujung pedang hanya menusuk dua senti saja sehingga menembus kulit daging akan tetapi tidak membunuh dan darah keluar makin banyak lagi, rasa nyeri makin menghebat sehingga tubuh kakek itu berkelojotan seperti dalam sekarat. "Ini yang terakhir!" The Kwat Lin berkata dan ujung pedangnya membabat ke bawah pusar. Wanita itu tertawa bergelah, tertawa puas, wajahnya yang cantik itu pucat sekali dan dia tertawa sambil berdongak ke atas. "suheng sekalian, terutama Twa-suheng, lihatlah musuhmu. Sudah puaskah kalian?" Dan dia terisak, lalu menghampiri tubuh yang berkelojotan itu. "akan tetapi aku belum puas! kau harus tidur dalam keadaan tersiksa di antara mayat-mayat yang membusuk, selama tiga hari tiga malam!" The Kwat Lin menengok kepada anaknya dan berkata, "Bu Ong, kautunggu di sini sebentar!" Tubuhnya berkelebat meninggalkan ruangan itu dan dengan cepat dia telah datang menyeret mayat-mayat para pengawal, selir dan pelayan sampai ruangan itu penuh dengan mayat-mayat yang dia lemparkan ke sekeliling tubuh Pat-jiu Kai-ong yang mandi darah. JILID 10 Nah, nikmatilah sekaratmu selama tiga hari!" The Kwat Lin lalu menggandeng tangan anaknya dan mengajak pergi meninggalkan gedung itu. Ketika mereka berdua tiba di dalam hutan di depan gedung, Swi Liang dan Swi Nio menyambut mereka dengan mata penuh harapan. "Mana Ayah, Subo?" Swi Liang bertanya. "Bagaimana dengan dia?" Swi Nio juga bertanya. "Ayah kalian telah tewas...." Dua orang muda itu mengeluh dan menangis. Swi Liang mengepal tinjunya dan berkata, "Si jahanam Patjiu Kai-ong! aku harus membalas kematian Ayah!" "Subo, bantulah kami..." kata pula Swi Nio, "kami harus menuntut balas!" "Heh-heh, Suheng dan Suci, tenangkanlah hati kalian. Pat-jiu Kai-ong telah di balas dan sekarang sedang sekarat di antara tumpukan mayat, he-he-heh! Wah, aku mendapat bagian pesta tadi. Akulah yang membuntungi kedua telinganya dan sepuluh jari tangannya. Menyenangkan sekali!" Swi Liang dan Swi Nio terbelalak memandang "sute" ini. Ucapan anak itu benar-benar membuat mereka merasa serem. Memang, mendengar kematian ayah mereka yang tanpa keraguan lagi mereka yakin tentu dilakukan oleh Pat-jiu Kai-ong, mereka pun merasa sakit hati dan ingin membalas dendam. Akan tetapi apa yang dilakukan oleh sute mereka menurut pengakuan anak itu, sungguh luar biasa sekali. Membuntungi kedua daun telinga dan sepuluh jari tangannya, dan perbuatan itu dianggap menyenangkan sekali dan berpesta, benar-benar membuat mereka bergidik! "Musuhmu sedang menanti saat kematian, harap kalian tenang dan tidak memikirkannya lagi. Ayahmu telah tewas, dan kalian akan kuajak bersamaku sebagai muridku . Akulah pengganti ayah kalian." Swi Liang dan Swi Nio menjatuhkan diri dan berlutut di depan subo mereka sambil bercucuran air mata. "Terima kasih subo..." Kata mereka di antara tangis mereka. "Perkenankan kami mengubur jenasah Ayah, " kata pula Swi Liang. "Tidak perlu. Kita menanti di sini sampai tiga hari, setelah itu aku akan membakar gedung itu." Biarpun merasa heran dan kasihan kepada mayat ayah mereka, kedua orang yang sudah merasa ditolong dan dibalaskan sakit hati itu tidak membantah. Mereka tentu saja tidak tahu betapa mayat ayah mereka itu ikut pula di lempar oleh The kwat Lin di dekat tubuh Pat-jiu Kai-ong untuk ikut menyiksa musuh besar ini! Memang Pat-jiu Kai-ong tersiksa hebat bukan main. Ketika tadi anaknya membuntungi jari-jari tangannya, dia melihat muka anaknya itu berubah-ubah menjadi muka banyak anak laki-laki yang menjadi korbanya. Puluhan, bahkan ratusan anak laki-laki yang menjadi korbannya itu seolah-olah mengeroyoknya, memaki dan mengejeknya, dan kini, setelah tubuhnya mandi darah dan rasa nyeri sampai menusuk-nusuk tulang, dia ditinggalkan di antara mayat-mayat itu. Celaka baginya, tubuhnya yang terlatih memiliki daya tahan yang amat kuat sehingga dia tidak menjadi pingsan oleh rasa nyeri itu. Kalau saja dia dapat pingsan atau mati sekali, tentu dia tidak akan menderita sehebat itu. Mayat-mayat itu mulai mengeluarkan bau yang memuakan pada hari ke dua. Bau darah yang mengering dan membusuk, ditambah rasa nyeri di sekujur tubuhnya, masih diganggu lagi oleh bayangan anak-anak yang dahulu menjadi korbanya, membuat Pat-jiu Kai-ong menangis di dalam hatinya, menyesali perbuatannya yang mengakibatkan dia mati dalam keadaan tersiksa seperti itu. Tiga hari kemudian, The Kwat Lin muncul dan perempuan ini tertawa bergelak melihat musuh besarnya masih belum mati. Senang sekali hatinya. Dahulu, dia diperkosa dan dipermainkan di antara mayat-mayat suhengnya selama tiga hari tiga malam, dan kini dia dapat membalas secara memuaskan sekali. "Hi-hik, kau sudah puas sekarang?" ejeknya. "Nah, mampuslah kau. Pat-jiu Kai-ong!" pedangnya berkelebatan dan seluruh bagian tubuh di bawah pusar kakek itu dicincang hancur oleh pedang di tangan The Kwat Lin. Setelah merasa puas melihat mayat musuh besarnya, barulah dia membuat api dan membakar gedung itu, lalu berlari keluar. Dengan air mata bercucuran, Swi Liang dan Swi Nio memandang nyala api yang membakar gedung, maklum bahwa mayat ayah mereka ikut terbakar. "Ayahmu telah sempurna," kata The Kwat Lin. "Tak perlu menangis lagi, hayo kalian ikut bersamaku. Kalau kalian rajin mempelajari ilmu, kelak kalian tidak akan mengalami penghinaan orang lagi." Dengan hati berat namun karena tidak ada orang lain yang mereka pandang setelah ayah mereka meninggal, dua orang muda itu terpaksa mengikuti The Kwat Lin bersama Han Bu Ong pergi meninggalkan Hen-san. Bu-tong-pai adalah sebuah perkumpulan silat yang besar, merupakan sebuah di antara "partaipartai" persilatan yang terkenal. Akan tetapi pada saat itu, Bu-tong-pai sedang berkabung. Di markas perkumpulan itu yang letaknya di lereng pegunungan Bu-tong-san, dari pintu gerbang sampai rumah-rumah para tokoh dan murid kepala, tampak kibaran kain-kain putih menghias pintu, tanda bahwa Bu-tong-pai sedang berkabung. Siapakah yang meninggal dunia? Bukan lain adalah ketua Bu-tong-pai yang sudah berusia lanjut, yaitu Kiu Bhok San-jin yang meninggal dunia dalam usia delapan puluh tahun. Baru saja upacara penguburan selesai dilakukan oleh para anak murid Bu-tong-pai, para tamu telah meninggalkan Pegunungan Bu-tong-san, akan tetapi semua anak buah murid Bu-tong-pai masih berkumpul di sekitar kuburan baru itu. Suasana penuh pergabungan dan masih tampak beberapa orang murid yang mengusap air mata. Kui Bhok San-jin terkenal sebagai seorang ketua dan guru yang baik dan yang dicintai oleh para anak murid Bu-tong-pai. "Suhu...!" Seruan ini membuat semua orang menengok dan tampaklah seoang wanita cantik berlari mendatangi, diikuti oleh seorang muda-mudi remaja dan seorang anak laki-laki. Wanita itu tidak menoleh ke kanan kiri, melainkan langsung berlari menghampiri kuburan baru dan menjatuhkan diri berlutut di depan batu nisan sambil menangis. "Ahh, bukankah dia Sumoi The Kwat Lin....?" Seorang murid Kui Bhok San-jin yang usianya lima puluhan berseru. Semua orang memandang dan kini mereka pun mengenal wanita yang berpakaian indah seperti seorang nyonya bangsawan itu. The Kwat Lin! Tentu saja mereka semua kini teringat. Bukankah The Kwat Lin merupakan seorang anak murid Bu-tong-pai yang amat terkenal, sebagai orang termuda dari Cap-sha Sin-hiap yang sudah bertahun-tahun lenyap tanpa meninggalkan jejak? "Benar, dia orang termuda dari Cap-Sha Sin-hiap!" terdengar seruan-seruan setelah mereka mengenal wanita cantik itu. Mendengar suara-suara itu, wanita ini lalu bangkit berdiri, menyusuti air matanya, kemudian memandang kepada mereka sambil berkata, "Benar, aku adalah The Kwat Lin, orang termuda dari Cap-Sha Sin-hiap. Masih baik kalian mengenalku! Sekarang suhu telah meninggal dunia, siapakah yang akan menggantikannya sebagai ketua Bu-tong-pai?" Para tokoh Bu-tong-pai terkejut menyaksikan sikap angkuh ini. Di antara mereka, terdapat delapan orang yang terhitung suheng-suheng dari The Kwat Lin, dan orang tertua di antara mereka adalah seorang kakek berpakaian seperti pendeta tosu. Sejak tadi kakek tosu ini mengerutkan alisnya setelah mendengar bahwa wanita itu adalah seorang muda dari Cap-sha Sin-hiap, maka kini mendengar pertanyaan Kwat Lin, dia melangkah maju dan berkata, "Sian-cai..., tak pernah pinto sangka bahwa anggauta termuda dari Cap-sha Sin-hiap akan muncul hari ini. Berarti engkau adalah murid termuda dari mendiang suheng, dan kalau engkau ingin mengetahi, pinto yang dipilih oleh anak murid Bu-tong-pai, juga telah ditunjuk oleh mendiang suheng menjadi ketua di Bu-tong-pai." Kwat Lin mengangkat mukanya memandang. Tosu itu bertubuh kecil sedang, dan biarpun mukanya penuh keriput, namun matanya bersinar terang dan jenggotnya yang terpelihara baik mengitari mulutnya itu masih hitam semua, demikian pula rambutnya yang diikat dan diberi tusuk konde dari perak. Pakaiannya sederhana saja, pakaian seorang pendeta To yang longgar. "Siapakah Totiang?" "Ha-ha-ha-ha, sungguh lucu kalau seorang murid keponakan tidak mengenal susioknya sendiri. Ketahuilah bahwa pinto adalah Kui Tek Tojin, satu-satunya saudara seperguruan dari mendiang Kui Bhok San-jin." Kwat Lin sudah pernah mendengar nama susioknya (paman gurunya) ini, seorang tosu perantau, sute termuda dan satu-satunya yang masih hidup dari mendiang suhunya. Dia mencibirkan bibirnya yang merah dengan gaya mengejek, kemudian berkata dengan suara lantang, "Ah, kiranya Susiok Kui Tek Tojin yang menggantikan Suhu menjadi ketua Bu-tong-pai? Sungguh keputusan yang sama sekali tidak tepat! Aku tidak setuju sama sekali kalau Susiok yang menjadi ketua!" Tosu itu membelalakan matanya dan memandang kaget, heran dan penasaran. Akan tetapi sebelum dia mengeluarkan kata-kata, seorang tosu lain yang bernama Souw Cin Cu, murid tertua dari Kui Bhok San-jin, melangkah maju dan berkata, "Sumoi, apa yang kaukatakan ini? Betapa beraninya engkau mengatakan demikian! Keputusan ini tidak saja sesuai dengan petunjuk suhu, juga telah menjadi keputusan kami semua. Pula, Susiok merupakan satu-satunya saudara seperguruan mendiang Suhu, sehingga kedudukannya paling tinggi dan usianya paling tua di antara kita. Siapa lagi kalau bukan Beliau yang menggantikan Suhu menjadi ketua kita?" "Siancai, kedatangan yang mendadak dan tak tersangka-sangka, juga pendapat yang mengejutkan. Betapapun juga, sebagai murid mendiang Suheng, dia berhak berbicara untuk kepentingan dan kebaikan Bu-tong-pai. The Kwat Lin, bukankah demikian namamu tadi? Kalau menurut pendapatmu, siapa gerangan yang patut dijadikan ketua Bu-tong-pai menggantikan Suheng yang telah tidak ada?" "Harap maafkan aku, Susiok. Bukan sekali-kali aku memandang rendah kepada Susiok, akan tetapi penolakanku itu berdasarkan perhitungan yang matang." Kwat Lin berkata kepada calon ketua Bu-tong-pai itu, mengejutkan dan mengherankan semua orang yang mendengar dan melihat sikap tidak menghormat dari wanita itu. "Pertama-tama sejak dahulu Susiok selalu merantau, tidak pernah memperdulikan keadaan Bu-tong-pai, apalagi Susiok adalah seorang tosu sehingga kalau Susiok yang menjadi ketua Bu-tong-pai, ada bahayanya Bu-tong-pai akan berubah menjadi perkumpulan Agama To! Berbeda sekali dengan pendirian mendiang Suhu yang bebas sehingga murid suhu pun terdiri dari bermacam-macam golongan. Selain itu, selama ini Bu-tong-pai makin kehilangan sinarnya, menjadi bahan ejekan dan bahan penghinaan orang lain." "Ahhhh...!" terdengar suara memprotes dari sana-sini dan Souw Cin Cu kembali berkata penasaran, "Sumoi aku benar-benar merasa heran mendengar kata-katamu dan melihat sikapmu. Sepuluh tahun engkau dan para suhengmu menghilang dan kini engkau muncul seperti seorang yang lain. Seperti langit dengan bumi bedanya antara engkau dahulu dan engkau sekarang! Sumoi, kau mengatakan bahwa Bu-tong-pai menjadi lemah dan menjadi bahan ejekan dan penghinaan orang lain. Apa artinya ini?" "Souw Cin Cu Suheng, selama bertahun-tahun ini Cap-sha Sin-hiap telah lenyap, tahukah engkau apa yang terjadi dengan mereka?" "Kami telah berusaha menyelidiki namun tidak dapat menemukan kalian." "Hemm, itulah tandanya bahwa Bu-tong-pai amat lemah, sehingga semua suhengku, tokoh-tokoh Cap-sha Sin-hiap, dibunuh orang tanpa diketahui oleh Bu-tong-pai!" Semua orang terkejut sekali mendengar bahwa dua belas orang dari Cap-sha Sin-hiap telah dibunuh orang! "Siapa yang membunuh mereka?" Souw Cin Cu bertanya dengan suara marah sekali. Hati siapa yang takkan menjadi panas dan marah mendengar bahwa dua belas orang saudara seperguruannya dibunuh orang? "Hemm, terlambat sudah! Dua belas orang Suheng dibunuh oleh Pat-jiu Kai-ong ketua Pat-jiu Kai-pang di Heng-san." "Ohhh...!" kini Kui Tek Tojin berseru kaget, "Pat-jiu Kai-ong...?? Mengapa...??" Kwat Lin tersenyum mengejek. "Ahhh, tentu Susiok pernah mendengar nama besarnya dan menjadi gentar, bukan? Memang dialah datuk sesat yang terkenal itu, yang telah membunuh dua belas orang Suhengnya. dan peristiwa itu berlalu begitu saja! Tiga belas orang tokoh Bu-tong-pai mengalami penghinaan, dan Butong- pai sendiri diam saja. Apalagi berusaha membalas dendam, bahkan tahupun tidak akan peristiwa itu! Ini tandanya bahwa Bu-tong-pai lemah! Kini Bu-tong-pai hendak diketahui oleh Susiok, apakah akan dijadikan markas kaum pendeta Tosu dan menjadi makin lemah lagi? Aku sendirilah yang harus turun tangan membunuh musuh-musuh besar kami, membunuh Pat-jiu Kai-ong dan membasmi Pat-jiu Kai-pang di Heng-san. Melihat kelemahan Bu-tong-pai, aku tidak setuju kalau mendiang Suhu digantikan kedudukannya oleh Susiok Kui Tek To-jin harus diganti oleh orang yang memiliki kepandaian tinggi dan dapat memajukan dan memperkuat Bu-tong-pai, barulah tepat!" Kwat Lin bicara penuh semangat, mukanya yang cantik dan berkulit halus itu kemerahan, sepasang matanya bersinar-sinar dan dengan tajamnya menyapu wajah semua anak murid Bu-tong-pai yang hadir di situ. Pandang mata bekas orang termuda Cap-sha Sin-hiap ini membuat banyak anak murid Butong- pai merasa gentar dan mereka hanya menunduk untuk menghindarkan pandang mata Kwat Lin. Akan tetapi, delapan orang suheng dari Kwat Lin memandang dengan marah dan penasaran. Adapun Kui Tek Tojin hanya tersenyum dan mengelus jenggotnya sambil mengangguk-angguk, matanya memandang wajah wanita itu penuh selidik. "The Kwat Lin, omonganmu penuh semangat terhadap kedudukan Bu-tong-pai. Andaikata benar semua kata-katamu itu, habis siapakah yang kaupandang tepat untuk menjadi ketua Bu-tong-pai?" Kui Tek Tojin berkata lagi dengan sikap tenang. "Untuk waktu ini, kiranya tidak ada orang lain lagi dari Bu-tong-pai kecuali aku sendiri!" Kini benar-benar terkejut dan terheran-heranlah semua anak murid Bu-tong-pai yang berada di situ. Begitu beraninya wanita ini. Biarpun tak dapat disangkal lagi bahwa The Kwat Lin merupakan murid utama pula dari mendiang Bhok Sanjin dan orang termuda Cap-sha Sin-hiap, akan tetapi pada waktu itu dia bukanlah orang yang memiliki tingkat tertinggi di Bu-tong-pai. Sama sekali bukan! Di atas dia masih ada delapan orang suhengnya, murid-murid Kui Bhok San-jin yang lebih tua, dan lebih lagi di situ masih ada Kui Tek Tojin yang tentu saja memiliki tingkat jauh lebih tinggi karen tosu ini adalah paman gurunya! "Murid Murtad!!" Tiba-tiba Souw Cin Cu membentak garang dan meloncat maju, diikuti pula oleh sutesutenya. Telunjuk kirinya menuding ke arah muka The Kwat Lin. "The Kwat Lin, engkau sungguh tidak patut menjadi murid Bu-tong-pai! Kiranya engkau menghilang sepuluh tahun hanya untuk pulang sebagai iblis wanita yang murtad terhadap perguruanya sendiri. Dan kami berkewajiban untuk mengajar seorang murid murtad!" Sambil berkata demikian, Souw Cin Cu menerjang ke depan dengan dahsyat. Souw Cin Cu merupakan murid pertama atau paling tua dari Kui Bhok San-jin. sungguhpun tidak dapat dikatakan bahwa dia memiliki tingkat ilmu silat paling tinggi, akan tetapi setidaknya tingkatnya sejajar dengan orang-orang tertua dari Cap-sha Sin-hiap dan sebenarnya masih lebih tinggi setingkat jika dibandingkan dengan ilmu kepandaian The Kwat Lin ketika masih menjadi orang termuda Cap-sha Sin-hiap dahulu. Akan tetapi, Kwat Lin sekarang sama sekali tidak bisa disamakan dengan Kwat Lin sepuluh tahun yang lalu. Dia telah mewarisi ilmu, silat ilmu silat tinggi dan mujijat dari Pulau Es! Tingkatnya sudah tinggi sekali dan dengan tenang saja dia memandang ketika suhengnya itu menerjangnya. Apalagi karena dia mengenal benar jurus yang dipergunakan oleh suhengnya, jurus dari ilmu silat Ngo-heng-kun. Ketika tangan kiri Souw Cin Cu mencengkeram ke arah lehernya dan tangan kanan tosu itu menampar pelipis, dia diam saja seolah-olah dia hendak menerima dua serangan ini tanpa melawan. Akan tetapi setelah hawa sambaran pukulan itu sudah terasa olehnya, tiba-tiba tangan kirinya bergerak dari bawah ke atas. "Plak-plak-plak!!" Kedua lengan Souw Cin Cu telah terpental, bahkan tubuh tosu ini terpelanting ketika tangan Kwat Lin yang tadi sekaligus menangkis kedua lengan itu melanjutkan gerakannya dengan tamparan pada pundaknya. Tamparan yang perlahan saja, akan tetapi sudah cukup murid pertama mendiang Kui Bhok San-jin terpelanting! Diam-diam Kui Tek Tojin terkejut heran menyaksikan gerakan tangan wanita itu, gerakan yang amat cepat dan aneh, gerakan yang sama sekali tidak dikenalnya dan tentu saja bukan jurus ilmu silat Butong- pai! Akan tetapi tujuh orang sute dari Suow Cin Cu sudah menjadi marah dan tanpa dikomando lagi mereka menerjang maju. Akan tetapi The Kwat Lin tertawa, tubuhnya bergerak sedemikian cepatnya dan berturut-turut tujuh orang ini pun terguling roboh di dekat Suow Cin Cu! Mereka sendiri tidak tahu bagaimana mereka dirobohkan, akan tetapi tahu-tahu terpelanting dan bagian yang tertampar tangan Kwat Lin, biarpun tidak sampai patah tulang, akan tetapi amat nyeri. Padahal tamparan itu perlahan saja. Bagaimana andaikata wanita itu menampar dengan pengerahan tenaga sekuatnya, sukar dibayangkan akibatnya. Betapapun juga, delapan orang murid utama dari Bu-tong-pai ini tentu saja tidak sudi menyerah begitu mudah dan mereka sudah meloncat bangun dan mencabut senjata masing-masing! "Ibu, mengapa tidak dibunuh saja tikus-tikus menjemukan ini?" Tiba-tiba Bu Ong berteriak. Anak ini sudah bertolak pinggang dan memandang marah kepada para pengeroyok ibunya. Kalau saja tangannya tidak dipegang erat-erat oleh Swi Liang dan Swi Nio, suheng dan sucinya, tentu dia sudah menerjang maju membantu ibunya. Akan tetapi memang sebelumnya, Swi Liang dan Swi Nio sudah dipesan oleh subo mereka untuk menjaga Bu Ong, dan terutama sekali mencegah bocah ini mencampuri urusannya dengan orang-orang Bu-tong-pai. Kwat Lin tersenyum mengejek melihat delapan orang suhengnya itu mengeluarkan senjata. "Hemmm, apakah kalian ini sudah buta? Apakah para suheng tidak melihat bahwa tingkat kepandaianku jauh melebihi kalian, dan bahkan andaikata Suhu masih hidup, beliau sendiri tidak akan mampu menandingi aku." "Keparat...!" Souw Cin Cu dan tujuh orang sutenya menerjang maju, akan tetapi tiba-tiba Kui Tek Tojin berseru, "Tahan senjata! Mundur kalian!" Mendengar teriakan ini, delapan orang ini serentak mundur mentaati perintah calon ketua mereka. Kui Tek Tojin melangkah maju menghampiri wanita yang tersenyum-senyum itu. "Siancai... kiranya engkau telah memiliki kepandaian tinggi maka berani menentang Bu-tong-pai! The kwat Lin, selama ini engkau telah mempelajari ilmu silat dari luar Bu-tong-pai, tidak tahu dari perguruan manakah?" "Memang benar dugaanmu, Susiok, akan tetapi tidak perlu aku menceritakan kepada siapapun juga." "Hei, tosu bau! Ibu adalah Ratu dari Pulau Es, tahukah engkau?" "Bu Ong...!" Kwat Lin membentak puteranya, akan tetapi anak itu sudah terlanjur bicara dan bukan main kagetnya Kui Tek Tojin dan para anak murid Bu-tong-pai mendengar ini. Pulau Es hanya disebut-sebut dalam dongeng saja, dan memang nama besar tokoh Pangeran Han Ti Ong dari Pulau Es amat terkenal di dunia kang-ouw. Timbul keraguan di dalam hati Kui Tek Tojin, akan tetapi karena wanita di hadapannya itu juga merupakan anak murid Bu-tong-pai, maka dia menekan perasaannya dan berkata, "The Kwat Lin, kalau engkau masih mengaku sebagai murid Bu-tong-pai, betapapun tinggi ilmu kepandaianmu, engkau harus tunduk kepada pimpinan Bu-tong-pai. Sebaliknya, kalau engkau sudah mempelajari ilmu silat dari golongan lain dan tidak lagi merasa sebagai orang Bu-tong-pai, engkau tidak berhak mencampuri urusan dalam dari Bu-tong-pai." Kwat Lin tersenyum mengejek. " Susiok, tidak perlu kupungkiri lagi bahwa aku telah membelajari ilmu silat dari golongan lain dan tingkat kepandaianku menjadi jauh lebih tinggi daripada semua tokoh Butong- pai. Akan tetapi aku bukan saja masih mengaku orang Bu-tong-pai, bahkan ingin memimpin Bu-tongpai menjadi perkumpulan terkuat di dunia. Akan kuperbaiki dan kupertinggi mutu ilmu silat Bu-tong-pai agar tidak ada lagi golongan lain yang berani memandang rendah Bu-tong-pai, apalagi menghina anak murid Bu-tong-pai seperti yang terjadi kepada Cap-sha Sin-hiap sepuluh tahun yang lalu." "Hemm, kalau begitu, pinto sebagai calon ketua Bu-tong-pai, terpaksa melarang dan menentang kehendakmu, The Kwat Lin." "Dengan cara bagaimana kau hendak menentangku, Susiok?" "Dengan mempertaruhkan nyawaku. Kehormatan Bu-tong-pai lebih penting dari pada nyawa seorang ketuanya. Majulah dan mari kita putuskan persoalan ini dengan kepandaian kita ." The Kwat Lin tersenyum. "Susiok, betapapun mudahnya bagiku membunuhmu, membunuh para suheng dan membunuh semua orang yang menentangku. Akan tetapi, aku bahkan ingin menolong kalian, ingin mengangkat nama Bu-tong-pai, maka biarlah aku hanya akan mengalahkan Susiok tanpa membunuhmu." Ucapan ini malah merupakan penghinaan yang luar biasa sekali, karena mengalahkan lawan tanpa membunuhnya merupakan hal yang amat sukar dan hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi dari lawannya! Merah muka tosu tua itu. Dia dipandang rendah oleh murid keponakannya sendiri! Bukan hanya itu saja. Dia sebagai orang tertua dari Bu-tong-pai, sebagai calon ketua Bu-tong-pai, dihina oleh seorang anggauta muda Bu-tong-pai! Oleh karena itu, tosu tua ini mengambil keputusan untuk mengadu nyawa dengan wanita yang kini dipandangnya bukan sebagai anggauta Bu-tong-pai lagi, melainkan sebagai seorang musuh yang hendak mengacau Bu-tong-pai. "The Kwat Lin sebagai seorang ketua Bu-tong-pai, pinto menyediakan nyawa untuk mempertahankan kehormatan Bu-tong-pai terhadap siapapun juga , dan saat ini pinto akan mempertahankannya terhadap engkau! Majulah!" sambil berkata demikian tosu tua berjenggot lebat ini meloncat ke depan, tongkatnya di tangan kanan dan ujung lengan bajunya melambai panjang. Kwat Lin mengenal tongkat itu. Tongkat kayu cendana yang harum dan menghitam saking tuanya, tongkat yang menjadi tongkat pusaka para ketua Bu-tong-pai sejak dahulu. Dia maklum pula bahwa tongkat itu hanya sebagai lambang kedudukan ketua belaka, namun dalam hal ilmu silat bersenjata, ujung lengan baju kakek itu jauh lebih barbahaya dari pada tongkatnya. Dia dapat menduga bahwa tentu kakek ini sudah memiliki tingkat tertinggi dari Bu-tong-pai, dan telah memiliki sinkang yang amat kuat sehingga kedua ujung lengan bajunya dapat dipergunakan sebagai senjata ampuh yang dapat menghadapi senjata apapun juga dari lawan, dapat dibikin kaku keras seperti besi dan lemas seperti ujung cambuk yang dapat melakukan totokan-totokan maut keseluruh jalan darah di tubuh lawan! Karena itu, dia tidak berani memandang rendah, cepat dia mengeluarkan pekik melengking, dan tubuhnya sudah bergerak maju, tangan kananya melakukan pukulan dorongan dengan telapak tangan sambil mengerahkan tenaga sinkang Swat-im Sin-jiu. Hawa yang amat dingin menghembus ke depan menyerang kakek itu. Swat-im Sin-jiu adalah tenaga dalam inti salju yang dilatihnya di Pulau Es, kekuatannya dahsyat bukan main karena hawa yang menyambar ini mengandung tenaga sakti yang mendatangkan rasa dingin. "Siancai...!!" Tosu itu berseru kaget ketika merasa betapa hawa yang menyambar dari depan amat dinginnya, membuat tangannya ketika mendorong kembali terasa membeku. Maka dia lalu mengerakan tongkat di tangan kanannya, mengambil keuntungan dari ukuran tongkat yang panjang, menghantam ke arah kepala wanita itu dari samping. "Wuuuuttt... plakkkk!" Dengan berani sekali Swat Lin menggunakan tangan kiri yang dibuka untuk memapaki sambaran tongkat dari samping, terus mencengkram tongkat itu dan mengerahkan sinkang, menyalurkannya lewat getaran tongkat dan kembali tosu itu berseru kaget ketika merasa betapa lengan kanannya yang memegang tongkat terasa dingin dan lumpuh! Kesempatan baik ini, dalam satu detik pada saat lawan masih terkejut dan belum sempat mengerahkan sinkang, dipergunakan oleh Kwat Lin dengan jalan menarik ke bawah, bergulingan ke depan dan menghantam ke arah lawan dengan tangan kananya, kini menggerakan tenaga sinkang yang berhawa panas! "Ouhhh...!" Kui Tek Tojin berteriak, cepat meloncat ke belakang dan tentu saja tongkatnya dapat dirampas. Dia tadi sudah mengerahkan sinkang melawan getaran melalui tongkat, dengan niat merampasnya kembali, akan tetapi pukulan lawannya dari bawah yang ditangkis dengan tangan kanan, ternyata luar biasa kuat dan panasnya, mengejutkannya karena perubahan sinkang yang berlawanan itu tidak disangka-sangkanya, maka untuk menyelamatkan diri, terpaksa dia meloncat ke belakang dan mengorbankan tongkatnya. Kwat Lin sudah melompat kebelakang pula, memegang tongkat itu dengan kedua tangan di atas kepala sambil tertawa dan berkata, "Hi-hik, tongkat pusaka telah berada di tanganku, berarti akulah ketua Bu-tong-pai! Kembalikan tongkat!" Kui Tek Tojin berteriak marah dan kedua lengannya bergerak ketika tubuhnya menerjang maju. Dengan amat cepatnya kedua ujung lengan bajunya bergerak seperti kilat menyambar-nyambar dan dalam segebrakan itu, Kwat Lin telah dihujani sembilan kali totokan yang amat berbahaya! Sukarlah membebaskan diri dari ancaman totokan yang hebat ini dan andaikata Kwat lin bukan seorang pewaris ilmu-ilmu dari Pulau Es, tidak mungkin dia dapat menghindarkan diri lagi. Dia menggunakan ginkangnya berloncatan menghindar, akan tetapi sebuah totokan yang meleset masih mengenai pergelangan tangannya, membuat tongkat pusaka itu terlepas dari peganganya! Kwat Lin menjerit marah, pedangnya sudah dicabutnya, yaitu pedang Ang-bwe-kiam dan tampak sinar merah berkeredepan dan menyambar-nyambar dahsyat. "Bret-brettttt...!!" Kui Tek Tojin berteriak kaget, meloncat mundur dan ternyata bahwa ujung lengan bajunya telah terbabat buntung oleh pedang di tangan Kwat Lin, dan sekarang wanita itu telah mengambil lagi tongkat pusaka yang tadi terpaksa dilepaskan oleh tangannya yang tertotok. "Susiok! Dan kalian para suheng semua! Kalau kalian mendesak, terpaksa aku akan mematahkan tongkat pusaka ini kemudian membunuh kalian dan merampas Bu-tong-pai dengan kekerasan!" Dia mengangkat tongkat itu tinggi-tinggi. "Aku hanya menuntut hak seorang murid Bu-tong-pai yang memiliki tingkat tinggi dan memegang tongkat wasiat itu, hak menjadi ketua dengan niat untuk mempertinggi tingkat Butong- pai!" Delapan orang suheng itu masih penasaran dan mereka hendak menyerbu ke depan, akan tetapi Kui Tek Tojin mengangkat tangan ke atas dan berkata, "Mundurlah kalian. Dia benar, kita tidak boleh melawan pemegang tongkat pusaka!" Kemudian dia berkata kepada Kwat Lin, "Baiklah, melihat tongkat pusaka di tanganmu, kami tidak akan melawan. Akan tetapi, betapapun juga kami tidak dapat menerima engkau menjadi ketua kami dan kami harap engkau tidak memaksa anak murid Bu-tong-pai yang tidak mau tunduk kepadamu dan meninggalkan tempat ini." Kwat Lin tersenyum. Memang bukan kehendaknya untuk memusuhi anak murid Bu-tong-pai. Dia tidak membenci Bu-tong-pai, melainkan hendak mencarikan kemuliaan bagi puteranya dengan perantaraan sebuah perkumpulan besar dan dia akan mengusahakan agar Bu-tong-pai menjadi sebuah perkumpulan yang paling kuat dan paling besar. "Terserah kepadamu, Susiok." dia lalu memandang ke sekeliling, kepada para anak murid Bu-tong-pai, "Haiii, semua anggauta dan murid Bu-tong-pai, dengar lah baik-baik! Betapapun juga aku adalah murid Bu-tong-pai sejak kecil, dan di dalam sepak terjang Cap-sha Sin-hiap, kalian juga sudah tahu betapa aku dan para suheng telah menjunjung tinggi nama Bu-tong-pai dan aku ingin menyebarkan ilmuku kepada kalian semua agar kalian menjadi orang-orang yang lihai dan Bu-tong-pai menjadi perkumpulan yang paling kuat di dunia ini. Terserah kepada kalian apakah hendak besetia kepada nama Bu-tong-pai dan menjadi murid-muridku, ataukah hendak bersetia kepada tosu Kui Tek Tojin dan delapan orang suhengku ini yang hendak membelakangi Bu-tong-pai!" Berisiklah keadaan di situ setelah Kwat Lin mengeluarkan kata-kata ini. Para anak murid Bu-tong-pai saling bicara sendiri, saling berbantahan dan akhirnya hanya ada dua puluh orang termasuk Kui Tek Tojin yang meninggalkan tempat itu, menuruni bukit dan memasuki sebuah hutan di kaki bukit yang dipilih oleh Kui Tek Tojin untuk menjadi tempat tinggal mereka sementara waktu sambil menanti perkembangan selanjutnya. Sisanya semua suka mengangkat Kwat Lin menjadi ketua mereka setelah mereka tadi menyaksikan betapa lihainya Kwat Lin dan mereka semua ingin memperoleh bagian pelajaran ilmu silat yang tinggi. Demikianlah, mulai hari itu, The Kwat Lin menjadi ketua yang baru dari Bu-tong-pai yang dipimpinnya dengan gaya dan bentuk yang baru pula. Dengan harta benda berupa emas permata yang amat mahal, yang didapatkan dan dilarikannya dari Pulau Es, dia membangun markas Bu-tong-pai menjadi bangunan yang megah, mewar dan kuat. Bahkan dalam keinginan hatinya untuk lekas-lekas melihat Butong- pai menjadi perkumpulan yang kuat dan banyak anggautanya, dia menerima anggauta-anggauta baru. Anggauta baru diterima dari golongan apapun juga, syaratnya hanya satu bahwa mereka itu haruslah memiliki kepandaian yang sampai pada tingkat tertentu, dan bersumpah setia sampai mati kepada Bu-tongpai. Karena mendengar bahwa ketua Bu-tong-pai yang baru adalah seorang wanita yang cantik yang memiliki kesaktian hebat, juga amat kaya raya, maka banyaklah orang-orang kang-ouw dan golongan kaum sesat yang tadinya hidup sebagai perampok dan bajak-bajak yang tidak tertentu penghasilanya, berdatanganlah dan masuk menjadi anggauta Bu-tong-pai! Mulai pulalah The Kwat Lin mengatur dan merencanakan cita-ci tanya untuk puteranya. Dengan kerja sama antara dia dan para anggauta baru yang berpengalaman mulailah dia diam-diam mengadakan kontak dan mencari kesempatan untuk menghubungi para pembesar tinggi yang merupakan kekuatan rahasia untuk membrontak terhadap kaisar. Inilah cita-cita The Kwat Lin. Dia pernah menjadi ratu, menjadi istri seorang raja, biarpun hanya raja kecil yang menguasai Kerajaan Pulau Es, karena itu, dia menganggap bahwa puteranya, Han Bu-ong, adalah seorang pangeran! Seorang pangeran haruslah bercita-cita menjadi raja. Bukan raja kecil yang hanya menguasai sebuah pulau, melainkan raja besar! Dan satu-satunya jalan untuk dapat mencapai ini, hanyalah menggulingkan kaisar sehingga kelak ada kesempatan bagi puteranya untuk menjadi kaisar! Tentu saja untuk membrontak sendiri dengan mengandalkan kekuatanBu-tong-pai merupakan hal yang tak masuk diakal dan hanya merupakan bunuh diri, maka dia mencari kesempatan mengadakan kontak dengan para pembesar tinggi yang berambisi seperti dia sehingga mungkin bagi mereka untuk menggunakan bala tentara yang dapat dikuasai untuk mencapai cita-cita mereka itu. Memang sesungguhnyalah bahwa kemuliaan duniawai atau alam benda merupakan keadaan yang amat berbahaya. Tak dapat disangkal pula bahwa hidup memang memerlukan kebendaan sebagai pelengkap dan pelangsung hidup, dan amat baiklah kalau orang dapat menggunakan keduniawian itu pada tempat sebenarnya. Akan tetapi, akan celakalah dan hanya akan menimbulkan malapetaka bagi diri sendiri dan bagi orang lain kalau manusia sudah dikuasai oleh duniawi yang merupakan harta benda, kedudukan, nama besar, kepandaian dan lain-lain sebagainya. Alam kebendaan ini mempunyai sifat seperti arak. Diminum dengan kesadaran dan pengertian akan menjadi obat, tapi di lain saat dalam keadaan lalai akan menjadi minuman yang memabokan. Dan sekali orang mabok oleh duniawi, akan timbullah perbuatan sombong, sewenang-wenang, dan lupa segala. yang ada hanyalah keinginan memenuhi segala kehendaknya dengan cara apapun juga tanpa mengharamkan dengan segala cara. Demikian pula terjadi dengan The Kwat lin. Dahulu, belasan tahun yang lalu, The Kwat Lin merupaka seorang pendekar wanita yang gagah perkasa menentang kejahatan yang gigih sehingga namanya bersama dua belas orang suhengnya sebagai Cap-sha Sin-hiap amatlah terkenal. Akan tetapi setelah malapetaka menimpa Cap-sha Sin-hiap, dendam menaburkan bibit yang merobah seluruh pandangan hidupnya. Setelah dia berhasil membalas dendam secara keji dan kejam sekali, bibit itu masih berkembang biak dan merobah sifat, dari dendam kepada pengejaran kemuliaan yang tanpa batas. Sudah terlalu lama kita meninggalkan Han Swat Hong. puteri dari Raja Han Ti Ong dan sebaiknya kita mengikuti pengalamanya agar tidak tertinggal terlampau jauh. Seperti kita ketahui, Swat Hong yang berwatak keras itu marah-marah ketika melihat betapa Sin Liong menolong seekor biruang dan tidak mempedulikan dia.Dianggapnya Sin Liong sengaja mencari-cari alasan untuk menghambat perjalanan, padahal dia ingin sekali segera mencari dan menemukan ibunya yang tidak ia diketahui kemana perginya dan bagaimana nasibnya setelah badai yang amat dahsyat mengamuk disekitar lautan itu. Akan tetapi tentu saja bukan dengan hati yang sesungguhnya dia hendak meninggalkan Sin Liong di pulau kosong itu, melainkan hanya untuk sekedar menunjukan kemarahan hatinya saja. Karena itu setelah perahunya jauh meninggalkan pulau itu sehingga pulau dimana Sin Liong mengobati biruang itu tidak nampak lagi, dara itu memutar lagi perahunya dan hendak kembali kepada Sin Liong. Sudah dibayangkannya betapa Sin Liong yang selalu sabar dan selalu mengalah kepadanya itu akan minta maaf dan menyatakan penyesalan hatinya, dan dia yang akan memaafkannya! Saat - saat seperti itu mendatangkan keharuan, kebanggan dan kemenangan di dalam hatinya. Betapa bingung dan kagetnya ketika kemudian dia mendapat kenyataan bahwa dia tersesat jalan dan tidak tahu lagi dimana dia meninggalkan Sin Liong tadi! Demikian banyaknya pulau yang sama bentuknya di lautan itu, banyak sekali bongkahan es yang datang dan pergi seperti hidup saja! Setelah berputar putar tanpa hasil dan yakin bahwa dia berada makin jauh dari tempat dimana Sin Liong berada, setelah berteriak - teriak memanggil dengan pengerahan khikang tanpa ada jawabannya dan memutar perahu keluardari daerah penuh pulau kecil yang membingungkan itu. Biarlah, dia akan pergi saja melanjutkan perjalanan seorang diri mencari ibunya. Dia merasa yakin bahwa suhengnya itu tentu akan dapat menyelamatkan diri. Suhengnya memiliki ilmu kepandaian yg amat tinggi. Swat Hong tidak tahu bahwa perahunya menuju ke selatan, bukan menuju ke daerah Pulau Es lagi. Namun karena maksudnya untuk mencari ibunya, dara ini seolah - olah berlayar tanpa tujuan dan membiarkan saja kemana perahu yang terdorong angin itu membawanya. Pada suatu hari , tampaklah olehnya garis hitam di sebelah kanan, masih jauh sekali, akan tetapi dengan girang dia dapat mengenal bahwa garis hitam yang amat panjang membujur dari kanan kiri itu adalah sebuah daratan yang agaknya tiada bertepi. Itulah daratan besar, pikirnya dengan girang dan dia segera membelokan perahunya menuju ke garis hitam itu. Ketika perahunya sudah tiba di dekat pantai yang sunyi, dia melihat ada sebuah perahu lain yang meluncur cepat dari sebelah kirinya. Perahu kecil dan yang berada di perahu itu seorang laki-laki muda yang kelihatannya gagah dan tampan. Pemuda itu pun memandang kepadanya sehingga dua pasang mata saling pandang sejenak. Akan tetapi Swat Hong membuang muka dan tidak mempedulikan orang yang tidak dikenalnya itu, terus saja mendayung perahunya ke tepi. Begitu perahunya mendekati daratan, dia lalu meloncat ke daratan, tidak menghiraukan perahunya lagi. Memang dia tidak berpikir untuk kembali ke tempat itu dan berperahu lagi. Untuk apa berlayar? Pulau Es sudah kosong. Dia akan mencari ibunya di daratan besar, karena kalau ibunya berada di suatu pulau, agaknya tentu tidak akan dapat terlepas dari amukan badai yang dahsyat itu. Kalau ibu berada di daratan besar , dan ini mungkin saja terjadi, barulah ada harapan bahwa ibunya masih hidup dapat bertemu dengannya. Andaikata tidak, dia pun akan merantau di daratan besar, tidak kembali kelaut. Dan dia tahu bahwa demikian pula agaknya pendapat suhengnya karena sebelum berpisah mereka sudah membicarakan hal ini berkali-kali. Nenek moyangnya yang selama ini menjadi raja di Pulau Es juga berhasal dari daratan besar! Setelah kini Kerajaan Pulau Es terbasmi badai dan tidak ada lagi, sepatutnya kalau dia sebagai ahli waris satu-satunya kembali pula ke daratan besar! "Heiii... Nona! Tunggu...!!" Swat Hong mengerutkan alisnya dan berhenti melangkahkan kakinya, membalik dan melihat betapa pemuda yang berada di dalam perahu tadi sudah menambatkan perahunya dan juga perahu yang ditinggalkanya meloncat tadi, di pantai. Kini pemuda itu berlari mengejarnya. "Mau apa engkau mengejar dan memanggil aku?" Swat Hong bertanya, matanya memandang penuh selidik. Pemuda itu usianya tentu hanya lebih tua dua tiga tahun darinya, seorang pemuda yang berwajah tampan dan gagah, yang perawakanya tinggi besar dan matanya menyorotkan kejujuran dan membayangkan kekerasan dan keberanian. Kedua lengan yang tampak tersembul keluar dari lengan baju pendek itu kekar berotot membayangkan tenaga yang hebat, juga bajunya yang terbuat dari kain tipis membayangkan dada yang bidang, terhias sedikit rambut, berotot dan kuat sekali. Melihat bahan pakaiannya dapat di duga bahwa pemuda ini seorang yang beruang, namun melihat dari keadaan tubuhnya dan kaki tangannya, agaknya dia biasa dengan pekerjaan berat. Seorang petani atau seorang nelayan, pikir Swat Hong, kagum juga memandang tubuh yang kokoh kuat itu. Pemuda itu tersenyum. Senyumnya lebar memperlihatkan deretan gigi yang kokoh kuat pula, senyum terbuka seorang yang berwatak jujur dan bersahaja. Akan tetapi sikapnya ketika mengangkat kedua tangan di depan dada sebagai penghormatan, membuktikan bahwa dia pernah "makan sekolahan" alias terpelajar, terbukti pula dari kata-katanya yang biarpun ringkas dan singkat akan tetapi tetap sopan. "Maafkanlah, Nona meninggalkan perahu begitu saja, aku merasa sayang dan membantu meminggirkannya. Melihat gerakan Nona ketika meloncat, jelas bahwa Nona berkepandaian tinggi. Aku ingin sekali belajar kenal." Swat Hong mengerutkan alisnya. Hatinya sedang tidak senang, karena selain kegagalannya mencari ibu, juga perpisahanya dengan Sin Liong setidaknya mendatangkan rasa gelisah di hatinya. Kini ada pemuda yang amat lancang ingin "belajar kenal", sungguh menggemaskan. "Aku tidak membutuhkan perahu itu lagi, dan aku tidak peduli apakah kau meminggirkannya atau hendak memilikinya, aku tidak minta bantuanmu. Tentang belajar kenal biasanya hanya pedang, kepalan tangan dan tendangan kaki saja yang mau belajar kenal dengan orang asing lancang!" Sepasang mata lebar itu terbelalak seolah-olah memandang sesuatu yang amat aneh, namun membayangkan kekaguman yang luar biasa. Dan memang, di luar dugaan Swat Hong sendiri, sikap dan kata-katanya tadi mendatangkan rasa kagum yang amat besar di dalam hati pemuda ini. Telah menjadi ciri khas pemuda ini yang mengagumi sikap orang yang terbuka, jujur, kasar dan tanpa pura-pura seperti sikap Swat Hong yang baru saja diperlihatkan. "Ha-ha-ha-ha!" Pemuda itu tertawa bergelak dan kedua matanya menjadi basah oleh air mata. Ini pun ciri khasnya. Kalau dia tertawa, air matanya keluar seperti orang menangis. Dengan punggung tangannya yang besar dan berotot dia menghapus air matanya. "Nona hebat sekali! Ha-ha-ha , aku Kwee Lun selama hidupku baru sekarang ini bertemu dengan seorang nona yang begini hebat! Diantara seribu orang gadis, belum tentu ada satu! Nona, kalau sudi, perkenalkanlah aku Swee Lin, biarpun jelek dan kasar bukanlah tidak terkenal. Ayahku adalah seorang pelaut biasa dan sudah meninggal, demikian pula Ibuku. Aku anak pelaut akan tetapi sejak kecil aku sudah ikut kepada guruku. Guruku inilah yang terkenal. Guruku adalah Lam Hai Sen-jin, pertapa yang amat terkenal di dunia kang-ouw, dan kami berdua tinggal di Pulau Kura-kura di laut selatan." Melihat sikap terbuka ini, geli juga hati Swat Hong. Kini dia melihat jelas bahwa pemuda ini sama sekali tidak kurang ajar. Kasar memang, akan tetapi kekasaran yang memang menjadi wataknya yang terbuka. Orang macam ini baik dijadikan sahabat, pikirnya. Akan tetapi harus dibuktikan dulu apakah pemuda ini pantas menjadi sahabatnya, sungguhpun menurut pengakuannya dia murid seorang pertapa yang namanya terkenal di dunia kang-ouw! Swat Hong tersenyum. "Aihh, engkau lebih pantas menjadi seorang penjual jamu! Setelah engkau memperkenalkan semua nenek moyangmu kepadaku, dengan maksud apakah engkau seorang pria minta perkenalan dengan seorang wanita?" Kwee Lun mengerutkan alisnya yang sangat lebat seperti dua buah sikat ditaruh melintang di dahinya itu, dan dia menggeleng-geleng kepalanya. "Memang, sebelumaku berangkat merantau, suhu berpesan dengan sungguh bahwa aku tidak boleh mendekati wanita cantik yang katanya amat berbahaya melebihi ular berbisa! Akan tetapi, biarpun Nona cantik sukar dicari cacatnya, namun kepandaian Nona tinggi dan sikap Nona jujur menyenangkan. Aku ingin bersahabat, karena sekarang ini baru pertama kali aku merantau seorang diri, aku membutuhkan seorang sahabat yang pandai seperti Nona untuk memberi petunjuk kepadaku. Untuk budi Nona ini, tentu aku akan berusaha menyenangkan hatimu." Swat Hong makin terheran. Dia tidak tahu apakah pemuda ini pintar atau bodoh. Sikapnya terbuka akan tetapi biarpun kata-katanya teratur, ada bayangan ketololan. "Hemm, kau bisa apa sih? Bagaimana engkau bisa menyenangkan hatiku?" Dia menyelidik. "Aku? Wah, aku bodoh akan tetapi kalau ada orang-orang kurang ajar kepadamu, tanpa Nona turun tangan sendiri, aku sanggup menghajar mereka! Dia melonjorkan kedua lengannya yang kekar berotot itu. "Dan jangan Nona sangsi lagi, biar ada lima puluh orang, aku masih sanggup menghadapi mereka, kalau perlu dibantu sengan senjataku kipas dan pedang. Kalau Nona senang sajak, aku banyak mengenal sajak kuno yang indah dan di waktu Nona kesepian, aku dapat menghibur Nona dengan nyanyian! Aku suka sekali bernyanyi." Hampir saja Swat Hong tertawa geli orang yang kekar seperti seekor singa buas ini membaca sajak, bernyanyi dan senjatanya kipas? Benar-benar seorang pemuda yang aneh, akan tetapi tentu saja dia belum mau percaya begitu saja. Sambil memandang tajam dia berkata, "Hemm, kau bicara tentang pedang dan kipas sebagai senjata, akan tetapi aku tidak melihat engkau membawa senjata apa-apa. " Ahh, tunggu dulu, Nona. Aku memang sengaja meninggalkanya di perahu!" Setelah berkata demikian, Kwee Lun membalikan tubuhnya dan berlari cepat sekali ke perahunya dan ketika dia sudah kembali ke depan Swat Hong, benar saja dia telah membawa sebatang pedang yang sarungnya terukir indah dan sebuah kipas bergagang perak yang diselipkan di ikat pinggangnya! "Mengapa baru sekarang kau memperlihatkan senjata-senjatamu?" "Aih, kalau tadi aku membawa senjata, tentu akan menimbulkan dugaan yang bukan-bukan dan untuk berkenalan dengan seorang gadis, bagaimana aku berani membawa senjata? Tentu disangka perampok atau bajak!" Mau atau tidak, Swat Hong tersenyum. Timbul rasa sukanya kepada pemuda kasar yang aneh ini. "Betapapun juga, aku adalah seorang wanita dan engkau seorang pria, mana mungkin menjadi sahabat? Tidak patut dilihat orang." Mata yang lebar itu kembali terbelalak penuh penasaran dan tangan kirinya dikepalkan. "Apa peduli katakata orang? Kalau ada yang berani mengatakan yang bukan-bukan tentu akan kuhancurkan mulutnya! Wanita adalah seorang manusia, pria pun seorang manusia. Apa salahnya berkenalan dan bersahabat? Nona, aku Kwee Lun bukan seorang yang berpikiran kotor, juga aku tidak akan sembarangan memilih kawan! Aku kagum melihat Nona, maka kalau Nona sudi, harap memperkenalkan diri." Swat Hong makin tertarik, akan tetapi dia masih ragu-ragu apakah orang ini patut dijadikan seorang teman. Biarpun lagaknya seperti jagoan, siapa tahu kalau kosong belaka? "Kau bilang tadi murid seorang tosu yang terkenal?" "Ya, Suhu Lam Hai Seng-jin merupakan tokoh yang paling terkenal di daerah selatan!" "Kalau begitu, ilmu silatmu tentu lebih lihai daripada bicaramu sepeti penjual jamu?" "Ihhh, harap jangan mentertawakan! Biarpun tidak selihai Nona yang dapat kulihat dari gerakan meloncat dari perahu tadi, akan tetapi masih tidak terlalu orang di dunia ini yang akan sanggup mengalahkan Kwee Lun!" "Tidak ada artinya kalau hanya disombongkan dan dibanggakan tanpa ada buktinya! Aku juga tidak sembarangan memperkenalkan diri kepada orang lain. Untuk membuktikan apakah kau patut menjadi kenalanku, cabut kedua senjatamu, dan coba kau hadapi pedangku!" Sambil berkata demikian, Swat Hong sudah mencabut pedangnya perlahan-lahan dan tampaklah sinar pedang ketika sinar matahari menimpanya. "Akan tetapi, Nona...." Kwee Lun meragu. Biarpun dia tadi menyaksikan betapa gesit dan ringannya tubuh nona itu melayang ke daratan, namun dia tidak percaya apakah nona ini mampu menandingi pedang dan kipasnya! "Tidak usah banyak ragu. Kalau kau tidak mau, pergilah dan jangan menggangguku lebih lama lagi!" "Srat...!!" Pedang terhunus sudah berada di tangan kanan Kwee Liu dan sarung pedangnya dilempar ke atas tanah, sedangkan tangan kirinya sudah mencabut kipas gagang perak yang telah dikembangkan dan melindungi dadanya, adapun pedang itu dilonjorkan ke depan. "Aku telah siap, Nona." Swat Hong memang ingin sekali melihat sampai di mana kepandaian pemuda yang aneh ini, maka tanpa banyak kata lagi dia sudah meloncat ke depan dan menggerakan pedangnya dengan hebat sekali. Pedang di tangannya itu adalah pedang biasa saja, akan tetapi karena yang menggerakan adalah tangan yang mengandung tenaga sinkang istimewa dari Pulau Es, maka pedang itu lenyap bentuknya berubah menjadi gulungan sinar yang menyilaukan mata dan tubuh dara itu juga tertutup oleh gulungan sinar pedang saking cepatnya tubuh itu berloncatan. "Aihhh...!!" Kwee Lun berseru keras dan cepat dia menggerakan pedang dan kipas. Memang sudah diduganya bahwa dara itu lihai sekali, akan tetapi menyaksikan gerakan pedang yang demikian luar biasa, dia menjadi kaget, kagum, heran dan juga gembira. Tanpa ragu-ragu dia lalu mengerahkan tenaga dan mengeluarkan semua ilmu silatnya untuk menandingi dara yang mengagumkan hatinya ini. Seperti telah kita kenal di permulaan cerita ini ketika terjadi para tokoh kang-ouw memperebutkan Sin Liong yang ketika itu dikenal sebagai Sin-tong (bocah ajaib), guru pemuda itu, Lam Hai Seng-jin, adalah seorang tosu yang selain ahli dalam Agama To, juga pandai bernyanyi, dan lihai sekali ilmu silatnya. Namun terkenal sebagai pertapa atau pemilik Pulau Kura-kura di Lam-hai dan senjatanya yang berupa hudtim dan kipas mengangkat tinggi namanya di dunia kang-ouw. Agaknya kepandaian itu telah diturunkan semua kepada murid tunggalnya ini, namun tentu saja karena muridnya bukanlah seorang tosu, senjata hudtim diganti dengan pedang. Pedang dan kipas adalah senjata yang ringan, kini dimainkan oleh kedua lengan Kwee Lun yang mengandung tenaga gajah, tentu saja dapat dibayangkan betapa cepatnya kedua senjata itu bergerak sampai tidak tampak lagi sebagai senjata kipas dan pedang, melainkan tampak hanya gulungan sinar yang berkelebatan dan saling belit dengan sinar pedang di tangan Swat Hong. "Cringgg...!" Tiba-tiba pemuda itu berseru kaget dan pedangnya mencelat ke atas terlepas dari tangannya. Swat Hong tersenyum. Dia tadi sudah menyaksikan bahwa ilmu pedang pemuda itu cukup lihai, bahkan dalam hal kecepatan dan tenaga tidaklah kalah banyak dibandingkan dengan kepandaiannya sendiri. Adanya dia dapat membuat pemuda itu terlepas dalam waktu tiga puluh jurus, hanyalah karena selain dasar ilmu silatnya lebih tinggi daripada pemuda itu, juga kenyataan bahwa pemuda itu tidak mau menyerangnya dengan sungguh-sungguh dan mendasarkan permainannya pada tingkat penguji dan berlatih saja. Kalau pemuda itu merupakan lawan sungguh-sungguh, dia sendiri sangsi apakah akan dapat merobohkannya dalam waktu seratus jurus. "Wah, kau hebat sekali, Nona! Aku mengaku kalah!" Kwee Lun menjura dan menyimpan kipasnya. Suaranya bersungguh-sungguh, karena memang pemuda ini walaupun tadi tidak mau menyerang sungguh-sungguh, namun dari gerakan lawannya dia sudah dapat melihat bahwa dara itu benar-benar memiliki ilmu silat yang amat aneh dan amat kuat. "Aku terlalu rendah untuk menjadi sahabatmu." "Kwee-twako, kau terlalu merendah. Ilmu kepandaianmu hebat! Perkenalkanlah, aku bernama Hat Swat Hong...." Sampai di sini, dara itu meragu karena dia masih sangsi apakah dia akan memperkenalkan diri sebagai seorang puteri dari Kerajaan Pulau Es yang asing dan yang telah terbasmi habis oleh badai itu. "Ilmu pedang Nona hebat bukan main, juga amat aneh gerakannya, Selama melakukan peratauan dengan Suhu, dan mendengar penjelasan Suhu, sudah banyaklah aku mengenal dasar ilmu silat perkumpulan besar di dunia kang-ouw akan tetapi melihat gerakan pedangnya tadi, aku benar-benar tidak tahu lagi, sedikit pun tidak mengenalnya. Maukah Nona Han Swat Hong memperkenalkannya kepadaku?" "Kwee-twako, sebenarnya aku akan merahasiakan keadaanku, Baru pertama kali ini aku menginjak daratan besar dan aku tidak ingin melibatkan diri dengan urusan di dunia kang-ouw, apa lagi memperkenalkan diriku. Akan tetapi memang sudah nasib, begitu mendarat bertemu dengan engkau, dan sikapmu menarik hatiku, membuat aku tidak dapat menyembunyikan diri lagi. Aku akan menceritakan keadaanku hanya dengan satu janji darimu, Twako." Kwee Lun memunggut pedangnya, mengikatkan sarung pedang di punggung lalu membusungkan dadanya yang sudah membusung tegap itu sambil menepuk dada dan berkata, "Nona Han...." "Kwee-twako, sekali mau mengenal orang, aku tidak mau bersikap kepalang. Aku menyebutmu Twako (kakak), berarti aku sudah percaya kepadamu. Maka janganlah kau masih bersikap sungkan menyebutku Nona. Namaku Swat Hong dan tak perlu kau menyebutku Nona seperti orang asing." "Hemm, bagus sekali!" Kwee Lun bertepuk tangan dan memandang ke langit. "Bukan main! Aku benarbenar berbahagia dapat memperoleh adik seperti engkau! Nah, Hong-moi (adik Hong), kauceritakanlah kepada kakakmu ini. Ceritakan semuanya, kalau ada penasaran, akulah yang akan membereskan untukmu! Kakakmu ini sekali bicara tentu akan dipertahankan sampai mati!" Diam-diam Swat Hong merasa girang dan kagum. Inilah seorang laki-laki sejati! Seorang jantan! Sekaligus dia memperoleh seorang sahabat yang boleh dipercaya seorang kakak dan sebagai pengganti seorang keluarga setelah dia kehilangan segala-galanya. Dia telah kehilangan ibunya, ayahnya, keluarga ayahnya, bahkan akhirnya dia kehilangan suhengnya dan dalam keadaan seperti itu tiba-tiba muncul seorang seperti Kwee Lun! "Kwee-twako aku baru saja meninggalkan tempat tinggalku di tengah-tengah laut di sekitar sana!" Dia menuding ke arah laut bebas. "Di manakah tempat tinggalmu itu? Di sebuah pulau?" Swat Hong mengangguk, masih agak ragu-ragu. "Pulau apa, Hong-moi?" "Pulau Es..." "Hah...?" Benar saja seperti dugaannya, nama Pulau Es mendatangkan kekagetan luar biasa, bahkan wajah pemuda itu berubah menjadi agak pucat dan dia memandang dara itu seperti orang melihat iblis di tengah hari! "Pulau... Pulau Es...??" Seperti juga semua orang di dunia kang-ouw, Pulau Es hanya didengarnya seperti dalam dongeng saja, dan pangeran Han Ti Ong yang pernah menggegerkan dunia kang-ouw disebut sebagai seorang dari Pulau Es, seorang yang memiliki kepandaian seperti dewa! Dan kini pemuda itu mendengar bahwa dara itu dari Pulau Es. "Kwee-twako! Jangan memandangku seperti memandang siluman begitu...!" "Ohh... eh...., maafkan aku, Moi-moi! Hati siapa yang mau percaya? Akan tetapi aku percaya padamu, Moimoi! Wah! aku percaya sekarang! Kau pantas kalau dari Pulau Es. Ilmu kepandaianmu luar biasa, bukan seperti manusia lumrah. Mana ada gadis biasa mampu mengalahkan Kwee Lun dalam beberapa jurus saja? Aku malah bangga! Seorang penghuni Pulau Es menyebutku twako dan kusebut Moi-moi! Ha-ha-ha-ha, Suhu tentu akan tercengang saking kagetnya kalau mendengar ini!" Melihat pemuda itu petentang- petenteng mengangkat dada seperti orang membanggakan diri sebagai seorang sahabat baik penghuni Pulau Es, Swat Hong menjadi geli hatinya. "Hong-moi, engkau tidak tahu betapa bangga dan besarnya hatiku. Aihh, sekali ini, baru saja meninggalkan Suhu untuk merantau seorang diri, aku telah bertemu dan dapat bersahabat denganmu. Betapa bangga hatiku!" Swat Hong terkejut. Baru teringat olehnya bahwa dia tadi belum melanjutkan syaratnya, maka cepat dia berkata, "Kalau begitu, berjanjilah bahwa engkau tidak akan menceritakan kepada siapapun juga tentang keadaan diriku, kecuali namaku saja. Berjanjilah Twako!" Kwee Lun memandang kecewa. "Tidak menceritakan kepada siapapun juga bahwa engkau adalah penghuni Pulau Es? waaahhh... ini..." Tentu saja hatinya kecewa karena hal yang amat dibanggakan itu tidak boleh diceritakan kepada orang lain. Mana bisa dia berbangga kalau begitu? "Kwee Lun." tiba-tiba Swat Hong berkata dengan lantang. "Hanya ada dua pilihan bagimu. Berjanji memenuhi permintaanku dan selanjutnya menjadi sahabat baiku, atau kau tidak mau berjanji akan tetapi kuanggap sebagai seorang musuh!" "Wah-wah... aku berjanji! Aku berjanji! Bukan karena takut kepadamu, Hong-moi, aku bukan seorang penakut dan juga tidak takut mati, akan tetapi karena memang aku merasa suka sekali kepadamu. Aku tidak sudi menjadi musuh! Nah, aku berjanji, biarlah aku bersumpah bahwa aku tidak akan menceritakan kepada siapapun juga tentang asal-usulmu, kecuali... hemm, tentu saja kalau... kalau kau sudah mengijinkan aku. Siapa tahu..." Sambungnya penuh harap. Swat Hong tersenyum lega. "Baiklah, Kwee-twako. Aku percaya bahwa engkau akan memegang teguh janjimu. Sekarang dengarlah cerita singkatku dan kuharap kau suka membantuku. Aku adalah puteri dari Raja Pulau Es..." "Aduhhhh...." Kembali mata itu terbelalak dan kwee Lun segera membungkuk, agaknya malah akan berlutut! "Twako, kalau kau berlutut atau melakukan hal yang bukan-bukan lagi, aku takan sudi bicara lagi kepadamu!" Kwee Lun berdiri tegak lagi. "Hayaaaa... siapa bisa menahan datangnya hal-hal yang mengejutkan secara bertubi-tubi ini? Baiklah, aku taat... eh, benarkah aku boleh menyebutmu Moi-moi?" "Siapa bilang tidak boleh ! Aku hanya bekas puteri raja! Ayahku telah meninggal dunia dan Ibuku..., ah, aku sedang mencari Ibuku yang pergi entah kemana. Kwee-twako, aku tidak bisa menceritakan lebih banyak lagi. Yang penting kauketahui hanya bahwa Ibuku telah berbulan-bulan meninggalkan Pulau Es, entah ke mana perginya dan aku sedang mencarinya. Juga aku telah saling berpisah dengan Suhengku. aku sedang pergi merantau dan sekalian mencari Ibuku dan Suhengku." "Aku akan membantumu!" Kwee Lun menggulung lengan bajunya yang memang sudah pendek sampai kebawah siku itu. "Jangan khawatir!" "Terima kasih, Twako. Dan sekarang, engkau hendak ke manakah?" "Sudah kukatakan tadi bahwa aku meninggalkan Pualu Kura-kura untuk pergi merantau meluaskan pengalaman, sekalian memenuhi permintaan penduduk kota Leng-sia-bun yang berada tak jauh dari pantai ini." "Permintaan apa, Twako?" "Beberapa orang penduduk bersusah payah mencari Suhu di Pulau Kura-kura, dan mereka mohon pertolongan Suhu untuk menghancurkan komplotan busuk yang merajalela di kota ini. Suhu lalu memerintahkan aku pergi, dan sekalian aku diberi waktu setahun untuk merantau sendirian. Kebetulan sekali aku bertemu denganmu di sini. Marilah kau ikut bersamaku ke Leng-sia-bun, tentu kau akan gembira melihat keramaian ketika aku menghadapi komplotan itu. Setelah selesai urusanku di sana,aku menemanimu mencari Suhengmu dan Ibumu." Swat Hong mengangguk setuju. Lega juga hatinya, karena kini ada seorang teman yang setidaknya lebih banyak mengenal keadaan daratan besar dari pada dia yang asing sama sekali. "Baik, Twako. Akan tetapi perutku...." "Eh, perutmu mengapa? Sakit...." "Sakit.... lapar...!" JILID 11 Kwee Lun tertawa-tawa bergelak dan Swat Hong juga tertawa. Keduanya merasa lucu dan gembira karena mendapatkan seorang teman yang cocok wataknya! "Kalau begitu, tidak jauh bedanya dengan perutku! mari kita cepat pergi.Leng-sia-bun terdapat banyak makanan enak!" "Tapi .... perahumu itu? Bagaimana kalau ada yang curi nanti ?" "Hemm, siapa berani mencurinya? Lihat, bentuk perahuku itu. Bentuknya seperti seekor kura-kura, lengkap dengan kepalanya dan ekornya. Melihat itu, semua orang tahu bahwa itu milik Pulau Kura-kura, siapa berani mengganggunya? Perahumu yang berada di dekat perahuku juga aman." "Wah, kalau begitu nama Suhumu sudah terkenal sekali!" "Memang, dan sekarang aku akan membuat nama agar sama terkenalnya dengan nama suhu!" Berangkatlah kedua orang muda itu menuju ke utara, melalui sepanjang pantai itu lalu mendekati sebuah daerah pegunungan, menuju ke kota Leng-sia-bun yang letaknya tidak jauh dari pantai laut, tak jauh dari muar sungai Huai. Kota Leng-sia-bun merupakan kota pantai yang ramai dan padat penduduknya. Karena daerah ini merupakan daerah perdagangan yang menampung datangnya hasil bumi dari pedalaman untuk dibawa oleh perahu-perahu ke pantai laut yang lain, juga merupakan pasar besar pagi para nelayan, maka penduduknya cukup makmur. Rumah-rumah besar, toko-toko, hotel-hotel dan restoran-restoran membuktikan kemakmuran kota itu. Akan tetapi, seperti biasa terjadi dimanapun juga di penjuru dunia dan di jaman apa pun, di kota Leng-sia-bun muncul juga manusia-manusia yang mempergunakan kesempatan untuk mencari keuntungan dan menumpuk harta benda dengan cara yang tidak layak, tidak halal, bahkan tidak mempedulikan lagi nilai-nilai kemanusiaan.Telah bertahun-tahun, di kota itu merajalela komplotan yang dipimpin oleh seorang hartawan bernama Ciu Bo jin dan terkenal dengan sebutan Ciu- wangwe (Hartawan Ciu). Sebenarnya, tanpa diketahui oleh siapa pun di kota itu, Ciu-wangwe adalah bekas seorang perampok tunggal yang memiliki kepandaian tinggi. Setelah rambutnya mulai putih dan dia berhasil mengumpulkan kekayaan, tinggallah dia di kota Leng-sia-bun menjadi seorang pedagang. Mula-mula dia mendirikan sebuah rumah makan. Setelah rumah makannya maju, dia membuka rumah judi dan rumah penginapan. Tentu saja dia mengumpulkan bekas teman-temannya dari kalangan hitam untuk bekerja kepadanya dan merangkap menjadi tukang pukul, akan tetapi Ciu-wangwe melarang keras kepada anak buahnya untuk memperlihatkan sikap kasar dan sewenang-wenang karena dia maklum bahwa itu bukan merupakan cara untuk mengumpulkan kekayaan di sebuah kota. Dengan licin sekali, Ciu-wangwe mempengaruhi para pembesar kota itu dengan jalan seringkali mengirimkan hadiah kepada mereka. Bahkan bukan uang saja yang dijadikan umpan untuk memancing ikan besar dan menjinakan haimau, akan tetapi dia juga mempergunakan wanita-wanita muda! Terkenallah hotel dan rumah judi yang didirikan Ciu-wangwe karena kedua tempat ini juga merupakan tempat berpelesir di mana disediakan perempuan muda sebagai pelacur-pelacur kelas tinggi! Bahkan restorannya juga amat laris karena disitu bercokol pula beberapa orang pelacur cantik yang melayani para tamu makan minum dan memberi kesempatan kepada para tamu sambil makan minum untuk colek sana sini! Biarpun banyak penduduk Leng-sia-bun yang menjadi korban judi, banyak rumah tangga berantakan, namun tidak ada orang yang mampu menyalahkan Ciu-wangwe karena rumah judi, hotel dan restoran yang dibukanya adalah sah dan mendapat restu serta perlindungan dari para pembesar setempat. Bahkan secara terang-terangan, hampir semua pembesar di kota itu menjadi langganan Ciu-wangwe. Mereka yang gemar berjudi menjadi langganan pokoan ( tempat judi) di mana mereka dapat berjudi apa saja sepuasnya dan tentu saja dalam melayani para pembesar berjudi, orang-orang kepercayaan Ciuwangwe tidak berani main curang, tidak seperti jika melayani umum di situ dilakukan kecurangankecurangan yang menjamin kemenangan bagi si bandar judi. Bagi para pembesar yang senang pelesir dengan wanita, mereka mendatangi likoan (hotel) di mana tersedia kamar yang mewah berikut pelacurnya yang tinggal pilih dan mereka memperoleh pelayanan istimewa! Bagi yang mengutamakan lidah dan mulut, tersedia restoran yang menyediakan atau mengirim arak wangi dan masakan lezat! Kesewenang-wenangan Ciu-wangwe tidaklah tampak atau terasa secara langsung oleh penduduk. Hanya apabila ada orang berani mendirikan tempat judi, restoran atau hotel baru yang menyaingi perusahannya, maka diam-diam tukang pukulnya akan bertindak dan memaksa si pemilik perusahan itu untuk menutup pintu dan menurunkan papan nama perusahan! Boleh orang lain membuka akan tetapi harus kecil-kecilan dan mengirim "pajak" sebagai penghormatan kepada Ciu-wangwe! Akan tetapi, beberapa bulan belakangan ini terjadilah kegemparan-kegemparan di daerah kota Leng-sia-bun. Kegemparan yang terasa oleh kaum pria yang doyan pelesir di restoran dan hotel milik Ciuwangwe. Hanya bedanya, kalau kegemparan para penduduk dusun disertai tangis, adalah kegemparan di hotel-hotel itu diiringi suara ketawa gembira sungguhpun di malam hari juga mengakibatkan tangis mnyedihkan. Apakah yang terjadi di kedua tempat itu? Di kota Leng-sia-bun, di dalam hotel milik Ciuwangwe, kini seringkali terdapat "barang baru", yaitu pelacur-pelacur muda yang baru, dan daun-daun muda seperti ini paling disuka oleh bandot-bandot tua yang tidak segan-segan membuang uang sebanyaknya untuk memetik daun-daun muda itu! dan di dalam tempat-tempat rahasia di belakang hotel, di dalam kamar-kamar gelap sering kali terjadi hal yang mengerikan di mana seorang gadis remaja dipaksa dan dicambuki, disiksa sampai mereka itu terpaksa menyanggupi untuk dijadikan pelacur dan melayani kaum pria! Dan sekali dara remaja ini melayani seorang tamu, segala akan berjalan lancar dan beberapa bulan kemudian perempuan remaja itu akan menjadi seorang pelacur kelas tinggi yang dijadikan rebutan! Pada waktu yang bersamaan, terjadi geger di dusun-dusun di sekita daerah itu. Banyak terjadi pembelian gadis-gadis muda, bahkan banyak terjadi penculikan dan perampokan secara terang-terangan dilakukan oleh gerombolan perampok ganas! Keluarga gadis ini melakukan penyelidikan dan mereka akhirnya dapat menemukan anak gadis mereka di Leng-sia-bun, dalam keadaan yang menyedihkan karena sudah menjadi pelacur-pelacur! Ada yang lenyap sama sekali, bahkan ada yang terlunta-lunta sebagai seorang wanita gila! Mereka ini adalah gadis-gadis yang berkeras tidak mau menjadi pelacur. ada yang disiksa sampai mati, dan ada yang diperkosa dan akhirnya menjadi gila! Tentu saja banyak di antara mereka yang melapor kepada pembesar di Leng-sia-bun, akan tetapi mereka itu malah dimaki-maki karena dianggap menghina Ciu-wangwe. Dikatakan bahwa anak mereka menjadi pelacur, hal ini adalah orang tua mereka yang tidak tahu malu dan tak dapat mendidik anak, sekarang ada Ciu-wangwe yang menampung mereka sehingga tidak kelaparan, mengapa mereka itu malah melapor dan menuntut Ciu-wangwe? Mereka melaporkan bahwa anak gaisnya di culik orang yang ternyata anak gadis mereka itu tahutahu telah menjadi pelacur di hotel milik Ciu-wangwe, malah dijatuhi hukuman rangket karena menghina Ciu-wangwe, dan pelaporan mereka itu dianggap fitnah karena tidak ada bukti bahwa anak mereka diculik! Memang ada saja jalan dan alasan para penegak hukum yang telah diperbudak oleh harta yang mereka terima dari Ciu-wangwe itu, disamping suguhan anak-anak perawan hasil penculikan! Untuk melakukan penculikan sendiri, tentu saja para pembesar ini merasa malu. Kini ada yang menculikan untuk mereka, hati siapa yang takkan senang? Karena sudah merasa tersudut dan tidak berdaya lagi, akhirnya mereka teringat akan nama besar Lam-hai Seng-jin, Majikan pulau kura-kura yang terkenal sebagai seorang pertapa yang suka menolong kesukaran orang lain yang memerlukan pertolongan. Terutama sekali mereka yang mempunyai anak perempuan dan yang merasa gelisah kalau-kalau pada suatu malam akan tiba giliran mereka didatangi penculik yang akan melarikan anak mereka, segera bermufakat untuk mita pertolongan pertapa itu dan akhirnya berangkatlah serombongan orang menuju ke pulau Kura-kura. Lam-hai Seng-jin menerima pelaporan mereka dan merasa kasihan, maka dia mengutus murid tunggalnya yang sudah mewarisi ilmu kepandaiannya untuk mewakilinya menyelidiki dan memberi hajaran kepada komplotan penjahat itu. Juga dia memberi ijin kepada muridnya untuk merantau selama satu tahun. Setelah memberi banyak nasihat, berangkatlah Kwee Lun seorang diri naik perahu menuju ke daratan besar dan tanpa disangkanya, dia telah berjumpa dengan Han Swat Hong puteri kerajaan Pulau Es! Pada hari itu kota Leng-sia-bun sibuk seperti biasa. Keadaan tetap ramai dan biasa seperti tidak terjadi sesuatu dan seperti tidak akan terjadi sesuatu. Tidak ada seorang pun yang tahu, di antara sebagian besar penduduk yang memang tidak memikirkan lagi, bahkan malam tadi telah terjadi seperti biasa, yaitu pemerkosaan dara-dara culikan baru seperti seklompok domba disembelih, dan tidak ada pula yang tahu bahwa pagi hari itu muncul dua orang yang akan mendatangkan perubahan besar di kota itu, menimbulkan geger yang akan menggemparkan kota dan akan menjadi bahan cerita sampai bertahun-tahun lamanya. Setelah menyelidiki di mana letaknya rumah makan milik Ciu-wangwe, Kwee Lun mengajak Swat Hong mendatangi rumah makan itu. Sebuah rumah makan yang bangunannya indah dan besar, dengan cat baru dan di depan rumah makan terdapat tulisan dengan huruf besar "RUMAH ARAK" yang berarti restoran. "Hong-moi, engkau lapar bukan? Mari kita makan dan minum di sini." Swat Hong memandang heran. Bukankah ini rumah makan milik Hartawan Ciu yang menjadi pemimpin komplotan penjahat di kota ini yang akan dibasmi Kwee Lun? Dia memandang dan melihat mata pemuda itu bersinar, kemudian Kwee Lun memejamkan sebelah mata penuh arti. Swat Hong tersenyum geli. Mengertilah dia kini. Pemuda itu hendak mengajaknya makan sampai kenyang lebih dulu sebelum turun tangan. Dan memang dia merasa lapar sekali! "Aku tidak bisa bekerja tanpa makan lebih dulu," pemuda itu berkata lirih ketika mereka memasuki rumah makan dan Swat Hong tersenyum-senyum. Sepagi itu, rumah makan sudah terisi setengahnya oleh mereka yang beruang, karena rumah makan ini terkenal sebagai rumah makan mahal. Dua orang pelayan, pria dan wanita, yang wanita masih muda dan genit, dengan wajah yang ditutup warna putih dan merah yang tebal seperti tembok dikapur dan digambar, menyambut mereka dengan sikap manis. Kwee Lun dan Swat Hong diantar ke sebuah meja kosong di sudut dan dengan suara lantang Kwee Lun memesan makanan dan minuman yang paling lezat, dalam jumlah banyak sekali. Para pelayan menjadi terheran-heran mendengar pesanan masakan yang pantasnya untuk menjamu sepuluh orang! Akan tetapi melihat sikap kasar dari pemuda tinggi besar itu, pula melihat dua batang pedang dan kipas yang diletakan di atas meja, mereka tidak berani banyak cakap dan melayani mereka. Diam-diam seorang pelayan memberi tahu kepada kepala tukang pukul yang berada di dalam. Dua orang tukang pukul yang berpakaian biasa, dan dengan sikap biasa pula, keluar dari dalam dan berjalan lewat dekat meja Kwee Lun dan Swat Hong. Kedua orang tidak perduli dan berpura-pura tidak melihat. Juga Swat Hong melanjutkan makan sambil kadang -kadang tersenyum geli menyaksikan betapa temannya itu makan dengan lahapnya. Dia belum menghabiskan setengah mangkok, Kwee Lun sudah menyapu bersih lima mangkok. Ketika dua orang itu lewat, Swat Hong hanya melirik sebentar dan mengerahkan ilmu sehingga telinganya terbuka dan dapat menangkap dengan ketajaman luar biasa ke arah kedua orang itu yang masih berjalan-jalan di ruangan itu, seolah-olah sedang memriksa dan kadang-kadang membenarkan letak kursi dan meja yang kosong. "Aku tidak mengenal mereka," terdengar yang kurus pucat berkata. "Tapi gadis itu hebat....," kata orang ke dua yang pendek dan berperut gendut. "Kalau dia bisa didapatkan, tentu Loya (Tuan Tu) akan memberi banyak hadiah kepada kita." "Hushh... apa kau mau menyaingi pekerjaan Tian-ci-kwi (Setan Berjari Besi)?" "Ah, siapa tahu, dengan cara halus bisa mendapatkan dia...." "Tapi pemuda itu kelihatan jantan!" "Huh, takut apa? Orang kasar seperti itu...." "Tapi jangan memancing keributan, Lote, kita nanti tentu dimarahi Loya." "Aku tidak bodoh, mari kita pergunakan cara halus. Lihat, mereka telah selesai makan. Raksasa itu makannya melebihi babi!" Swat Hong yang sedang minum hampir tersedak karena geli hatinya mendengar temannya yang gembul itu dimaki seperti babi. Akan tetapi Kwee Lun agaknya tidak mempedulikan sesuatu dan tidak melakukan penyelidikan seperti Swat Hong, tidak mendengar makian itu dan mengelus-elus perutnya yang kenyang. Dia kelihatan puas sekali telah dapat makan minum secukupnya di dalam restoran itu. Pada saat itu dua orang tukang pukul tadi sudah menghampiri mereka. Yang kurus pucat sudah menjura sambil berkata, "kami mewakili Ciu-wangwe pemilik restoran ini menghaturkan selamat datang kepada Jiwi." Sebelum Kwee Lun yang terheran-heran menjawab, Si Gendut pendek sudah menyambung sambil menyeringai dalam usahanya untuk tersenyum ramah. "Tentu Jiwi datang dari jauh dan lelah. Majikan kami juga memiliki hotel yang paling besar, paling bersih dan paling baik di kota ini, letaknya di sebelah kiri rumah makan ini. Jiwi akan dapat mengaso dengan enak di hotel kami dan kalau Loya kami mendengar bahwa Jiwi adalah tamu dari jauh, tentu biayanya akan diberi potongan separuhnya." Kwee Lun sudah mengerutkan alisnya, mukanya merah dan dia seakan-akan memperoleh kesempatan mulai beraksi. "kalian berani mengganggu kami yang sedang makan?" Mendadak kakinya tertendang ujung kaki Swat hong dan ketika dia memandang, dia melihat isyarat dalam sinar mata gadis itu, maka dia hanya mengerutkan alis dan tidak melanjutkan kata-katanya. Swat Hong sendiri segera berkata kepada dua orang itu dengan suara ramah dan sikap manis, "Kalian sungguh ramah, tentu majikan kalian adalah seorang yang mengenal pribudi. Baik, kami memang hendak bermalam barang dua hari di kota ini. Akan tetapi melihat keramahan kalian, aku ingin bertemu dengan majikan kalian untuk menghaturkan terima kasih." Dua orang itu saling pandang. "Marilah kami antarkan Nona dan Tuan agar memperoleh kamar yang paling baik di hotel, kemudian kami akan melapor kepada majikan kami...." "Tidak usah repot-repot!" Swat Hong berkata cepat. "Temanku ini masih hendak melanjutkan makan minum....heiii! Pelayan tambah araknya! Biarlah saya yang menemui majikan kalian dan memilih kamar di hotel sebelah. Kami sudah mendengar tentang kebaikan hati majikan kalian dari pembesarpembesar di kota ini, dan kami memang ingin minta pekerjaan. Aku ingin bekerja apa saja yang pantas dan temanku itu.... dia tentu bisa menjadi seorang penjaga keselamatan. Dapat dibayangkan betapa girangnya hati kedua orang itu. Sudah terbayang di depan mata betapa mereka akan menerima pujian berikut hadiah dari Ciu-wangwe. Seorang nona begini cantik jelita seperti bidadari, tanpa susah payah datang sendiri ke depan mulut, tinggal membuka mulut dan mencaplok saja! Ciuwangwe tentu senang sekali, bukan untuk hartawan itu sendiri yang kesenangannya bukan memeluk wanita cantik, melainkan untuk menyenang hati para pembesar setempat. Ciu-wangwe sendiri kesenangannya hanya satu, yaitu uang dan kedudukan! "Bagus sekali kalau begitu, Nona! Kebetulan pada saat ini Ciu-wangwe sedang menjamu pembesar yang paling terhormat di kota ini. Mereka sedang berpesta di ruangan belakang hotel kami. Mari kami antar Nona ke sana!" "Tidak usah, kalian di sini saja melayani temanku!" Sambil berkata demikian Swat Hong sudah bangkit berdiri dan cepat laksana kilat kdua tangannya bergerak seperti seorang wanita yang menepuk-nepuk pundak kedua orang itu dengan ramahnya, akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati kedua orang tukang pukul itu ketika tiba-tiba tubuh mereka menjadi lemas dan kaki tangan mereka tak dapat digerakan lagi. "Ha-ha, duduklah kalian, mari temani aku minum arak!" Kwee Lun yang dapat melihat gerakan temannya itu cepat bangkit berdiri, kakinya bergerak dan kedua lutut mereka telah terkena tendangan ujung sepatunya sehingga terlepas sambungannya. Sambil tersenyum Kwee Lun sudah mendudukan mereka di atas bangku di kanan kirinya! Para tamu hanya melihat empat orang itu seperti beramah tamah, maka mereka tidak tertarik lagi, hanya tertarik kepada Swat Hong yang memang sejak tadi telah menjadi perhatian pandang mata para tamu pria yang berada di dalam restoran. Mereka menahan napas melihat dara cantik jelita itu dengan langkah gontai meninggalkan restoran, membawa dua batang pedang dan sebuah kipas, "Aku pinjam dulu ini!" kata Swat Hong tadi kepada Kwee Lun yang hanya memandang dengan terheran-heran melihat kedua senjatanya dibawa pergi oleh Swat Hong. "Agar kau tidak kesalahan membunuh orang!" kata pula Swat Hong dan Kwee Lun tersenyum. Kiranya gadis itu tidak ingin melihat dia membunuh orang, maka sengaja membawa pergi kedua senjatanya. Di dalam hatinya dia mentertawakan Swat Hong. Apakah tanpa kedua senjata itu kaki dan tanganku tidak mampu membunuh orang? Pula, apakah dia seekor harimau yang haus darah? Biarlah, pikirnya. Gadis itu masih belum percaya kepadanya, dan dia akan memperlihatkan kelihaianya tanpa bantuan senjata. Sambil tertawa-tawa kepada dua orang tukang pukul yang duduk seperti boneka dan tak mampu bergerak itu, Kwee Lun melanjutkan minum arak. Karena hawa mulai panas disebabkan oleh hawa arak, pemuda perkasa ini melepaskan kancing bajunya sehingga tampak rambut halus ditengah dadanya yang bidang dan kokoh kuat itu. Tiba-tiba seorang pelayan menghampiri meja Kwee Lun. pelayan ini tadi melihat ketidak wajaran pada kedua tukang pukul yang duduk berhadapan dengan pemuda itu. Mengapa mereka tidak bergerak-gerak dan duduk dengan lemas, dan ketika dia bertemu pandang, tukang pukul yang gendut pendek itu mengejapkan mata kepadanya sedangkan dari kedua mata tukang pukul kurus pucat itu keluar dua titik air mata. Maka dia cepat menghampiri dan melihat dari dekat. "mau apa kau? pergi!" Kwee Lun membentak dan pelayan itu kaget sekali, lalu lari pergi masuk ke dalam untuk melaporkan keanehan itu kepada kepala tukang pukul yang lain. Kwee Lun bukanlah seorang yang bodoh. Dan maklum bahwa pelayan itu telah melihat keadaan dan tentu akan melapor ke dalam. Maka dia memandang ke sekeliling dan mencari akal. Ketika dia melihat segulung tambang yang besar dan kuat, timbullah akalnya. Dia bangkit berdiri, melangkah lebar ke dekat meja pengurus, menyambar gulungan tambang itu dan berkata dengan suara lantang yang ditujukan kepada para tamu yang duduk di ruangan restoran itu, "Semua orang yang berada di dalam restoran ini harap lekas pergi! Restoran ini akan ambruk!" Kemudian sekali melompat tubuhnya telah berada di luar restoran. Di ikatkan ujung tambang ke pilar di depan, pilar yang ikut menyangga atap, kemudian dia membawa ujung tambang yang lain ke jalan depan restoran. Dengan memegang ujung tambang, mulailah pemuda raksasa ini menarik tambang, melalui atas pundak kanannya yang menonjolkan otot besar yang amat kuatnya. Tambang besar itu menegang, kemudian terdengar suara berkerotok. Orang-orang sudah mulai lari keluar rumah makan itu dan mereka ada yang ketawa-tawa geli menyaksikan pemuda itu menarik tambang. Tentu pemuda itu sudah mabok, pikir mereka. Mana mungkin merobohkan bangunan yang besar itu dengan cara demikian? Menarik tambang yang diikatkan pada pilar yang demikian besar dan kuatnya. Kalau tidak mabok tentu sudah gila! Memang membutuhkan tenaga gajah untuk dapat menumbangkan pilar yang sedemikian kokohnya. Kwee Lun mengerahkan tenaga, matanya terbelalak, dahinya penuh keringat dan mulutnya mengeluarkan gerengan yang langsung keluar dari dalam pusarnya, seluruh tubuhnya menarik tambang dengan pemusatan perhatian dan tenaga. "Krakkk....!" Pilar yang kokoh kuat itu patah tengahnya! Orang-orang berteriak kaget dan mulai berlari-lari ketakutan. Terdengar bunyi hiruk pikuk ketika akhirnya, atap rumah makan itu runtuh ke bawah dan menyusul debu mengebul tinggi dibarengi teriakan-teriakan mengerikan dari dalam di mana masih banyak pekerja restoran itu yang teruruk. Di antara suara hiruk pikuk ini terdengar suara ketawa dari Kwee Lun yang masih memegang tamban besar itu di kedua tangannya. Tali besar itu sudah terlepas dari pilar dan kini menjadi senjata di kedua lengan yang dilingkari otot itu. Tempat itu menjadi sunyi dan biarpun banyak sekali penduduk kota yang berlari-larian datang, mereka hanya menonton dari jauh saja, tidak ada yang berani mendekati restoran yang sudah runtuh itu. Belasan orang tukang pukul datang berlarian, dari belakang restoran yang roboh dan dari rumah judi yang berada di sebelah kanan restoran. "Itu orangnya....!" Seorang pelayan restoran yang berhasil menyelamatkan diri menuding ke arah Kwee Lun. "Tangkap penjahat....!" "Serbu....!" "Bunuh....!" Lima belas orang tukang pukul dengan bermacam senjata di tangan mereka, belari-lari datang menyerbu dan mengurung Kwee Lun. Pemuda ini masih tersenyum lebar, tali tambang tadi masih melingkar-lingkar di kedua lengan, kdua kakinya terpentang lebar dan sikapnya gagah sekali, membuat lima belas orang tukang pukul itu merasa gentar dan ragu-ragu untuk mendahului maju menyerang. Seorang yang telah meruntuhkan sebuah bangunan seperti restoran itu, sudah jelas memiliki tenaga gajah! Apalagi melihat sikap yang demikian gagah. "Ha-ha-ha, hayo majulah! Mengapa ragu-ragu? Hayo keroyoklah aku! Memang aku datang untuk membasmi komplotan yang merajalela di Leng-sia-bun. Kalian ini anak buah si keparat Ciu Bo Jin, bukan? Mana itu hartawan Ciu jahanam, si penculik gadis orang! Suruh dia keluar, biar kuhancurkan kepalanya!" "Serbu....!!" Kepala tukang pukul, seorang she Ma yang juga memiliki ilmu kepandaian tinggi dan menjadi tangan kanan Ciu-wangwe, berseru setelah diam-diam dia mengutus seorang anak buahnya untuk melaporkan kepada Ciu-wangwe di hotel, dan seorang anak buah lagi disuruh minta bala bantuan di markas keamanan! Tiga belas orang tukang pukul, dipimpin oleh Ma Siu menyerbu dengan senjata mereka. Akan tetapi, Kwee Lun tertawa bergelak dan begitu kedua lengannya bergerak, tali besar yang panjang menyambar dan menjadi gulungan sinar yang besar panjang. Setiap senjata pengeroyok yang terbentur tali itu terlepas dari pegangan pemiliknya sehingga terdengarlah teriakan-teriakan kaget karena dalam segebrakan saja, lima orang tukang pukul kehilangan senjata mereka dan dua orang lagi terpelanting roboh dan tak dapat bangun kembali karena tulang punggung dan tulang iga mereka patah oleh hantaman tambang! Ma Siu menjadi marah sekali dan dengan nekat dia bersama sisa anak buahnya menyerbu dan menghujankan senjata mereka kepada Kwee Lun. Namun pemuda Pulau Kura-kura ini sambil tertawa melakukan perlawanan seenaknya. Teringat dia oleh perbuatan Swat Hong yang menyingkirkan pedang dan kipasnya, karena andaikata dia menggunakan dua senjata itu, agaknya sekarang semua tukang pukul sudah roboh kehilangan nyawa mereka! Dan dia tahu bahwa biang keladi semua kejahatan adalah orang She Ciu, adapun para tukang pukul ini hanya orang-orang yang mencari nafkah mengandalkan ilmu silat mereka! Biarpun cara mencari nafkah dengan menjadi tukang pukul adalah perbuatan sesat yang menimbulkan kekejaman, namun andaikata tidak ada Hartawan Ciu yang menjadi sumber maksiat, agaknya mereka tidak akan berani mengacaukan sebuah kota besar seperti Leng-sia-bun. Diam-diam dia membenarkan tindakan Swat Hong dan teringat dia akan nasehat suhunya bahwa di dalam perantauannya, dia tidak boleh sembarangan membunuh orang! Sementara itu, di dalam hotel juga terjadi keributan hebat. Dengan dua batang pedang tergantung di punggung dan kipas gagang perak di tangan, Swat Hong memasuki hotel besar di sebelah kiri restoran. Gedung yang lebih megah dan besar daripada restoran itu. Dengan sikap tenang dia berjalan menaiki anak tangga di depan hotel. Beberapa orang pelayan segera menyambutnya dengan wajah berseri. Biarpun dara ini membawa pedang di punggung namun kecantikannya yang luar biasa menyenangkan hati para pelayan. "Apakah Nona mencari kamar,?" tanya seorang pelayan dengan senyum manis. "Bukan mencari kamar, akan tetapi aku mencari Ciu-wangwe," jawab Swat Hong tanpa memperdulikan senyum itu. Wajah para pelayan itu berubah dan pandang mata mereka membayangkan kecurigaan, "Tidak semudah itu mencari Loya, Nona,. Pula, kami tidak tahu dimana adanya Ciu-wangwe sekarang ini...." kata seorang di antara mereka dengan suara hati-hati. "Aihhh, kalian tidak perlu membohong lagi. Aku mengenal Ciu-wangwe dan kedatanganku adalah atas undangannya. Aku tahu bahwa dia sedang menjamu kepala Daerah di ruangan belakang hotel ini, bukan? Kalau kalian tidak membawaku menemuinya sekarang juga, bukan hanya dia akan marah kepada kalian, akan tetapi aku pun akan kehabisan sabar!" Mendengar ini, para pelayan itu saling pandang, lalu seorang di antara mereka memanggil tukang pukul. Dua orang tukang pukul datang berlari. Mereka adalah bekas-bekas perampok yang tentu saja dapat menduga bahwa wanita ini tentulah seorang kang-ouw, maka mereka segera memberi hormat dan bertanya, "Ada urusan apakah Lihiap hendak bertemu dengan Ciu-wangwe?" Swat Hong memandang tajam dan mengambil sikap marah. ”Eh, pangkat kalian di sini apa sih berani bertanya-tanya urusan antara aku dan Ciu-wangwe? Lekas bawa aku menemuinya!" "Tapi... tapi.... Loya sedang menjamu Tai-jin, tidak boleh diganggu!" "Siapa mau mengganggu? Aku justru datang memenuhi panggilannya untuk meramaikan pesta! Kalau dia marah, biar aku yang tanggung jawab, akan tetapi kalau kalian berani menolak aku, dia akan marah kepada kalian!" Dua orang tukang pukul itu saling pandang, kemudian mereka berkata, "Baiklah mari kami antarkan Lihiap ke dalam." Mereka telah mengambil keputusan dengan isyarat mata untuk mengawal dan menjaga wanita cantik ini. Kalau wanita ini mempunyai niat buruk, masih belum terlambat untuk merobohkannya. Siapa tahu, melihat kecantikannya yang luar biasa, sangat boleh jadi kalau dia ini adalah seorang yang dikenal oleh Ciu-wangwe dan benar-benar dipesan datang untuk menghibur pembesar! Dengan langkah tenang sambil mengipasi lehernya dengan kipas gagang perak, Swat Hong diiringkan dua orang tukang pukul itu melalui gang yang berliku-liku, melalui kamar-kamar di mana terdapat wanitawanita cantik yang rata-rata wajah layu dan bermata sayu, ada yang duduk sendiri, ada pula yang sedang berduaan dengan seorang tamu pria karena terdengar suara ketawa laki-laki di dalam kamar itu, kemudian tibalah mereka di ruangan belakang yang luas dan terjaga oleh belasan orang prajurit pengawal yang bercampur dengan para tukang pukul. Ketika mereka bertiga muncul, tentu saja para penjaga dan pengawal itu memandang Swat Hong dengan penuh perhatian. Dua orang tukang pukul itu agaknya bangga dapat mengawal nona cantik jelita ini maka sambil mengacungkan ibu jari, mereka berkata, "Barang baru! Pesanan khusus!" Maka tertawa-tawalah para pengawal dan tukang pukul itu memasuki pintu besar yang menembus ke dalam ruangan. Karena mereka yang duduk mengitari meja besar terdiri dari belasan orang berpakaian serba indah dan masing-masing dilayani dan dirubung wanita-wanita muda dan cantik, Swat Hong tidak mau bertindak sembrono. Dia tidak tahu siapa Ciu-wangwe dan yang mana pula kepala daerah, maka dia menanti dan membiarkan dua orang tukang pukul itu melapor. Akan tetapi sebelum kedua orang yang sudah menjura penuh hormat itu sempat membuka mulut, seorang yang berpakaian serba biru, berusia lima puluh tahun, bertubuh tinggi kurus dan matanya besar sebelah, telah bangkit berdiri dan membentak, "Haii! Mengapa kalian lancang....?" Dia tidak melanjutkan ucapannya karena matanya telah dapat melihat Swat Hong dan kini dia memandang heran. Swat Hong sudah melangkah ke dalam, mendekati meja lalu bertanya kepada laki-laki berpakaian biru itu, "Apakah aku berhadapan dengan Ciu-wangwe?" Laki-laki itu memang benar Ciu Bo Jin. Dia merasa curiga sekali, akan tetapi karena dia mengandalkan ilmu kepandaiannya sendiri, pula dia berada di tempatnya sendiri yang terjaga oleh para anak buahnya, bahkan disitu terdapat pula pasukan pengawal Gu-taijin, maka sambil tersenyum lebar dia melangkah maju dan berkata, "Benar, aku adalah orang she Ciu yang kau cari. Nona siapakah dan .... heiiittt...." Dia cepat mengelak ke kiri ketika melihat nona cantik itu sudah menerjang maju, menggunakan tangan kirinya mencengkeram ke arah pundaknya. Gerakan Ciu-wangwe cukup cekatan dan memang dia telah memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi sekali ini dia berhadapan dengan seorang dara perkasa yang luar biasa lihainya, maka baru saja dia mengelak, tahu-tahu ujung gagang kipas terbuat dari perak itu telah menotok jalan darah di punggungnya dan dia terpelanting roboh dengan tubuh lemas! Peristiwa ini terjadi sedemikian cepatnya sehingga tidak terduga sama sekali, maka terjadilah keributan hebat. Seorang yang tubuhnya gendut dan mukanya merah sekali, agaknya sudah mabok, bangkit berdiri dengan tiba-tiba sehingga dua orang pelacur cantik yang tadinya duduk di atas kedua pahanya terpelanting jatuh sambil menjerit. Orang ini berpakaian mewah dan sikapnya agung-agungan, sambil berdiri dia berseru, "Hai... pengawal....! Tangkap pengacau...!!" Pintu depan terbuka dan para pengawal serta tukang pukul berlompatan masuk. Swat Hong girang sekali karena dia dapat menduga bahwa Si Gendut itulah tentu yang menjadi kepala daerah, orang she Gu yang diperalat oleh Ciu-wangwe. Maka dia sudah meloncat ke dekat orang itu, mencabut pedangnya dan menempelkan pedang telanjang di leher Gu-taijin sambil menghardik, "Gu-taijin! Cepat kau menyuruh mundur semua orangmu! Kalau tidak, pedang ini akan menyembelih lehermu!" Swat Hong menahan geli hatinya melihat tubuh yang gendut itu menggigil semua dan dia menahan jijiknya karena terpaksa menggunakan tangan kanan mencengkeram leher baju. Apalagi ketika melihat betapa lantai di bawah pembesar gendut ini tiba-tiba menjadi basah, tersiram air yang membasahi celana, dia makin jijik. Ingin dia membacokkan pedangnya saja agar manusia tiada guna ini tewas seketika kalau saja dia tidak teringat bahwa jalan satu-satunya untuk membantu Kwee Lun membereskan urusannya hanyalah menangkap pembesar ini hidup-hidup. Biarpun manusia gendut ini tidak ada gunanya, akan tetapi manusia yang bagaimana pun pengecut dan lemahnya, sekali menduduki pangkat besar, menjadi seorang yang sewanang-wenang dan jahat! Makin pengecut dan makin rendah watak orang itu makin celakalah kalau dia memperoleh kedudukan tinggi, karena kerendahan akalnya akan membuat dia makin jahat, mempergunakan kekuasaannya yang kebetulan melindunginya. "Am... ampun...!" Gi-taijin dengan sukar sekali mengeluarkan suara. Mendengar betapa lehernya akan disembelih, apalagi disembelih berlahan-lahan dan sedikit demi sedikit, membayangkan betapa lehernya akan terasa perih dan nyeri, berlepotan darah, betapa dia akan mati dan meninggalkan semua kemewahan dan kesenangan hidupnya, hampir dia pingsan! "Suruh mereka mundur...!" Kembali Swat Hong membentak dan tangan kirinya mencengkeram tengkuk. "Ouwwhhh...!" Pembesar itu menjerit, mengira tengkuknya disembelih, padahal hanyalah jari-jari saja yang mencengkeramnya. "Heii, mundur kalian! Tolol semua! Mundur kataku, dan jangan membantah... Li... Lihiap...!" Para pengawal menjadi bingung dan dengan muka pucat dan mata terbelalak lebar mereka mundur sambil memandang penuh kesiapsiagaan. Pada saat itu, seorang tukang pukul telah berhasil membebaskan totokan Ciu-wangwe dan kini hartawan itu dengan marahnya berteriak kepada tukang pukulnya, "Cepat serbu iblis betina itu....!" Swat Hong kembali mencengkeram tengkuk Gu-taijin. "Suruh jahanam Ciu itu menyerah!" "Ouughh... Ciu-wangwe... jangan...! jangan melawan....!" Ciu-wangwe yang melihat betapa kepala daerah itu telah ditangkap, sejenak menjadi bingung sekali. Akan tetapi tentu saja dia tidak sudi menyerah dan pada saat itu terdengar suara hiruk pikuk di sebelah luar hotel. Tahulah Swat Hong bahwa Kwee Lun tentu telah turun tangan pula mulai bereaksi, maka dia berkata, "Orang she Ciu! Kejahatanmu berakhir di hari ini juga!" Selagi Ciu-wangwe kebingungan, tiba-tiba datang seorang tukang pukulnya dari luar dan berteriak-teriak, "Celaka... Loya.... ada orang merobohkan restoran kita....!" Akan tetapi orang ini terbelalak memandang ke dalam dengan muka pucat. Dia melihat kepala daerah berada dalam cengkeraman wanita cantik itu dan melihat Ciu-wangwe berdiri bingung. Mendengar ini, Ciu-wangwe menjadi kaget dan mengira bahwa tentu banyak musuh yang datang menyerbunya. Dia tidak mau mempedulikan Gu-taijin lagi. Dalam keadaan seperti itu, yang terbaik baginya adalah berada di luar dan berusaha mengerahkan seluruh anak buahnya untuk menghadapi para penyerbu. Keselamatan Gu-taijin tentu saja tidak dipedulikannya lagi. Maka tanpa berkata apa-apa lagi dia lalu berlari hendak keluar dari ruangan besar itu. "Hendak kemana engkau?" Swat Hong cepat menotok roboh Gu-taijin dan meloncat ke depan. Tubuhnya melayang dan Ciu-wangwe hanya melihat sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu wanita cantik itu telah berdiri di depannya! "Serbu....!" Bentaknya dan dia sendiri yang sudah mencabut goloknya membacok dengan cepat sambil mengerahkan seluruh tenaganya. "Sing-sing-singggg....!!" Bertubi-tubi golok itu menyambar dan kini anak buahnya juga sudah membantunya. Swat Hong cepat memutar pedangnya dan mengerahkan sinkang disalurkan kepada pedang itu. "Cringcring- trang-trang-trang....!!" Sebatang golok di tangan Ciu-wangwe dan empat batang pedang terlepas dari pegangan pemiliknya, dan tiga orang pengeroyok roboh terkena totokan kipas perak di tangan kirinya! Melihat kelihaian wanita ini, bukan main kagetnya hati Ciu-wangwe. Dia sudah berpengalaman dan tahulah dia bahwa kalau dia melanjutakn, dia sendiri akan roboh di tangan wanita lihai ini. Maka jalan terbaik baginya adalah lari keluar untuk mengerahkan anak buahnya dan kalau perlu melarikan diri! Melihat orang yang hendak ditangkapnya itu lari, Swat Hong hendak mengejar, akan tetapi pada saat itu dia melihat tubuh gendut Gu-taijin sedang dibantu oleh beberapa orang meninggalkan tempat itu. Celaka, pikirnya. Dia harus dapat menangkap pembesar itu , kalau tidak, tentu akan sukar menundukan semua orang. Maka dia lalu mengerahkan tenaga pada tangan kanan, tangan kanan itu bergerak dan pedangnya meluncur seperti kilat menyambar ke depan. Terdengar jerit mengerikan dan tubuh Ciu-wangwe terjungkal ke depan, dadanya ditembusi pedang dari punggung dan dia tewas seketika! Swat Hong telah melompat dan tangan kanannya kembali sudah mencabut pedang, kini pedang milik Kwee Lun yang dicabutnya. Kipas di tangan kirinya merobohkan empat orang pengawal yang tadi membantu Gutaijin dan mereka roboh tertotok, kemudian sebelum pembesar itu sempat bergerak, dia sudah mencengkeramnya lagi, bahkan yang dicengkeram adalah pundaknya sambil mengerahkan tenaga. "Aughhh... add... duh... duh...duhhh... ampun, Lihiap....!" Gu-taijin berteriak-teriak seperti seekor babi disembelih. "Hayo cepat suruh mereka semua mundur!" bentak Swat Hong, kembali pedang telanjang ditekankan di tengkuk pembesar itu. "Mundur kalian semua! Keparat! Kurang ajar kalian! Disuruh mundur tidak cepat mentaati perintah! Apa minta dihukum gantung semua!" Mendengar pembesar ini dengan suara galak sekali, seperti biasanya, membentak-bentak, semua pengawal dan anak buah Ciu-wangwe terbelalak ketakutan dan mundur. Apalagi mereka melihat betapa Ciu-wangwe sudah tewas. Para pelacur yang tadi melayani perjamuan itu, menjerit-jerit dan lari pontang-panting, kemudian bersembunyi di kolong-kolong meja dan belakangbelakang lemari. Swat Hong mendengar suara ribut-ribut diluar, suara pertempuran. Tahulah dia bahwa Kwee Lun sedang dikeroyok. Cepat dia menarik tubuh pembesar Gu keluar dari hotel, kemudian dengan mencengkeram punggung baju, dia membawa pembesar gendut itu meloncat ke atas genteng. Semua orang memandang heran melihat betapa seorang gadis cantik dan muda seperti itu mampu meloncat sambil mencengkeram tubuh seorang laki-laki bertubuh gendut dan berat seperti pembesar itu! Swat Hong masih mencengkeram punggung Gu-taijin yang pucat sekali wajahnya, menggigil kedua kakinya. Tentu saja dia merasa ngeri berdiri di atas genteng, di pinggir sekali. Terpeleset sedikit saja dia tentu akan melayang jatuh ke bawah, tubuhnya akan remuk! Selama hidupnya tentu saja belum pernah dia naik ke atas genteng. Akan tetapi karena dia ditodong dan merasa takut sekali kepada wanita perkasa yang mencengkeram punggungnya, dia mentaati perintah Swat Hong dan dengan suara lantang dia berteriak-teriak dari atas. "Haiii.... mundur semua...!" Dia melihat pasukan keamanan sudah berada di situ, dipimpin oleh Bhongciangkun, perwira yang mengepalai pasukan keamanan. "Bhong-ciangkun, suruh semua pasukan mudur!" Pada saat itu, Kwee Lun sedang mengamuk. Tadinya yang mengeroyoknya hanyalah para tukang pukul anak buah Ciu-wangwe dan dia sudah berhasil merobokan belasan orang dengan tambang di tangannya yang kini sudah berlepotan darah. Akan tetapi dia kewalahan juga ketika pasukan keamanan datang. Pasukan yang jumlahnya hampir seratus orang itu tentu saja tidak mungkin dapat dia lawan seorang diri hanya mengandalkan segulung tambang! Maka dalam amukannya itu, dia sudah menerima pula beberapa bacokan senjata tajam yang melukai pinggul dan punggungnya, membuat pakaiannya berlepotan darah pula. Namun, sedikit pun semangatnya tidak menjadi kendur, bahkan darah dipakaiannya itu seolah-olah membuat dia makin bersemangat lagi! Melihat betapa atasannya berada di atas genteng dan mengeluarkan perintah itu, Bhong-ciangkun terkejut dan cepat dia mengeluarkan aba-aba menyuruh pasukannya mundur. Kwee Lun ditinggalkan seorang diri, berdiri dengan kedua kakinya terbentang lebar, pakaian dan tambangnya berlumuran darah, gagah bukan main sikapnya. Sisa anak buah Ciu-wangwe tidak ada lagi yang berani maju setelah para pasukan itu diperintahkan mundur. Apalagi ketika mereka itu mendengar bisikan teman-teman bahwa Ciuwangwe telah tewas oleh dara di atas genteng itu! Ketika Kwee Lun melihat betapa Swat Hong telah berdiri di atas gentang sambil membawa Gu-taijin, diam-diam dia menjadi kagum bukan main. Kiranya gadis itu amat cerdiknya. Tahulah dia bahwa dara perkasa itu hendak menggunakan kekuasaan Gu-taijin untuk membasmi kejahatan yang merajalela di Lengsia- bun! Maka sambil tertawa bergelak dia pun melompat dan tubuhnya melayang ke atas genteng di mana dia berdiri di samping Swat Hong dan berkata mengejek, "Hong-moi, bagaimana kalau kita orong ton kotoran ini ke bawah saja dan melihat perutnya berhamburan di bawah sana?" "Jangan.... jangan ... aduh, ampunkan saya...." Gu-taijin berkata memohon dengan rasa takut menghimpit hatinya. "Kalau begitu, hayo kau membuat pengumunan dan perintah, menurutkan kata-kataku." Swat Hong berbisik di belakang pembesar itu. Gu-taijin mengangguk-angguk, kemudian terdengarlah suaranya lantang mengikuti perintah yang dibisiki oleh Swat Hong. "Hai, dengarlah baik-baik semua pembantuku dan semua penduduk Leng-sia-bun! Hari ini, dengan bantuan Kwee-taihiap dari Pulau Kura-kura, aku baru mengetahui bahwa di kota ini terdapat komplotan penjahat yang diketuai oleh Hartawan Ciu Bo Jin! Mereka mendirikan rumah judi, hotelpelacuran, dan rumah makan di mana terjadi segala macam kejahatan perjudian curang, pemaksaan terhadap gadis-gadis yang diculik untuk dijadikan pelacur dan penyogokan terhadap para petugas pemerintah! Sekarang Ciu-wangwe telah tewas! Anak buahnya akan diampuni asal saja mulai sekarang mau merobah watak dan tidak lagi melakukan kejahatan ! Dan semua wanita yang dipaksa menjadi pelacur, akan dibebaskan dan dikirim pulang ke rumah masing-masing dengan mendapat bekal masing-masing seratus tail perak! Semua ini harus dijalankan sebaiknya. Kalau ada yang melanggar dia akan dihukum sesuai dengan hukuman pemerintah, dan selain itu, juga Kwe-taihiap sendiri akan selalu mengawasi dan memberi hukuman terhadap mereka yang tidak mentaati perintah kami ini!" Tiba-tiba terdengar sorak-sorai penduduk dan terjadi keributan karena beberapa tukang pukul yang pernah berbuat sewenang-wenang, tiba-tiba dikeroyok oleh penduduk! Sekali ini, para pasukan pemerintah tidak ada yang berani melindunginya para tukang pukul itu sehingga mereka mengaduh-aduh dan tidak berani melawan, mengalami pemukulan penduduk sampai babak belur! Dan para wanita pelacur yang berasal dari keluarga baik-baik dan yang dipakasa menjadi pelacur dengan berbagai ancaman dan siksaan, sudah menangis riuh-rendah, menangis saking girang, terharu, dan juga duka. "Awas kau, Gu-taihiap. Kalau sampai semua ucapanmu tadi tidak kau laksanakan, kami akan melaporkan bahwa engkau sebagai seorang kepala daerah telah diperalat oleh orang jahat dengan jalan sogokan, dan selain itu, kami akan datang kembali khusus untuk menyembelih lehermu!" Swat Hong berbisik dengan nada penuh ancaman. Pembesar itu mengangguk-anggukkan kepalanya seperti seekor ayam mematuki gabah. Ketika dia mengangkat muka memandang, ternyata kedua orang itu telah lenyap dan dia hanya berdiri sendiri saja di atas genteng yang begitu tinggi. Tentu saja dia menjadi ngeri sekali. "Bhong-ciangkun.... tolong.... tolong saya turun....!" Bhong-ciangkun telah melihat bayangan kedua orang itu berkelebat, maka dia lalu meloncat naik ke atas genteng dan membawa pembesar itu turun. "Bagaimana, apakah hamba harus mengejar mereka?" Bhong-ciangkun berbisik. "Hushhh...! Bodoh! Masih untung kita...." Pembesar itu berbisik kembali kemudian berkata lantang. "Hayo laksanakan perintahku tadi!" Demikianlah, peristiwa itu menjadi semacam dongeng sampai bertahun-tahun di kalangan penduduk Lengsia- bun, dan betapa pun orang mencari kedua orang pendekar itu, tak pernah lagi mereka melihat mereka. Memang Swat Hong dan Kwee Lun telah melarikan diri dari kota itu dan melanjutkan perjalanan mereka dengan hati puas. Hebat kau, Hong-moi!" Kwee Lun memuji. "Luar biasa sekali! Kalau tidak ada engkau yang membantuku dengan siasat yang cerdik itu, tentu akan lain jadinya! Aku masih sangsi apakah aku akan mampu menaklukkan mereka! Tentu akan menjadi banjir darah, dan mungkin aku sendiri akhirnya mati dikeroyok." "Ah, sudalah, Kwee-twako. Kau yang hebat, menggunakan tali merobohkan restoran dan dengan hanya bersenjatakan tambang dapat menghadapi pengeroyokan puluhan orang!" "Tidak ada artinya dibandingkan dengan sepak terjangmu, Moi-moi. Engkau telah membantuku sehingga tugasku selesai dengan hasil baik. Tak pernah aku akan dapat melupakan ini! Dan sebagai balasannya, aku akan membantumu mencari ibumu dan suhengmu sampai berhasil pula!" Wajah Swat Hong menjadi suram, dan dia menarik napas panjang. "Hemm... Ibu dan Suheng pergi tanpa meninggalkan jejak. Ke mana aku harus mencarinya?" "Jangan khawatir, Moi-moi. Kalau memang Ibumu dan Suhengmu mendarat tentu kita akan dapat mencari mereka. Tempat yang paling tepat untuk mencari seseorang adalah kota raja. Memang belum tentu mereka berada di sana, akan tetapi setidaknya, di kota raja merupakan sumber segala keterangan sehingga kita dapat mendengar-dengar kalau-kalau ada berita dari dunia Kang-ouw tentang mereka." Swat Hong Menyetujui pendapat ini Memang dia pun bermaksud mengunjungi kota raja, karena bukankah nenek moyangnya dahulunya juga seorang anggauta keluarga raja? Mereka melanjutkan perjalanan dari luar kota Leng-sia-bun. Makin lama melakukan perjalan bersama Kwee Lun, setelah lewat sebulan kurang lebih, makin sukalah Swat Hong kepada pemuda itu. Dia makin mengenal Kwee Lun, sebagai seorang yang benar-benar jantan, keras hati, teguh dan tidak mempunyai sedikit pun pikiran menyeleweng, suka bergurau, kasar akan tetapi kekasaran yang bukan bersifat kurang ajar melainkan karena terbawa oleh kejujurannya yang wajar dan tak pernah mau menyembunyikan sesuatu. Pendeknya, pemuda itu benar-benar seorang laki-laki yang gagah perkasa lahir bathinnya. Di lain pihak, Kwee Lun juga merasa kagum kepada Swat Hong setelah dia mengenal sifat-sifat temanya ini yang amat cerdik, periang, jenaka namun keras hati dan kadang-kadang tampak keagungan sikapnya sebagai seorang puteri kerajaan! Namun dara itu sama sekali tidak angkuh atau sombong, sungguhpun kini dia harus mengakui bahwa ilmu kepandaiannya sedikitnya kalah dua tingkat dibandingkan dengan dara Pulau Es ini! Oleh karena inilah maka ada keseganan di dalam hatinya sehingga biarpun dia yang selalu memimpin perjalanan dan menjadi petunjuk jalan, namun dalam segala hal, sampai dalam memilih makanan dan penginapan yang selalu dibayar oleh Kwee Lun, pemuda ini selalu minta pendapat dan keputusan Swat Hong! Pada suatu hari tibalah kedua orang ini di kaki Pegunungan Tai-hang-san yang amat luas dan memanjang dari selatan ke utara. Tujuan mereka adalah Tiang-an ibu kota Kerajaan Tang. Di dusun ini mereka berhenti untuk makan di sebuah warung nasi sederhana. Mereka memesan nasi, mi, dan arak, Kwee Lun minta air hangat untuk Swat Hong agar nona ini dapat mencuci muka setelah melakukan perjalanan yang panas berdebu. Ketika Swat Hong sedang bercuci muka dengan air hangat, menggosok mukanya dengan air bersih sampai kedua pipinya kemerahan, dia mendengar percakapan menarik dari arah dapur warung itu. "Bukan main ramenya !" terdengar suara seorang laki-laki, agaknya pekerja di dapur itu. "Lebih ramai daripada kalau melihat dua orang jago silat berkelahi! Bayangkan saja! Harimau mengaum sampai bumi tergetar, lalu menubruk dan mencakar ke arah biruang itu. Akan tetapi si biruang juga tidak kalah lihainya, dia menggereng dan aku yakin engkau sendiri tentu akan terkencing-kencing mendengar gerengan itu! Dia dapat menangkis dengan kaki depannya dan balas menggigit. Mereka saling cakar, saling gigit, mula-mula saling menangkis lalu bergumul! Bukan main!" "Ahhh, sudahlah. Siapa percaya omonganmu? Paling-paling kau melihat ornag mengadu jangkerik dan kau kalah bertaruh lagi! Lebih baik lekas masak air, tehnya hampir habis." Swat Hong cepat menghampiri Kwee Lun dan berbisik, "Agaknya di sini ada jejak suhengku!" "Ehhh....? Kwee Lun bertanya heran. "Ada orang di dapur tadi bercerita tentang pertandingan antara harimau dan biruang, dan kalau tiadk salah perasaan hatiku, itu biruang kepunyaan suheng." "Eh? Suhengmu memelihara biruang?" Kwee Lun bertanya makin heran lagi. "Belum kuceritakan kepadamu, Twako. Ketika aku berpisah dari suheng, dia sedang mengobati seekor biruang terluka. Tentu biruang itu menjadi jinak dan menjadi binatang peliharaannya." "Aduh! Suhengmu tentu hebat sekali, berani mengobati seekor biruang!" "Sudahlah, Twako. Kalau kelak dapat bertemu, engkau dapat berkenalan dengan suheng sendiri. Sekarang harap kau suka tanyakan kepada pekerja di dapur tentang biruang yang diceritakannya tadi." "Mengapa tidak panggil saja dia ke sini? Hei, Bung pelayan!" Pelayan itu segera menghampiri. "Tolong kau panggilkan sahabat yang tadi berbicara tentang biruang, dia bekerja di dapur. Cepat!" Pelayan itu terheran-heran, akan tetapi dia masuk juga ke dalam dan tak lama kemudian, dia kembali ke situ bersama seorang laki-laki muda yang kelihatan takut-takut. Laki-laki ini kurus kecil dan memakai pakaian koki, agaknya dialah tukang atau pembantu tukang masak di warung itu. "Saya.... saya tidak tahu apa-apa...." begitu tiba di dekat meja, orang itu berkata. Kwee Lun menggerakkan tangannya tak sabar. "Aahh, mengapa takut? Kami hanya tertarik mendengar cerita biruang bertanding dengan harimau. Di manakah kejadian itu dan bagaimana asal mulanya?' Kwee Lun mengeluarkan sepotong uang dan memberikan kepada orang itu. "Nah, ceritakanlah! Jangan takut-takut, ini hadiahnya." Orang itu menerima hadiah dan setelah memandang ke kanan kiri dia bercerita. "Pagi tadi, sebelum masuk bekerja saya menemani Saudara Misan saya mengantar segorobak kayu bakar ke atas sana...." dia menuding ke luar warung. "Ke atas mana?" "Di Puncak Awan Merah, tempat tinggal Siangkoan Lo-enghiong. Kami berdua mengantarkan kayu bakar dan melihat ribut-ribut di sana. Mendengar gerengan-gerengan dahsyat, saya lalu menyelinap dan mendahului saudara saya, mengintai. Ternyata di sana sedang diadakan permainan yang luar biasa, yaitu adu harimau dan biruang! Entah milik siapa biruang itu, akan tetapi harimau itu saya kenal sebagai harimau peliharaan Siangkoan Lo-engkeng yang biasanya di dalam kerangkeng. Bukan main ramenya dan saya takut sekali. Agaknya di tempat Siangkoan Lo-enghiong ada tamu yang membawa biruang...." "Siapa tamunya? Bagaimana macam orangnya?" Swat Hong mendesak penuh ketegangan hati. Akan tetapi orang itu menggeleng kepala. "Bagaimana saya bisa tahu? Di atas sana banyak orang, muridmurid Lo-enghiong dan orang-orang seperti kami tidak mempunyai hubungan dengan Puncak Awan Merah, kami tidak diperbolehkan naik kecuali kalau ada pesanan dari sana. Hanya kadang-kadang saja Siocia atau murid Lo-enghiong yang turun ke sini. Melihat pertandingan yang amat dahsyat itu, saya ketakutan dan cepat lari turun lagi...." Swat Hong mengerutkan alisnya. Mungkinkah suhengnya "kesasar" sampai di tempat ini? Tiba-tiba Kwee Lun bertanya, "Yang kausebut Siangkoan Lo-enghiong itu, apakah dia bernama Siang-koan Houw?" Nama lengkapnya mana saya tahu?" Orang itu menggeleng kepala, kelihatannya takut-takut. "Julukannya Tee Tok (Racun Bumi), bukan?" Orang itu makin ketakutan, akan tetapi dia mengangguk. "Pernah saya mendengar muridnya bicara menyebut julukan itu.... harap Ji-wi maafkan, saya masih banyak pekerjaan di dapur." Dia tidak menanti jawaban, kembali ke dapur dengan sikap ketakutan. "Aihh, kiranya Teek-tok sekarang tinggal di tempat ini!" kata Kwee Lun. "Twako, siapakah racun bumi itu?" "Hemm, seorang yang luar biasa! Dapat dikatakan saingan suhu, menurut cerita suhu, sukar dikatakan siapa yang lebih unggul. Dia adalah seorang di antara tokoh-tokoh dunia kang-ouw yang sudah terkenal sekali. Aku sendiri baru mendengar namanya dari suhu saja. Menurut suhu, dia adalah seorang yang gagah perkasa dan jujur, akan tetapi sayang sekali, hati ganas dan kejam terhadap orang yang tak disukainya dan dia amat lihai dan berbahaya sebagai seorang ahli racun yang mengerikan. Karena itu julukannya adalah Racun Bumi. Sungguh tidak dinyana bahwa kita bakal bertemu dengan orang seperti dia!" "Hemm... kalau begitu engkau sudah merencanakan untuk mengunjungi Puncak Awan Merah, Twako?" "Tidak begitukah kehendakmu? Agaknya sangat boleh jadi biruang itu milik suhengmu. hong-moi, karena di tempat tinggal seorang seperti teek-tok, segala apa mungkin saja terjadi. Tentu saja amat mencurigakan dan hatiku tidak akan merasa puas kalau belum menyelidiki ke sana. Kalau ternyata suhengmu tidak berada di sana kita turun lagi karena aku tidak mempunyai urusan dengan Tee-tok." Swat Hong mengangguk. "Baiklah, kalau begitu mari kita berangkat. Entah mengapa, betapa pun sedikit kemungkinannya bahwa suheng berada di sana, akan tetapi hatiku merasakan sesuatu yang aneh. Kita harus menyelidiki ke sana." Setelah membayar harga makanan berangkatlah kedua orang itu ker Pulau Awan Merah, tentu saja diikuti pandang mata penuh keheranan dan kegelisahan oleh pelayan warung yang mereka tanyai di mana adanya puncak itu. Setelah mereka mendekati bukit dan tiba di lereng atas, tampaklah bangunan besar di puncak yang dimaksudkan itu. Mereka tidak mengerti mengapa puncak itu disebut Puncak Awan Merah, padahal ketika mereka tiba di situ di siang hari itu, awannya tidak berwarna merah melainkan biru dan putih seperti biasa. "Twako, kedatangan kita hanya menyelidiki apakah suheng berada di sana. Oleh karena itu, tidak baik kalau kita datang berterang, bisa menimbulkan kecurigaan orang dan kita tidak berniat mencari perkara dengan tokoh kang-ouw itu, bukan? Maka, sebaiknya kita berpencar dan kau menyelidiki dengan memutar dari kiri, aku dari kanan, sampai kita saling bertemu dan kalau suheng tidak ada di sana, dan biruang itu bukan biruangnya, kita segera kembali ke dusun tadi dan bermain saja di sana." "Baik, Hong-moi, dengan demikian, penyelidikan dapat dilakukan lebih leluasa dan lebih cepat." Mereka mendaki terus dan setelah tiba di luar pagar tembok gedung besar di puncak itu, mereka berpencar. Swat Hong yang mengambil jalan dari kanan menyelinap di atas pohon-pohon dan batu gunung. Tak lama kemudian dia mendengar suara orang dan cepat dia menghampiri dan mengintai. Apa yang dilihatnya membuat dia hampir berteriak saking kagetnya! Dapat dibayangkan betapa heran dan kagetnya ketika dia melihat suhengnya, Kwa Sin Liong, terbelenggu kedua pergelangan tangannya dan setengah tergantung pada pohon! Tubuh atas suhengnya itu telanjang dan hanya celana dan sepatunya saja yang menutupi tubuhnya. Sin Liong kelihatan tenang saja biarpun dahinya berpeluh, dan agaknya pemuda itu memang sengaja membiarkan dirinya terbelenggu, karena Swat Hong yakin sekali bahwa apabila dikehendaki oleh suhengnya itu, apa sukarnya membebaskan diri dari belenggu seperti itu? Tentu ada sesuatu yang aneh telah terjadi di sini! Swat Hong menahan kemarahannya yang membuat dia ingin menyerbu, dan dia memandang kepada orang-orang lain itu. Dua orang yang berpakaian seragam, memakai topi aneh, menjaga di belakang pohon dan tangan mereka meraba gagang golok. Seorang kakek yang tinggi besar, brewok dan matanya lebar, dengan marah-marah menghampiri Sin Liong, tangan kanannya memegang senjata yang aneh. Bukan senjata, pikir Swat Hong, melainkan tanduk rusa yang agaknya hendak dipakai sebagai senjata. Tanduk rusa seperti itu saja apa artinya bagi suhengnya? Yang membuat dia terheran-heran adalah melihat suhengnya berada di tempat itu dan mudah saja dibelenggu dan dihina! Apa yang telah terjadi? Seperti telah kita ketahui, Sin Liong meninggalkan Pulau Neraka bersama Ouw Soan Cu, gadis Pulau Neraka yang hendak mencari ayahnya. Sebetulnya, mencari ayahnya ini hanya merupakan alasan yang dicari-cari saja oleh Ouw Kong Ek, ketua Pulau Neraka. Puteranya Ouw Sin Kok, ayah kandung Soan Cu, telah menghilang selama belasan tahu, tak pernah kembali dan tidak pula ada kabarnya sehingga menimbulkan dugaan besar bahwa Ouw Sian Kok telah meninggal dunia. Selain itu, andaikata masih hidup, tak seorang pun mengetahui di mana tempat tinggalnya. Soan Cu ditinggal ayah kandungnya sejak bayi bagaimana mungkin dia dapat mencari ayahnya yang belum pernah dilihatnya dan tak diketahui ke mana perginya itu? Kalau Ouw Kong Ek mengunakan alasan ini dan mendesak kepada Sin Liong agar membawa dara itu bersama, keluar dari Pulau Neraka, adalah karena sebenarnya dia ingin agar cucunya itu dapat berjodoh dengan Sin Liong. Dia sering kali mengingat akan nasib cucu yang di cintanya itu. Jauh dari dunia ramai, akhirnya cucunya itu terpaksa hanya akan berjodoh dengan seorang penghuni Pulau Neraka! Maka munculnya Sin Liong untuk pertama kalinya itu sudah mendatangkan harapan untuk menjodohkan cucunya dengan pemuda itu. Apalagi ketika Sin Liong datang untuk kedua kalinya, bahkan pemuda itu telah menolong Soan Cu, dan menolong Pulau Neraka yang diserbu bajak laut. Tentu saja dia tidak dapat memaksa pemuda itu untuk menjadi calon suami cucunya, akan tetapi dengan kesempatan melakukan perantauan bersama, dia harap akan timbul cinta di dalam hati pemuda itu terhadap cucunya yang dia tahu merupakan seorang gadis yang cantik jelita dan berilmu tinggi, juga berwatak baik. JILID 12 Demikianlah, Sin Liong meninggalkan Pulau Neraka bersama Soan Cu dan juga biruang raksasa yang menjadi jinak itu. Dengan sebuah perahu yang disediakan oleh Ouw Kong Ek, berangkatlah mereka meninggalkan Pulau Neraka, berlayar melalui pulau-pulau di daerah itu. Akhirnya, karena tidak berhasil menemukan Swat Hong yang dicari-carinya, juga tidak tampak seorang pun manusia tinggal di daerah lautan berbahaya itu, Sin Liong mengemudikan perahunya menuju ke arah barat, ke daratan besar. "Besar kemungkinan Sumoi mendarat, dan kalau sampai belasan tahun ayahmu tidak pernah pulang dan tidak ada beritanya, juga bukan tidak mungkin Ayahmu tinggal di sana," katanya kepada Soan Cu. "Mari kita mencari jejak mereka di daratan besar." Soan Cu tidak membantah dan demikianlah, akhirnya mereka mendarat dan hanya beberapa hari lebih dulu dari pendaratan yang dilakukan oleh Swat Hong yang tersesat jalan dan mendarat jauh di selatan sehingga dia bertemu dengan Kwee Lun. Karena dari pantai ke barat banyak melalui daerah yang sunyi, pegunungan dan hutan, maka adanya biruang bersama meraka tidak terlalu mengganggu benar. Pula, binatang itu sudah jinak sekali, bahkan dapat disuruh untuk mencari buah-buahan, pandai pula mencari air di dalam hutan yang lebat. Pada suatu hari, tibalah mereka di pegunungan Tai-hang-san. Tanpa mereka ketahui, mereka tiba di lereng puncak Awan Merah, daerah kekuasan Tee-tok. Ketika mereka memasuki sebuah hutan besar, tiba-tiba terdengar auman harimau yang amat keras sehingga suara itu menggetarkan hutan. Mendengar auman ini, biruang menjadi marah sekali. Sin Liong cepat memegang dan memeluk binatang itu, khawatir kalau-kalau biruang itu akan lari dan berkelahi dengan harimau yang mengaum itu. "Hai.......! Ada harimau! Biar kutangkap dia!" Sian Cu sudah berlari-lari membawa senjatanya yang aneh dan istimewa, yaitu sebatang cambuk berduri yang menjadi senjata kesayangannya disamping pedang. Dia tertawa-tawa gembira sehingga Sin Liong tidak tega untuk melarangnya. Dara itu masih remaja, masih bersifat kanak-kanak dan hanya kadang-kadang saja tampak kedewasaanya. Dia maklum bahwa gadis yang sejak bayi dibesarkan di tempat seperti Pulau Neraka itu, tentu saja memiliki sifat-sifat liar, akan tetapi dia pun mengenal dasar-dasar baik dari hati Soan Cu. Selain membiarkan gadis itu bergembira, juga dia percaya penuh bahwa ilmu kepandaian Soan Cu sudah tinggi sekali, cukup tinggi untuk melindungi diri sendiri. Soan Cu berlari cepat sekali dan dalam berlari ini timbullah kegembiraan yang luar biasa di dalam hatinya. Di depan Sin Liong, dia selalu harus menekan perasaannya karena sikap pemuda ini sungguh penuh wibawa dan membuat dia tunduk, takut dan hormat seolah-olah pemuda itu menjadi pengganti kakeknya. kan tetapi sesunguhnya semenjak dia meninggalkan Pulau Neraka, ada perasaan gembira yang disembunyikannya dan baru sekarang dia memperoleh kesempatan untuk melepaskan kegembiraannya yang meluap-luap. Ingin dia bersorak gembira kalau saja tidak takut terdengar oleh Sin Liong! Maka kegembiraannya itu disalurkannya lewat kedua kakinya yang berloncatan dan berlari-lari menuju ke arah suara harimau yang mengaum. Karena auman harimau itu keras sekali, mudah saja bagi Soan Cu untuk menuju ke tempat itu dan akhirnya dia melihat seekor harimau yang amat besar dan kuat, berbulu indah sekali, loreng-loreng hitam kuning berdiri memandang ke arah seorang laki-laki yang berdiri ketakutan. Harimau itu membuka-buka moncongnya, seperti seorang anakkecil yang menggoda kakek itu, menakutnakutinya, kadang-kadang mengaum dan tiap kali dia mengaum, kedua kaki orang itu menggigil dan terdengar suara terputus-putus dan dia mencoba untuk bersembunyi di belakang sebatang pohon, "Kakak harimau yang baik..... saya..... saya..... A-siong pedagang kayu bakar..... hendak mengirim kayu bakar kepada Lo-enghiong....... harap jangan mengganggu saya......" Harimau itu sebetulnya adalah harimau peliharaan Tee-tok dan biasanya dikurung dalam kerangkeng dan hanya pada waktu-waktu tertentu saja dibiarkan berkeliaran di hutan. Agaknya penjaga harimau pada hari itu terlupa sehingga harimau itu tetap berkeliaran pada waktu A-siong sedang mengirim kayu bakar ke Puncak Awan Merah. A-siong adalah seorang di antara pedagang-pedagang kayu bakar yang suka menjual kayu bakar di tempat itu. Melihat harimau itu, Soan Cu lalu berseru, "Kucing besar, kau nakal sekali!" Harimau itu menggereng dan menoleh. Ketika dia melihat seorang wanita memengang cambuk, dia menggereng dan cepat sekali, berlawanan dengan tubuhnya yang besar, dia sudah membalik dan menubruk. "Celaka......!" A-siong berseru kaget, memeluk batang pohon dan menahan napas, membelalakan matanya. Akan tetapi, tanpa mengelak Soan Cu sudah menggerakan cambuknya. "Tar-tar!" ujung cambuk itu menyambar dan membelit kaki depan kanan harimau itu dan sekali tarik, tubuh harimau yang sedang meloncat itu terbanting ke atas tanah. Harimau itu menggereng dan kelihatan marah sekali. Kembali dia menubruk, akan tetapi sekali ini, Soan Cu yang sedang gembira meloncat ke kiri dan melihat tubuh harimau itu menyambar lewat, dengan tangan kirinya dia menangkap ekor harimau yang panjang dan sekali tubuhnya bergerak, dia telah berada di atas punggung harimau! Sambil tersenyum-senyum dan membuat gerakan seperti orang menunggang kuda, Soan Cu menggerak-gerakan ujung cambuk menyabeti moncong harimau itu. Tentu saja harimau itu merasa kesakitan karena ujung cambuk itu berduri. Dengan kemarahan meluap harimau itu berusaha mencakar dan menggigit ujung cambuk yang mungkin dikira seekor ular yang ganas, namun tak pernah berhasil bahkan bagaikan buntut seekor ular, ujung cambuk itu terus melecuti hidung dan bibirnya sampai berdarah! "Hiyooooo.... kucing binal, hayo jalan baik-baik!" Seperti seorang pemain sirkus yang mahir, Soan Cu menunggang harimau, tangan kiri mencengkeram kulit leher, tangan kanan mempermainkan cambuknya dan harimau itu yang mengejar ujung cambuk yang digerak-gerakan, melangkah perlahan-lahan! A-siong yang menonton sambil berusaha menyembunyikan diri di balik batang pohon, terbelalak dan hampir tak percaya kepada matanya sendiri. Beberapa kali tangan kirinya menggosok kedua matanya dengan ujung lengan baju karena dia mengira bahwa dia sedang dalam mimpi, akan tetapi tetap saja penglihatan yang luar biasa itu masih tampak oleh kedua matanya. "Soan Cu, turunlah......!!" Tiba-tiba terdengar teguran dan mengenal suara Sin Liong, lenyaplah semua kegembiraan yang liar dari gadis itu. Dia masih tersenyum, akan tetapi matanya kehilangan sinar yang berapi-api dan liar tadi, dan dia berkata, "Liong-koko, dia.... dia hendak menerkam orang....." ucapannya ini bersifat membela diri karena dia ketakutan oleh pemuda itu sedang mengganggu harimau. "Turunlah berbahaya sekali permainanmu itu!" Soan Cu meloncat turun dan tentu saja harimau yang marah itu cepat mencakar dengan kecepatan luar biasa. Namun dia hanya mencakar tempat kosong kerena gerakan Soan Cu lebih cepat lagi. Dara ini telah meloncat ke dekat Sin Liong dan mengejek ke arah harimau dengan meruncingkan mulutnya dan mengeluarkan bunyi, "Hiii.....! Hiiiiii!!" Sementara itu, biruang yang tadinya sudah dapat ditenangkan oleh Sin Liong dan dijak menyusul Soan Cu, setelah kini melihat harimau, timbul kembali kemarahannya, bahkan lebih hebat dari pada tadi. Pada saat Sin Liong lengah karena menegur gadis itu, tiba-tiba biruang itu melompat ke depan dan menggereng sambil memperlihatkan taringnya, memandang harimau dengan mata merah. Harimau itu agaknya tidak merasa gentar menghadapi tantangan ini. Dia pun menggereng dan menubruk. Akan tetapi biruang itu sudah siap. Ketika harimau itu menubruk dengan kedua kaki depan lebih dulu, dia menggerakan kaki depan kanan yang amat kuat, memukul dari samping dan menangkis kedua kaki depan harimau . Karena tubuh harimau itu berada di udara, tentu saja dia kalah kuat dan tubuhnya terlempar ke bawah. Akan tetapi dia sudah meloncat lagi dan siap untuk melanjutkan serangannya. "Hushhh....! Biruang yang baik, jangan berkelahi!" Sin Liong sudah menangkap kaki depan biruangnya dan mengelus kepalanya, menenangkannya. Akan tetapi sekali ini agak sukar karena biruang itu marah sekali, meronta-ronta dan apa lagi melihat harimau itu masih menggereng hendak menyerangnya. "Ihh, kucing licik! Hayo mundur kau!" Soan Cu melangkah maju, menggerakan cambuknya ke depan untuk menghalau harimau itu. "Tar-tar-tarr.....!!" Harimau merasa jerih menghadapi cambuk, akan teapi bukan berarti dia takut karena dia masih menggereng-gereng memperlihatkan taringnya dan matanya merah bersinar-sinar. "Hayo pergi! Kalau tidak akan kuhajar kau!" Soan Cu membentak. "Siapa dia berani kurang ajar hendak mengganggu harimau kami?" Tiba-tiba terdengar seruan nyaring dan muncullah banyak orang di tempat itu. Serombongan orang yang berpakaian seragam telah bergerak mengurung tempat itu, dan orang yang berseru tadi, seorang kakek tinggi besar yang brewok, pakaiannya ringkas, tubuhnya membayangkan tenaga yang kuat, matanya lebar membayangkan kekerasan dan kejujuran, akan tetapi tarikan bibirnya membayangkan kekejaman. Di sampingnya berjalan seorang gadis yang cantik sekali, dengan pakaian yang mewah dan indah, rambutnya ditekuk ke atas dan diikat dengan kain kepala dari sutera merah, dihias dengan bunga emas permata, pakaian yang indah itu membungkus ketat tubuhnya sehingga membayangkan lekuk lengkung tubuhnya yang padat dan ramping, di pinggang yang kecil ramping itu melibat sehelai sabuk sutera merah. Telinganya terhias anting-anting batu kemala panjang berwarna hijau, menambah kemanisan wajahnya yang mendaun sirih bentuknya itu. Sin Liong cepat menjura dengan hormat dan berkata halus, "Harap Locian-pwe sudi memaafkan kami yang secara tidak sengaja memasuki daerah ini, " kata Sin Liong sambil memegangi kaki depan biruangnya. Kakek itu memandang tajam. Jawaban penuh kesopanan dan sepasang mata bersinar halus tanpa rasa takut sedikit pun itu mencengangkan hatinya. "Melanggar daerah ini masih bukan apa-apa, akan tetapi kalian berani mengganggu harimau peliharaanku. Apakah karena mempunyai biruang itu maka kalian menjadi sombong?" "Kami tidak menggangu, Locianpwe. Hanya karena harimau itu dan biruang kami akan berkelahi maka kami melerai dan mencegahnya." "Hemm... dua ekor binatang akan berkelahi, apa anehnya? Hanya kalau manusia sudah mencampurinya, maka manusia itu lebih rendah daripada binatang!" "Eh, tahan tuh mulut!" Soan Cu membentak dan menudingkan telunjuknya ke arah mulut kakek gagah itu. Dara ini tidak lagi dapat menahan kemarahan hatinya mendengar ucapan yang menghina tadi. "Kami melerai karena yakin bahwa kucing hutan busuk ini tentu akan mampus dirobek-robek oleh biruang kami, engkau ini orang tua tidak berterima kasih, malah mengucapkan kata-kata menghina!" Sepasang mata kakek itu besinar-sinar, bukan hanya marah akan tetapi juga kagum. Kakek ini memang orang aneh. Melihat keberanian orang, apa lagi seorang dara muda seperti Soan Cu yang pada saat itu muncul kembali sifat liarnya karena marah, dia kagum bukan main. Kakek ini adalah Siangkoan Houw yang terkenal dengan julukan Tee-tok (Racun Bumi), seorang gagah yang jujur dan terbuka sikapnya, maka kasar sekali dan kalau dia sudah marah, kejamnya melebihi harimau peliharaannya. Dia terkenal sekali di dunia kang-ouw sebagai seorang di antara tokoh-tokoh besar. Dia hidup di Puncak Awan Merah itu dengan tentram, bersama puteri tunggalnya, yaitu gadis cantik yang datang bersamanya dan yang sejak tadi diama saja. Tee-tok Siangkoan Houw sudah duda, dan hanya hidup berdua dengan puterinya yang bernama Siangkoan Hui. Adapun orang-orang lain yang berada di situ adalah para murid-muridnya yang juga menjadi anak buahnya, kurang lebih lima belas orang banyaknya, di antaranya seorang kakek yang usianya sebaya dengan dia dan rambutnya sudah putih semua. Kakek inilah yang merupakan murid kepala dan yang telah memiliki kepandaian tinggi pula, bernama Thio Sam dan berjuluk Ang-in Mo-ko (Iblis Awan Merah). "Bagus sekali!" Kakek ini memuji. "Kalau begitu, mari kitas adukan kedua binatang itu. Hendak kulihat apakah benar-benar biruangmu dapat mengalahkan harimauku!" "Boleh!" Soan Cu menjawab. "Jangan! Soan Cu, tidak boleh begitu!" Sian Liong berseru, kemudian dia berkata kepada kakek itu, "Harap Locianpwe suka memaafkan kami dan biarlah kami pergi dari sini sekarang juga. Bukan maksud kami untuk mengganggu siapa pun." "Kucing hitam macam itu saja, biar ada lima akan diganyang oleh biruang kami!" Soan Cu masih marahmarah. "Kakek sombong mengandalkan harimaunya menakut-nakuti orang. Kalau aku tidak cepat datang, agaknya harimau itu sudah makan orang tadi! Perlu diberi hajaran!" "Hayo kita adukan mereka!" Tee-tok berteriak-teriak dengan kumis bangkit saking marahnya. "Sebelum kedua binatang peliharaan kita saling diadu, jangan harap kalian akan dapat pergi dari sini!" "Kami tidak takut!" Soan Cu menjerit lagi. Mendengar ucapan kakek itu, Sin Liong menyesal bukan main. Kalau dia tidak membolehkan biruang diadu, tentu kakek itu bersama teman-temannya akan menghalangi dia dan Soan Cu pergi dan akibatnya lebih hebat lagi. Maka dia menghela napas dan berkata, "Baiklah, mari kita lepaskan mereka dan melihat apakah mereka memang mau berkelahi. Kuharap saja setelah ini, kami diperbolehkan pergi." "Koko, lepaskan biruang kita, biar dihancurlumatkan kucing keparat itu. Tar-tar-tarrr...!!" Soan Cu sudah membunyikan cambuknya di udara berkali-kali. Sin Liong melepaskan biruangnya dan dia menghampiri Soan Cu, memegang lengannya dan berbisik, "Soan Cu, kautenangkanlah hatimu, jangan marah-marah. Ingat, kita tidak mau melibatkan diri dalam permusuhan dengan siapapun juga, bukan?" Dipegang lengannya secara demikian halus oleh Sin Liong, seketika api yang bernyala dalam hati Soan Cu padam seperti tertimpa hujan, semangat dan tubuhnya lemas dan dia menunduk sambil menganggukan kepalanya. Dia seperti seekor harimau liar yang tiba-tiba menjadi jinak! Sementara itu, setelah kini dilepas keduanya dan tidak ada yang menghalangi, kedua ekor binatang itu mengeluarkan suara auman dan gerengan yang dahsyat dan menggetarkan. Mual-mula mereka saling pandang dan masing-masing hendak menggetarkan lawan dengan kekuatan suara, kemudian harimau yang ganas itulah yang mulai menerjang maju! Dengan berdiri di atas kedua kaki belakangnya, harimau itu menubruk dan menerkam. Akan tetapi, dengan gerakannya yang agak lamban dan tenang, namun kuat dan tetap sekali, biruang menangkis terkaman dan balas mencengkeram dengan kuku jari kakinya yang biarpun tidak seruncing kuku harimau, namun tidak kalah kuatnya. Kena tamparan biruang yang amat kuat itu, harimau terguling-guling! Hanya sepasang matanya saja yang bersinar-sinar girang, akan tetapi Soan Cu tiak berani berkutik di dekat Sin Liong. Ingin hatinya bersorak dan mulutnya mengeluarkan kata-kata mengejek melihat betapa harimau itu terguling-guling, namun dia merasa segan terhadap Sin Liong. Harimau itu meloncat lagi dan menerkam makin dahsyat. Terjadilah perkelahian yang amat dahsyat, ditengah-tengah suara gerengan yang menggetarkan seluruh bukit. Pada saat itulah koki warung yang menemani sudara misannya mengantar kayu bakar, mendapat kesempatan menonton harimau bertanding melawan biruang, akan tetapi karena merasa ngeri dan takut, dia cepat meninggalkan tempat itu dan berlari turun lagi. Perkelahian yang dahsyat, seru dan mati-matian. Biruang itu sudah menderita banyak luka di tubuhnya akibat cakaran dan gigitan harimau, akan tetapi akhirnya dia berhasil mencengkeram kepala harimau, menindihnya dan menggigit leher harimau, sampai robek dan terus luka di leher itu dirobeknya sampai keperut! Harimau berkelojotan dan mati tak lama kemudian. "Heiii....!" Soan Cu berteiak, namun terlambat. Sinar hitam menyambar ke arah leher biruang dan binatang ini mengeluarkan pekik mengerikan lalu roboh dan tak bergerak lagi, mati diatas bangkai harimau yang tadi menjadi lawannya. "Kau membunuh biruang kami!" Soan Cu melompat dan menuding dengan marah kepada kakek yang tadi menyerang biruang dengan Hek-tok-ting (Paku Hitam Beracun). "Dia pun membunuh harimau kami!" Tee-tok menjawab dengan mata mendelik saking marahnya. "Manusia curang kau!" Soan Cu sudah menerjang maju dan cambuknya mengeluarkan suara meledak-ledak di udara. "Tar-tar-cring-tranggggg.....!!" Bunga api berpijar ketika cambuk itu tertangkis oleh sepasang pedang yang bersinar hitam. itulah pedang Ban-tok-siang-kiam (Sepasang Pedang Selaksa Racun) yang ampuh dari Teetok. Akan tetapi bukan main kagetnya ketika tadi pedangnya menangkis cambuk duri, dia merasakan lengannya tergetar, tanda bahwa dara muda itu memiliki sinkang yang amat kuat. "Heii, jangan bertempur.....!" Sin Liong cepat menegur,akan tetapi sekali ini Soan Cu pura-pura tidak menengarnya, apalagi kakek itu pun sudah marah dan sudah membalas serangannya dengan sepasang pedangnya. Terjadi pertempuran hebat sekali antara gadis itu dan Tee-tok. Melihat gerakan sepasang pedang itu lihai bukan main dan ada menyambar hawa yang kuat dari lawannya, Soan Cu tidak berani memandang ringan dan tangan kanannya sudah mencabut pedangnya. Pedang di tangan gadis ini adalah pemberian kakeknya, ketua Pulau Neraka dan seperti juga cambuknya, pedang ini aneh dan ampuh sekali. Bentuk pedang itu juga berduri seperti cambuknya dan pedang itu terbuat dari tulang ular dan namanya pun Coa-kut-kiam (Pedang Tulang Ular) terbuat dari pada tulang ular beracun yang telah dikeraskan dan diperkuat dalam rendaman tetumbuhan beracun sehingga keras seperti baja. Sedangkan cambuknya itu pun bukan cambuk biasa karena cambuk itu terbuat dari ekor ikan hiu yang istimewa dan yang hanya terdapat di pantai Pulau Neraka. Seperti juga pedangnya, cambuknya itu pun mengandung bisa yang tidak dapat diobati, kecuali oleh dia sendiri yang selalu membawa obat penolaknya! Sin Liong sudah mengenal kakek itu ketika muncul tadi, dan dia memang tadinya tidak mau memperlihatkan bahwa dia telah mengenalnya. Tentu saja dia mengenal kakek ini yang dahulu pernah pula membujuknya untuk ikut dan menjadi muridnya, ketika para tokoh kang-ouw datang memperebutkan dia dilereng Pegunungan Jeng-hoa-san. Kini, melihat betapa Soan Cu sudah bertanding mati-matian melawan kakek itu, dia menjadi khawatir sekali dan cepat dia berkata, "Locianpwe, seorang tokoh besar yang berjuluk Tee-tok dan disegani di seluruh dunia Kang-ouw, benar-benar mengecewakandan merendahkan nama besarnya kalau sekarang melayani bertanding melawan seorang dara remaja!" Mendengar ucapan itu, Tee-tok menjadi merah mukannya. Dia menangkis pedang Soan Cu sekuat tenaga sampai pedang itu hampir terlepas dari tangan Soan Cu, melompat mudur dan menghadapi Sin Liong. "Hemm, orang muda! Kau sudah mengenal aku, kalau begitu majulah kau menggantikan gadis itu!" Sin Liong menjura. "Bukan maksudku dengan kata-kata itu menantangmu, Locianpwe. Saya hanya hendak mengatakan bahwa kami berdua sama sekali bukan datang untuk bertanding." "Tapi kalian datang dan mengakibatkan harimau peliharaan kami mati. Kalau kalian tidak datang mengacau, mana biasa harimau kami mati?" "Dia mampus karena kalah dalam pertandingan yang adil!" Soan Cu membentak, akan tetapi menjadi tenang kembali karena Sin Liong mendekatinya dan minta gadis itu menyimpan pedang dan cambuknya kembali. "Siangkoan Locianpwe, memang kami akui bahwa harimau peliharaan Locianpwe mati karena biruang kami, akan tetapi Locianpwe telah membalas kematian itu dengan membunuh biruang kami. Bukankah itu sudah lunas artinya?" "Tidak!" Tee-tok yang masih marah itu membentak. "Biarpun biruangnya sudah mati, akan tetapi pemiliknya belum dihukum!" Soan Cu tak dapat lagi menahan kemarahannya. "Dihukum apa? Kau hendak membunuh kami?" "Tak perlu dibunuh! Pelanggaran ke dalam daerah ini sudah merupakan kesalahan, dan matinya harimau tidak cukup ditebus dengan kematian biruang. Pemiliknya harus dihukum rangket seratus kali , baru adil!" "Keparat!" "Soan Cu!" Sin Liong berkata dan memegang lengan dara itu sehingga Soan Cu menelan kembali katakatanya. "Soan Cu, aku mita kepadamu agar kau sekarang juga meninggalkan tempat ini. Biarkan aku yang berurusan dengan Siangkoan Locianpwe. Kau turunlah dan kau tunggu aku di dusun itu. Mengerti?" Soan Cu mengerutkan alisnya dan matanya memandang ragu, akan tetapi melihat sinar mata Sin Liong yang tegas dan halus itu, dia tidak dapat menolak dan dia mengangguk. "Berangkatlah, dan tunggu aku di sana." Sin Liong berkata lagi sambil tersenyum. Soan Cu membanting kakinya, lalu melotot ke arah Siangkoan Houw, kemudian meloncat pergi, meninggalkan isak tertahan. Semua orang memandang dengan kagum akan keberanian dara itu yang sekali meloncat lenyap dari situ, akan tetapi terutama sekali kagum kepada Sin Liong yang bersikap demikian tenang dan halus, namun ia memiliki wibawa demikian besarnya sehingga gadis liar seperti itu menjadi demikian jinak dan taat. Setelah Soan Cu pergi jauh dan tidak tampak lagi bayangannya, Sin Liong lalu mengeluarkan kedua lengannya dan sambil tersenyum tenang dia berkata, "Nah, Locianpwe. Tidak ada yang perlu diributkan lagi. Aku sudah mengaku bersalah telah memasuki tempat ini dan menimbulkan keributan. Biarlah aku menerima hukuman rangkes seratus kali agar hatimu puas." Sikap yang tenang dan halus ini diterima keliru oleh Siangkoan Houw. Matanya terbelalak lebar dan dia menganggap pemuda itu menantangnya, menantang ancaman hukumannya. "Belenggu kedua lengannya!" bentaknya kepada para muridnya. Empat orang muridnya menyerbu dan Sin Liong hanya tersenyum saja ketika bajunya dibuka, kedua pergelangan lengannya diikat dengan tali yang diikatkan pula pada cabang pohon sehingga tubuhnya setengah tergantung. "Ayah.....!" Tiba-tiba dara cantik jelita yang sejak tadi hanya menonton dan selalu memandang ke arah Sin Liong penuh kagum, berkata kepada Tee-tok, "Apakah tidak berlebihan perbuatan kita ini? Harap Ayah berpikir lagi dengan matang sebelum melakukan suatu kesalahan." "Dipikir apalagi? Kita telah dihina orang, kalau tidak memperlihatkan kekuatan, bukankah akan menjadi bahan tetawaan orang sedunia?" Mendengar kata-kata orang tua itu, Siangkoan Hui, gadis itu, menunduk dan melirik ke arah Sin Liong yang telah siap menerima hukuman. "Terima kasih atas kebaikan hatimu, Nona. Akan tetapi biarlah, aku sudah siap menghadapi hukuman. Dengan begini, habislah segala urusan dan Ayahmu takkan marah lagi." "Diam kau!" Tee-tok membentak, kemudian menuding kepada seorang muridnya yang bertubuh tinggi besar. "Ambil cambuk dan rangket dia seratus kali!" Murid itu berlari pergi dan tak lama kemudian sudah datang kembali membawa sebatang cambuk hitam yang besar dan panjang. Setelah menerima isyarat gurunya, murid tinggi besar ini mengayun cambuknya. Terdengar suara meledak-ledak dan cambuk itu menyambar ke bawah, melecut tubuh atas yang telanjang itu. "Tar.....! Tar....! Tar........!" Semua orang terbelalak memandang , penuh keheranan. Cambuk itu menyambar bertubi-tubi, melecuti tubuh itu, mukanya, lehernya, lengannya, dada, dan punggungnya, namun sama sekali tidak membekas pada kulit halus putih itu! Hanya dahi pemuda itu yang berkeringat, akan tetapi dahi Si Pemengang Cambuk lebih banyak lagi peluhnya! Sampai seratus kali cambuk itu menyambar tubuh Sin Liong dan ujungnya sudah pecah-pecah, namun jangankan sampai ada darah yang menetes dari kulit tubuh Sin Liong, bahkan tampak merah saja tidak ada seolah-olah cambuk itu bukan melecut kulit membungkus daging, melainkan melecut baja saja! Setelah menghitung sampai seratus kali, Si Algojo itu jatuh terduduk, napasnya terengah-engah dan dia menggosok-gosok telapak tangan kanannya yang terasa panas dan lecet-lecet. Mukanya pucat dan matanya terbelalak penuh keheranan dan kengerian. Semua anak buah atau murid Tee-tok terbelalak dan pucat. Akan tetapi muka Tee-tok sendiri menjadi merah sekali. Tahulah bahwa pemuda itu adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan tadi telah menggunakan sinkangnya sehingga tubuhnya kebal dan tentu saja lecutan cambuk itu tidak membekas! Hal ini menambah kemarahan hatinya. Dia merasa dihina dan ditantang. Dengan kemarahan meluap dia menyambar senjata aneh, yaitu tanduk rusa yang kering itu. Tanduk rusa itu bukanlah sebuah senjata sembarangan saja. Tee-tok merupakan seorang ahli racun dan dia telah menemukan tanduk rusa ini yang mempunyai daya ampuh terhadap kekebalan. Tanduk ini mengandung racun yang tak dapat ditahan oleh kekebalan yang bagaimana kuat pun dan kini dalam kemarahannya, dia hendak mengajar pemuda ini dengan tanduk rusa ini! Pada saat itulah Swat Hong datang dan mengintai dengan mata terbelalak keheranan. Seluruh urat syaraf di tubuhnya sudah tegang dan dia sudah hampir meloncat keluar untuk menolong suhengnya ketika dia melihat seorang gadis datang berlari dan berlutut di depan kakek yang memegang senjata tanduk rusa itu. Melihat ini, Swat Hong menahan diri dan terus mengintai. "Ayah, jangan..... jangan pukul dia dengan ini.....!" "Hui-ji (Anak Hui), mundurlah kau! Dia telah menghina kita, memperlihatkan dan memamerkan kekebalannya! Hemm, hendak kulihat sampai dimana kekebalannya kalau dia merasai pukulanku dengan ini!" Dia mengamangkan senjata aneh itu. "Jangan, Ayah! Jangan.... aku akan melindunginya kalau Ayah memaksa! Ayah bersalah, dia.... dia orang gagah yang budiman, luar biasa..... mengapa Ayah tak bisa melihat orang.....?" Siangkoan Houw menundukan mukanya dan melihat wajah puterinya yang pucat, mata yang sayu dan tampak dua titik air mata di pipi puterinya. Dia terkejut dan terheran-heran, kemudian marah sekali. Puterinya telah jatuh cinta kepada pemuda itu! "Hemm..." Suaranya penuh geram. "Lupakah kau kepada putera Lusan Lojin.....?" "Ayahhhh....!" Siangkoan Hui berseru dan terisak sambil memeluk kedua kaki ayahnya, menangis. Betapapun bengisnya, Tee-tok yang hanya mempunyai seorang anak itu, tentu saja merasa tidak tega kepada anaknya. Hantinya mencair ketika dia melihat puterinya menangis sambil memeluk kedua kakinya. Dia menghela napas panjang dan pandang matanya yang ditujukan kepada Sin Liong kini kehilangan kekejaman dan kemarahannya, hanya terheran dan ragu-ragu. Puterinya mencintai pemuda ini? Hemm...., seorang pemuda yang amat tampan , dan harus diakuinya bahwa biarpun pemuda itu kelihatan halus seperti seorang lemah, namun pemuda itu gagah perkasa, penuh ketenangan dan keberanian. Dan kekebalannya itupun membuktikan bahwa pemuda ini bukan orang sembarangan. Dia belum melihat putera Lu-san Lojin, entah bagaimana setelah dewasa sekarang. Apakah sebaik pemuda ini? "Hai, orang muda. Siapakah namamu?" Sin Liong memandang kepada kakek itu dan menjawab halus, "Nama saya Kwa Sin Liong, Locianpwe." "Bagaimana engkau bisa mengenal aku?" "Siapa yang tidak mengenal Locianpwe yang terkenal di dunia Kang-ouw? Locianpwe adalah Tee-tok Siangkoan Houw yang amat tinggi ilmu kepandaiannya, dan saya pernah bertemu dengan Locianpwe....." Tiba-tiba Sin Liong berhenti bicara karena baru dia teringat bahwa sebenarnya tidak ada perlunya menyebut-nyebut hal itu. "Bertemu? Di mana?" Karena sudah terlanjur bicara, Sin Liong merasa tidak enak untuk membohong lagi, maka dia berkata, "Di lereng Jeng-hoa-san, bahkan Locianpwe pernah membujuk saya menjadi murid......" "Astaga....! Engkaukah ini? Engkaukah anak ajaib? Engkau Sin-tong....?" Tee-tok berseru dan cepat melangkah maju. "Benar, engkaulah Sin-tong! Aihh..... maafkan kami. Di antara kita telah timbul salah pengertian besar!" Dia cepat meloncat dan merenggut lepas tali yang mengikat kedua lengan Sin Liong, bahkan cepat meneriaki muridnya untuk menyerahkan kembali baju Sin Liong. Sin Liong tersenyum. "Tidak mengapa, Locianpwe. Memang saya mengaku salah, telah menimbulkan keributan dan mengakibatkan kematian harimaumu." "Aihh... hei, matamu tajam sekali, Hui-ji! Engkau benar! Dia anak baik, bukan hanya baik saja. Aduh, betapa dahulu aku mati-matian memperebutkan anak ini! Hui-ji, dia Sin-tong! Betapa girangku dia tiba-tiba muncul di sini!" Dengan giran Tee-tok menggandeng lengan Sin Liong dan menariknya. "Hayo masuk ke rumah kami, kita bicara!" "Tapi, Locianpwe. Saya ingin melanjutkan." "Nanti dulu, kita bicara! Sejak engkau dibawa oleh.... eh, di mana dia sekarng.....?" Kakek itu menengok kekanan kiri, seolah-olah merasa ngeri karena dia teringat akan Pangeran Han Ti Ong yang sakti. Siapa tahu, pangeran yang luar biasa itu tahu-tahu muncul pula di situ. "Locianpwe maksudkan Suhu? Saya hanya datang berdua dengan adik Soan Cu." "Mari kita bicara. Ah, pertemuan ini sungguh menggirangkan hati!" Melihat sikap kakek itu begitu gembira, Sin Liong tidak tega untuk menolak terus. Urusan telah selesai dengan baik, dan Soan Cu tentu sedang menanti di dusun di kaki bukit. Terlambat sedikit pun tidak mengapa daripada memaksa menolak dan menimbulkan kemarahan kakek yang berangasan ini. Siangkoan Hui memandang kepada Sin Liong dengan sepasang mata bersinar-sinar, penuh kekaguman dan ketika ayahnya menggandeng pemuda itu dengan tangan kanan, kemudian menggandengnya dengan tangan kiri, dia tersenyum dan meronta melepaskan diri karena malu, kemudian berlari-lari kecil meninggalkan mereka. "Ha-ha-ha! Hui-ji... ha-ha-ha-ha! Eng kau benar. Dia ini seorang pemuda pilihan, seorang pemuda hebat!" Dengan penuh kegembiraan Tee-tok menjamu Sin Liong. "Siapakah Nona yang lihai dan berani itu?" "Dia adalah Ouw Soan Cu, seorang sahabat baik saya, Locianpwe. Dia sedang mencari ayahnya dan saya membantunya." "Mana dia? Karena dia sahabatmu, dia pun sahabat kami. Biar aku menyuruh orang mengundangnya." "Tidak usah, Locianpwe. Wataknya aneh dan keras, jangan-jangan malah menimbulkan salah paham." "Ha-ha-ha, aku suka kepadanya! Sejak pertemuan pertama aku kagum kepada anak itu! Keras, aneh dan berani! Hebat dia! Aihh, Sin-tong...." "Locianpwe, nama saya Kwa Sin Liong." "Tidak apa, aku tetap menyebutmu Sin-tong. Engkau memang anak ajaib, luar biasa sekali. Apakah engkau telah menjadi murid pangeran Han Ti Ong?' Sin Liong mengangguk dan merasa agak gugup. "Benar, akan tetapi saya dilarang untuk bicara tentang Suhu...." "Ha-ha-ha, aku tahu. Dia bukan manusia biasa! Aku girang sekali bertemu dengan muridnya, apalagi muridnya adalah engkau, Sin-tong! Ahhh... kegirangan yang bercampur dengan kekecewaan sebesar gunung!" Tiba-tiba kakek itu meremas cawan araknya dan cawan arak yang terbuat daripada perak itu seperti tanah lihat saja, di dalam kepalanya berubah menjadi perak yang pletat- pletot, lenyap bentuk cawannya. Sin Liong terkejut dan tidak berani bertanya. Kakek itu melempar cawan yang sudah tidak karuan itu ke bawah meja dan berteriak kepada muridnya mita diberi sebuah cawan baru. Kemudian dia berkata, "Siapa tidak kecewa? Anaku hanya seorang, perempuan lagi, dan celakanya, dia sudah ditunangkan sejak kecil!" Kakek ini memang selalu bicara keras, kasar dan jujur, tak pernah mau menyembunyikan sesuatu! Sin Liong menjadi makin terheran. "Telah ditunangkan sejak kecil adalah baik sekali, mengapa celaka, Locianpwe?' "Kalau ditunangkan dengan engkau tentu saja baik sekali! Akan tetapi bukan denganmu , dengan orang lain yang tak kunjung datang! Dan karena telah ditunangkan itu, mana mungkin aku dapat mengambil engkau sebagai mantuku? Padahal aku tahu, Hui-ji suka padamu, dia jatuh cinta padamu. Ha-ha, anak pintar itu, matanya tajam sekali." Tentu saja Sin Liong menjadi terkejut dan malu, menunduk dan tak berani bicara lagi. "Engkau tentu belum bertunangan, bukan?" Sin Liong hanya menggeleng kepalanya. "Kalau begitu, mudah saja ! Engkau menjadi mantuku, menikah saja dengan Hui-ji...." "Locianpwe, ingatlah bahwa Siocia telah bertunangan, adapun aku.... aku sama sekali tidak mempunyai pikiran untuk menikah," Kakek itu menarik napas panjang. "Engkau betul, memang tidak patut kalau diputuskan begitu saja, dari satu pihak. Aihhh, Lu-san Lojin, engkau tua bangka benar-benar sekali ini membuat hatiku kesal! Aku telah pergi ke sana baru-baru ini dan dia bersama puteranya itu, juga bersama seorang puterinya, menurut penuturan penduduk di sekitar Lu-san, telah pergi entah ke mana! Aihh, betapa kesal hatiku...." "Harap Locianpwe menenangkan pikiran. Mungkin mereka sedang mencari Locianpwe. Kalau sudah jodoh, tentu akan dipertemukan kelak." Kembali kakek itu mengangguk-angguk. Memang, setelah mendengar bahwa pemuda yang tadinya akan dibunuhnya itu ternyata adalah Sin-tong yang dahulu dibawa oleh Pangeran Han Ti Ong tokoh Pulau Es, dia tertarik dan terkejut sekali. Bukan hanya untuk mencoba menarik pemuda itu menjadi mantunya, akan tetapi juga untuk keperluan lain yang amat penting. Dia masih ragu-ragu untuk membicarakan urusan ini, maka dia menanti kesempatan baik dan hendak menjajaki lebih dulu, di fihak manakah pemuda ini berdiri. Sementara itu, Siangkoan Hui merasa malu sekali. Dia sudah mengenal baik watak ayahnya yang kasar dan jujur. Tentu kalau dia ikut masuk ke dalam rumah menemui pemuda itu, ayahnya akan bicara yang bukanbukan tanpa tedeng aling-aling lagi! Dia merasa malu dan.... girang bukan main. Tak dapat ia menipu hatinya sendiri. Dia memang telah jatuh cinta kepada pemuda itu! Pemuda yang amat luar biasa, bukan hanya tampan dan gagah, namun memiliki watak yang amat hebat. Belum pernah dia bertemu dengan pemuda segagah itu, begitu halus, begitu budiman, begitu tabah dan mengalah, akan tetapi juga amat lihai sehingga seratus kali rangketan itu tidak membekas sama sekali di kulit tubuhnya yang putih halus dan padat membayangkan tenaga yang luar biasa! Dia sudah jatuh cinta! Dan ayahnya sudah mengetahui akan hal ini. Tentu ayahnya akan bicara terang-terangan kepada pemuda itu. Akan tetapi, bagaimana dengan tunangannya? Teringat akan ini, tiba-tiba Siangkoan Hui menjadi lemas. Dia duduk bersandar pohon dan termenung, menanggalkan sabuk sutera merah yang melibat pinggangnya. Kiranya sabuk itu hanya sabuk tambahan dan dapat dipergunakan sebagai saputangan, karena di pinggang itu telah terdapat sabuk lain yang berwarna kuning. Sambil menggigit-gigit ujung sabuk sutera merah, Siangkoan Hui termenung, mukanya sebentar pucat sebentar merah tanda bahwa hatinya kacau tidak karuan oleh jalan pikirannya. Dara ini sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi ada bayangan yang mengikutinya, bayangan seorang gadis lain yang memandangnya dengan sinar mata berapi-api penuh kemarahan! Gadis ini bukan lain adalah Han Swat Hong! TadinyaSwat Hong mengintai dan hampir saja dia melompat keluar untuk menolong suhengnya. Akan tetapi kemunculan Siangkoan Hui yang melarang ayahnya menggunakan tanduk rusa memukul Sin Liong, membuat dia membatalkan niatnya menolong Sin Liong. Apalagi melihat betapa usaha pertolongan dara cantik puteri kakek berangasan itu berhasil! Hatinya terasa panas sekali, seperti dibakar dan serta merta dia merasa benci kepada Siangkoan Hui! Kebencian yang membuat dia diam-diam mengikuti dara itu dengan niat untuk membunuhnya! Swat Hong sendiri tidak mengerti mengapa dia selalu marah dan tidak senang kalau melihat ada gadis memperlihatkan sikap baik dan mencinta kepada Sin Liong. Dia sendiri tidak tahu bahwa hatinya diamuk cemburu! Melihat Siangkoan Hui yang dibayanginya itu duduk seorang diri di tempat sunyi itu, menggigit ujung sabuk merah dengan wajah sebentar pucat sebentar merah, melamun dan kadang-kadang tersenyum manis, Swat Hong merasa perutnya seperti dibakar! "Perempuan tak tahu malu!" Bentaknya dan dia sudah melompat keluar, mencabut pedangnya dan menyilangkan pedang itu di tangan kanan dan sarung pedang di tangan kiri, memasang kuda-kuda dan membentak, "Bersiaplah untuk mampus di tangan Nonamu!" Siangkoan Hui adalah seorang gadis yang sejak kecil digembleng ilmu silat tinggi oleh ayahnya, maka begitu melihat bayangan berkelebat tadi, dia sudah meloncat bangun. Kini, melihat bahwa yang muncul dan datang-datang memakinya itu adalah seorang gadis cantik yang tidak dikenalnya, dia melongo. "Eh-eh, apakah kau ini orang gila?" Tentu saja pertanyaan ini membuat Swat Hong menjadi makin marah. Kedua pipinya merah seperti udang direbus dan sepasang matanya yang jeli itu mengeluarkan sinar berapi-api. Sukar dikatakan siapa di antara kedua orang dara itu yang lebih menarik. Keduanya sama muda, sama cantik jelita dan pada saat itu sama marahnya! "Kau.... kau.... perempuan rendah! Perempuan macam engkau berani jatuh cinta kepada Suhengku!" Swat Hong memaki. Siangkoan Hui terkejut sekali, akan tetapi perutnya juga sudah panas dibakar kemarahan mendengar dirinya dimaki-maki orang. "Apa? Kau ini mengaku Sumoinya? Sungguh tidak patut! Seekor naga mana mempunyai sumoi seekor cacing?" Dapat dibayangkan betapa marahnya hati yang keras seorang dara seperti Swat Hong mendengar ini. Ingin dia mencaci maki habis-habisan, ingin dia menjerit-jerit, akan tetapi karena dia tak pandai cekcok dengan suara, dia hanya mengeluarkan suara melengking nyaring dan pedangnya sudah menerjang ke arah dada Siangkoan Hui! "Singgg... Wuuuuttt......!" Siangkoan Hui juga mengeluarkan pekik kemarahan, tubuhnya tiba-tiba mencelat ke atas dan dari atas sabuk sutera merahnya yang ternyata adalah senjatanya yang ampuh itu menyambar ke bawah dengan serangan balasannya yang tidak kalah berbahaya. "Plakkkk!!" Sarung pedang di tangan kiri Swat Hong berhasil menangkis serangan itu dan dia terkejut juga menyaksikan kelincahan lawan. Tahulah Swat Hong bahwa lawannya tak boleh dipandang ringan dan memiliki ginkang yang amat hebat, maka dia memutar pedangnya dengan kecepatan kilat. Repotlah Siangkoan Hui menghadapi permainan pedang lawannya yang amat luar biasa itu. Sebetulnya tingkat kepandaian Siangkoan Hui sudah tinggi, dan pada jaman itu, sukarlah dicari tandingannya. Sebagai puteri tunggal, Tee-tok telah menurunkan semua ilmu simpanannya dan selain memiliki senjata istimewa berupa sabuk sutera, juga dara ini adalah seorang ahli racun seperti ayahnya. Ayahnya adalah seorang tokoh yang berjuluk Racun Bumi, tentu saja dia mempelajari pula penggunaan racun-racun yang ampuh. Setelah mendapat kenyataan betapa permainan pedang lawannya benar-benar amat lihai dan berbahaya, tiba-tiba Siangkoan Hui membentak dan dari tangan kirinya menyambar sinar-sinar merah. Sawat Hong mengeluarkan suara mendengus dari hidung dan mengejek, sinar pedangnya berkelebatan dan bergulunggulung sehingga jarum-jarum merah yang dilepas Siangkoan Hui secara lihai itu semua dapat dipukul runtuh. "Haiiittt....!!" Swat Hong meluncur ke depan, didahului sinar pedangnya, pedang itu menusuk lalu disambung membabat ke kanan kiri, sedangkan sarung pedangnya masih bergerak menghantam dari atas. Seolah-olah semua jalan keluar tertutup dan tidak memungkinkan lawan untuk mengelak lagi! "Hiaaaaahhhh!!" Siangkoan Hui memekik nyaring, sabuknya berubah menjadi sebatang benda keras yang diputar-putar, melindungi tubuhnya. Pada saat pedang tertangkis, tiba-tiba dari ujung sabuk merah itu menyambar dua batang paku merah yang meluncur tanpa tersangka-sangka dan dengan cepat sekali ke arah tenggorokan Swat Hong! "Aihhh....!!" Swat Hong menjerit dan tidak ada jalan lain baginya kecuali membuka mulutnya yang kecil dan "menangkap" dua batang paku merah itu dengan gigitan giginya yang kecil-kecil dan putih berderet rapi itu! Siangkoan Hui terkejut dan kagum bukan main , dan pada saat itu, Swat Hong telah meniupkan dua batang paku ke arah tubuh lawan. Tentu saja Siangkoan Hui dapat mengelakan senjata rahasianya sendiri ini dengan mudah. Akan tetapi kini Swat Hong sudah marah sekali dan pedangnya bergerak untuk membunuh! Jurus-jurus terhebat dari Pulau Es dimainkannya dan tentu saja Siangkoan Hui terdesak hebat dan ujung sabuknya sudah robek dicium ujung pedangnya! "Sumoi, jangan....!!!" Tiba-tiba terdengar seruan dan Sin Liong melompat memasuki lapangan pertandingan, menolak lengan sumoinya dengan tangan kiri. "Sumoi....! Syukur kita dapat saling bertemu di sini....!" Sin Liong berseru girang bukan main. Akan tetapi, perut Swat Hong terasa panas saking mendongkolnya.tadi dia sudah berhasil mendesak lawan dan belasan jurus lagi saja dia tentu akan menang. Siapa Tahu, suhengnya muncul dan lawannya itu dapat meloncat keluar dan kini berdiri di belakang kakek yang menjadi ayahnya! "Aku harus membunuhnya!" bentaknya dan dia hendak melompat ke arah Siangkoan Hui. "Sumoi, jangan serang orang!" "Kalau begitu, serang kau saja!" Dan gadis itu lalu menyerang Sin Liong kalang kabut dengan pedangnya! "Eh-eh....! Ohhh....! Sumoi...., mengapa kau marah-marah?" Sin Liong terpaksa berlompatan ke sana-sini mengelak karena sambaran pedang di tangan sumoinya itu bukan main-main! "Kenapa kau membelanya? Kenapa?" Swat Hong berkata berlahan dan menyerang terus tanpa mempedulikan seruan suhengnya. Pada saat itu tampak dua sosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ telah berdiri Kwee Lun dan Soan Cu. Bagaimana dua orang muda ini dapat datang bersama? Telah kita ketahui bahwa Soan Cu disuruh pergi oleh Sin Liong, dan karena gadis ini amat taat kepada Sin Liong, dengan hati berat dia meninggalkan puncak itu hendak turun ke dusun kembali. Dan telah diceritakan pula di bagian depan betapa Kwee Lun melakukan penyelidikan bersama Swat Hong dan mereka berpencar. Kwee Lun mengambil jalan dari kiri. Kebetulan sekali ketika pemuda ini sedang berindap-indap melakukan penyelidikan, dia melihat seorang gadis cantik berjalan seorang diri keluar dari pagar. Tentu saja dia mengira bahwa gadis itu adalah seorang musuh. Timbul dalam pikirannya untuk menangkap gadis ini dan memaksanya mengaku apa yang telah terjadi di sebelah dalam . Hal ini akan lebih memudahkan penyelidikannya, daripada menyelidiki dari luar tak berketentuan. Dengan pikiran ini, Kwe Lun tiba-tiba meloncat keluar dari tempat sembunyinya dan langsung dia menubruk dan memeluk Soan Cu! Dapat dibayangkan betapa marahnya dara ini. Ketika tiba-tiba ada seorang laki-laki keluar dari semaksemak dan dengan gerakan secepat kilat menyergap dan memeluknya, tentu saja dia mengira bahwa ini tentulah anak buah Tee-tok yang hendak menangkapnya atau hendak berkurang ajar. "Setan keparat jahanam terkutuk !!" bentaknya dan dia mengerahkan tenaganya, meronta dan menggerakan kaki tangannya, menyepak dan menampar. "Plak-plak-plak.....! Wah-wah..... galak benar!" Kwee Lun kewalahan dan terpaksa melepaskan rangkulannya karena tulang kering kakinya kena ditendang, pipinya dicakar dan dagunya ditampar! Kini mereka berhadapan dan saling pandang. Keduanya kelihatan tertegun karena sama-sama tidak menyangka. Kwee Lun sama sekali tidak menyangka bahwa yang ditangkapnya tadi, dipeluknya karena disangkanya seorang pelayan wanita, kiranya adalah seorang dara remaja yang cantik jelita! Sedangkan Soan Cu yang terkejut melihat seorang pemuda yang begitu tampan gagah perkasa. Sejenak keduanya saling pandang, kemudian timbul kegalakan Soan Cu yang menjadi marah. Dia memang sudah mendongkol disuruh pergi oleh Sin Liong , hatinya gelisah memikirkan Sin Liong biarpun dia yakin pemuda itu akan mampu menjaga dirinya. Kini ada orang yang betapa gagahnyapun telah berlaku kurang ajar. "Setan alas! Siapa kau? Tentu kaki tangan Tee-tok, ya? Hendak menangkap aku? Keparat jahanam! Engkau sudah bosan hidup!" "Tar-tar-tar....!!" Cambuk buntut ikan hiu itu sudah meledak-ledak di atas kepala Kwee Lun. Soan Cu mengira bahwa sekali serang saja kepala pemuda gagah itu tentu akan pecah. Seberapa hebat sih kepandaian anak buah Tee-tok? Akan tetapi betapa herannya ketika dia melihat pemuda tinggi besar itu dapat mengelak dengan amat cepatnya, bahkan telapak tangan pemuda itu berhasil menepuk lengannya yang memegang cambuk. "Plakkk!" Pemuda itu terheran. Tamparannya tidak membuat cambuk itu terlepas! "Aihhh..... nanti dulu, jangan menyerang begitu. Aku bukan anak buah Tee-tok atau racun manapun juga!" Namun Soan Cu sudah merasa penasaran sekali. Kembali dia menyerang dan kini cambuknya berubah menjadi segulung sinar hitam yang menyambar-nyambar dibarengi suara meledak-ledak. Akan tetapi, Kwee Lun tetap dapat mengelak dan meloncat ke sana-sini, bahkan kadang-kadang dia berani menangkis cambuk itu dengan telapak tangannya! Hal ini tentu saja mengagumkan hati Soan Cu. Dan tidak tahu bahwa pemuda itu menggunakan ilmu Bian-sin-kun (Tangan Kapas Sakti) yang mengandung sinkang tingkat tinggi yang membuat telapak tangannya menjadi lemas seperti kapas dan karenanya tidak terluka oleh benda keras! "Nona cantik tapi galak seperti kucing lapar!" Kwee Lun balas memaki ketika melihat nona itu menyerang terus sambil memaki-maki. "Berhentilah dulu dan kita bicara!" "Iblis raksasa, kau yang kelaparan!" Soan Cu membentak makin marah dan kini dia sudah mencabut pedangnya, pedang Coa-kut-kiam! Dengan kedua senjatanya ini, dia menyerang kalang kabut! "Wah, runyam! Perempuan galak dan ganas!" Kwee Lun terancam bahaya maut dan dia pun terpaksa lalu mencabut pedangnya dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya memegang kipas gagang perak. "Tringgggg.... Cringggg-trangggg......!" Bunga api berpijar dari keduanya terdorong kebelakang oleh pertemuan senjata yang hebat itu tadi. Kipas bertemu dengam cambuk dan pedang bertemu dengan pedang. Masing-masing menjadi terkejut dan terheran. Tenaga sinkang mereka seimbang! "Bagus! Mari kita bertanding sampai selaksa jurus!" Soan Cu sudah menerjang lagi. "Trangggg....! Trangggg....!!" Kembali Kwee Lun menangkis sekuatnya dan mereka terdorong mudur. "Sombongnya! Manusia mana kuat bertanding sampai selaksa jurus? Makan waktu berapa bulan? Tunggu dulu, mengapa kau marah-marah kepadaku seperti orang kebakaran jenggot?" "Ngaco! Jenggotmu yang kebakaran!" "Eh, ohhh! Kau bikin aku bingung! Benar, kau tidak berjenggot. Eh, kenapa kau marah-marah begini? Dan kau lihai bukan main! Senjatamu mengerikan!" Cerewet!" Soan Cu sudah hendak menerjang lagi, sekarang terdorong oleh rasa penasaran bahwa dia tidak mampu mengalahkan pemuda ini. "Nanti dulu! Kita bicara dulu, baru kita bertanding selaksa.... eh, seratus jurus saja! Aku salah menduga, kukira kau tadi seorang pelayan di sini!" "Menghina kamu ya? Orang macam aku ini pelayan? Kalau kau baru pantaslah menjadi jongos! Atau jagal babi!" "Maafkanlah. Aku tadi melihat dari jauh. Aku sedang menyelidiki..... wah, celaka! Kau tentu puteri Teetok!" Kwee Lun terkejut dan menyesali kebodohannya. Mengapa dia tidak menduganya lebih dulu? Siapa lagi kalau bukan puteri Tee-tok yang begini lihai? "Aku bukan anak racun bumi, bukan anak racun bau! Aku malah musuhnya!" "Wah, benarkah? Kalau begitu kita cocok! Aku pun sedang melakukan penyelidikan. Aku mendengar ada biruang diadu dengan harimau, pemilik biruang itu adalah sahabatku, eh, maksudku, sahabatnya sahabatku!" Soan Cu menjadi bingung. "bicaramu seperti orang sinting!' "Memang betul, sahabatnya, eh, malah suhengnya sahabatku. Kau siapa?" "Aku baru saja meninggalkan pemilik biruang itu yang menjadi sahabat baikku." Dengan singkat Soan Cu menuturkan betapa Sin Liong mengalah dan malah menyuruh dia pergi dan ingin menerima hukuman! "Wah, kenapa kau sudah begini besar masih begini tolol?" "Siapa? Siapa tolol?" Soan Cu melangkah maju dan sepasang senjatanya sudah menggetar ditangannya. "Siapa lagi kalau bukan engkau? Mengapa kau meninggalkan sahabatmu itu menghadapi hukuman? Kau tidak tahu siapa itu Tee-tok Siangkoan Houw? Dari julukannya saja sudah mudah diketahui. Dia Racun Bumi, kejemnya bukan main. Sahabatmu itu, suheng sahabatku, pemilik biruang, tentu akan dibunuhnya!" "Apa....?" Wajah Soan Cu menjadi pucat sekali. "Celaka....!" "Hayo cepat kita kesana, barangkali belum terlambat!" Demikianlah, kedua orang itu seperti berlomba lari saja, bersicepat lari kembali ke puncak. Dan mereka tiba di tempat yang tepat di mana mereka melihat Swat Hong sedang menyerang kalang kabut kepada Sin Liong yang mengelak ke sana-sini. Ketika Kwee Lun melihat sahabatnya itu menerjang seorang pemuda dengan mati-matian dan mendapat kenyataan betapa pemuda itu lihai bukan main, biarpun bertangan kosong namun pedang di tangan Swat Hong sama sekali tidak pernah menyentuhnya, dia sudah menggerakan pedang dan kipasnya, meloncat maju sambil membentak, "Berani kau menghina Hong-moi?" "Trangg-cringgg....!!" Kwee Lun terdorong ke belakang dan matanya terbelalak melihat bahwa yang menangkisnya adalah sepasang senjata di tangan..... Soan Cu yang mendelik dan memaki, "Kerbau tolol! Berani kau mencampuri urusan Liong-koko?" Setelah berkata demikian, Soan Cu menyerang kalang kabut dan kembali mereka saling serang dengan serunya! Melihat ini, otomatis Swat Hong menghentikan serangannya dan Sin Liong juga sudah meloncat ke belakang lalu berkata, "Jangan bertempur! Soan Cu, mundurlah....!" "Liong-ko, biarkan aku bertemput dengan gajah ini sampai selaksa....... eh, seratus jurus!" "Kwee-koko, mundur! Orang sendiri......!" "Hehhhh....? Orang sendiri....? Dia ini...." Kwee Lun terkejut dan terheran-heran, sebentar memandang kepada Sin Liong, lalu kepada Soan Cu. "Kwee-koko, inilah suhengku yang kucari-cari." Swat Hong memperkenalkan . "Eh.... akan tetapi, mengapa kau menyerangnya.....??" Sin Liong cepat berkata, "Saudara yang gagah, Sumoiku ini memang kalau lama tidak bertemu lalu ingin mengajakku berlatih." Mendengar ini, merah wajah Swat Hong. Setelah ketahuan oleh semua orang betapa dia marah-marah dan menyerang suhengnya sendiri, baru dia teringat dan menjadi malu. Sementara itu, dapat dibayangkan betapa kaget dan sedihnya hati Siangkoan Hui ketika itu. Kiranya dara cantik yang amat lihai ini adalah Sumoi dari Kwa Sin Liong dan melihat sikapnya, dia dapat menduga bahwa dara yang galak ini cemburu kepadanya. Maka dia sudah melangkah maju dan menjura sambil berkata, "Ah, harap maafkan. Kiranya Cici adalah sumoi dari Kwa-taihiap...." "Hemmmm.... sudahlan!" Swat Hong berkata malu, kemudian memperkenalkan kepada suhengnya, "Suheng, dia ini adalah Saudara Kwee Lun, murid dari Lam Hai Sengjin." "Ha-ha-ha! Kiranya murid majikan Pulau Kura-kura? Selamat datang! Dan Nona adalah Sumoi dari Kwataihiap? Aihhh..... sungguh hari ini kami kedatangan banyak tokoh besar!" Kemudian berkata kepada Soan Cu yang masih cembertu. "Baik sekali Nona sudah datang kembali. Mari.... mari orang-orang muda yang gagah perkasa, marilah kita duduk dan bicara di dalam." Tee-tok Siangkoan Houw lalu mempersilahkan mereka semua memasuki gedungnya dan dia menjamu mereka dengan hidangan mewah, dibantu oleh puterinya, Siangkoan Hui yang merasa kagum sekali kepada Swat Hong, akan tetapi juga merasa iri hati dan berduka. Tidaklah demikian dengan perasaan Soan Cu. Memang tak dapat disangkal lagi bahwa gadis Pulau Neraka ini amat tertarik kepada Sin Liong yang dianggapnya sebagai seorang pemuda yang luar biasa dan amat mengagumkan hatinya. Akan tetapi, selama dalam perjalanan ini Sin Liong jelas memperlihatkan sikap bahwa pemuda itu sama sekali tidak tertarik kepadanya, juga bahwa sikap baiknya itu lebih mendekati sikap baik seorang kakak terhadap adiknya, pula, melihat bahwa sesungguhnya Swat Hong, sumoi pemuda itu, juga mencintai suhengnya, Soan Cu maklum bahwa tidaklah mungkin dia membiarkan cintanya terhadap Sin Liong berlarut-larut. Pertemuannya dengan Kwee Lun telah mengubah seluruh perasaan hatrinya. Pemuda raksasa ini amat hebat, amat menarik dan jelas lebih cocok dengan dia! Kwee Lun merupakan seorang pemuda yang jujur, terus terang, gagah perkasa dan biarpun baru sekali bertemu saja, mereka telah saling serang sampai dua kali! Oleh karena itu, ketika mereka semua makan bersama mengelilingi meja besar, perhatian Soan Cu lebih banyak tertuju kepada pemuda perkasa itu. Setelah mereka makan minum, berkatalah Tee-tok Siangkoan Houw, suaranya sungguh-sungguh dan katakatanya ditujukan kepada Sin Liong dan Swat Hong, "Saya tidak tahu dengan jelas apakah Ji-wi mempunyai hubungan dengan Pulau Es, akan tetapi mengingat bahwa Kwa-taihiap adalah murid dari Pangeran Han Ti Ong dari Pulau Es, maka agaknya apa yang hendak saya bicarakan ini akan menarik perhatian Ji-wi. Dan sesungguhnya saya, atas nama para orang gagah di dunia kang-ouw, saya amat mengharapkan bantuan Sin-tong!" JILID 13 "Ah, mengapa Locianpwe terlalu sungkan dan merendahkan diri? Harap diceritakan ada urusan apakah yang kiranya dapat kami bantu, dan harap jangan membawa-bawa nama Pulau Es." "Justeru karena urusan ini menyangkut Pulau Es." "Heiii....? Ada urusan apakah yang menyangkut Pulau Es?" Swat Hong bertanya penuh semangat. Mendengar ini Tee-tok tersenyum dan memandang. "Sebagai Sumoi dari Sin-tong, tentu Nona juga dari Pulau Es, bukan? Gerakan pedang Nona tadi hebat bukan main...." "Tidak perlu diketahui siapa pun apakah aku dari Pulau Es atau tidak," jawab Swat Hong tegas. "Kalau ada urusan Pulau Es, kami ingin mendengar." "Locianpwe, harap ceritakan kepada kami dan maafkanlah sikap Sumoi yang selalu tegas dan singkat. Perlu saya berutahukan bahwa memang amatlah penting artinya bagi kami kalau ada urusan yang menyangkut Pulau Es." Tee-tok menarik napas panjang. "Kalau dibicarakan sungguh membuat orang menjadi penasaran sekali. Ji-wi (Anda Berdua) tentu telah mendengar nama besar Bu-tong-pai, bukan? Nah, semua orang gagah dari dunia kang-ouw bersepakat untuk menentang Bu-tong-pai mati-matian." "Haiii....? Mengapakah? Maaf kalau aku mencampuri, akan tetapi sungguh hatiku penasaran sekali mendengar Bu-tong-pai dimusuhi orang kang-ouw. Bukankah anak murid Bu-tong-pai adalah orang-orang gagah yang dihormati oleh dunia kang-ouw? Mengapa sekarang hendak dimusuhi?" Kwee Lun berseru lantang, matanya terbelalak lebar karena penasaran. "Ha-ha-ha, agaknya gurumu, Si Tua Bangka Lam Hai Sengjin masih belum mendengar berita karena dia selalu bertapa dipulaunya sehingga engkau pun belum tahu, orang muda yang gagah, Bu-tong-pai telah beberapa bulan ini dikuasai oleh seorang ketua baru!" "Soal pengangkatan ketua baru Bu-tong-pai, kurasa adalah urusan dalam Bu-tong-pai sendiri!" kata pula Kwee Lun. "Memang demikian kalau ketua baru itu orang dalam Bu-tong-pai pula. akan tetapi, ketua baru itu mengaku dirinya sebagai Ratu Pulau Es dan telah melakukan perbuatan sewenang-wenang, melanggar peraturan kang-ouw, mengalahkan banyak tokoh kang-ouw dan kabarnya bahkan bersekutu dengan pembrontak!" "Ihhhh....!" Swat Hong berseru. "Kiranya dia di sana....!" Sin Liong juga berseru. Mendengar seruan dua orang muda sakti dari Pulau Es itu, Tee-tok cepat memandang penuh selidik. "Ji-wi mengenal wanita itu?" Sin Liong mengangguk tenang. "Agaknya begitulah. Dan sekarang juga kami berdua minta diri, karena kami harus segera berangkat ke Bu-tong-pai." "Tapi biarlah kami membantumu, dan kalau perlu kita memberitahukan teman-teman di dunia kang-ouw agar...." "Tidak usah, Locianpwe. Ini adalah urusan antara kami sendiri. Bukankah begitu Sumoi?" "Benar! Harus kami berdua saja yang berangkat ke sana. Kwee-koko, terima kasih atas bantuanmu mencari Suheng dan setelah kini aku bertemu Suheng dan kami ada urusan yang amat penting, terpaksa aku akan meninggalkanmu. Kita berpisah sampai di sini, Kwee-koko." Kwee Lun mengangguk dan berkata dengan suara lirih setelah menarik napas panjang. "Aku mengerti, Hong-moi." "Soan Cu, kuharap engkau suka menanti dulu di sini dan harap Siangkoan Lo-enghiong melimpahkan kebaikan hati dengan menerima Soan Cu di sini untuk beberapa hari sampai saya selesai berurusan dengan Bu-tong-pai." "Tentu saja! Dengan senang hati! Biarlah Ouw-siocia tinggal di sini dulu, ditemani oleh anakku." "Tidak, Liong-koko! Aku.... aku.... akan pergi saja melanjutkan usahaku mencari Ayah. Kaupergilah menyelesaikan urusanmu dengan Swat Hong......" kata Soan Cu sambil menekan perasaannya. "Urusan kita memang berlainan. Selamat tinggal, aku pergi lebih dulu!" Setelah berkata demikian, Soan Cu lalu bangkit berdiri dan berlari pergi tanpa menoleh lagi. Kwee Lun juga bangkit berdiri. "Kalau begitu aku pun pamit. Biarlah aku membantu dia kalau dia mau." Kwee Lun lalu berlari sambil berseru, "Nona...., tunggu dulu....!!" Namun Soan Cu tidak menengok lagi dan berlari cepat sehingga Kwee Lun terpaksa harus mengerahkan ginkangnya untuk mengejar. Sebentar saja kedua orang muda yang berkejaran itu sudah lenyap dari pandangan mata. Sin Liong dan Swat Hong juga berpamit dan meninggalkan Tee-tok bersama puterinya yang mengantar mereka sampai di pintu depan. Setelah kedua orang itu berjalan pergi dan tidak nampak lagi, terdengar Siangkoan Hui terisak dan menutupi matanya dengan ujung lengan bajunya. Siangkoan Houw menghela napas dan merangkulnya. dara itu makin berduka, menangis sesenggukan di dada ayahnya. Teetok menepuk-nepuk pundak puterinya dan berkata, "Hemm, tidak patut anak Tee-tok begini lemah hatinya! Aku tahu bahwa kau jatuh cinta kepadanya, Hui-ji. Memang dia seorang pemuda luar biasa! Akan tetapi, aku melihat sesuatu yang aneh pada diri Sin-tong itu. Aku akan merasa heran kalau sampai mendengar dia itu menikah! Dia tidak seperti manusia biasa! Dia dari Pulau Es, demikian Sumoinya. Mereka itu berbeda dengan kita. Selain itu, engkau adalah tunangan putera Lusan Lojin Bu Si Kang. Engkau sejak kecil telah dijodohkan dengan Bu Swai Liang. Biarlah aku akan mencari lagi mereka!" Siangkoan Hui tidak menjawab dan dia menurut saja ketika diajak masuk ke rumah oleh ayahnya yang amat menyayanginya. Sebetulnya, sukarlah dikatakan apakah Siangkoan Hui benar-benar jatuh cinta kepada Sin Liong. Kiranya lebih tepat dikatakan kalau dia tertarik dan suka menyaksikan wajah dan sikap pemuda yang halus budi itu. Untuk dikatakan jatuh cinta, kiranya masih terlalu pagi! Keadaan di Bu-tong-pai mengalami perubahan hebat semenjak The Kwat Lin menjadi ketua partai persilatan besar itu. Bukan hanya perubahan di luar, yang nampak jelas karena adanya banyak anggauta perkumpulan golongan hitam dan sepak terjang mereka yang kasar dan ugal-ugalan, mengandalkan kepandaian untuk menentang siapa saja, akan tetapi juga terjadi perubahan di sebelah dalam yang tidak diketahui oleh orang luar. Terjadi hal yang membuat Swi Nio seringkali menangis seorang diri di dalam kamarnya! Peristiwa yang memalukan hati dara itu, yaitu ketika dia melihat betapa kakaknya, Swi Liang, telah menjadi kekasih dari subo mereka sendiri! Tadinya tentu saja hal itu terjadi secara sembunyisembunyi, akan tetapi kini dia melihat sendiri betapa subonya dan kakaknya itu berjinah secara terangterangan, tidak bersembunyi lagi dan biarpun pada siang hari di mana banyak mata para angauta Bu-tongpai menyaksikannya, dengan seenaknya ketua Bu-tong-pai itu memasuki kamar Bu Swi Liang atau sebaliknya pemua itu memasuki kamar subonya kemudian pintu kamar ditutup dari dalam! Hati Swi Nio membrontak, akan tetapi apa yang dapat dia lakukan kecuali menangis? Dan memang sungguh menyedihkan sekali kenyataan bahwa seorang pemuda seperti Bu Swi Liang kini terjebak oleh nafsu berahi dan menjadi hamba nafsu berahi, juga menjadi hamba subonya sendiri yang membuatnya tergila-gila! Hal ini tidak amat mengherankan, mengingat bahwa Swi Liang adalah seorang pemuda yang masih hijau. Seorang pemuda remaja yang tentu saja tidak kuat menahan godaan dan rayuan seorang wanita yang sudah matang seperti The Kwat Lin pula, memang rasa kagum seoran muda terhadap lawan kelaminnya yang lebih tua dengan mudah menyeretnya ke dalam perangkap cinta nafsu. Di lain pihak, peristiwa itu bukanlah dapat diartikan bahwa The Kwat Lin adalah seorang wanita yang gila laki-laki atau gila berahi. Sama sekali tidak. Dia adalah seorang yang normal, dan hanya keadaanlah yang membuat dia menjadi seorang penyeleweng besar. Dia adalah seorang wanita yang belum tua benar, baru tiga puluh tahun usianya, berwajah cantik dan bertubuh sehat. Setelah menjadi janda dan hidupnya menyendiri, wajarlah kalau dia merindukan cinta asmara, merindukan kehangantan rasa sayang seorang pria. Adapun pria yang sudah dewasa dan yang dekat dengannya adalah Bu Swi Liang, maka tidak pula mengherankan apa bila dia teertarik dan jatuh hati kepada muridnya sendiri ini. Karena pemuda ini masih hijau dan tentu saja tidak berani mulai dengan langkah pertama, maka The Kwat Lin yang menggunakan perasaan kewanitaannya untuk membuka pintu dan menggerakan kaki dalam langkah pertama. Dialah yang memikat dan merayu sehingga akhirnya Swi Liang jatuh dan mabok. Sekali saja hubungan jinah dilakukan, maka membuat orang menjadi mencandu. Yang pertama kali segera disusul oleh yang ke dua, ke tiga, kemudia mereka menjadi ketagihan dan seolah-olah tidak dapat lagi hidup tanpa kelanjutan hubungan gelap mereka! Tentu saja hal ini dapat terjadi karena keadaan hidup Kwat Lin. Andaikata dia masih seorang pendekar wanitaseperti belasan tahun yang lalu, tentu perbuatan ini sampai mati pun tak kan dia lakukan. Akan tetapi kini keadaanya lain. Dia menjadi seorang wanita yang berhati keras oleh sakit hati, kemudian menjadi tak peduli oleh keadaannya sebagai seorang ketua paksaan dari Bu-tong-pai, seorang yang bercitacita untuk mencarikan kedudukan setingginya bagi puteranya. Kedudukannya memberi dia perasaan lebih dan berkuasa, maka timbul sifat untuk bertindak sewenang-wenang tanpa mempedulikan orang lain lagi. Akan tetapi, selain hubungan gelap dengan muridnya yang tersayang ini, Kwat Lin juga mulai dengan langkah-langkah ke arah tercapainya cita-citanya. Dia mulai memperkuat Bu-tong-pai dengan mengadakan hubungan dengan para pembesar di kota raja melalui anggauta-anggauta barunya, yaitu para pembesar yang mempunyai cita-cita yang sama, para pembesar calon pembrontak. Kedudukan Bu-tong-pai makin kuat setelah terjadi peristiwa hebat pada beberapa hari yang lalu. Pada beberapa hari yang lalu, pagi-pagi sekali, anak buah Bu-tong-pai gempar dengan munculnya dua orang laki-laki di pintu gerbang Bu-tong-pai. Tidak ada seorang pun anak buah Bu-tong-pai yang berani sembarangan turun tangan ketika mendengar dan mengenal bahwa dua orang ini adalah tokoh-tokoh besar dalam dunia persilatan. Ketika seorang diantara mereka, yang usianya sudah enam puluh tahun lebih, kumis dan jenggotnya sudah putih, mengatakan bahwa mereka minta berjumpa dengan ketua Bu-tong-pai yang baru, para anak murid Bu-tong-pai cepat memberi kabar kepada The Kwat Lin yang pada saat itu masih enak-enak pulas dalam pelukan muridnya, juga kekasihnya, Bu-swi Liang! Terkejutlah dia ketika pintu kamarnya diketuk dan mendengar suara seorang murid bahwa di luar pintu gerbang terdapat dua orang tamu, ayah dananak she Coa dari dusun Koan-teng di kaki Pegunungan Bu-tong-san yang minta bertemu dengan ketua! "Suruh mereka menanti di luar! Aku segera datang!" kata Kwat Lin dengan marah. Tak lama kemudian, Kwat Lin yang ditemani oleh Swi Liang dan Swi Nio, juga ikut pula Han Bu Ong yang usianya hampir sebelas tahun, keluar dari pintu gerbang menemui dua orang itu. Senyum mengejek menghias bibir ketua Bu-tong-pai yang cantik itu. Semenjak dia merampas kedudukan ketua dengan paksa, sudah lima kali dia didatangi tokoh-tokoh kang-ouw yang agaknya datang karena permintaan para tosu Bu-tong-pai yang mengundurkan diri. Para tokoh ini merasa penasaran dan membela para tokoh Bu-tong-pai. Dengan mudahnya semua tokoh yang datang berturut-turut itu dirobohkan oleh Kwat Lin, ada yang tewas seketika, ada yang terpaksa pergi membawa luka-luka berat! Dan kini, ayah dan anak yang datang itu merupakan tokoh-tokoh yang datang ke enam kalinya. Swi Liang dan Swi Nio yang menggandeng tangan Bu Ong segera minggir dan membiarkan subu mereka seorang diri menghadapi dua orang tamu itu. Dengan pakaian yang mewah dan indah, dandanan seperti puteri kerajaan, The Kwat Lin tampak sebagai seorang wanita bangsawan agung yang memiliki wibawa. Dengan sikap angkuh dia melangkah maju menghadapi dua orang itu sambil tersenyum. Kedua orang itu berpakaian sederhana, namun dari sikap mereka yang tenang jelas tampak kegagahan mereka sebagai pendekar-pendekar penentang kejahatan. Kakek itu biarpun sudah tua, masih kelihatan sehat dan kuat, jenggot dan kumisnya yang putih menambah keangkeran wajahnya.Di pinggangnya tergantung sebatang pedang dan dia memandang ketua Bu-tong-pai dengan sinar mata penuh selidik. Orang ke dua masih muda, paling banyak tiga puluh tahun usianya, bertubuh tegap dan berwajah tampan gagah. Ada kemiripan pada wajah kakek dan laiki-laki ini dan memang mereka itu adalah ayah dan anak yang terkenal sekali namanya sebagai pendekar-pendekar dari dusun Koan-teng yang menjadi sahabat-sahabat baik dari para tosu Bu-tong-pai. Kakek Coa Hok memiliki ilmu pedang turunan keluarga Coa yang amat lihai dan ilmu pedang ini diturunkan pula kepada puteranya itu yang bernama Coa Khi. Ketika ayah dan anak ini mendengar akan malapetaka yang menimpa para pemimpin Bu-tong-pai, yaitu munculnya orang termuda dari Cap-sha Sinhiap, seorang wanita yang merampas kedudukan ketua , kemudian mendengar betapa banyak sahabat - sahabat kang-ouw yang membela mereka telah roboh di tangan wanita itu, mereka berdua menjadi marah sekali. Sebagai orang-orang yang biasa menentang kejahatan mereka tidak mempedulikan berita tentang kesaktian wanita itu dan berangkatlah mereka meninggalkan rumah, berbekal pedang, semangat dan kebenaran, naik ke Bu-tong-san menjumpai ketua Bu-tong-pai itu. The Kwat Lin bukan seorang bodoh. Setiap kali ada tokoh naik ke Bu-tong-san dan hendak menantangnya, dia selalu membujuk mereka untuk berdamai dan bekerja sama. Selama cita-citanya belum tercapai, dia membutuhkan bantuan sebanyak mungkin orang pandai. Maka setiap kali ada orang gagah datang dengan maksud menantangnya dan membela para bekas pimpinan Bu-tong-pai, dia selalu menyambut mereka dengan bujukan manis. Hanya karena bujukannya tidak berhasil dan mereka itu berkeras, terpaksa dia turun tangan menerima tantangan mereka. Memang demikianlah sifat orang-orang yang mempunyai cita-cita besar, cita-cita yang sesungguhnya hanyalah nafsu keinginan untuk kesenangan diri pribadi. Demi tercapainya cita-cita yang merupakan pamrih bagi diri peribadi ini, orang tidak segan untuk bersikap palsu, membujuk orang sebanyaknya untuk membantunya demi tercapainya cita-cita itu. Orang-orang yang tidak membantu di anggap musuh dan perlu dibasmi agar jangan menjadi penghalang cita-citanya, sebaiknya, mereka yang mati-matian membantunya, jika cita-cita itu sudah tercapai sebagian besar dilupakannya begitu saja! Atau kalau teringat pun, hanya diberi pahala sekedarnya karena yang penting bukan orang-orang yang membantunya, melainkan dirinya sendiri! Begitu berhadapan dengan ayah dan anak itu, The Kwat Lin mengangkat kedua tangannya ke depan dada sambil berkata. "Kiranya Ji-wi Coa-enghiong (Kedua Pendekar she Coa) yang datang. Suadh lama kami mendengar Ji-wi yang terkenal gagah perkasa, maka kami merasa beruntung sekali hari ini dapat bertemu. Apalagi mendengar bahwa Ji-wi adalah sahabat baik dari Bu-tiong-pai....." "The Kwat Lin!" Kakek Coa membentak dengan telunjuk kiri menuding ke arah muka ketua baru Bu-tongpai itu. "Aku mengenalmu sebagai seorang di antara Cap-sha Sin-hiap yang gagah perkasa, sebagai seorang murid Bu-tong-pai yang selalu menjunjung tinggi nama Bu-tong-pai. Aku telah puluhan tahun bersahabat dengan Bu-tong-pai dan telah mendengar akan namamu. Akan tetapi, mengapa setelah menghilang bertahu-tahun, engkau kembali ke sini dan menjadi seorang murid murtad, merampas kedudukan ketua mengandalkan kekerasan dan kepandaian? Aku sebagai seorang sahabat Bu-tong-pai tentu saja tidak mungkin dapat mendiamkan hal penasaran ini tanpa turun tangan!" Kwat Lin tersenyum manis dan melirik ke arah Soa Khi yang berwajah tampan, akan tetapi Coa Khi mengerutkan alis dan memandang penuh kemarahan. "Coa-lo-enghiong agaknya kena dibujuk orang! Memang benar saya menjadi ketua Bu-tong-pai, akan tetapi hal itu adalah demi kebaikan Bu-tong-pai, demi cinta saya kepada Bu-tong-pai. Saya ingin menjadikan Butong- pai perkumpulah terbesar dan terkuat di dunia kang-ouw, dan saya ingin menarik semua orang gagah menjadi sahabat yang dapat bekerja sama. Karena itu, saya harap Ji-wi dapat membuka mata melihat kenyataan dan saya persilahkan Ji-wi untuk datang sebagai sahabat dan untuk minum arak persahabatan bersama kami." "Perempuan murtad! Jangan mengira dapat menyogok kami dengan omongan manis!" Kakek itu membentak marah. Kedua alis yang hitam kecil dan panjang itu bergerak-gerak dan biarpun mulut yang berbibir itu masih tersenyum, namun kata-kata yang keluar mengandung nada dingin, "Habis apa yang kalian akan lakukan?" "Sing! Singggg!!" Ayah dan anak itu telah mencabut pedang dan kakek Coa berkata, "Hanya ada dua pilihan bagi engkau dan kami. Pertama engkau pergi meninggalkan Bu-tong-pai dan kami akan berterima kasih kepadamu yang mengembalikan Bu-tong-pai, kepada para pimpinan Bu-tong-pai, atau kalau engkau berkeras terpaksa kami ayah dan anak turun tangan menggunakan pedang membela kehormatan sahabatsahabat dari Bu-tong-pai!" "Hi-hik! Betapa gagahnya keluarga Coa! Apakah ilmu Pedang Hok-liong-kiamsut sehebat sikap mereka, perlu ditonton dulu!" Tiba-tiba terdengar suara yang lantang dan merdu ini. Semua orang menengok, juga The Kwat Lin yang menjadi terkejut melihat ada orang datang tanpa diketahuinya. Hal itu saja membuktikan bahwa wanita yang muncul ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Ayah dan anak itu mendengar nama ilmu pedang turunan mereka disebut-sebut, juga menengok dengan kaget. Wanita itu pakaiannya mentereng dan biarpun usianya sudah kurang lebih setengah abad, namun harus diakui bahwa dia adalah seorang wanita cantik. Rambutnya hitam gemuk dan panjang, dibiarkan terurai sampai kepinggulnya yang menonjol di balik celana yang ketat. Tangan kanannya memanggul sebatang payung hitam dan wanita itu tahu-tahu telah berdiri di situ dengan gaya lemah lembut. Dia seorang wanita yang masih kelihatan cantik dengan tubuh padat akan tetapi ada sesuatu yang dingin mengerikan keluar dari sikapnya, terutama sekali sepasang matanya yang amat tajam itu karena mata itu terbelalak memandang hampir tak pernah berkejap! Melihat wanita ini, kakek Coa terkejut bukan main dan otomatis dia berseru keras. "Kiam-mo Cai-li....!!" Puteranya, Coa Khi terkejut. Tentu saja dia sudah pernah mendengar nama ini, nama seorang datuk kaum sesat yang amat terkenal sebagai seorang iblis betina yang selain kejam dan ganas, juga amat tinggi ilmu kepandaiannya. Kakek Coa merasa heran sekali mengapa iblis betina yang sudah bertahun-tahun tak pernah muncul di dunia kang-ouw dan kabarnya hanya bertapa di tempat kediamannya, yaitu di Rawa Bangkai di kaki Penggunungan Lu-liang-san itu tahu-tahu kini muncul di situ. Dan biasanya, di mana pun iblis itu muncul, tentu akan terjadi malapetaka hebat! The Kwat Lin juga sudah mendengar nama itu, yaitu sepuluh tahun yang lalu ketika dia masih menjadi seorang di antara Cap-sha Sin-hiap. Ketika itu, nama Kiam-mo Cai-li (Wanita Cerdik Berpedang Payung) sudah amat terkenal. Akan tetapi dia belum pernah bertemu dengan iblis betina itu dan sekarang dia melirik ke arah wanita itu dengan senyum mengejek. Dengan kepandaiannya seperti sekarang ini, dia tidak perlu takut menghadapi iblis yang manapun juga! "Kiam-mo Cai-li, apakah kedatanganmu tanpa diundang ini pun hendak menantang aku sebagai ketua Butong- pai? Kalau memang demikian, jangan kepalang tanggung, majulah kau bersama kedua orang She Coa ini agar lebih cepat aku menghadapi kalian!" Ucapan yang keluar dengan tenangnya dari mulut ketua Bu-tong-pai itu mengejutkan hati kedua orang ayah dan anak She Coa itu. Berani bukan main wanita ini menantang Kiam-mo Cai-li seperti itu! Menyuruh datuk kaum sesat itu untuk mengeroyok! Akan tetapi Kiam-mo Cai-li tertawa lebar sehingga tampaklah deretan giginya yang putih dan rapi, "Hi-hi-hik, hebat sekali mulut ketua baru Bu-tong-pai! Pantas kau disebut-sebut di dunia kang-ouw, kiranya memang memilki keberanian yang hebat! Hanya karena mendengar engkau adalah Ratu Pulau Es maka aku terpaksa meninggalkan tempatku yang aman dan tenteram. Kalau tidak karena nama ini, biar siapa pun yang akan menduduki Bu-tong-pai, aku peduli apa? Sekarang hendak kulihat bagaimana kau menghadapi pewaris-pewaris ilmu Pedang Hok-liong-kiamsut yang terkenal ini. Kalau kau memang berharga untuk melawanku, barulah kita nanti bicara lagi!" The Kwat Lin tersenyum mengejek dan mendenguskan suara dari hidung. "Hemm, kau merasa terlalu tinggi untuk mengeroyok? Baiklah, kalau begitu tunggu saja sampai aku membereskan dua oran ini. Di sini tidak ada bangku, duduklah di sini!" Setelah berkata demikian, Kwat Lin menghampiri sebatang pohon dan sekali tangan kirinya bergerak menyabet dengan telapak tangan miring, terdengar suara keras dan pohon itu tumbang. Hebatnya, batang pohon itu putus seperti dibabat pedang tajam saja, rata dan halus sehingga sisanya merupakan sebuah bangku! "Hi-hi-hik, memang hebat sinkangmu! Terima kasih, aku menanti di sini," kata Kiam-mo Cai-li Liok Si dan sekali meloncat, tubuhnya sudah melayang ke atas batang pohon yang merupakan bangku bermuka halus itu. Dia duduk bertumpang kaki dan menunjang dagu dengan sebelah tangan, seperti seorang yang akan menikmati suatu tontonan yang menarik. Ayah dan anak she Coa itu saling pandang. Di dalam pandang mata yang bertemu ini mereka seperti sudah saling bicara, menyatakan bahwa mereka menghadapi lawan yang amat lihai. Akan tetapi, jiwa pendekar kedua orang ini membuat mereka sama sekali tidak merasa gentar. Mereka bukan saja membela sahabat-sahabat mereka Kui Tek Tojin dan para tokoh Bu-tong-pai, akan tetapi juga menuntut balas atas kematian dan kekalahan para tokoh kang-ouw yang datang lebih dulu dari mereka membela Butong- pai. Selain itu mereka sudah datang sebagai dua orang penuntut kebenaran, kalau sekarang mereka harus mundur melihat kehebatan lawan, hal ini akan membuat mereka menjadi pengecut dan bagi dua orang pendekar seperti mereka yang namanya sudah terkenal harum selama beberapa keturunan, lebih baik mati sebagai orang gagah dari pada hidup menjadi pengecut hina! "Kalau begitu, The Kwat Lin, bersiaplah engkau!" teriak kakek Coa dan pedang di tangan kanannya sudah melintang di depan dada. Gerakan ini diturut oleh Coa Khi dan kedua orang itu berdiri berjajar dengan memasang kuda-kuda yang kuat. Kwat Lin menggerakan tangan kanannya dan tongkat pusaka ketua Bu-tong-pai yang selalu dipegangnya itu menancap di atas tanah di depannya. Tongkat itu baginya perlu untuk menghadapi orang-orang Butong- pai yang menghormati tongkat itu dan menganggapnya sebagai benda keramat lambang kedudukan tertinggi di Bu-tong-pai. Kini, menghadapi dua orang luar, dia tidak mau mempergunakannya, dan juga untuk memamerkan kepandaiannya, dia sengaja hendak menghadapi dua orang itu dengan tangan kosong! "Ceppp!" Tongkat itu amblas setengahnya ke dalam tanah dan sekali Kwat Lin menggerakan ke dua kakinya, tubuhnya mencelat ke depan dua orang gagah se Coa itu sambil berkata, "Mulailah!" "Sing, sing.... wut-wut-wut-wutttt....!!" Bertubu-tubi kedua pedang itu menyambar dengan kekuatan dan kecepatan dahsyat sehingga tampak sinar-sinar berkilauan dibarengi suara bersiutan ketika kedua pedang membelah udara. Diam-diam Kwat Lin terkejut dan harus memuji kehebatan dan keindahan gerakan ilmu pedang mereka itu. Namun, tentu saja dengan latihan yang didapatnya dari Pulau Es, gerakanya lebih cepat lagi sehingga dengan mudah dia dapat mengelak ke sana-sini menghindarkan diri dari sambaran sinar kedua pedang itu dengan gerakan yang cepat dan indah. Setelah merasa yakin bahwa betapapun indah dan lihainya ilmu pedang mereka namun dia masih memiliki tingkat jauh lebih tinggi dalam hal sinkang, Kwat Lin tersenyum dan bagaikan seekor kucing mempermainkan dua ekor tikus, dia sengaja selalu mengelah ke sana ke mari memamerkan kegesitan tubuhnya, bukan hanya kepada dua orang itu melainkan terutama sekali kepada wanita yang dianggapnya merupakan calon lawan yang lebih lihai, yaitu Kiam-mo Cai-li yang menonton pertandingan itu. Tiba-tiba Kwat Lin mengeluarkan seruan tertahan ketika lirikan matanya membuat dia maklum bahwa ada dua orang bekas anak buah Bu-tong-pai yang mendekati tongkat pusaka itu dan berusaha mencabut tongkat pusaka dari dalam tanah. Peristiwa itu terjadi cepat sekali namun Kwat lin yang cerdik lebih cepat lagi mengambil kesimpulan bahwa dua orang itu tentulah pengkhianatpengkhianat yan berpura-pura takluk kepadanya namun diam-diam mencari kesempatan untuk mencuri tongkat pusaka, tentu dengan maksud mengembalikan tongkat itu kepada Kui Tek Tojin! Pada saat itu, dua pedang ayah dan anak itu menusuk dari depan dan belakang dengan cepatnya. Kwat Lin tentu saja agak terlambat gerakanya oleh perhatian yang terpecah tadi, maka dia cepat menggulingkan tubuhnya, mengelak dari tusukan pedang di depan, sedangkan tusukan pedang dari belakang yang masih mengancamnya di tangkisnya dengan lengan kiri yang dilindungi gelang-gelang emas. "Cringggg....!!" Coa Khi terkejut bukan main ketika lengan yang memegang pedang itu tergetar hebat dan hampir saja pedangnya terlepas dari pegangan ketika bertemu dengan gelang di pergelangan tangan kiri ketua Bu-tong-pai itu! Ketika dia dan ayahnya memandang, ternyata wanita itu telah lenyap dan tahu-tahu terdengar jerit-jerit mengerikan dari kiri. Ketika mereka memandang, ternyata wanita itu telah merobohkan dua orang laki-laki yang tadi mencoba mencuri tongkat pusaka. Dua orang laki-laki itu roboh dengan kepala pecah disambar jari-jari tangan Kwat Lin yang marah. Setelah membunuh kedua orang itu, sekali meloncat Kwat Lin sudah kembali menghadapi dua orang lawannya. kini dialah yang menerjang, menyerang dengan kedua tangan terbuka, cepatnya bukan main sehingga ayah dan anak itu terpaksa mudur sambil melindungi tubuhnya dengan pedang. Seru dan indah dipandang pertandingan itu. Tubuh Kwat Lin lenyap dan hanya kadang-kadang saja tampak, bergerak-gerak di antara gulungan dua sinar pedang. Dia seloah-olah seorang penari yang amat indah dan lemah gemulai gerakannya, seperti sedang bermain-main dengan gulungan sinar pedang yang dipandang sepintas lalu seperti dua helai selendang yang di mainkan oleh wanita itu. Tiba-tiba kedua orang ayah dan anak itu mengeluarkan pekik yang menggetarkan bumi dan tampak mereka menerjang secara berbareng dari depan dengan pedang terangkat ke atas dan membacok sambil meloncat. Inilah jurus paling ampuh dari ilmu pedang mereka lakukan dengan berbareng, jurus terakhir dari Hokliong- kiam-sut (Ilmu Pedang Naga). Serangan ini demikian dahsyatnya sehingga tidak memungkinkan lawan yang diserangnya untuk mengelak lagi karena jalan keluar sudah tertutup dan ke mana pun lawan mengelak, ujung pedang tentu akan mengejar terus. Akan tetapi, sambil tersenyum Kwat Lin tidak menghindarkan diri sama sekali tidak mengelak, bahkan menubruk ke depan, tiba-tiba ketika tubuh Coa Khi yang meloncat ke atas itu sudah dekat dan pedang pemuda itu sudah menyambar ke arah kepalanya, dia menjatuhkan diri ke bawah, berjongkok dan kedua tangannya menyambar ke atas dan depan dengan jari-jari terbuka. "Hyaaaaattt....!!" Pekik melengking yang keluar dari mulut Kwat Lin ini dahsyat sekali dan kedua tangan yang mengandung sepenuhnya tenaga Inti Salju yang ampuh itu telah menyambar perut kedua orang laawannya. "Plak! Plak!" Tamparan jari-jari tangan yang mengandung tenaga sinkang mujijat ini tepat mengenai perut Coa Khi yang sedang melayang di atas dan Coa Hok yang berada di depan. Ayah dan anak itu mengeluarkan jerit tertahan yang mengerikan. Mereka merasa tubuh mereka dimasuki hawa dingin yang tak tertahankan hebatnya dan robohlah ayah dan anak itu, roboh tanpa dapat berkutik lagi karena mereka telah tewas dengan muka membiru karena darah mereka telah beku terkena pukulan yang mengandung Swat-im-sinkang hebat dari Pulau Es! "Bagus sekali....!!" Kiam-mo Cai-li Liok Si memuji dan melayang turun dari atas batang pohon dan berdiri berhadapan dengan ketua Bu-tong-pai itu. Keduanya sama cantik dan sama mewah pakaiannya, dan sejenak mereka saling pandang seperti hendak mengukur kelebihan lawan dengan pandang mata. "Hebat kepandaianmu, Pangcu (Ketua)! Melihat tingkatmu, engkau pantas menjadi lawanku bertanding, mari kita coba-coba, siapa diantara kita yang lebih lihai!" The Kwat Lin mengerutkan alisnya dan bertanya, "Kiam-mo Cai-li, diantara kita tidak pernah ada urusan sesuatu. Apakah engkau menantangku demi membela para tosu Bu-tong-pai yang sudah mengundurkan diri?" "Hi-hi-hik!" Wanita yang sudah hampir nenek-nenek namun masih amat genit itu terkekeh. "Aku membela tosu Bu-tong-Pai? Jangan bicara ngaco! Bagi aku, siapa pun yang akan menjadi ketua Bu-tong-pai, masa bodoh! Akan tetapi mendengar bahwa yang mengetuai Bu-tong-pai disebut Ratu Pulau Es, hatiku tertarik dan sekarang melihat engkau benar-benar lihai, makin ingin hatiku menguji kelihaianmu dan bertanya apakah benar engkau Ratu Pulau Es?" Kwat Lin mengangguk. "Benar, aku adalah bekas Ratu Pulau Es! Kiam-mo Cai-li, kalau engkau tidak membela tosu-tosu Bu-tong-pai perlu apa kita bertanding? Ketahuilah, aku sedang membangun Bu-tongpai dan aku membutuhkan kerja sama dengan orang-orang pandai, terutama sekali engkau. Apakah seorang dengan kepandaian seperti engkau ini tidak pula mempunyai cita-cita tinggi untuk mencapai matahari dan bulan? Ataukah hanya menanti kematian begitu saja, membusuk di tempat pertapaanmu di Rawa Bangkai?" "Hi-hi-hik, aku sudah mendengar pula akan usahamu yan bercita-cita luhur! Karena itu pula aku tertarik dan datang ke sini. Akan tetapi sebelum kita bicara tentang kerja sama dan cita-cita, kita harus menentukan dulu siapa diantara kita yang patut memimpin dan siapa pula yang harus taat." "Maksudmu?" The Kwat Lin memandang tajam dengan alis berkerut. "Kita bekerja sama, itu pasti! Dan kalau kita berdua sudah bekerja sama, di tangan kita kaum wanita, tentu segalanya akan berhasil baik! Lihat saja keadaan di istana kerajaan. Seorang selir mampu mengemudikan seluruh kendali pemerintahan! Akan tetapi untuk menentukan siapa yang akan menjadi pemimpinnya diantara kita, perlu diketahui sekarang juga." "Bagus! Dengan lain kata-kata engkau menantang untuk kita mengadu kepandaian, ya? Kiam-mo Cai-li, engkau seperti seekor katak dalam sumur! Majulah!" Kwat Lin membanting kakinya ke atas tanah dekat pusaka Bu-tong-pai dan.... tongkat yang menancap setengahnya lebih itu mencelat ke atas seperti didorong dari bawah tanah, lalu tongkat itu disambar dan dipegangnya. Kiam-mo Cai-li menganguk-angguk. "Hebat memang sinkangmu, Pangcu. Akan tetapi jangan kau salah sangka. Sekali ini aku benar-benar menyadari bahwa usiaku sudah makin tua dan aku perlu memperoleh kedudukan yang akan menjamin masa tuaku sampai mati. Kita hanya mengukur kepandaian, bukan bertanding sebagai musuh, hanya untuk menentukan tingkat siapa yang lebih tinggi di antara kita berdua." Mendengar kata-kata ini, berkurang panas hati Kwat Lin dan teringat lagi dia bahwa betapapun juga, dia membutuhkan tenaga bantuan wanita iblis yang terkenal sebagai datuk kaum sesat ini. Kalau dia dapat menarik wanita ini sebagai pembantu, tentu akan banyak tokoh kaum sesat yang dapat ditariknya untuk membantu tercapainya cita-citanya. "Baiklah kalau begitu, Kiam-mo Cai-li. Mari kita mulai!" "Pangcu, awas serangan pedang payungku!" Kiam-mo Cai-li berseru dan tubuhnya sudah menerjang ke depan, didahului oleh bayangan hitam dari pedang payungnya yang terbuka dan menyembunyikan gerakannya. Ujung payung berbentuk pedang itu menusukkan payung itu sendiri berputar mengaburkan pandangan mata lawan. Namun, dengan tenang saja Kwat Lin menggerakan tangan kirinya, dengan telapak tangan terbuka dia mendorong ke depan sehingga hawa pukulan sinkang yang hebat menyambar dan membuat payung itu seperti tertiup angin keras dan menahan daya serang ujung payung yang seperti pedang, kemudian disusul dengan gerakan tongkat pusaka ditangan Kwat Lin menyambar dari samping dengan dahsyatnya. "Plakk...! Cringggg-cring....!!" Tongkat itu ditangkis, pertama dengan kuku tangan Kiam-mo Cai-li yang hendak mencengkeram dan merampas tongkat, namun tongkat sudah ditarik kembali dan mengirim hantaman dua kali berturut-turut yang dapat ditangkis oleh pedang di ujung payung. Maklum akan kehebatan lawannya, Kiam-mo Cai-li bergerak cepat sekali dan dia sudah mainkan ilmu pedangnya yang luar biasa, yaitu Tiat-mo Kiam-hoat (Ilmu Pedang Payung Besi). Kalau saja kwat Lin belum mewarisi ilmu-ilmu yang amat tinggi tingkatnya dari Pulau Es, tentu dia bukanlah lawan Kiam-mo Cai-li yang lihai sekali itu. Akan tetapi, karena The Kwat Lin kini telah menjadi seorang yang berilmu tinggi, maka dia dapat mengimbangi permainan lawannya dan terjadilah pertandingan yang amat seru dan seimbang. Kiam-mo Cai-li memang luar biasa lihainya. Tidak percuma dia menjadi seorang datuk kaum sesat, seorang tokoh golongan hitam yang ditakuti seperti seorang iblis betina yang kejam dan berilmu tinggi. Tidak hanya ilmu pedangnya yang lain dari pada yang lain, permainan pedang yang gerakan tangannya terlindung dan tersembunyi oleh payung hitam sehingga lebih praktis dan berbahaya daripada menggunakan perisai, akan tetapi di samping ilmu pedangnya ini juga tangan kirinya merupakan senjata yang amat berbahaya dengan kuku-kukunya yang panjang dan mengandung racun. Ini semua masih dilengkapi lagi dengan rambutnya yang hitam panjang, karena rambutnya ini seperti ular-ular hidup, dapat dipergunakan untuk menotok, melecut, atau melibat! Akan tetapi, tidak percuma pula The Kwat Lin pernah menjadi isteri seorang manusia yang disohorkan seperti setengah dewa, yaitu Han Ti Ong yang sukar diukur lagi tingkat kepandaiannya. Tidak percuma selama sepuluh tahun bekas murid Bu-tong-pai ini digembleng di Pulau Es, apalagi telah mewarisi kitab-kitab pusaka Pulau Es yang telah dilarikannya. Yang jelas, dalam hal tenaga sinkang, dia masih menang setinggkat dibandingkan dengan Kiam-mo Cai-li. Tenaga sinkangnya adalah hasil latihan di Pulau Es, maka dia telah dapat menyedot tenaga inti salju, yaitu Swat-im Sin-kang, tenaga sinkang yang mengandung hawa dingin sehingga lawan yang kurang kuat sekali bertemu tenaga akan menjadi beku darahnya. Selain menang dalam tenaga sinkang, juga dasar ilmu silatnya lebih sempurna daripada dasar ilmu silat Kiam-mo Cai-li yang sesungguhnya merupakan gabungan ilmu silat campur-aduk. Demikianlah, pertandingan itu berlangsung sampai seratus jurus lebih dengan amat serunya. Kiam-mo Cai-li menang keanehan senjatanya dan menang pengalaman bertanding akan tetapi kelebihannya ini menjadi tidak berarti karena dia kalah tenaga sinkang sehingga setiap serangan dan desakannya membuyar oleh hawa sinkang dari dorongan telapak tangan The Kwat Lin. Akhirnya, iblis betina ini harus mengakui keunggulan lawan dan dia sebagai seorang ahli maklum bahwa kalau dilanjutkan, salah-salah dia akan menjadi korban hawa Swat-im Sin-kang yang mujijat. Maka dia meloncat ke belakang dan berseru, "Cukup, Pangcu! Kepandaianmu hebat, engkau pantas menjadi Ratu Pulau Es, pantas menjadi ketua Bu-tong-pai dan biarlah aku membantumu dalam kerja sama kita!" Dapat dibayangkan betapa girangnya hati Kwat Lin mendengar ini. Dia lalu menghampiri Kiammo Cai-li, menggandeng tangan wanita itu dan memperkenalkan kepada Swi Liang, Swi Nio, dan Han Bu Ong. Kemudian dia mengajak sahabat baru itu memasuki gedungnya dan sambil menghadapi hidangan lezat kedua orang wanita lihai ini bercakap-cakap dan mengadakan perundingan untuk bekerja sama. Ternyata mereka cocok sekali dan memang keduanya merindukan kedudukan yang mulia dan terhormat, maka dalam perundingan ini. Kiam-mo Cai-li diangap sebagai pembantu utama dan tangan kanan Kwat Lin, bahkan Rawa Bangkai yang terletak di kaki Pegunungan Lu-liang-san itu dijadikan markas kedua di mana kelak akan dilakukan semua pertemuan dan perundingan rahasia. Benar saja seperti yang diharapkan, setelah Kiam-mo Cai-li menjadi pembantunya, banyaklah kaum sesat yang menggabung dan menyatakan suka bekerja sama sehingga biarpun tidak resmi, mulai saat itu The Kwat Lin bukan hanya menjadi ketua Bu-tong-pai, akan tetapi juga diakui sebagai datuk kaum sesat nomer satu! Hubungan rahasia yang diadakan oleh The Kwat Lin dengan para pembesar kota raja menjadi makin luas, dan diam-diam persekutuan ini mulai mengatur rencana pemberontakan untuk menggulingkan Kaisar! Dari para pembesar yang mengharapkan bantuan orang-orang kang-ouw inilah Kwat Lin memperoleh bantuan keuangan sehingga Bu-tong-pai menjadi makin kuat dan wanita lihai ini dapat menarik banyak tenaga bantuan orang pandai dengan mempergunakan uang sebagai pancingan. Keadaan kerajaan Tang di masa itu memang sedang diancam pergolakan hebat. Kaisarnya, yaitu Kaisar Beng Ong, atau yang terkenal juga dengan sebutan Kaisar Hian Tiong. Tak dapat disangkal lagi, di bawah pemerintahan Kaisar Beng ini Kerajaan Tang mengalami perkembangan yang amat pesat sehingga menjadi sebuah kerajaan yang luas sekali wilayahnya. Di jaman pemerintahannya inilah (712-756) di Tiongkok bermunculan sastrawan-sastrawan dan pelukis-pelukis yang menjadi terkenal sekali dalam sejarah, seperti Li Tai-po, Tu Fu, Wang Wei dan lain-lain. Namun, disayangkan bahwa kebijaksanaan Beng Ong dalam mengemudikan roda pemerintahan ini mengalami godaan hebat yang meruntuhkan segala-galanya. Seperti telah terjadi seringkali, di jaman apa pun dan di negara manapun juga, Beng Ong yang hatinya teguh menghadapi godaan segala macam keduniawian, ternyata lumpuh ketika menghadapi seorang wanita! Betapa banyaknya sudah dibuktikan oleh sejarah, betapa pria-pria yang hebat, pandai, gagah perkasa dan kuat hatinya, menjadi luluh dan tak berdaya begitu bertemu dengan seorang wanita yang berkenan di hatinya. Peristiwa itu terjadi dalam tahun 745. Ketika itu, Raja Beng Ong sudah berusia enam puluh tahun lebih. Sebenarnya sudah tua dan sudah kakek-kakek, namun seperti telah terbukti dari jaman dahulu sampai sekarang, laki-laki, betapapun tuanya dalam menghadapi wanita menjadi seperti seorang kanak-kanak yang hijau dan lemah. Seorang di antara banyak pangeran, yaitu putera Kaisar yang terlahir dari banyak selirnya adalah Pangeran Su. Pangeran ini mempunayi seorang isteri yang amat cantik jelita, dan menurut kabar angin, wanita ini cantiknya melebihi bidadari kahyangan. Wanita ini bernama Yang Kui Hui, dan memang wanita ini memiliki kecantikan yang amat luar biasa sehingga terkenal di seluruh penjuru dunia. Ketika Kaisar Beng Ong dalam suatu kesempatan bertemu dan melihat Yang Kui Hui, seketika hati Kaisar tua itu tergila-gila. Ratusan orang selir cantik dan pelayan-pelayan muda dan perawan tidak lagi menarik hatinya dan setiap saat yang tampak di depan matanya hanyalah wajah Yang Kui Hui yang cantik jelita. Akhirnya, Kaisar tidak lagi dapat menahan nafsu hatinya. Dengan kekerasan dia memaksa puteranya sendiri, Pangeran Su, untuk menceraikan isterinya dan mengawinkan pangeran ini dengan seorang wanita lain. Adapun Yang Kui Hui, tentu saja, segera dimasukan ke dalam istana, di dalam kumpulan harem (rombongan selir) di istana. Setelah Yang Kui Hui pada malam pertama melayani Kaisar Beng Ong, bekas ayah mertuanya, sejak saat itulah terjadi lembar baru dalam sejarah Kerajaan Tang. Kaisar Beng Ong yang tadinya giat mengurus pemerintahan, memperhatikan segala urusan pemerintahan sampai ke soal yang sekecil-kecilnya, kini mulai tidak acuh dan menyerahkan semua urusan ke tangan para Thaikam (Orang Kebiri, Kepercayaan Raja) dan para pembesar yang berwenang. Dia sendiri dari pagi sampai jauh malam tak pernah meninggalkan tempat tidur di mana Yang Kui Hui menghiburnya dengan penuh kemesraan. Dalam beberapa bulan saja, selir yang tercinta ini berhasil menguasai hati Kaisar seluruhnya sehingga apa pun yang dilakukan oleh Yang Kui Hui selalu benar, dan apa pun yang diminta oleh selir ini, tidak ada yang ditolak oleh Kaisar tua yang sudah dimabok cinta itu. Yang Kui Hui bukanlah seorang wanita bodoh. Sama sekali bukan. Tentu saja hatinya menaruh dendam kepada kaisar Beng Ong karena dia dipisahkan dari suaminya yang tercinta. Sudah pasti sekali dalam melayani semua nafsu berahi Kaisar tua itu, ada tersembunyi niat yang lain lagi, bukan semata-mata karena dia membalas cinta kasih Kaisar yang sudah tua itu. Dia tidak menyia-nyikan kesempatan amat baik itu. Setelah membuat Kaisar tergila-gila dan seolah-olah bertekuk lutut di depan kakinya yang kecil mungil, mulailah Yang Kui Hui memetik hasil pengorbanan diri dan hatinya. Dia menggunakan pengaruhnya terhadap Kaisar, menarik keluarganya menduduki tempat-tempat penting dalam pemerintahan! Bahkan kakaknya yang bernama Yang Kok Tiong diangkat menjadi menteri pertama dari Kerajaan Tang setelah menteri yang lama dicopot secara menyedihkan oleh Kaisar, tentu saja atas bujukan Yang Kui Hui! Dan masih banyak lagi anggota keluarga selir yang cantik jelilta ini memperoleh kedudukan yang tinggi sekali yang sebelumnya tak pernah termimpikan oleh mereka. Pada jaman itulah muncul seorang yang akan menjadi terkenal sekali dalam sejarah Tiongkok. Orang ini bukan lain adalah An Lu San, seorang yang tadinya dari keturunan tak berarti. An Lu San dilahirkan di Mancuria Selatan, di luar Tembok Besar, yaitu Di Liao-tung. Orang tuanya berdarah Turki dari suku bangsa Khitan, keturunan keluarga yang bersahaja dan terbelakang. Ketika An Lu San menjadi seorang pemuda remaja, sebagai seorang budak belian dia dijual kepada seorang perwira Kerajaan Tang yang bertugas di utara, di Tembok Besar. Mulai saat itulah bintangnya menjadi terang. Sebagai kacung perwira itu, dia ikut pula ke medan perang dan ternyata bocah ini membuktikan dirinya sebagai seorang yang gagah berani dan cerdik sekali, memiliki keahlian dalam pertempuran sehingga beberapa kali dia membuat jasa pada pasukan yang dipimpin oleh majikannya. Maka diangkatlah dia menjadi prajurit dan dalam waktu singkat saja dia membuat jasa-jasa besar sehingga dia diangkat terus, dinaikkan menjadi perwira dan akhirnya, beberapa tahun kemudian setelah dia memenangkan beberapa peperangan melawan musuh dari luar sehingga dia berjasa besar bagi Kerajaan Tang, dia diangkat menjadi jenderal! Mulailah jenderal An Lu Sun ini mendekati Kaisar. Setelah pangkatnya setinggi itu, tentu saja terbuka kemungkinan baginya untuk berhadapan dengan Kaisar yang waktu itu sedang tergila-gila kepada Yang Kui Hui yang telah memperoleh kedudukan tinggi. An Lu San memang seorang yang amat cerdik. Menyaksikan pengaruh dan kekuasaan selir yang cantik jelita itu terhadap Kaisar, dia melihat kesempatan baik sekali untuk mengangkat diri sendiri ke tempat yang lebih tinggi. Dengan sikapnya yang lucu dan ugal-ugalan, pembawaan watak liarnya, dia berhasil menyenangkan hati Kaisar dan memancing kegembiraan Yang Kui Hui sendiri. Selir ini, yang setiap hari harus melayani seorang pria yang sudah tua dan sudah lemah, tentu saja bangkit gairahnya melihat jenderal yang tegap, gembira dan kasar liar itu! Terjadilah "main mata" antara kedua insan ini, dan akhirnya, dengan bujukan dan rayuannya, Yanh Kui Hui memuji-muji kesetiaan dan jasa-jasa An Lu San sehingga Kaisar menjadi semakin suka kepada jenderal ini. Bahkan Yang Kui Hui dengan akalnya yang licik telah mengangkat An Lu San sebagai "putera angkatnya". Hal ini tidak dijadikan keberatan oleh Kaisar, bahkan Kaisar memuji selirnya sebagai seorang selir yang cerdik, selir yang mencinta dan yang setia karena perbuatan Yang Kui Hui itu dianggapnya sebagai taktik selir untuk menyenangkan hati seorang pahlawan sehingga dengan demikian memperkuat kedudukan Kaisar. Kaisar Beng Ong yang terkenal pandai dan bijaksana itu ternyata menjadi lemah tak berdaya, sama lemahnya dengan seuntai rambut lemas hitam dari Yang Kui Hui yang setiap saat dapat dipermainkan oleh jari-jari tangan halus dari selir yang cantik jelita itu. Tentu saja setiap sukses dari seseorang, bail didapatkan dengan jalan apa pun juga melahirkan iri hati kepada orang-orang lain. Biarpun tidak ada yang berani secara terang-terangan menentang selir cantik yang amat dikasihi Kaisar tua itu, namun diam-diam banyak anggauta keluarga kerajaan yang merasa iri hati dan membenci Yang Kui Hui, terutama sekali para selir lainnya yang kini seolah-olah diabaikan oleh Kaisar yang setiap malam selalu dibuai dalam pelukan Yang Kui Hui. Pada suatu malam Kaisar beristirahat di dalam kamarnya sendiri. Betapapun dia tergila-gila kepada Yang Kui Hui, namun karena dia sudah tua sekali, tenaganya tidak mengijinkan dia setiap malam mengunjungi selirnya yang masih muda, penuh nafsu dan panas itu. Malam itu merupakan malam istirahatnya dan dia tidak mendekati selirnya yang tercinta. Tubuhnya terasa lelah setelah sore tadi dia berpesta makan minum dan menikmati tari-tarian yang disuguhkan untuk kehormatan jenderal An Lu San yang datang berkunjung ke istana. Setelah mengijinkan jenderal perkasa itu mengundurkan diri ke kamar tamu yang disediakan, Kaisar yang merasa lelah itu berbisik kepada selirnya tercinta bahwa malam itu dia ingin beristirahat karena merasa lelah, kemudian langsung menuju ke kamarnya sendiri. Menjelang tengah malam, kaisar terbangun dan ternyata yang mengganggu tidurnya adalah seorang selir muda belia yang cantik seperti selir-selir lain. Selir ini bernama Yauw Cui, masih berdarah bangsawan dan termasuk selir termuda sebelum Kaisar mengambil Yang Kui Hui yang merupakan selir terakhir. "Hemmm, apa maksudmu datang mengganggu?" Kaisar berkata, tidak marah karena dia pun pernah mencinta selir yang cantik ini, bahkan tangannya lalu diulur untuk membelai dagu yang berkulit putih halus itu. "Hamba mohon Sri Baginda mengampunkan hamba," selir itu berkata dengan suara agak gemetar, "Sebetulnya hamba tidak berani mengganggu paduka yang sedang beristirahat, akan tetapi...." Kaisar yang tua itu tersenyum dan salah men yangka. Dikiranya selir muda ini merindukan curahan kasihnya karena sudah lama dia tidak mengunjungi kamar selirnya ini dan tidak pula memerintahkan selirnya itu datang melayaninya. "Aihh, manis, naiklah ke sini dan kau pijiti punggungku..." katanya sebagai uluran tangankarena membayangkan hasrat selirnya ini, sudah bangkit pula berahinya. Yauw Cui tidak berani membantah, bangkit dari lantai di mana dia berlutut, dan jari-jari tangannya yang halus mulai menari-nari di atas punggung tua yang pegal-pegal itu. Akan tetapi selir ini berkata lagi, "Rasa penasaran memaksa hamba memberanikan diri mengujungi Paduka. Hamba tidak ingin melihat Paduka yang hamba junjung tinggi ditipu dan dihina orang!" Tangan Kaisar yang mulai membelai tubuh selirnya itu tiba-tiba terhenti dan dengan pandang mata penuh selidik Kaisar Beng Ong bertanya, "Apa maksudmu? Siapa yang berani menipu dan menghinaku?" Yauw Cui menangis dan suara terisakisak dia berkata, "Hamba.... secara tidak sengaja... mendengar .... Angoanswe (jenderal An) berada di dalam kamar.... Yang Kui Hui...." Seketika Kaisar bangkit duduk dengan mata terbelalak. Dengan alis berkerut dia memandang selirnya itu yang masih menangis, hatinya tidak percaya sama sekali karena memang sudah seringkali Yang Kui Hui difitnah orang lain yang merasa iri hati. "Hammm, jangan bicara sembarangan saja terdorong iri hati." "Tidak.... hamba rela untuk dihukum mati, rela diapakan saja kalau hamba membohong.... tidak berani hamba menjatuhkan fitnah.... hamba hanya merasa penasaran melihat Paduka dihina maka hamba memberanikan diri melapor...." "Pengawal....!!" kaisar berseru sambil mendorong selirnya turun dari pembaringan. Pintu terbuka dan enam orang pengawal pribadi meloncat masuk dan langsung berlutut setelah mereka melihat bahwa Kaisar tidak dalam bahaya. Kaisar menyambar jubah luarnya. "Antar kami ke kamar yang Kui Hui." kata Kaisar singkat sambil memberi isyarat dengan matanya agar Yauw Cui ikut pula bersamanya. Pada saat Yauw Cui melapor kepada Kaisar, kamar Yauw Kui Hui sudah gelap remang-remang dan pada saat itu memang selir yang cantik jelita ini sedang bersama An Lu San. Mereka seperti mabok nafsu berahi dan tentu saja segala pertahanan di hati Yang Kui Hui runtuh menghadapi jenderal yang tegap dan gagah perkasa ini, yang masih memiliki sifat-sifat liar dan kasar dari tempat asalnya. Selama tujuh tahun Yang Kui Hui menekan kekecewaan hatinya melayani seorang kakek-kakek lemah. Kini bertemu dengan An Lu San dan berkesempatan menikmati rayuan laki-laki yang jantan dan jauh lebih muda dari kaisar ini, tentu saja dia terbuai dan lupa segalanya. Sesosok bayangan menyelinap ke dalam kamar itu dan berisik di luar kelambu pembaringan. Bisikan itu merobah suasana di dalam kamar itu. Yang Kui Hui dan An Lu San dalam waktu beberapa menit saja telah memakai pakaian yang rapi, duduk menghadapi meja yang diterangi dengan beberapa batang lilin, dan di atas meja terdapat gambar peta daerah utara. Di ujung-ujung Kamar itu terdapat mengawal dan pelayan berdiri seperti patung, hanya memandang saja ketika An Lu San dengan suara lantang sedang menjelaskan tentang situasi dan keadaan pertahanan di perbatasan utara. Demikianlah, ketika Kaisar yang diiringkan Yauw Cui dan para pengawal memasuki kamar itu dengan sikap kasar, dia melihat selirnya yang tercinta itu memang benar duduk berdua dengan An Lu San, akan tetapi bukanlah berjinah seperti yang dilaporkan Yauw Cui, melainkan sedang bicara urusan pertahanan! "Hamba sedang mempelajari keadaan kekuatan pertahanan kita di utara dari An Lu San," antara lain Yang Kui Hui membela diri ketika Kaisar menyatakan kecurigaannya. "Paduka terlalu mempercayai mulut seorang wanita yang cemburu dan iri hati setengah mati kepada hamba." Karena semua pengawal dan pelayan yang berada di kamar itu merupakan saksi yang kuat bahwa selir tercinta itu tidak bermain gila dengan putera angkatnya tentu saja Kaisar menjadi marah kepada Yauw Cui. Selir muda ini mengerti bahwa dia berbalik kena fitnah oleh madunya yang lihai itu, maka maklum bahwa tidak ada lagi harapan baginya, dia menudingkan telunjuknya kepada Yang Kui Hui sambil berteriak nyaring, "Kau Wanita Iblis! Karena engkaulah kerajaan ini akan hancur!" Dan sebelum para pengawal yang diperintah oleh Kaisar yang marah-marah itu sempat menangkapnya, Yauw Cui lari membenturkan kepalanya di dinding kamar itu sehingga kepalanya pecah dan dia tewas disaat itu juga! Tentu saja pada hari berikutnya, ada seorang pelayan yang menerima hadiah banyak sekali dari Yang Kui Hui, yaitu pelayan yang membisikinya semalam sehingga menyelamatkannya. Semenjak peristiwa itu, kepercayaan Kaisar terhadap Yang Kui Hui dan An Lu San makin besar. Tentu saja kesempatan baik ini tidak dibiarkan lewat percuma oleh Yang Kui Hui dan An Lu San yang mengadakan hubungan gelap sepuas hati mereka. Karena pengaruh Yang Kui Hui di depan Kaisar, maka An Lu San memperoleh kehormatan yang besar, bahkan diangkat menjadi Gubernur di Propinsi Liao Tung. Menguasai pasukan-pasukan terbaik dari kerajaan dan menjaga di propinsi yang merupakan perbatasan timur. Kehormatan ke dua diterimanya tak lama kemudian, tentu saja atas desakan dan bujukan Yang Kui Hui yaitu ketika dia dianugrahi gelar Pangeran Tingkat Dua. Kehormatan yang besar sekali karena biasanya, gelar ini hanya diberikan kepada keluarga kerajaan yang berdarah bangsawan! Memang An Lu San seorang yang berasal dari suku bangsa terbelakang, namun dia diberkahi dengan kecerdikan luar biasa. Melihat betapa kaisar bertekuk lutut di depan kedua kaki yang mungil dari selir kaisar Yang Kui Hui, dia mengeluarkan semua kepandaian untuk mengambil hati selir ini dan ternyata semua muslihatnya berhasil baik dan dia memperoleh kedudukan yang tinggi sekali. Akan tetapi, tentu saja banyak pula orang merasa iri hati dan tidak suka kepada An Lu San. Di antara mereka ini adalah kakak kandung Yang Kui Hui sendiri, yaitu Yang Kok Tiong yang menjadi Menteri Pertama. Dengan kedudukanya yang tingi, Yang Kok Tiong melakukan penyelidikan dan ketika dia memperoleh berita bahwa An Lu San mempersiapkan pemberontakan, segera dia berunding dengan Putera Mahkota dan melapor kepada Kaisar. Kaisar tidak percaya dan menganggap pelaporan ini omong kosong belaka, akan tetapi karena para pangeran mendesaknya, akhirnya Kaisar memanggil An Lu San yang merasa keadaannya belum kuat betul untuk memulai pembrontakan yang memang benar telah dipersiapkannya, tidak membantah. Dia menghadap Kaisar dan dengan air mata bercucuran dia memprotes, menyatakan kesetiaanya terhadap Kaisar dan dalam hal ini kembali pengaruh Yang Kui Hui membantunya. Selir ini pun mencela Kaisar yang mudah saja dipermainkan orang yang merasa iri hati bahkan Yang Kui Hui mengambil contoh selir Yauw Cui yang irir hati kepadanya. "hendaknya Paduka ingat bahwa An Lu San adalah seorang pahlawan kerajaan yang jasanya sudah amat besar. Tidak mungkin dia memberontak, dan andaikata dia benar mempunyai niat memberontak tentu dia tidak akan datang memenuhi panggilan Paduka! Kedatangannya ini sudah merupakan bukti akan kebersihan dan kesetiaanya! Kabar tentang niat pembrontakan itu tentu ditiup-tiupkan oleh mereka yang merasa iri hati kepadanya." Seperti biasa, hati kaisar luluh dan lenyaplah semua kecurigaan dan keraguannya. Dia malah menjamu An Lu San dan malam itu dengan amat pandainya An Lu San "membalas budi" Yang Kui Hui, dengan sepenuh hatinya, di dalam kamar selir Kaisar itu, aman karena terjaga oleh orang-orang kepercayaan mereka. Demikianlah, pada saat cerita ini terjadi An Lu San sudah kembali ke utara dengan penuh kebesaran dan kebanggaan, dan diam-diam dia makin mempercepat persiapannya untuk memberontak! Dan demikian pula dengan keadaan kerajaan Tang pada waktu itu. Kelemahan Kaisar yang jatuh di bawah telapak kaki halus dari Yang Kui Hui, menimbulkan ketidakpuasan kepada banyak pembesar sehingga di sana-sini timbul niat untuk memberontak. Kesempatan keadaan yang lemah dari kerajaan Tang inilah dipergunakan oleh The Kwat Lin untuk mulai dengan petualangannya, untuk memenuhi cita-citanya mencarikan kedudukan tinggi untuk puteranya! Pada suatu hari, datanglah seorang utusan dari kota raja mendaki Pegunungan Bu-tong-san, menghadap Ketua Bu-tong-pai. Melihat bahwa utusan ini adalah utusan dari Pangeran Tang Sin Ong dari kota raja, Kwat Lin cepat menerimanya di kamar rahasia. Setelah utusan itu menyampaikan tugasnya dia cepat pergi lagi meninggalkan Bu-tong-pai dan terjadilah kesibukan di Bu-tong-pai. Pangeran Tang Sin Ong, yaitu seorang pangeran di kota raja yang mempersiapkan pemberontakan pula, sebagai saingan besar dari An Lu San, pangeran yang dihubungi oleh Kwat Lin, mengirim berita tentang hari dan tempat di mana Yang Kui Hui akan ikut dengan Kaisar yang hendak berburu binatang dalam hutan, sebuah di antara kesenangan Kaisar. saat inilah yang dinanti-nanti oleh The Kwat Lin dan Pangeran Tang Sin Ong untuk menjalankan siasat mereka yan telah lama mereka rencanakan. Beberapa hari kemudian, tibalah saatnya Kaisar bersama Yang Kui Hui bersenang-senang di dalam hutan di kaki Pegunungan Funiu-san, tidak jauh dari kota raja. Seperti biasa, di waktu mengadakan perburuan ini, tempat itu dijaga oleh para pengawal dan ada pula pasukan yang tugasnya hanya mencari dan menggiring binatang hutan sehingga binatang-binatang yang ketakutan itu menuju ke dekat tempat Kaisar dan Permaisurinya menanti sehingga dengan mudah Kaisar dapat melepaskan anak panah ke arah binatangbinatang itu. Sekali ini, selain beberapa orang pembesar penting, yang menemani Kaisar terdapat juga Pangeran Tang Sin Ong. Seperti biasa, Kaisar dan selirnya yang tercinta menanti di dalam pondok yang memang tersedia di situ, di tengah-tengah hutan. Para pembesar dan Pangeran Tang Sin Ong menanti di luar pondok sambil bercakap-cakap. Mereka menanti sampai datangnya binatang-binatang yang akan digiring oleh pasukan yang sudah menyusup-nyusup ke dalam hutan lebat di depan. para pengawal menjaga di sekeliling tempat itu, pengawal Kaisar dan pengawal Pangeran Tang Sin Ong karena pangeran ini mempunyai pasukan pengawal sendiri. Mereka tidak usah lama menanti. Segera terdengar sorak-sorai dari jauh, makin lama makin mendekat. itulah suara pasukan yang bertugas menggiring binatang hutan menuju ke tempat penyembelihan itu, di mana para pembesar telah menanti dengan gendewa bersama dengan anak panahnya siap di tangan. Mendengar suara ini, kaisar sudah keluar dari pondok sambil tersenyum-senyum gembira membawa sebatang gendewa. Seorang thaikam yang menjadi kepercayan dan pelayannya mengikuti Kaisar sambil membawa tempat anak panah. `Tak lama kemudian, mulailah bermunculan binatang-binatang hutan yang panik ketakutan karena dikejarkejar dan digiring oleh pasukan di belakang mereka yang bersorak-sorai itu. Dan mulailah Kaisar bersama Pangeran Tang Sin Ong dan para pembesar lainnya menghujankan anak panah mereka ke arah binatangbinatang itu. Tidak ada seorang pun melihat ketika dari rombongan pengawal Pangeran tang Sin Ong, seorang pengawal menyelinap kedalam semak-semak, menanggalkan pakaian biasa menyelinap dan memasuki pondok Kaisar dari samping, meloncat masuk dari jendela yang terbuka. Dengan kecepatan kilat, laki-laki setengah tua ini menyergap Yang Kui Hui yang sedang berdiri menonton di ambang pintu depan. Terdengar selir cantik itu menerit, akan tetapi tubuhnya menjadi lemas ketika dia tertotok dan ketika semua orang menoleh medengar jeritan itu, Yang kui Hui telah dipondong dan dibawa lari oleh laki-laki itu. "Penculik.....!" "penjahat....!" "Jangan lepas anak panah, bisa salah sasaran....!!" Tiba-tiba Pangeran tang Sin Ong berseru keras. Mendengar ini, Kaisar yang sudah pucat mukanya cepat berseru, "Benar! Jangan lepas anak panah. Kejar dan tangkap! Selamatkan dia....!" Semua orang, pengawal, pembesar, pangeran tang Sin Ong, bahkan Kaisar sediri, mengejar penculik yang memiliki gerakan yang amat gesit itu. Dengan beberapa loncatan saja penculik itu telah lari jauh sekali. "Cepat kejar.... tolong dia.... ahhhh, Kui Hui....!!" kaisar berteriak dengan muka pucat. Tiba-tiba tampak dua sosok bayangan orang berkelebat menghadang penculik itu. Dari jauh kelihatan jelas bahwa dua orang itu adalah wanita-wanita cantik yang gerakannya cepat luar biasa. Wanita yang lebih tua sudah menerjang maju dan dengan serangan mendadak berhasil memukul roboh penculik dan merampas Yang Kui Hui, kemudian wanita ke dua yang muda dan cantik menggerakan pedangnya menusuk. Terdengar jerit melengking yang nyaring sekali ketika pedang itu menembus dada penculik itu yang berkelojotan, terbelalak dan menudingkan telunjuknya kepada wanita pertama seolah-olah hendak berkata sesuatu, akan tetapi sebuah tendangan yang mengenai kepalanya membuat penculik itu tak dapat bergerak lagi dan tewas seketika! Kaisar dan rombongannya sudah tiba di situ. Dengan tepukan perlahan wanita perkasa yang lebih tua itu membebaskan totokan Yang Kui Hui. Selir ini mengeluh dan menangis sambil menubruk Kaisar yang memeluknya. kaisar memandang kepada dua orang wanita cantik yang sudah berlutut di depan kakinya dengan perasaan bersyukur dan berterima kasih. "Untung sekali kalian berdua yang gagah perkasa datang menolong!" kata kaisar dengan penuh rasa syukur, suaranya masih gemetar karena ketegangan hebat yang baru saja dialaminya. "Siapakah kalian?" "Hamba adalah Ketua Bu-tong-pai bernama The Kwat Lin," berkata wanita cantik itu lalu menuding kepada dara muda yang cantik jelita dan tinggi semampai di sebelahnya, "dan ini adalah Bu Liang-cu murid hamba." "Ahhh, kiranya ketua Bu-tong-pai yang terkenal!" Kata Kaisar sambil tersenyum lebar. "Pantas saja demikian lihai! Kalian telah berjasa, telah menyelamatkan kekasih kami dan membunuh penculik jahat. Kalian pantas diberi hadiah besar." Yang Kui Hui sudah menghentikan tangisnya dan kini dia pun memandang kedua orang wanita itu dengan mata berseri. "Kalian datanglah ke istana, aku akan memberi hadiah kepada kalian." The Kwat Lin menyembah dengan hormat. "Hamba berdua hanya melakukan tugas hamba sebagai rakyat yang setia kepada junjungannya. hamba berdua tidak mengharapkan balas jasa, hanya apabila paduka sudi menerima, biarlah murid hamba ini bekerja sebagai pengawal pribadi paduka. Sekarang banyak orang jahat, tanpa pengawalan yang kuat tentu membahayakan Paduka. Girang bukan main hati Yang Kui Hui. "Baik sekali! Siapa namamu tadi?" tanyakan kepada gadis cantik yang menunduk sejak tadi. Gadis itu kini mengangkat mukannya dan dengan sepasang mata yang bersinarsinar dia menjawab, "Nama hamba Bu Liang-cu. Saking girangnya, yang Kui Hui mencabut tusuk konde dari emas berhiaskan permata dan menghadiakan benda itu kepada The Kwat Lin, dan dia menerima pula gadis murid Bu-tong-pai itu sebagai pengawal pribadinya. Mulai saat ini gadis yang bernama Bu Liang-cu itu ikut bersama rombongan Kaisar, selalu mengawal di belakang Yang Kui Hui, kembli ke istana. Ada pun The Kwat lin segera kembali ke Bu-tongsan dengan hati girang karena siasatnya berjalan dengan baik sekali, sungguhpun untuk itu dia terpaksa harus mengorbankan nyawa seorang anggautanya. Penculik itu bukan lain adalah seorang anggautanya sendiri, seorang bekas penjahat yang memiliki ginkang tinggi. Penculik itu hanya diperintah untuk melarikan diri Yang Kui Hui dengan janji akan dibantunya kalau sampai mengalami bahaya. Akan tetapi, penculik itu baru tahu bahwa dia dikhianati oleh ketuanya sendiri setelah dia roboh dengan pedang menembus dadanya. Baru ia tahu bahwa dia dikorbankan untuk suatu siasat licik dari The Kwat Lin, namun pengetahuan ini tiada gunanya karena dia keburu mati sebelum dapat mengeluarkan suara. Siapakah gadis cantik yang kini menjadi pengawal Yang Kui Hui? Tadinya, untuk tugas ini The Kwat Lin menunjuk muridnya, Bu Swi Nio. Akan tetapi, betapa marahnya ketika dia menghadapi penolakan muridnya! "Teecu tidak berani, Subo. Perintahlah teecu untuk melakukan hal lainnya, biar disuruh membasmi penjahat yang bagaimanapun, biar harus mempertaruhkan nyawa, teecu tidak akan mundur dan pasti akan memenuhi perintah Subo! Akan tetapi ini... ah, teecu tidak mau terlibat dalam.... pemberontakan....." jawab Swi Nio sambil berlutut dan menundukan mukanya. Hampir saja Kwat Lin menampar kepala muridnya itu saking marah dan kecewanya. Dan pada saat itu, Swi Liang yang melihat adiknya terancam bahaya kemarahan subonya, cepat maju dan berkata, "Subo, kalau Moi-moi tidak berani, biarlah teecu melakukannya." "Kau seorang pria.... mana mungkin....?" "Teecu bisa saja menyamar sebagai seorang gadis. Dahulu di waktu kecil seringkali teecu mengenakan pakaian Moi-moi dan bermain-main seperti seorang anak perempuan ." Mendengar ini, Kwat Lin termenung. Betapapun juga dia lebih percaya kepada muridnya dan juga kekasihnya ini. Selama ini, Swi Nio delalu memperlihatkan sikap dingin dan kdang-kadang menentang. Berbeda dengan Swi Liang yang selalu menuruti kehendaknya, bahkan pemuda itu mau pula melayani nafsu berahinya! Pekerjaan yang direncanakan ini amat berbahaya kalau sampai bocor, maka sebaiknya kalau dilakukan oleh orang yang paling dipercayanya. Memaksa Swi Nio amat berbahaya karena siapa tahu kalau-kalau murid perempuan ini akan mengkhianatinya kelak. "Hemm, kita coba saja!" katanya dan setelah melihat Swi Liang berpakaian wanita dan bergaya, Kwat Lin menjadi girang sekali. Agaknya murid itu memang mempunyai bakat sandiwara maka ketika berpakaian wanita dan beraksi, dia sendiri hampir pangling dan mengira bahwa Swi Liang adalah Sawi Nio! Demikian, rencana siasat itu dijalankan dengan baik dan Swi Liang yang menyamar sebagai seorang gadis cantik bernama Bu Liang-cu, berhasil menyusup ke dalam istana sebagai pengawal pribadi dari Yang Kui Hui! Memang itulah tujuan pokok dari siasat Kwat Lin, yaitu memikat hati Yang Kui Hui. Pemikatan dengan jalan menolong selir itu dari bahaya cukup baik, akan tetapi akan lebih berhasil lagi kalau muridnya itu berhasil menjatuhkan hati selir itu dengan ketampanannya! Kalau sampai berhasil Swi Liang menjadi kekasih Yang Kui Hui, hemm, akan mudah saja melakukan gerakan pemberontakan dari dalam! Inilah sebabnya maka dia setuju muridnya itu menyamar sebagai wanita. Dia rela memberikan kekasihnya ini kepada Yang Kui Hui demi tercapainya cita-citanya. Berbeda dengan kakaknya yang telah mabok bujukan gurunya, Swi Nio makin lama merasa makin tidak enak tinggal di Bu-tong-san. Dia sama sekali tidak senang dan hatinya menentang menyaksikan semua perbuatan subonya. Tadinya memang dia rela menjadi murid wanita sakti, karena wanita itu yang menolong dia dan kakaknya, juga yang telah membunuh Pat-jiu Kai-ong musuh besar yang telah membunuh ayah mereka. Akan tetapi semenjak menyaksikan betapa subonya itu menguasai Bu-tong-pai dengan kekerasan, melihat subonya melawan susiok sendiri dan bahkan membuat para tokoh Bu-tong-pai mengundurkan diri dari Bu-tong-pai, hatinya sudah merasa tidak senang. Apalagi melihat masuknya orangorang kasar dan yang dia ketahui adalah bekas-bekas penjahat menjadi anggauta Bu-tong-pai dia merasa penasaran. Semua itu masih ditambah lagi kenyataan yang membuatnya merasa malu dan hina, yaitu melihat kakaknya menjadi kekasih subonya. Seringkali secara diam-diam Swi Nio menasihati kakaknya, bahkan menganjurkan kakaknya untuk bersama dia melarikan diri saja dari Bu-tong-pai, namun semua itu tidak diacuhkan oleh Swi Liang. Swi Nio menderita batin seorang diri, seringkali menangis di dalam kamarnya. Melihat munculnya Kiam-mo Cai-li, hatinya menjadi makin gelisah. Dia dahulu sudah mendengar dari mendiang ayahnya bahwa Kiam-mo Cai-li adalah seorang datuk kaum sesat yang amat kejam. Namun kenyataannya, subonya menjadi sekutu iblis itu, bahkan diakui sebagai pemimpin! Pagi hari itu, setelah merasa kehilangan kakaknya yang pergi tampa pamit bersama subonya dan kemudian melihat subonya pulang sendiri tanpa kakaknya, Swi Nio tak dapat menahan kegelisahan hatinya lagi dan dia memberanikan diri memasuki kamar subonya di mana subonya sedang bercakap-cakap dengan Kiam-mo Cai-li yang kebetulan datang ke Bu-tong-san. "Subo, teecu (murid) tidak melihat adanya Liang-koko yang tadinya pergi bersama Subo selama beberapa hari lamanya. Ke manakah dia, Subo? Apakah yang terjadi dengan kakakku itu?" tanyanya dengan wajah agak pucat karena beberapa malam dia kurang tidur memikirkan kakaknya. The Kwat Lin mengerutkan alisnya. Hatinya memang sudah tidak senang pada muridnya ini, apalagi ketika Swi Nio terang-terangan berani menolak perintahnya sehingga tugas itu digantikan oleh Swi Liang biarpun pemuda itu berhasil baik, betapapun juga The Kwat Lin merasa kehilangan, apalagi di waktu malam yang sunyi dan dingin! "Kau tidak perlu tahu!" jawabnya membentak. "Tapi.... Subo, dia adalah kakak teecu......" Swi Nio membantah. "Hemm, dia bertugas di kota raja. Sudah, pergilah dan jangan kau mengganggu kami yang sedang bicara!" Swi Nio bangkit berdiri dari atas lantai dan memandang gurunya dengan mata terbelalak dan muka pucat. "Jadi....dia.... dia telah menyelundup ke dalam istana....?" The Kwat Lin bangkit berdiri dan menudingkan telunjuknya ke muka Swi Nio sambil membentak marah, "Gara-gara engkaulah! Apa kaukira kalau tidak terpaksa aku suka membiarkan dia melakukan tugas berbahaya itu? Mestinya engkau yang bertugas, akan tetapi engkau telah menolak. Dia seorang murid yang amat baik, tidak seperti engkau yang tak mengenal budi!" Swi Nio membalikan tubuhnya, menutupi muka dan menangis sambil mengeluh, "Liang-koko..... ah, Koko....!" Setelah dara itu berlari pergi, Kwat Lin duduk kembali, wajahnya keruh dan dia mengomel, "Murid yang murtad! Sungguh menjengkelkan saja dia itu!" Kiam-mo-Cai-li tersenyum. "Mengapa pusing-pusing menghadapi seorang gadis seperti itu? Kalau dibiarkan saja, tentu dia akan terus merongrongmu dan boleh jadi kelak akan membahayakan perjuangan kita. Dia harus ditundukkan!" "Hemm, maksudmu menggunakan kekerasan?" "ah, aku mengenal gadis seperti itu. Wataknya keras dan kalau digunakan kekerasan, sampai mati pun dia tidak akan tunduk. Kalau sampai dia mati, amat tidak baik bagi kakaknya yang kita butuhkan tenaganya. Dia harus dilawan dengan cara halus." "Bagaimana maksudmu? Membujuknya?" Kiam-mo Cai-li menggeleng kepalanya. "Dibujukpun takkan berhasil. Akan tetapi sekali dia telah jadi isteri orang, tentu dia akan menurut segala kehendak suaminya." "Ihhh! Aku tidak pernah memikirkan hal itu. Dengan siapa?" "Kita harus cerdik, kita harus memakai siasat sekali tepuk memperoleh dua ekor lalat atau menggunakan pedang yang bermata dua. Di satu fihak, kita harus menyenangkan hati Pangeran Tang Sin Ong yang aku tahu memiliki watak mata keranjang sehingga dia akan tentu berterima kasih sekali kepadamu kalau kau rela memberikan muridmu yang cantik manis itu kepadanya, menjadi seorang selirnya yang tercinta dan dapat diandalkan. Ke dua, kalau muridmu itu sudah menjadi selir Pangeran Tang Sin Ong, tentu dia akan tidak banyak bantahan lagi!" The Kwat Lin mengangguk-angguk dan diam-diam dia memuji kecerdikan temannya ini. "Siasatmu memang baik sekali, Cai-li! Akan tetapi.... biarapun sudah pasti sekali Pangeran akan menerima penawaran ini dengan kedua tangan terbuka, kukira belum tentu Swi Nio akan mau dijadikan selir pangeran itu. Kalau dia menolak, lalu bagaimana?" Kiam-mo Cai-li tertawa. "Hi-hi-hik, tidak usah khawatir, Pangcu. Aku yang tanggung jawab dia tentu tidak akan menolak." Dia lalu mendekatkan mulutnya ketelinga The Kwat Lin berbisik-bisik. Kwat Lin mengangguk-angguk. " Hemm, kalau dia merupakan seorang murid yang baik dan taat, tentu aku tidak tega, akan tetapi.... demi suksesnya perjuangan kita, agar dia tidak menjadi penghalang malah kelak mungkin dapat membantu, biarlah.... kita atur secepatnya agar Pangeran dapat berkunjung ke sini." "Tentu mudah saja dan tidak menimbulkan kecurigaan. Bukankah peristiwa di hutan itu membuat nama Bu-tong-pai terangkat tinggi dalam pandangan kerajaan? Kalau seorang Pangeran berkunjung ke sini, menemui penolong selir Yang Kui Hui, hal itu sudah semestinya! Hi-hi-hik." "Kau memang cerdik sekali, Cai-li!" The Kwat Lin memuji dan kedua orang wanita berkepandaian tinggi itu sambil tersenyum-senyum minum arak wangi yang berada di dalam cawan-cawan perak mereka. Beberapa hari kemudian, sesuai dengan siasat mereka itu, datangalah rombongan tamu agung dari kota raja. Pangeran Tang Sin Ong! Inilah hasil pertama dari siasat The Kwat Lin menolong Yang Kui Hui. Sebelum peritiwa itu, hubunganya dengan pangeran itu dilakukan secara sembunyi dan pertemuan rahasia yang diadakan hanya melalui kurir (utusan). Akan tetapi sekarang, setelah siasat di hutan itu sekaligus mengangkat nama Bu-tong-pai, Pangeran Tang Sin Ong berani datang secara berterang, bahkan sebelum berangkat pangeran itu menerima titipan bingkisan hadiah yang dikirim oleh Yang Kui Hui sendiri melalui pangeran itu. Tentu saja keadaan di Bu-tong-san seperti dalam pesta. Semua anak buah Bu-tong-pai mengenakan pakaian baru dan rombongan tamu agung itu disambut dengan meriah seperti sambutan terhadap seorang pengantin. Dengan penuh kehormatan para tamu agung dijamu di ruangan yang lebar dari Bu-tong-pai, dan pesta pora diadakan diruangan yang biasa dipergunakan untuk Lian-bu-thia (ruang belajar silat). Sambutan resmi dilakukan dan pangeran menyerahkan bingkisan dari Yang Kui Hui dan menyerahkan pula bingkisan dari dirinya sendiri kepada ketua Bu-tong-pai. Malam harinya, sebagai penghormatan khusus, Pangeran Tang Sin Ong seorang diri dijamu oleh The Kwat Lin diruangan dalam dan ketua ini ditemani oleh Kiam-mo Cai-li dan Bu Swi Nio! Dara ini setengah dipaksa oleh subonya untuk menemaninya menjamu pangeran itu dan biarpun di dalam hatinya Bu Swi Nio tidak setuju, namun dia tidak berani membantah. Pula, di dalam hatinya dia ingin sekali mendengar percakapan mereka yang tentu akan menyangkut pula keadaan kakaknya di kota raja. Ketika pengeran ini dipersilahkan duduk menghadapi meja yang sudah penuh hidangan, The Kwat Lin memperkenalkan Kiam-mo Cai-li Liok Si sebagai pemilik istana Rawa Bangkai, dan memperkenalkan muridnya pula Bu Swi Nio sebagai muridnya yang terkasih. Pangeran itu memandang Kiam-mo Cai-li dan Bu Swi Nio, lalu tertawa gembira dan berkata, "Sungguh beruntung sekali Pangcu mendapatkan seorang pembantu seperti Liok Toanio ini yang saya yakin tentu memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dan muridmu ini....aaihh... penerangan ini menjadi makin bercahaya, suasana menjadi makin gembira dan segar, hidangan menjadi bertambah lezat. Sungguh saya merasa berbahagia sekali bahwa Nona Bu suka menemani saya makan minum, untuk ini saya harus menghaturkan arak penghormatan sebagai tiga cawan!" Pangeran itu tentu saja tadinya sudah diberitahu oleh Kwat Lin bahwa ketua ini hendak menghadiahkan muridnya kepadanya. Maka begitu melihat Swi Nio yang masih amat muda dan cantik jelita itu, hati Sang Pangeran sudah jatuh dan gairahnya sudah bernyala-nyala. Wajah Swi Nio menjadi merah padam. Dia merasa malu sekali menyaksikan sikap dan mendengar kata-kata yang penuh pujian ini. Dia tidak biasa berhadapan dengan pria seperti ini. Hatinya berdebar tegang dan khawatir, akan tetapi untuk menolak, tentu saja dia tidak berani. Sambil menunduk dan membisikan kata-kata terima ksih dia menerima tiga cawa arak berturut-turut. Biarpun dia tidak biasa minum banyak arak, akan tetapi terpaksa tiga cawan arak itu diminumnya tanpa banyak membantah. Melihat ini The Kwat lin dan Kiam-mo Cai-li tertawa girang dan dari seberang meja, The Kwat Lin mengedipkan sebelah matanya kepada Sang Pangeran.Tang Sin Ong mengerti akan isyarat ini, maka dia lalu melepas seuntai kalung emas bertaburan permata yang tergantung di lehernya, bangkit berdiri dan mengulurkan kedua tangan yang memegang kalung itu kepada Swi Nio sambil berkata, "Nona Bu, kalung ini sama sekali tidak dapat mengimbangi kecantikan Nona, akan tetapi karena pada saat ini yang ada pada saya hanya kalung ini, maka sudilah Nona menerimanya sebagai tanda penghormatan saya kepada seorang Nona secantik dewi!" Bu Swi Nio terkejut sekali dan cepat dia menoleh kepada subonya. Menurutkan kata hatinya, ingin dia menolak keras dan mencela sikap pangeran yang terlalu berani itu. Akan tetapi dia melihat subonya mengangguk dan berkata, "Swi Nio, Pangeran telah bermurah hati kepadamu, mengapa tidak lekas menerima dan menghaturkan terima kasih?" Bu Swi Nio merasa terdesak dan dengan suara gemetar dia berkata, "Hamba...., hamba...., tidak berani menerimanya....." "Swi Nio....!" The Kwat Lin menegur "Bu Swi Nio, mengapa kau menolak kemurahan hati Pangeran?" Kiam-mo Cai-li juga ikut menegur. Pangeran Tang Sin Ong tertawa. "Ahh, tentu saja Nona Bu merasa malu-malu, tidak seperti gadis-gadis yang haus akan harta benda. Hal ini malah menonjolkan kecemerlangan watak seorang gadis yang cantik jelita dan gagah perkasa! Nona, biarlah aku mengalungkan hadiah ini di lehermu." Berkata demikian, Sang Pangeran lalu bangkit berdiri dan mengalungkan kalung emas itu melingkari leher Swi Nio yang menundukan kepalanya. Karena tak dapat menolak lagi dan kalung yang lebar itu sudah mengalungi lehernya, dengan muka sebentar pucat, Swi Nio menjura, "Banyak terima kasih hamba haturkan..." "Aaaahhh, jangan sungkan-sungkan." Dia tertawa, kedua orang wanita sakti itupun tertawa dan mereka bergantian menyuguhkan arak kepada Sang Pangeran dan juga Bu Swi Nio. "Muridku, karena pangeran telah bermurah hati kepadamu, tidak saja menyuguhkan arak tetapi juga menghadiahkan kalung, mengapa kau tidak bersikap sebagai seorang muridku yang tahu aturan dan mengenal budi. Hayo cepat suguhkan tiga cawan kepada Pangeran sebagai penghormatanmu!" Muka Swi Nio menjadi merah. Dia tidak membantah kebenaran ucapan ini, maka secara terpaksa dia bangkit berdiri, dipandang oleh pangeran yang tersenyum-senyum dan mengelus jenggotnya, menghampiri pangeran dan menuangkan arak ke cawan Sang Pangeran dari guci emas. "Silahkan Paduka minum arak sebagai tanda kehormatan hamba, Pangeran," kata Swi Nio dengan malu-malu. "Ha-ha-ha, terima kasih, Nona. Akan tetapi, aku tidak mau minum kalau tidak aku temani. Hayo untukmu juga secawan!" Kembali Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li ikut membujuk dan terpaksa akhirnya Swi Nio kembali minum tiga cawan arak bersama Sang Pangeran. Karena tidak biasa minum arak, kini diloloh banyak arak yang diamdiam telah dicampuri bubuk putih dilepas secara lihai oleh Kiam-mo Cai-li ke dalan cawan gadis itu, akhirnya Swi Nio menjadi mabok. Dia mulai tersenyum dengan lepas, memperlihatkan deretan gigi yang putih, dan mulai berani mengangkat muka memandang pangeran yang pandai bicara itu. "Ha-ha-ha, setelah ditemani makan minum oleh Nona Bu, aku lupa semua wanita di istanaku! Hemm, bagaimana aku dapat berpisah lagi darimu, Nona?" kata Pangeran itu. Mendengar ini Swi Nio mengerutkan alisnya, akan tetapi karena kepalanya sudah pening dan pandang matanya sudah berkunang, hanya sebentar saja dia merasa betapa kata-kata itu tidak pada tempatnya dan dia hanya tersenyum! "Bu Swi Nio muridku yang baik. Pangeran telah berkenan mencintaimu! Kau akan diambilnya sebagai selir yang tercinta. Cepat kau berlutut dan haturkan terima kasih, muridku." Sepasang mata dara itu terbelalak. "Tidak....! Ah, tidak......!" Terdengar suara pangeran, "Nona, kau cantik sekali.... kau gagah perkasa, aku cinta padamu dan marilah kau ikut bersamaku ke kota ke kota raja. Kau akan menjadi selirku yang paling tercinta, menjdi pengawal pribadiku...." "Tidak....! Ahhh, tidak mau.... oughh.......!" Swi Nio yang tadinya bangkit berdiri serentak itu, tiba-tiba terhuyung dan kembali menjatuhkan diri di atas bangku karena melihat betapa kamar itu berpuatr-putar dan dia merasa seperti terayun-ayun. Karena tidak tahan lagi, Swi Nio merebahkan kepalanya di atas kedua lengan yang berada di atas meja, hanya menggoyang kepalanya tanda menolak. Terdengar olehnya lapat-lapat suara gurunya, "Jangan bodoh, Swi Nio. Engkau akan menjadi seorang nyonya Pangeran yan terhormat, dan di kota raja kau dapat bekerja sama dengan kakakmu........" "aku tidak mau.... ah, tidak mau....." Swi Nio membuka matanya dan melihat wajah yang dekat sekali dengan mukanya. Wajah Sang Pangeran Tang Sin Ong, wajah seorang laki-laki yang cukup tampan gagah, akan tetapi sudah tua, sedikitnya lima puluh tahun usianya. Dia merasa ngeri, takut dan akhirnya dia tidak ingat apa-apa lagi. Obat bubuk yang dicampurkan di raknya oleh Kiam-mo Cai-li telah bekerja dengan baik, dia tertidur dan tidak merasa apa-apa lagi. Swi Nio mengeluh dan mengerang. Dia mimpi. Seolah-olah dia berada di dalam sebuah perahu berdua saja bersama Pangeran Tang Sin Ong. Lalu perahu itu diserang badai, terguling dan dia merontaronta hendak melawan gulungan ombak yang menggelutnya. Namun dia merasa tubuhnya lemas, dia terseret, tenggelam, gelagapan dan seluruh tubuhnya terasa sakit-sakit, kepalanya pening. Sebentar dia timbul, lalu tenggelam lagi, dan lapat-lapat dia mendengar suara Pangeran Tang Sin Ong yang menyatakan cinta kasihnya. Jauh lewat tengah malam Swi Nio mengeluh dan merintih perlahan, lalu membuka matanya Mimpi itu teringat lagi olehnya, membuat dia bergidik ngeri. Untung hanya mimpi, pikirnya ketika dia membuka mata mendapatkan dirinya, telah rebah di atas pembaringannya sendiri di dalam kamarnya. "Ouh....!" Kepalanya masih pening sekali. Dia bangkit duduk dan hampir dia menjerit kaget ketika melihat bahwa dia tidak berpakaian sama sekali! Dia teringat bahwa dia menemani subonya, Kiam-mo Cai-li, dan Pangeran Tang Sin Ong makan minum. Teringat betapa dia terlalu banyak minum dan mabuk. Mengapa dia tahu-tahu berda di pembaringannya tanpa pakaian? Dia memeriksa keadaan tubuhnya, melihat kalung yang masih bergantung di lehernya, dan tiba-tiba tahulah dia akan semua yang telah terjadi atas dirinya! "Keparat....!" Dia bangkit akan tetapi terguling lagi karena selain kepalanya pening sekali, tubuhnya juga panas dan lemas seolah-olah kehabisan tenaga. Dia tidak tahu bahwa itulah pengaruh obat bubuk, racun yang diminumnya bersama arak, yang membuat dia pulas sehingga tidak dapat melawan ketika Pangeran Tang Sin Ong membawanya ke dalam kamar dan menggagahinya. Tiba-tiba pintu kamar terbuka dari luar. Swi Nio menahan napas, mengambil keputusan untuk mengerahkan seluruh tenaganya membunuh Pangeran itu. Dia sudah maklum bahwa dirinya diperkosa Pangeran itu. "Selamat, muridku. Engkau telah menjadi isteri Pangeran! Besok Pangeran Tang Sin Ong akan menjemputmu secara resmi membawanya ke kota raja sebagai selirnya terkasih...." "Tidak sudi! Aku harus membunuhnya!" Swi Nio meloncat turun tanpa mempedulikan tubuhnya yang telanjang bulat, kedua tanganya dikepal. "Plak!" Swi Nio terlempar dan terbanting di atas pembaringannya lagi ketika kena tamparan tangan gurunya. "Swi Nio, apa yang kauucapkan itu? Engkau suka sendiri melayani Pangeran, engkau menerima kalungnya, engkau tersenyum-senyum kepadanya. Setelah engkau dan dia bersenang-senang di dalam kamar ini, semestinya aku mengutukmu. Akan tetapi aku sayang kepadamu, aku tidak marah malah bersyukur bahwa engkau akan menjadi isteri muda seorang pangeran. Dan sekarang kau hendak memberontak? Hendak membikin malu Gurumu? Kau mau membunuh kekasihmu sendiri? Bocah setan tak kenal budi! Kalau tidak aku robah pendirianmu, aku sendiri yang akan membunuhmu! Pikirkan ini baik-baik. Engkau sudah bukan perawan lagi, engkau milik Pangeran Tang Sin Ong!" The Kwat Lin meninggalkan kamar itu dan membanting keras-keras daun pintu kamar. Swi Nio menutupi mukanya dan menangis mengguguk. Tak tahu apa yang harus dilakukannya. Dengan terisak-isak dan jari-jari tangan gemetar dia mengenakan pakaiannya yang bertumpuk di sudut pembaringan. Kepalanya masih pening dan tenaganya habis. Tak mungkin dalam keadaan seperti itu dia melarikan diri. Tentu akan mudak tertangkap kembali oleh gurunya. Melawan pun tidak mampu, apa lagi dia benar-benar merasa seperti tidak bertenaga lagi. Apa lagi hendak membunuh pangeran itu yang selalu terkawal kuat! "Ta Tuhan....!" Dia menangis lagi sesenggukan. "Ayah.... Koko...., apa yang harus kulakukan......?" Dia sudah ternoda. Mau atau tidak, dia harus menjadi selir Pangeran itu. Dia tidak sudi! Lebih baik mati! Mati!! Ya, matilah jalan satu-satunya, demikian pikiran yang ruwet itu mengambil. Dirabanya ikat pinggangnya. Tidak, dia seorang gadis gagah perkasa, tidak semestinya mati menggantung diri seperti wanita-wanita lemah. Dihampirinya pedangnya yang tergantung di dinding. Biarpun tangannya gemetar dan tidak bertenaga dipaksanya tangan itu mencabut pedangnya, lalu sambil memejamkan matanya, dia mengayun pedang itu ke lehernya. "Plakkkk!!" Lengan kanannya dipegang orang dan pedang itu dirampasnya. Tadinya dia mengira bahwa subonya yang mencegahnya membuuh diri, maka dia terisak dan membalik. Betapa kagetnya ketika dia melihat bahwa yang mencegahnya membunuh diri itu adalah seorang laki-laki muda, paling banyak tiga puluh tahun usianya. Laki-laki ini tersenyum, wajahnya cukup tampan dan membayangkan kegagahan. "Membunuh diri bukan perbuatan seorang gagah." Bisik laki-laki itu. "Kalau sudah mati, mana mungkin dapat menghilangkan penasaran? Kalau masih hidup, selalu terbuka harapan untuk membalas dendam!" Ucapan ini menyadarkan Swi Nio. "Siapa kau....?" "Ssssttt...., bisik pula laki-laki itu. "Aku seorang mata-mata yang dikirim oleh Jenderal An Lu San. Nona, daripada engkau membunuh diri, mari kubantu kau keluar dari tempat ini dan kau ikut bersamaku. Dengan bekerja untuk An-goanswe, kelak kau berkesempatan untuk membalas kepada semua orang yang telah mendatangkan malapetaka ini kepadamu." Seperti kilat masuknya pikiran ini ke dalam kepala Swi Nio. Mengapa tidak? Mati bukan merupakan jalan yang memecahkan persoalan! Dia harus membalas kepada Pangeran itu! Dan kini, dia dapat menduga bahwa dia tentu pingsan karena pengaruh obat dari Kiam-mo Cai-li. Dia tahu bahwa wanita itu adalah seorang ahli tentang racun. Kini dia mengerti semua. Dia sengaja dikorbankan oleh gurunya dan oleh wanita iblis itu, seperti seekor domba yang sengaja dikorbankan menjadi mangsa serigala, Si Pangeran itu! Dendamnya bertumpuk, kini terbuka jalan baginya, perlu apa mengambil jalan pendek membunuh diri? "Baik, mari ikut aku...." bisiknya dan dengan berindap-indap Swi Nio mengajak laki-laki itu melalui jalan rahasia dan akhirnya, menjelang pagi, mereka berdua berhasil keluar dari tembok pagar Butong- pai. "Haiii....!!" tiba-tiba terdengar bentakan dan lima orang anggauta Bu-tong-pai muncul dari tempat penjagaan tersembunyi. Akan tetapi ketika mereka melihat Swi Nio, mereka terheran-heran, memandang kepada gadis itu lalu kepada orang asing yang keluar dari jalan rahasia bersama murid utama ketua mereka. Malam itu memang banyak datang tamu dari kota raja yang ikut dalam rombongan Pangeran, maka mereka mengira bahwa tentu orang ini adalah anggauta rombongan pula. Akan tetapi sepagi itu, masih gelap, apakah yang akan dilakukan tamu ini bersama Swi Nio keluar dari Bu-tong-pai dengan diam-diam?" Tiba-tiba terdengar teriakan berturut-turut dan lima orang itu roboh dan tewas seketika. Mereka hanya mampu satu kali saja mengeluarkan teriakan karena tenggorokan mereka hampir putus disambar jari-jari yang amat kuat dari mata-mata itu yang bergerak dengan cepat luar biasa menyerang mereka. Melihat kelihaian orang itu, Swi Nio tercengang. Dia makin kagum. Kiranya mata-mata ini bukan orang biasa dan andaikata ketahuan pun akan merupakan lawan tangguh, sungguhpun tentu saja dia sangsi apakah orang ini akan mampu lolos kalau Kiam-mo Cai-li dan subonya turun tangan. "Mari cepat....!" Orang laki-laki itu berkata dan melihat keadaan Swi Nio yang masih lemas, dia tanpa ragu-ragu lagi lalu menyambar tubuh gadis itu, dipanggulnya dan berlarilah dia dengan amat cepatnya meninggalkan tempat yang berbahaya baginya itu. Gadis bernama Liang-cu yang sebenarnya adalah penyamaran Bu Swi Liang, bekerja di dalam istana sebagai pengawal pribadi Yang Kui Hui. Dia bertugas memikat hati selir Kaisar yang cantik jelita ini. Dapat dibayangkan betapa tersiksa hati pemuda itu menyaksikan semua yang terjadi di dalam kamar Yang Kui Hui, melihat selir yang cantik jelita itu beristirahat, mandi, berganti pakaian dan lain-lain di depan matanya begitu saja karena dia dianggap wanita pula! Betapa tersiksa hati orang muda ini hidup di antara wanita-wanita cantik, yaitu para pelayan Yang Kui Hui. Di istana bagian puteri ini tidak ada prianya, karena para thaikam yang bertugas di situ biarpun kelihatan seperti orang pria, namun sesunguhnya tidak lagi dapat disebut sebagai pria. Swi Liang adalah seorang pemuda yang sedang berkobar nafsunya karena Bu-tong-san dia diseret ke dalam kekuasaan nafsu berahi oleh subonya sendiri. Sebagai seorang pemuda yang baru gila berahi, kini berada ditengah-tengah para wanita cantik itu, tentu saja dia tidak kuat bertahan terlalu lama. Untuk melakukan tugasnya memikat Yang Kui Hui, dia belum berani karena kesempatanya belum tiba. Dia tidak berani bersikap kasar dan membuka rahasia penyamarannya begitu saja. Karena sekali gagal, dia tentu akan mati konyol. Akan tetapi untuk menunda lebih lama lagi menguasai nafsunya, dia tidak sanggup! Akan tetapi, Swi Liang menahan gelora hatinya sedapat mungkin. Dia harus bersabar menanti kesempatan baik. Tugasnya amat penting bagi perjuangan subonya Sama sekali tidak boleh gagal karena taruhannya adalah nyawanya. Pada suatu senja belasan hari kemudian Swi Liang diperbolehkan mengaso karena malam itu kaisar akan mengunjungi selirnya yang tercinta dan tempat itu penuh dengan pengawal-pengawal pribadi Kaisar sendiri. Swi Liang lalu mengundurkan diri ke dalam kamarnya, sebuah kamar yang amat indah dan berdekatan dengan kamar para pelayan utama atau pelayan pribadi selir Kaisar itu. Selagi duduk melamun sendiri di dalam kamarnya, mencari akal bagaimana untuk memulai tugasnya, merayu dan memikat Hati Yang Kui Hui, dia membayangkan keadaan selir itu dan jantungnya berdebar penuh nafsu dan gairah. Selir itu memang cantik luar biasa, dan ketika mandi atau bertukar pakaian, dia dapat menyaksikan seluruh bagian tubuh yang padat dan amat menggaerahkan itu. Pernah dia membantu pelayan menyelimutkan kain setelah selir itu mandi dan jari-jari tangannyamenyentuh kulit yang halus, lunak, dan hangat, dan tercium olehnya bau semerbak harum dari tibuh selir itu. Keharuman yang khas dan alangkah jauh bedanya antara kecantikan dan tubuh indah selir itu dibandingkan dengan subonya! "Enci Liang-cu! kenapa melamun saja?" Seorang gadis cantik berbaju hijau menegurnya sambil tertawatawa, di belakangnya masuk pula seorang gadis cantik berbaju merah. Mereka itu adalah dua orang pelayan pribadi Yang Kui Hui, dua orang gadis cantik jelita yang genit-genit "Ah, Enci Liang-cu orangnya pendiam amat sih, tidak mau bersendaugurau dengan kami? Swi Liang tersenyum menekan jantungnya yang berdebar-debar dan menahan matanya agar jangan terlalu melotot melahap kecantikan dua orang gadis itu. "Ahh, aku lelah dan sedang beristirahat. Jarang ada kesempatan beristirahat seperti ini...." kata Swi Liang. "Mari temani kami main thio-ki (kartu) di kamarku, Enci Liang-cu!" kata Si Baju Hijau. "Ya, marilah, Enci Liang-cu. Tidak enak hanya bermain berdua. Marilah, sambil kita berkenalan lebih erat lagi. Kenapa sih? Bukankah kita ini rekan-rekan yang berkerja di sini?" kata Si Baju Merah sambil menarik tangan Swi Liang. Tak dapat Swi Liang menolak karena hal ini mendatangkan kecurigaan apalagi memang dia sudah rindu sekali akan sentuhan tangan wanita cantik setelah belasan hari berpisah dari subonya. Kedua orang gadis itu tertawa-tawa, menggandeng kedua tangan Swi Liang dan membawanya kedalam kamar Si Baju Hijau yang berbau harum. Sebuah meja bundar rendah telah dipersiapkan di tengah kamar, di dekat pembaringan di sekeliling meja itu terdapat tikar yang ditilami kasur dan bantal. Selain kartu untuk main, juga di atas meja terdapat seguci arak wangi dan cawan-cawan kecil, juga beberapa macam kuih kering. "Duduklah, Enci Liang-cu. Mari kita, main-main. kau bermalam saja di sini malam ini, ya?" Si Baju Hijauberkata sambil merangkul. "Dan tubuhmu begini tegap dan kelihatan kuat, Enci Liang-cu," kata Si Baju Merah memegang-megang lengan pemuda itu. "Aihhh, tangan Enci Liang-cu kuat dan kasar!" kata Si Baju Merah menghelus telapak tangan pemuda itu. Swi Liang menarik tangannya. "Aahh, aku sejak kecil berlatih silat. Tentu saja aku seorang gadis yang kasar, mana bisa dibandingkan dengan kalian yang halus mungil?" "Hi-hik, kau terlalu memuji, Enci!" kata Si Baju Merah sambil mencubit paha Swi Liang. "Kalau engkau menjadi seorang laki-laki, tentu tampan dan gagah, Enci Liang-cu!" kata Si Baju Hilau. Dapat dibayangkan betapa tubuh Swi Liang terasa panas dingin menghadapi godaan-godaan ini, maka cepat-cepat mengajak mereka bermain kartu, karena kalau dilanjutkan godaan mereka itu, tentu dia takkan kuat lagi bertahan! Sudah timbul keinginan keras di hatinya untuk merangkul dan mendekap mereka, menciumi bibir yang merah dan lincah itu! "Eh, untuk apa arak ini?" katanya setelah Si Baju Merah menuangkan secawan arak yang berbau wangi. "Hi-hik, bermain thioki tanpa taruhan tidak menyenangkan. Siapa kalah harus menebus kekalahannya dengan minum secawan arak wangi!" kata Si Baju Hijau. Meeka mulai bermain thioki sambil bercakap-cakap dan bersendau gurau, atau lebih tepat lagi, kedua orang gadis itu yang bercakap-cakap dan bersendau gurau sedangkan Swi Liang hanya mendengarkan dan kadang-kadang tersenyum saja. Karena dia tidak ingin dilolohi arak sehingga rahasianya dapat terbuka, maka Swi Liang bermain sungguh-sungguh sehingga dia jarang kalah dan yang kebagian minum arak adalah kedua orang gadis itulah! Mereka bermain terus sampai menjelang tengah malam dan akhirnya arak dalam guci kecil itu habis! "Ahhh, hawanya panas sekali ....!" kata Si Baju Hijau. "Bukan panas, hanya engkau terlalu banyak minum maka terasa panas, " kata Swi Liang. "Hemm, mungkin... aihhh, gerahnya." Si Baju Hijau membuka kancing bajunya dan mengebut-ngebut dengan kipas. Swi Liang menelan ludah, matanya memandang ke arah dada yang hanya tertutup pakaian dalam yang tipis sehingga membayangkan tonjolan-tonjolan yang memikat hati. Karena pandang matanya selalu tertarik ke arah dada Si Baju Hijau, maka permainan Swi Liang menjadi kalut dan sekali ini dia kalah. Akan tetapi arak telah habis! "Wah, Enci Liang-cu jarang kalah, sekarang telah kalah araknya habis. Mana dia bisa menebus kekalahannya?" kata Si Baju Merah cemberut. "Hi-hik, kalau arak habis dia harus membayar dengan ciuman!" kata Si Baju Hijau. "Hi-hi-hik, benar! Dia harus didenda dengan ciuman dan mulai sekarang, taruhannya dirobah. karena arak habis, siapa kalah harus membayar dengan ciuman!" kata Si Baju Merah. Kedua orang gadis itu dari kanan kiri lalu menyerbu dan mencium pipi Swi Liang dengan hidung mereka. Swi Liang memejamkan kedua matanya! "Eh.... eh...., kalian ini bagaimana? Ihh... malu, kan....?" katanya gelagapan. "Enci Liang-cu, mengapa kau begitu kejam? Kita bertahun-tahun dikurung di tempat ini dan hanya dapat menyaksikan orang lain bermain cinta. Bertemu dengan pria pun merupakan hal yang tak mungkin bagi kita. Apa salahnya di antara kita saling menghibur dan saling mencumbu? Sekedar menghilangkan rindu......" kata Si Baju Merah. Permainan dilanjutkan dan makin lama Swi Liang makin terseret oleh gelora nafsu berahinya sendiri. Ketika dia menang dan harus mencium, dia tidak mencium seperti biasa dengan hidung kepipi, melainkan mencium mulut dua orang gadis itu dengan mulutnya! Dua orang gadis itu mengeluh dan balas mencium sehingga tanpa diperintah lagi permainan kartu itu bubar dan dilanjutkan dengan permainan saling mencumbu, saling peluk dan saling cium antara tiga orang itu! "Aihh, Enci Liang-cu.... kau hebat sekali ....." keluh Si Baju Hijau. "Enci Liang-cu.... kalau saja engkau seorang pria....." bisik Si Baju Merah "Kalian senang?" Swi Liang berkata, terengah-engah sedikit. "Matikanlah lampunya, barangkali di dalam gelap aku akan dapat pian-hoa (bermain rupa) menjadi pria, siapa tahu?" Sambil terkekeh genit, Si Baju Hijau meniup pandam lampu di meja dan mereka bertiga pindah ke pembaringan, melanjutkan permainan mereka yang mengasyikkan hati mereka itu. Mereka merasa semakin bebas setelah keadaan di dalam kamar itu menjadi gelap, mereka dapat mencurahkan seluruh nafsu mereka tanpa malu-malu lagi. Tak lama kemudian terdengar jerit tertahan, disusul teriakan-teriakan yang lebih menyerupai bisikan kaget bercampur girang, "Eh... kau...?" "Hemm, diamlah sayang....." terdengar suara Swi Liang dan selanjutnya kamar itu sunyi, tidak terdengar keras lagi sehingga kalau didengar dari luar kamar, seolah-olah tiga orang "gadis" itu sedang tidur pulas, padahal tentu saja keadaanya jauh dari pada itu, bahkan sebaliknya. Menjelang pagi, terdengar suara Si Baju Hijau, suara yang berbisik dan agak serak karena semalam tidak tidur rupanya, "...engkau.... setiap malam harus menemani kami.... ya, koko yang baik?" "....harus, kalau tidak.... hemm, kami akan melaporkan bahwa kau adalah seorang pria sejati......" bisik pula Si Baju Merah dengan nada manja mengancam. Sunyi mengikuti kata-kata bisikan itu, kemudian terdengar jerit tertahan dan tak lama kemudian, tampak Swi Liang dalam pakaian seperti liang-cu, meloncat keluar dari dalam kamar itu memondong tubuh dua orang pelayan itu yang sudah menjadi mayat! Dengan tergesa-gesa Swi Liang membawa dua mayat itu ke kebun, menggali lubang, mengubur dengan cepat sekali, kemudian kembali ke kamarnya dengan badan penuh keringat dan muka pucat. Akan tetapi hatinya lega dan diam-diam dia menyesali perbuatannya sendiri. Mengapa dia begitu lemah sehingga tidak dapat menahan diri terjatuh ke dalam rayuan dua orang gadis cantik itu? Dia terpaksa membunuh mereka, sungguhpun hal itu dilakukannya dengan perasaan penuh penyesalan. Tugasnya lebih penting dan kalau sampai gagal, dia akan tewas, akan mati konyol. Dengan membuka rahasianya kepada dua orang gadis itu, keadaannya tentu saja terancam hebat. Belum apa-apa dua orang gadis itu telah "memerasnya" untuk setiap malam melayani mereka dengan ancaman akan dibuka rahasianya! Tentu saja dia terpaksa harus membunuh mereka demi keselamatan dirinya sendiri. Lenyapnya dua orang pelayan itu hanya menimbulkan sedikit keributan di istana bagian puteri. Betapapun juga, mereka itu hanyalah dua orang pelayan dan akhirnya Yang Kui Hui hanya memerintahkan para pengawal untuk melakukan pengejaran karena dikira bahwa mereka itu tentu melarikan diri, dan kalau sampai dapat ditangkap agar supaya dijatuhi hukuman berat. Mengertilah kini Swi Liang bahwa dia harus cepat-cepat turun tangan kalau tidak mau terjadi gangguan lain lagi. Mulailah dia mendekati Yang Kui Hui, membantu pada setiap kali ada kesempatan, membantu para pelayan yang memandikan selir jelita itu, menggosok punggungnya, mengeringkan tubuhnya dan mengenakan pakaiannya. Bahkan pada suatu malam, ketika Yang Kui Hui merebahkan diri seorang diri dengan mata merem melek seperti seekor kucing malas, ia mendekatinya, berlutut dan menggunakan tangannya untuk memijit-mijit kaki selir itu dengan perlahan, meniru perbuatan pelayan yang suka memijit tubuh selir itu. Jantungnya berdebar keras sekali. Nafsu hatinya ditekannya keras sekali dia merasa betapa api berahi telah membakar dadanya dan api itu menyala dari ujung jari tangannya yang bersentuhan dengan kulit kaki yang halus lunak dan hangat. "Ehhmmm...." Yang Kui Hui menggeliat seperti seekor kucing dan membuka sedikit matanya untuk melihat siapa yang memijit kakinya. Matanya terbuka agak lebar dan tersenyum. "Aihhh, kiranya engkau, Liang-cu? Engkau pandai pula memijit? Ahhhh, tanganmu kuat sekali, nah, kaulanjutkanlah, tubuhku memang sedang pegal-pegal....." Dan selir itu sudah memejamkan matanya kembali rebah terlentang di depan Swi Liang. Pemuda itu melanjutkan pekerjaannya memijit betis mengendurkan urat yang kaku dan pandang matanya melahap wajah yang menengadah itu. Betapa cantik jelitanya, demikian rangsangan hatinya. Rambut yang hitam agak mengeriting itu terurai di atas bantal, anak rambut yang melingkar-lingkar menghias dahi dan pelipis sampai ke bawah telinga. Dahi yang melengkung halus sekali seperti lilin diraut, berkulit putih bersih itu nampak makin putih terhias anak rambut yang menghitam dan sepasang alis yang hitam sekali melengkuk seperti dilukis, melindungi mata yang terpejam sehingga tampak bulu mata yang panjang. Bayangan bulu mata menggelapkan pipi sebelah atas, menyembunyikan warna kemerahan yang menyegarkan. Hidung yang mancung, dengan dua cuping hidung yang tipis, agak bergerak terdorong napas yang keluar masuk, dan dibawah hidung itu, sepasang bibir yang kemerahan dan agak basah, kelihatan menebal sebelah bawahnya karena selir itu tersenyum, sebuah lesung pipit menghias di ujung mulut sebelah kiri. Manis dan cantik jelita! Kemudian leher itu, dan dada itu, pinggang itu....! Swi Liang menelan ludahnya berkali-kali dan jari-jari tangannya yang memijit kaki itu agak menggigil. Agaknya Yang Kui Hui dapat merasakan tangan yang menggigil ini, maka dia membuka sedikit matanya dan bertanya, "Ada apakah Liang-cu? Tanganmu gemetar..." "Ahhh.... tidak apa-apa, hanya.... paduka demikian cantik jelita..... hamba sampai merasa terharu memandangi Paduka....." "Aihhh...., hi-hik, kau aneh, Liang-cu Coba kau tutup dan kunci pintu kamar itu, dan beritahukan kepada penjaga di luar bahwa aku tidak ingin diganggu malam ini, hendak beristirahat. Oya, suruh penghubung pelaporkan kepada Sri Baginda tidak datang ke kamarku. Setelah itu, kautemani aku di sini, pijati tubuhku sampai aku tidur." Dengan jantung berdebar penuh ketegangan dan gairah, Swi Liang mentaati perintah itu. Setelah selesai dan dia sudah menutupkan dan memalang daun pintu sehingga mereka hanya berdua saja di dalam kamar yang mewah dan harum itu, Swi Liang segera berlutut lagi di depan pembaringan dan melanjutkan pekerjaannya memijit betis yang berdaging gempal, lunak, halus dan hangat itu. "Nanti dulu, Liang-cu. Coba kaubantu aku membuka pakaian luarku. Setelah pintu ditutup, kamar ini menjadi agak panas...." kata Yang Kui Hui sambil bangkit duduk di atas pembaringannya yang bertilam sutera merah berkembang. Swi Liang tidak mampu menjawab karena merasa lehernya seperti tercekik. Dengan jari-jari tangan gemetar dia membantu puteri itu membuka pakaian luarnya sehingga kini Yang Kui Hui hanya memakai pakaian dalam yang amat tipis dan tembus pandang sehingga terbayanglah lekuk lengkung yang amat menggairahkan. Begitu pakaian luarnya dibuka, Swi Liang memejamkan mata sebentar sambil menarik napas panjang. Tercium olehnya bau harum yang memabukan, keharuman yang membuat selir Kaisar itu terkenal sekali si samping kecantikannya yang sukar dicari bandingnya. "Hi-hik... mengapa kau seperti patung dan memejamkan matamu, Liangcu?" Suara terkekeh halus dan teguran itu menyadarkan Swi Liang yang segera membuka matanya. "Ampunkan hamba.... hamba.... silau, seolah-olah melihat bidadari turun dari langit...." Selir Kaisar itu tertawa senang. "Aihh, kata-katamu seperti seorang laki-laki saja! Hayo pijiti aku lagi dan jangan bersikap seperti orang gila!" Swi Liang segera melakukan perintah ini dengan penuh gairah. Jari-jari tangannya kembali memijit betis dan paha, makin ke atas makin tersiksalah hatinya apalagi mendengar puteri itu terkekeh kegelian. "Hi-hi-hik, kau begitu kuat, jari tanganmu juga tegang dan kuat seperti tangan laki-laki membelai....!" Yang Kui Hui membalikan tubuhnya dan kini rebah terlentang, karena pakaian dalam yang tipis itu tersingkap membuat Swi Liang hampir tidak kuat menahan lagi. Cahaya kemerahan dari lampu merah di dalam kamar membuat tubuh yang membayang di balik pakaian tipis itu seolah-olah telanjang bulat di depannya! "Nah kau pijiti pahaku, pegal-pegal rasanya. Akan tetapi jangan kuat-kuat, perlahan saja, Liang-cu." Dapat dibayangkan betapa tersiksa hati seorang pemuda yang sudah menjadi lemah karena dikuasai nafsu berahi seperti Swi Liang menghadapi Yang Kui Hui yang tanpa disengaja telah menimbulkan godaan dan tantangan yang demikian menggairahkan hati pria. Namun tentu saja Swi Liang tidak berani bertindak sembrono, dan sambil menguatkan hatinya dan menundukan mukanya yang menjadi merah, menyembunyikan dadanya yang bergelombang dengan menunduk dan menahan nafsunya yang memburu, dia memijit paha yang gempal itu dan jari-jari tangannya seolah-olah bertemu langsung dengan kulit paha karena hanya tertutup sutera tipis. Setiap sentuhan jarinya seolah-olah mendatangkan aliran hawa panas yang menjalar naik ke dada dan kepala melalui lengannya. Makin lama dia makin gelisah, tubuhnya panas dingin dan sama sekali dia tidak berani memandang wajah puteri itu karen takut kalau-kalau Sang Puteri marah. Betapapun nafsu berahi telah menyundul sampai ke ubun-ubunnya, namun Swi Liang tidaklah demikian nekat untuk berani bertindak kurang ajar, tidak berani melakukan langkah pertama dan hanya menanti uluran tangan Sang Puteri, karena dia maklum bahwa sekali keliru bertindak tebusannya adalah nyawanya di samping kegagalan tugasnya. "Kau memang aneh, Liang-cu. Benar kata-kata beberapa orang pelayan yang selama ini tidak kau perhatikan. Sekarang baru aku melihat sendiri. Kau seorang gadis yang aneh. Apakah seorang gadis kalau sudah mempelajari ilmu silat tinggi lalu berubah sifatnya, menjadi kejantan-jantanan? Kau patut menjadi seorang laki-laki. Suaramu agak berat, gerak-gerikmu kaku, tanganmu kuat dan kasar, dan pandang matamu..... hemmm..... engkau seolah-olah hedak menelanku bulat-bulat setiap kali kau melihatku! Hi-hik, aku sampai merasa sungkan dan malu!" Swi Liang terkejut sekali, akan tetapi sambil membungkuk rendah dia berkata dan berusaha sedapatnya untuk meningikan nada suaranya, "Harap Paduka ampunkan semua kekurangan hamba." "Ah, tidak apa-apa, Liang-cu. Engkau sudah berjasa besar, dan....hem..... keadaanmu yang kejantanjantanan itu bukanlah hal yang tidak menyenangkan. Sayang sekali, kau seorang wanita dan sifat kejantananmu hanya karena kau seorang gadis kang-ouw yang berkepandaian silat tinggi. kalau engkau seorang pria sejati, hi-hik, betapa lucunya...... tentu akan lebih menyenangkan hatiku....." Seketika terhenti jari-jari tangan yang tadi menari-nari dan memijiti paha kenyal itu. Jantung Swi Liang seperti berhenti berdetak mendengar ucapan Sang Puteri, kemudian berdebar-debar dengan kerasnya sehingga suara detak jantungnya memasuki kedua telinganya dengan amat nyaring. Kesempatan baik telah terbuka! Selir jelita ini telah membuka rahasia hatinya! Begitu menantang, seperti setangkai bunga yang tinggal memetik saja, tinggal mengulur tangan dan akan terpenuhilah kedua cita-citanya, yaitu menikmati tubuh yang telah membuat tergila-gila ini dan sekaligus menyempurnakan tugasnya memikat hati Yang Kui Hui demi suksesnya siasat yang sedang dilakukan oleh subonya! Tiba-tiba Swi Liang berlutut dan menempelkan dahinya di lantai dekat pembaringan. "Hamba.... hamba rela mengorbankan nyawa demi Paduka, dan hamba siap sedia melalukan apa saja untuk menyenangkan hati Paduka. Akan hamba lakukan dengan taruhan nyawa dan hamba siap menanti perintah Paduka...." "Hi-hik, Liang-cu. Engkau memang aneh. Betapapun juga, mana mungkin engkau menjadi laki-laki sejati?" "Kalau Paduka kehendaki, pasti dapat terjadi. Perintah Paduka merupakan keputusan bagi hamba, seperti perintah dari langit." Yang Kui Hui menjadi terheran-heran dan bangkit duduk, membiarkan pakaian dalamnya tersingkap lebar, tidak hanya pada pahanya, akan tetapi juga pada pundaknya sehingga setengah dadanya tampak jelas, putih halus membusung. "Apa....,apa maksudmu, Liang-cu?" "Hamba telah mempelajari ilmu kesaktian dari Subo, sehingga kalau Paduka menghendaki, hamba dapat pian-hoa (mengubah diri) menjadi seorang pria sejati. " Ehhh...?" Mata yang bening indah itu terbelalak, mulut yang kecil itu ternganga sehingga bibir merah membasah itu membentuk lingkaran memperlihatkan lidah yang meruncing merah dan rongga mulut yang lebih merah lagi terhias deretan gigi seperti mutiara. Sinar mata Yang Kui Hui menjelajahi tubuh pembantunya yang berlutut itu, akhirnya dia dapat berkata, "Benarkah itu? Suguh aneh dan luar biasa! Coba kaubuktikan omonganmu, Liang-cu. Coba kau pian-hoa menjadi seorang pria!" Swi Liang menekan jantungnya yang berdebar tegang, mengangkat mukanya dan berkata, "Hamba.... hamba .... mana berani kurang ajar....?" "Lakukanlah! ini merupakan perintah. Berdirilah dan pian-hoalah!" Yang Kui Hui berkata penuh nafsu karena dia ingin sekali menyaksikan apakah benar gadis ini dapat pian-hoa menjadi pria, hal yang hanya pernah didengar dalam dongeng kuno saja. "kalau Paduka memerintahkan, hamba tidak berani membantah." Swi Liang lalu bangkit berdiri dan membungkuk. "Maafkan hamba...." Dia lalu melepas gelung rambutnnya, menggosok bedak dan yanci dari mukanya, kemudian dengan wajah merah berseri dia berkata, "Hamba telah berubah menjadi seorang pria." Suaranya kini besar, suara seorang laki-laki tulen! Yang Kui Hui memandang terbelalak. "Aihhh, mana aku bisa percaya? Hanya suaramu yang berubah, dan mukamu tanpa bedak dan yanci memang seperti muka pria, akan tetapi mana buktinya bahwa kau pria?" Swi Liang mengerutkan alisnya. "Paduka ingin bukti? Baiklah, maafkan kelancangan hamba!" Dia lalu merenggut pakaiannya, baju di bagian atas sehingga tanggal kancing-kancingnya dan terbukalah dadanya. Sebuah dada yang tegap dan bidang, tidak berbuah, dada seorang laki-laki tulen! Wajah Yang Kui Hui berseri-seri, mulutnya tersenyum lebar ketika dia memandang dada yang bidang, tegap dan berkulit putih bersih itu. "Memang tidak salah lagi, tubuhmu bagian atas memang tubuh seorang pria. Akan tetapi aku belum puas, Liang-cu. Buka semua pakaianmu!" Perintah ini sama sekali tidak disangka-sangka oleh Swi Liang. Biarpun sudah lama dia menghedaki terjadinya hal yang hanya dalam mimpi ini, namun sebagai seorang laki-laki, dia merasa jengah dan malu juga menerima perintah agar dia bertelanjang bulat seperti itu! Akan tetapi, gairah yang meluap-luap dan kegembiraannya mengusir semua rasa malu dan dengan jari tangan gemetar Swi Liang menanggalkan semua sisa pakaiannya sehingga tak lama kemudian dia telah berdiri membuktikan bahwa dirinya adalah seorang pria sejati di depan selir jelita itu. "Ahhh...., Liang-cu... ke sinilah kau! Sungguh hebat.... tak kusangka sama sekali. Rebahlah kau di sini, di sisiku, manis!" Tanpa diperitah kedua kalinya karena memang itulah yang diinginkannya selama ini. Swi Liang lalu naik ke pembaringan dan merebahkan dirinya di sisi selir cantik itu. Yang Kui Hui terkekeh genit lalu menyambutnya dengan peluk cium ganas, menerkamnya seperti seekor harimau kelaparan, atau seperti seekor ular yang memagutnya dan membelit-belitnya. Manusia, baik laki-laki atau wanita, kaya atau miskin, dari golongan ningrat maupun jembel terlantar, sekali dikuasai nafsu berahi akan menjadi lupa diri dan lupa segala. Pada saat seperti itu, lenyaplah duka, lenyap pula takut, hilang segala pertimbangan dan akal, yang ada hanyalah tindakan sebagai akibat dorongan nafsu birahi yang minta dilampiaskan Hebatnya, makin dipenuhi dorongan nafsu, makin hebatlah, seperti nyala api, makin dibiarkan makin membesar dan takkan padam sebelum habis bahan bakarnya! Hanyalah manusia yang selalu sadar akan keadaan dirinya, akan gerak-gerik dirinya lahir maupun batin, takkan kehilangan kewaspadaan dan kebijaksanaan, takkan dapat dicengkeram oleh nafsu dalam bentuk apa pun. Hal ini bukan berarti bahwa manusia bijaksana menolak nikmat hidup yang didatangkan oleh gairah nafsu, sama sekali tidak. Bahkan hanya manusia sadar sajalah yang bebar-bebar akan dapat menikmati hidup karena baginya nafsu kesenangan hanyalah pelengkap hidup, bukan hal yang mutlak dan tidak dikejar-kejarnya. Dialah orang menguasai nafsu, bukan nafsu yang menguasai dia. Menguasai nafsu dengan kewaspadaan dan memngenal akan keadaan diri sendiri seperti apa adanya, lahir maupun batinnya, bukan menguasai nafsu dengan cara pengekangan dan penyiksaan diri. Dengan cara pengamatan yang sewajarnya, penuh kesadaran, pengamatan terhadap nafsu dan gerak-geriknya, tanpa celaan tanpa pujian, maka nafsu akan kehilangan kekuasaannya sendiri terhadap diri pribadi. Sebaliknya, menggunakan kemauan untuk menekan dan mengekang nafsu, tidak akan ada gunanya, karena, boleh jadi nafsu akan dapat dibendung pada saat itu, manun sewaktu-waktu nafsu yang masih menguasai diri itu meluap. Bagaikan api dalam sekam, sewaktuwaktu akan dapat menyala lagi, demikianlah kalau orang menguasai nafsu dengan pengekangan yang berarti menguasainya dengan kekerasan. Dengan pengamatan waspada, nafsu yang seperti api itu akan padam dengan sendirinya. Namun dengan pengekangan, api itu hanya membara dan tidak tampak untuk sewaktu-waktu bernyala lagi, karena YANG MENGEKANG NAFSU ADALAH NAFSU JUGA. Mengekang berarti menggunakan kekerasan menuruti keinginan! Menjelang pagi, yang Kui Hui yang kekenyangan melampiaskan nafsu berahinya, terlena di pembaringan, wajahnya yang agak pucat menoleh kepada Swi Liang yang tidur pulas di sampingnya, lalu wanita cantik itu tersenyum. Jari-jari tangannya yang halus itu bergerak membelai dada telanjang dari pemuda itu, lalu ditariknya kembali tangannya dan dia menghela nafas panjang. Setelah kekenyangan, barulah dia dapat berfikir dan barulah selir Kaisar ini sadar betapa bodohnya dia membiarkan dirinya terseret oleh nafsu berahi. Pemuda ini tentu seorang pria sejati yang menyamar sebagai wanita. Hal ini sudah jelas! Dan di balik penyamaran ini tentulah ada suatu rahasia! Kesadaran ini mengejutkan hatinya dan menimbulkan kekhawatirannya. Dia adalah selir yang cerdik sekali. Yang Kui Hui bangkit duduk dan perlahan-lahan, agar jangan membangunkan pemuda itu, dia mengenakan pakaiannya. Matanya tak pernah berpindah dari wajah Swi Liang dan sambil memakai pakaiannya, dia mengenangkan semua yang mereka lakukan semalam ketika mereka bermain cinta tanpa mengenal puas sampai akhirnya tertidur kelelahan. Betapapun juga, pemuda itu terlalu halus. Bagi wanita macam Yang Kui Hui yang sudah banyak pengalaman bermain cinta dengan pria, kejantanan Swi Liang kurang memuaskan hatinya. Betapa jauhnya dibandingkan dengan An Lu San! An Lu San barulah boleh disebut seorang laik-laki sejati! Dengan kekudukannya yang tinggi dan pengaruhnya yang besar, dengan tubuhnya yang tinggi besar, tenaganya yang seperti singa, dengan permainan cintanya yang liar kasar dan wajar, menonjolkan kejantanan yang amat hebat! Sedangkan pemuda ini, terlalu halus, masih hijau dan kurang pengalaman, dan yang lebih berbahaya lagi, pemuda ini tentulah seorang mata-mata musuh! Yang Kui Hui bergidik ngeri. Betapa bodohnya dia, mudah terbujuk dan terseret oleh nafsunya sendiri dan terkena rayuan seorang mata-mata. Untung mata-mata ini belum bertindak terlalu jauh. Bagaimana kalau semalam dia dibunuhnya? Yang Kui Hui bergidik dan bergegas turun dari pembaringan, dengan hati-hati dia mengambil pedang bersarung indah yang diletakan oleh Swi Liang di atas tumpukan pakaiannya, kemudian selir Kaisar itu berindap-indap menuju ke pintu kamar, membuka pintu dan keluar setelah menutupkan kembali daun pintu perlahan-lahan. Tak lama kemudian dia telah berbisik-bisik dengan beberapa orang pengawal pribadinya, kemudian memasuki kamar lain setelah merasa yakin bahwa para pengawalnya yang kini telah berkumpul itu akan melaksanakan perintahnya dengan baik. Swi Liang terbagun dari tidur nyenyak, menggeliat dan tersenyum penuh bahagia ketika dia teringat akan keadaan dirinya. Dirabanya kasur di mana dia rebah dan hidungnya kembang kempis, masih penuh oleh keharuman tubuh Yang Kui Hui. Baru saja terbangun dari tidur, teringat akan wanita cantik itu, berkobar lagi nafsunya, lenyap semua kelelahan tubuhnya dan dia membalik ke kanan, lengan kirinya dan kaki kirinya merangkul memeluk. Dai membuka matanya ketika tangan dan kakinya bertemu dengan kasur yang kosong, lalu bangkit duduk, menoleh ke kanan kiri, mencari-cari. yang Kui Hui telah pergi dari kamar itu! Swi Liang merasa heran dan juga terkejut, kemudian timbul kekhawatiran di dalam hatinya. Ke manakah perginya wanita itu sepagi ini, pikirnya. Karena khawatir kalau-kalau ada pelayan memasuki kamar dan memergoki keadaanya, bergegas dia menyambar pakaiannya, dan cepat mengenakan pakaiannya, pakaian wanita penyamarannya. Dengan tergesa-gesa dia menghampiri meja rias Yang Kui Hui, menggunakan bedak dan yanci untuk memulas mukanya yang semalam telah menjadi muka pria aslinya dan sia-sia bedak dimukanya telah terhapus sama sekali oleh ciuma-ciuman Yang Kui Hui. Kemudian dia mencari pedangnya dan betapa heran dan terkejut hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa pedangnya tidak berada di dalam kamar itu! Akan tetapi dia segera tersenyum menenangkan hatinya sendiri. Tentu Yang Kui Hui sengaja hendak main-main dengan dia! Tak mungkin wanita itu melakukan hal yang bukan-bukan dan merugikannya setelah apa yang mereka nikmati bersama semalam! Tentu Yang Kui Hui sudah bertekuk lutut dan mencintanya setelah dia membuktikan kejantanannya semalam, pikir Swi Liang dengan bangga. Dengan hati ringan dia lalu melangkah ke pintu, membuka daun pintu hendak mencari kekasihnya itu. Sunyi di luar kamar itu, padahal biasanya penuh dengan pengawal. Kemudian muncul seorang pelayan wanita yang bertugas membersihkan kamar Yang Kui Hui setiap pagi. Melihat pelayan ini, Swi Liang dengan suara biasa lalu menanyakan di mana adanya majikan mereka yang cantik itu. "Beliau tadi memerintahkan bahwa kalau Liang-lihiap sudah bangun agar Lihiap suka pergi menyusul ke dalam pondok di taman. Beliau menanti di sana." Mendengar kata-kata ini, Swi Liang bergegas pergi ke taman, hatinya girang sekali. Tak salah dugaannya. Yang Kui Hui telah bertekuk lutut di depan kakinya! Selir yang angkuh dan cantik itu telah jatuh cinta kepadanya sehingga kini selir itu ingin melanjutkan permainan cinta mereka di dalam pondok taman, tentu agar jangan sampai menimbulkan kecurigaan para pelayan lain! "Ha-ha, kau cerdik sekali, mais," kata hatinya penuh kegembiraan, "untuk kecerdikanmu itu akan kuberi upah ciuman hangat!" Sambil tersenyum-senyum membayangkan segala kemesraan yang akan dialaminya sebentar lagi di dalam pondok taman, Swi Liang melangkah lebar ke dalam taman yang indah dan luas itu. Taman itu sunyi karena hari masih amat pagi dan memang biasanya pun taman itu hanya dikunjungi para puteri istana setelah matahari naik tinggi sehingga mereka dapat menghirup hawa segar di situ. Bahkan tidak tampak seorang pun juru taman yang biasanya sepagi itu tentu telah membersihkan taman. Ketika melewati tempat di mana dia malam-malam beberapa hari yang lalu mengubur mayat dua orang pelayan wanita, Swi Liang menggerakan pundaknya untuk menenteramkan hatinya yang agak terguncang. Salah kalian sendiri, pikirnya dan untuk menekan perasaanya, dia telah menginjak kuburan yang tidak kentara dan tidak dikenal orang lain kecuali dia itu. Dia kini sudah berdiri di depan pintu pondok, lalu mengetuk pintu pondok sambil berkata dengan suara biasa, suara pria, halus dan penuh rayuan, "Dewiku yang cantik jelita, bidadari dari sorga manis, bukalah pintu, aku sudah amat rindu kepadamu....!" Daun pintu pondok merah itu terbuka dari dalam dan.... Swi Liang meloncat ke belakang sambil menahan seruan kagetnya ketika dia melihat bahwa dari dalam pondok itu keluar dua puluh orang lebih pengawal yang memegang senjata di tangan! "Menyerahlah engkau, Liang-cu. Kami mendapat perintah untuk menangkapmu!" komandan pengawal berkata keren. Seketika pucat muka Swi Liang dan otomatis tangan kanannya meraba pinggang, hanya untuk diingatkan bahwa pedangnya telah lenyap dari dalam kamar tadi! "Apa... apa... dosaku....?" Dia bertanya gagap, saking bingungnya dia lupa menyembunyikan suara laki-laki yang keluar dari mulutnya. Dua puluh lebih pengawal itu tertawa dan Sang Komandan membentak. "Lekas berlutut dan menyerah!" Swi Liang maklum bahwa rahasianya tentu telah terbuka. Dia tidak tahu apa yang terjadi dan siapa yang telah membuka rahasianya. Sampai saat itu dia sama sekali tidak menyangka bahwa Yang Kui Hui yang telah mengkhianatinya. Akan tetapi dia tahu bahwa kalau dia tertangkap, tentu dia akan celaka. "Mampuslah!" bentaknya sambil menerjang ke depan, menghantam komandan dengan kepalan tangan kanan sedangkan kepalan tangan kiri menghantam pengawal ke dua yang berdiri dekat. Komandan itu memiliki kepandaian silat yang cukup tinggi, maka dia dapat menangkis biarpun dia menjadi terhuyung- huyung, akan tetapi pengawal yang terkena hantaman tangan kiri Swi Liang, mengeluarkan teriakan keras dan roboh terguling, muntah-muntah darah karena pukulan yang mengenai dadanya tadi amat kuat. Segera Swi Liang dikeroyok oleh dua puluh orang lebih. Para pengawal itu rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup tangguh, karena mereka semua bersenjata. Repot jugalah Swi Liang yang harus membela diri dengan tangan kosong! "Jangan bunuh dia! kita harus menangkapnya hidup-hidup!" beberapa kali komandan berteriak. Swi Liang mengamuk sekuatnya, namun setelah tubuhnya terkena beberapa kali bacokan dan tusukan, akhirnya dia terguling dan teringkus. Dalam keadaan luka-luka dan setengah pingsan dia diseret ke dalam kamar tahanan. Sementara itu, yang Kui Hui segera mengadu kepada Kaisar bahwa pelayan wanita yang dahulu menolongnya itu ternyata adalah seorang pemuda dan mungkin mata-mata musuh yang sengaja menyelundup. Mendengar ini, kaisar memerintahkan agar Swi Liang disiksa dan dipaksa untuk mengakui keadaannya. Pada hari itu juga, di dalam kamar tahanan yang dirahasiakan, Swi Liang dikompres untuk mengaku. Ada beberapa macam semangat yang mendorong seseorang menjadi prajurit. Semangat patriotik sebagai pengabdian kepada negara dan bangsa, semangat mencari kedudukan dan kemuliaan, dan semangat yang timbul dari keadaan lain pula. Di antara semua itu, hanya prajurit yang didorong semangat mengabdi kepada negara dan bangsa sajalah yang akan berani mempertaruhkan nyawa dengan rela, karena dia merasa yakin bahwa apa yang diperjuangkan dalam hidupnya itu benar! Kebena ran seseorang yang tentu saja mengharapkan sesuatu, misalnya nama sebagai seorang pahlawan atau "tempat baik" di alam baka! Betapapun juga, lepas daripada tepat tidaknya kebenaran semacam itu, harus diakui bahwa hanya prajurit yang bersemangat demikian sajalah yang akan menghadapi kematian dan siksaan dengan berani dan gagah. Tidaklah demikian dengan Swi Liang. Dia melakukan tugasnya karena dorongan subonya yang juga menjadi kekasihnya, karena keinginannya untuk kelak memperoleh kedudukan tinggi jika cita-cita subonya terlaksana. Kalau putera subonya sampai biasa menjadi kaisar seperti yang dicita-citakan subonya, dia tentu setidaknya akan menjadi seorang menteri! Karena semangat seperti ini yang mendorongnya berjuang, maka begitu gagal patahlah semangatnya. Begitu dia disiksa, keluarlah pengakuan dari mulut Swi Liang bahwa dia adalah kaki tangan subonya, The Kwat Lin Ratu Pulau Es yang kini menjadi Ketua Bu-tong-pai dan yang bersekutu dengan Pangeran tang Sin Ong, dan tugasnya adalah memikat hati Yang Kui Hui agar selir itu kelak mau membantu pemberontakan mereka. Pengakuan ini tentu saja menimbulkan geger. Pangeran Tang Sin Ong ditangkap dan beberapa hari kemudian, Swi Liang dan Pangeran Tang Sin Ong dijatuhi hukuman penggal kepala di tempat umum agar menjadi peringatan bagi siapa saja yang hendak memberontak. Kaisar lalu mengirim pasukan untuk menangkap Ketua Bu-tong-pai yang memberontak. Habislah riwayat hidup Bu Swi Liang, putera Lu-san lojin Bu Si Kang yang gagah perkasa itu. Memang patut disayangkan karena sebenarnya dahulu Bu Swi Liang adalah seorang pemuda yang baik dan gagah perkasa, yang dididik oleh ayahnya sejak kecil agar menjadi seorang pendekar yang selalu membela kebenaran dan keadilan. Memang, keadaan sekeliling amat mempengaruhi jalan hidup seseorang. Hal ini tidaklah berarti bahwa sekeliling yang bersalah sehingga menyeret seseorang ke jalan sesat seperti halnya Bu Swi Liang.Sebetulnya, yang bersalah adalah dirinya sendiri! Orang yang mengenal diri sendiri akan selalu dalam keadaan waspada dan sadar sehingga berada di dalam lingkungan apa pun juga dia akan selalu mengamati tingkah laku sendiri lahir batin setiap saat, tak mungkin terseret atau ternoda, seperti emas murni atau bunga teratai, biar berada di lumpur akan tetapi tetap bersih! Sebaliknya, orang yang tidak mau mengamati dirinya sendiri setiap saat, akan mudah lupa karena "akunya"menonjol dan Si Aku ini memang selalu ingin menang sendiri, ingin enak dan senang sendiri, sehingga untuk memenuhi segala keinginannya itu, diri terseret dan mudah terjeblos ke dalam jurang penuh dengan ular-ular berbisa bernama iri, dendam, benci, sombong, duka, dan lain-lain yang kesemuanya berakhir dengan kesengsaraan. Pasukan yang kuat dipimpin seorang perwira tinggi membawa perintah penangkapan dari Kaisar sendiri, tiba di Bu-tong-san. Namun mereka terlambat. The Kwat Lin, Ketua Bu-tong-pai yang baru dan hendak ditangkap itu, telah melarikan diri bersama anak buah yang setia kepadanya. Hal ini tidaklah mengherankan. Sebelum Swi Liang membuka rahasia pemberontakannya, The Kwat Lin telah lebih dulu mendengar bahwa muridnya telah gagal dan ditangkap. Dia merasa kecewa sekali, akan tetapi dia juga maklum akan bahaya yang mengancam dirinya. Kalau sampai pasukan pemerintah menyerang Bu-tong-pai, tentu saja dia tidak mungkin dapat melawan pasukan yang besar itu. Maka diamdiam dia lalu lolos dari Bu-tong-san, bersama anak buahnya yang setia dia lalu melarikan diri ke Rawa Bangkai yang menjadi markas ke dua dari komplotan ini. Seperti di ketahui, Kiam-mo Cai-li Liok Si yang menjadi datuk kaum sesat itu telah ditaklukannya dan telah menjadi sekutunya, dan tempat tinggal datuk wanita ini, Rawa Bangkai, di kaki Pengunungan Luliang-san, menjadi markas ke dua. Ketika menghadapi bahaya penangkapan dari kota raja, tentu saja Kwat Lin lalu melarikan diri ke tempat yang merupakan daerah berbahaya dan rahasia itu. Pelarian dari Bu-tong-pai ini diterima dengan baik oleh Kiam-mo Cai-li Liok Si yang memperoleh kesempatan menonjolkan jasanya. Segera Rawa Bangkai dijaga dengan kuat sekali dan Liok Si menghibur The Kwat Lin atas kegagalan muridnya. "Aku hanya merasa kecewa sekali mengenangkan muridmuridku," kata The Kwat Lin dengan suara gemas. "Swi Nio telah mengkhianatiku, lari dengan seorang mata-mata musuh entah dari mana dan pengharapanku tadinya tinggal kepada Swi Liang. Dia sampai terbuka rahasianya dan tertangkap, hal itu katakanlah sebagai suatu kegagalan yang menyedihkan. Akan tetapi mengapa dia membocorkan rahasia Pangeran Tang Sin Ong sehingga Pangeran itu pun dihukum mati. Dengan matinya Pangeran Tang Sin Ong habislah harapan kita!" The Kwat Lin menghela napas panjang dan mengepal tinjunya dengan hati gemas. "Aihhh, seorang yang memiliki ilmu kepandaian seperti Pangcu, mengapa mudah sekali putus asa?" Liok Si mencela. "Hem, Cai-li, jangan kau menyebutku Pangcu lagi. Aku bukan lagi Ketua Bu-tong-pai setelah kini menjadi pelarian pemerintah. Dan aku tidak membutuhkan perkumpulan itu. Siapa yang tidak akan putus asa? Citacita kita kandas setengah jalan. Betapapun tinggi kepandaian kita, menghadapi pasukan pemerintah yang puluhan laksa banyaknya, kita dapat berbuat apakah?" Kiam-mo Cai-li tersenyum. Dia maklum bahwa wanita yang amat lihai ini memiliki cita-cita yang besar sekali. "The-pangcu.... eh, Lihiap, seorang dengan kepandaian seperti engkau tentu dapat mencari kedudukan dengan mudah sekali." "Hemm, mana mungkin? Pemerintah telah menganggapku sebagai pemberontak dan aku akan selalu menjadi pelarian dan buruan pemerintah. Pula, aku adalah seorang bekas ratu, oleh karena itu. Cita-citaku hanya satu, ialah aku akan berusaha sekuat tenaga agar puteraku memperoleh kedudukan yang sepadan dengan darah keturunannya." Kiam-mo Cai-li mengangguk-angguk. "Memang sepatutnya.... sepatutnya...., dan aku bersedia membantumu asal kelak kau tidak akan melupakan bantuanku." The Kwat Lin memegang tangan datuk wanita itu dan memandang tajam. "Kiam-mo Cai-li, kita bukan anak-anak kecil lagi, kita sama-sama wanita dan kita saling mengetahui isi hati masing-masing. Engkau sudah banyak menolongku, masihkah engkau menyangsikan bahwa aku menganggapmu sebagai tangan dan kaki sendiri dan kita akan senasib sependeritaan, bahkan sehidup semati?" Kiam-mo Cai-li tersenyum dan mengangguk. "Aku tahu bahwa engkau adalah seorang wanita yang selain berilmu tinggi, juga berkemauan keras dan bercita-cita tinggi, The-lihiap. Kita tidak perlu putus asa dengan kegagalan muridmu. Masih ada jalan lain yang kurasa akan lebih menguntungkan kita." "Bagaimana?" "Bersekutu dengan An Lu Shan!" The Kwat Lin memandang wajah Kiam-mo Cai-li dengan alis berkerut. Majikan Rawa Bangkai itu tersenyum dan diam-diam The Kwat Lin harus memuji bahwa wanita yang usianya sudah lima puluh tahun itu kalau tersenyum kelihatan masih muda dan masih cantik. Kata-kata Kiam-mo Cai-li mengejutkan hatinya dan sekaligus menimbulkan kecurigaannya. Sudah terang bahwa mereka menjadi saingan An Lu Shan, bagaimana sekarang dapat bersekutu dengan Panglima itu? Bahkan yang menyalakan api pemberontakan dalam dada Pangeran Tang Sin Ong adalah karena merasa iri hati kepada An Lu Shan yang disuka oleh Laisar dan selalu dibela oleh Yang Kui Hui. Dan sekarang, sekutunya ini mengusulkan untuk bersekutu dengan An Lu Shan! "Cai-li, apa maksudmu?" tanyanya, suaranya membentak dan matanya memandang tajam menyelidik. "Aih, The-lihiap, aku tahu mengapa engkau terkejut. Akan tetapi bukankah para cerdik pandai jaman dahulu pernah berkata bahwa orang cerdik harus pandai memilih kawan? Demi tercapainya cita-cita, kalau perlu kawan menjadi lawan dan lawan berbalik menjadi kawan!" Berseri wajah The Kwat Lin dan dia memandang kagum. "kau benar, Cai-li. Kau benar dan cerdik sekali! Akan tetapi, mungkinkah dia mau?" "Jangan khawatir. Aku sudah lama mengenal baik Panglima kasar itu. Di balik semua langkahnya menjilat Kaisar dan Yang Kui Hui, dia bercita-cita merebut kekuasaan Kaisar. Dan pada waktu ini dia amat membutuhkan bantuan orang-orang pandai, tentu saja dia akan menerima kita dengan tangan terbuka." The Kwat Lin berdebar-debar dan menggosok-gosok pipinya yang berkulit halus itu dengan tangannya, nampaknya ragu-ragu. "Akan tetapi, bagaimana kita dapat mengadakan hubungan?" "Aku akan menyuruh anak buahku, harap kau suka tulis surat untuk disampaikan kepada An Lu Shan. Sebaiknya begini isinya." Wanita cerdik Kiam-mo Cai-li berunding dengan The Kwat Lin, mengulurkan tangan kepada An Lu Shan mengajak bersekutu melalui sehelai surat yang ditulis oleh tangan halus The Kwat Lin. Dalam hal menggunakan siasat, kiranya wanita lebih cerdik dari pada pria, dan hal ini dibuktikan oleh The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li Liok Si. Sebulan kemudian tampak lima orang muncul di tepi rawa yang sunyi itu. Mereka ini terdiri dari empat orang pria dan seorang wanita, kesemuanya kelihatan gagah perkasa dan tangkas. Rawa ini amat luas, sunyi dan terkenal berbahaya sekali. Kelihatannya tidak berbahaya, hanya merupakan genangan air yang amat luas seperti telaga besar, namun air itu tertutup oleh rumput dan bermacam tetumbuhan kecil sehingga kadang-kadang tidak nampak airnya. Bahkan seolah-olah tertutup oleh lapisan tanah tipis dan inilah yang berbahaya sekali. Manusia maupun binatang yang berani mendekati rawa dan salah injak, mengira bahwa tanah berumput itu keras, akan terperosok ke dalam air berlumpur yang mempunyai daya penyedot sehingga sekali kaki terbenam, disedot ke bawah dan sukar ditarik ke atas lagi. Air berlumpur itu dalam sekali dan karena amat lembek, maka seolah-olah menyedot kaki, padahal kaki orang atau binatang itu tenggelam terus secara perlahan-lahan dan lupur itu memang mempunyai daya lekat sehingga kaki seolah-olah disedot dan ditahan, sukar untuk ditarik kembali ke atas. Selain bahaya yang merupakan perangkap-perangkap maut dari alam ini, juga di situ terdapat banyak ular dan binatang berbisa lain yang bersembunyi di antara rumput-rumput dan tetumbuhan lain. Jauh dari rawa, tampak ditengah-tengah rawa itu sebuah pulau dan di situ terdapat bangunanbangunan yang tampak dari jauh. Namun, tidak ada orang dari luar rawa yang berani mencoba untuk mendekati pulau ini, karena selain jalan menuju ke situ harus menyeberangi rawa maut itu, juga telah terkenal bahwa bangunan-bangunan itu adalah sarang dari iblis betina yang ditakuti semua orang, yaitu Kiam-mo cai-li. Karena seringkali terdapat bangkai-bangkai binatang-binatang yang terperosok ke dalam perangkap alam sekitar rawa, juga bahkan kadang-kadang tampak mayat mausia-manusia yang sampai membusuk dimakan lumpur, maka terkenallah rawa itu dengan sebutan Rawa Bangkai! Karena Kiam-mo-Cai-li yang cerdik itu melarang para anak buahnya untuk mengganggu rakyat di sekitar tempat itu, maka tidak akan ada alasan bagi alat pemerintah untuk memusuhinya, pula pembesar setempat merasa ngeri untuk menentang iblis betina itu. Dengan demikian, datuk kaum sesat ini hidup aman dan teteram di kaki Pegunungan Lu-liang-san itu, tempat ini menjadi tempat pesembunyian yang baik sekali bagi The Kwat Lin dan anak buahnya. Kita kembali kepada lima orang yang pada hari itu berada di tepi rawa. Tiga orang di antara mereka laki-laki tua berusia antara lima puluh sampai enam puluh tahun. Seorang lagi adalah laki-laki berusia tiga puluh tahun, berwajah tampan gagah dan bertubuh tegap, sedangkan wanita itu masih muda, seorang gadis berusia paling banyak enam belas tahun, tubuhnya langsing dan wajahnya manis namun sepasang matanya mengandung sinar keras. Wanita itu bukan lain adalah Bu Swi Nio dan laki-laki muda tampan gagah itu adalah penolongnya ketika dia hendak membunuh diri setelah malam itu dia diperkosa oleh Pangeran Tang Sin Ong! Bagaimana dia sekarang bersama laki-laki dan tiga orang kakek dapat berada di tepi Rawa Bangkai? Malam itu, setelah diperkosa oleh Pangeran Tang Sin Ong dalam keadaan mabok dan tidak sadar, Swi Nio hendak membunuh diri dengan pedang, akan tetapi dia dicegah oleh laki-laki yang ternyata adalah seorang mata-mata dari An Lu Shan. Dia dapat diingatkan oleh laki-laki itu bahwa membunuh diri bukanlah jalan terbaik untuk membalas sakit hati, maka Swi Nio lalu ikut dengan orang itu dan menjadi petunjuk jalan sehingga mata-mata itu berhasil menyelamatkan diri bersama Swi Nio, keluar dari tembok Bu-tong-pai. Kedua orang ini tanpa bicara melarikan diri terus dengan cepatnya sampai matahari naik tinggi dan mereka tiba di kaki Pegunungan Bu-tong-san, barulah mereka berhenti mengaso di dalam sebuah hutan lebat. Begitu duduk di bawah pohon melepaskan lelah, Swi Nio teringat akan nasib yang menimpa dirinya, maka serta merta dia menangis mengguguk. Laki-laki itu memandang ke arahnya dan menghela napas panjang, mengepal tinju dan hanya mendiamkannya saja karena pengalamannya membuat dia mengerti bahwa dalam keadaan berduka seperti itu, tidak ada obat yang lebih baik bagi gadis itu kecuali tangis dan air mata yang bercucuran. Setelah agak mereda tangis Swi Nio, dia berkata, "Nona, seperti kukatakan pagi tadi, tidak perlulah hal yang telah terjadi dan yang telah lalu ditangisi dan disedihkan. Yang penting, kita melihat ke depan. Jalan hidup masih lebar dan terbentang luas di depan kita. Mengubur diri dengan kedukaan saja tidak ada artinya dan pula hanya akan melemahkan semangat kita yang perlu kita pupuk untuk dapat membalas kepada orang-orang yang telah merusak hidup kita." Kata-kata yang dikeluarkan dengan suara gagah ini membuat Swi Nio mengangkat mukanya yang pucat dan basah, memandang. Mereka berdua saling pandang sejenak, kduanya baru melihat nyata akan wajah masing-masing. Wajah pria itu menimbulkan kepercayaan di hati Swi Nio sedangkan wajah gadis itu membuat jantung laki-laki itu berdebar dan tertarik. "Kau siapakah?" Akhirnya Swi Nio bertanya. "Sudah kukatakan kepadamu, aku adalah seorang mata-mata, seorang kepercayaan Jenderal An Lu Shan. Namaku Liem Toan Kie. Dalam penyelidikanku di Bu-tong-pai, aku telah mengenal namamu, Nona. Engkau adalah Nona Bu Swi Nio, bersama kakakmu Bu Swi Liang engkau adalah murid dari Ketua Butong-pai yang baru. Aku pun telah mengetahui akan nasibmu semalam...." "Ahhh....! Si Jahanam Tang Sin Ong....!" Engkau benar! Aku tidak perlu berputus asa, aku tidak perlu mengubur diri dalam kedukaan, aku harus berusaha untuk membalas semua penghinaan ini. Akan kubunuh Si Jahanam Tang Sin Ong!" Gadis itu mengepal kedua tangannya dengan penuh kemarahan. "Nah, itu baru gagah dan bersemangat! Akan tetapi, tidak semudah itu membunuh seorang Pangeran apalagi dia sahabat baik Gurumu yang amat lihai. Jalan satu-satunya, marilah ikut aku, mengabdi kepada Jenderal An Lu Shan. Hanya itulah jalannya sehingga kelak engkau akan dapat membalas dendam." "Kau.... kau seorang prajurit bawahan Jenderal itu?" Toan Ki menggelengkan kepalanya. "Bukan, aku bukan perajurit, aku seorang luar yang telah menggabungkan diri dengan An-goanswe dan mendapatkan kepercayaannya untuk menyelidiki Bu-tongpai. Aku disuruh menyelidiki rencana apa yang diadakan oleh Pangeran Tang Sin Ong dan Bu-tong-pai. An-goanswe adalah seorang yang amat cerdik. Dia biarkan pemberontakan lain agar kedudukan Kaisar makin lemah, namun dia harus tahu segala gerak-gerik musuh, baik gerak-gerik Kaisar maupun pemberontak lain. Sekarang aku tahu bahwa rencana mereka adalah melemahkan Kaisar melalui Yang Kui Hui, dan sekarang aku akan kembali dan melaporkan hasil penyelidikanku kepada An-goanswe. kau ikutlah, akan kuperkenalkan dan engkau tentu akan diterima, karena engkau memiliki kepandaian yang lumayan di samping dendammu kepada Tang Sin Ong." "Aku.... aku tidak suka menjadi pemberontak." "Hemm,apakah kaukira aku suka menjadi pemberontak,Nona? tidak,aku membantu An Lu Shan bukan karena aku suka menjadi pemberontak, melainkan karena aku pun sakit hati terhadap pemerintah." "Eh?" Swi Nio tertarik dan memandang wajah yang gagah itu. "mengapa?" "Hampir sama nasib kita, Nona, hanya bedanya jalannya saja. ketahuilah, dahulu aku adalah seorang tokoh Hoa San-Pai yang tentu saja tak mau mencampuri urusan politik dan pemberontakan, bahkan condong untuk setia kepada pemerintahan, akan tetapi pada suatu hari terjadilah hal yang amat hebat... yang merubah seluruh jalan hidupku..." Swi Nio teringat akan nasibnya sendiri. dia mendekat lalu berkata, "Liem-twako, kauceritakanlah!" Sejenak mereka berpandangan, lalu Toan Ki menceritakan riwayatnya secara singkat. Dia tinggal di kota Ma-Kiubun, sebuah kota yang cukup ramai di tepi sungai Huangho. dia hidup tenang dan bahagia dengan isterinya yang baru dinikahinya selama tiga bulan. Dengan membuka toko obat dan mengajar ilmu silat, dia hidup lumayan. Namun isterinya merasa kecewa setelah tiga bulan menikah, belum juga ada tanda-tanda mengandung, maka dia mengijinkan isterinya untuk bersembahyang ke kelenteng untuk minta berkah agar isterinya dapat memperoleh keturunan secepatnya. "Akan tetapi mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Menjelang senja, setelah pergi sejak pagi, barulah isterinya pulang dan turun dari joli dalam keadaan payah, mukanya pucat dan basah air mata. Sambil menangis sesenggukan isterinya lari ke dalam rumah, menjatuhkan diri dan berlutut di depan kakinya sambil menceritakan bahwa ketika tadi bersembahyang di kelenteng, kebetulan di kelenteng itu terdapat putera bangsawan Lui yang bermain catur dengan para hwesio. Melihat dia, putera bangsawan menyeretnya ke dalam kamar di kelenteng dan memperkosanya! Setelah mengucapkan pengakuan yang hebat itu, isterinya lari ke dalam kamar sambil menangis sesenggukan. hati Toan Ki terasa tidak enak. Tadi dia termangu-mangu seperti patung saking marah dan dukanya mendengar penuturan isterinya sehingga dia agak lalai membiarkan isterinya lari. Cepat dia mengejar dan melihat pintu kamar isterinya dipalang dari dalam, ia menendang pecah daun pintu! Dia berdiri pucat dan terbelalak. Apa yang dilihatnya? "Isteriku telah rebah mandi darah di lantai! Pedangku ia pergunakan untuk membunuh diri, menusuk dadanya hampir tembus!" Dia mengakhiri ceritanya sambil menutupkan kedua tangan di depan mukanya. "Ohhh....!!" Swi Nio menjadi pucat sekali dan dia menyentuh lengan Toan Ki dengan penuh perasaan terharu. "Putera bangsawan dan hwesio-hwesio keparat itu harus dihukum! Dan aku akan membantumu, Liem-twako!" Toan Ki menurunkan tangannya, memegang tangan Swi Nio dengan erat. Mereka saling berpegangan dan saling menggenggam tangan. "Kita senasib, Nona. Karenanya ada kecocokan di antara kita dan karenanya aku menolongmu pagi tadi. Akan tetapi, bicara soal bantu-membantu, akulah yang akan membantumu kelak kalau saatnya tiba untuk membalaskan sakit hatimu. Sedangkan sakit hatiku sendiri sudah kubalas impas dan lunas. Pemuda bangsawan keparat itu telah kubunuh bersama semua hwesio kelenteng itu! Karena itu aku menjadi buronan dan aku terpaksa lari kepada Jenderal An Lu Shan yang segera menerimaku karena dia membutuhkan bantuan kepandaianku." "Ahhh, engkau baik sekali, Twako. Dan engkau bernasib buruk sekali seperti aku. Aku merasa beruntung dapat bertemu dan dapat bersahabat denganmu. Baiklah aku akan ikut bersamamu menghadap Jenderal An Lu Shan." Demikianlah, Swi Nio ikut bersama Toan Ki dan benar saja seperti dikatakan laki-laki gagah itu, dia diterima dengan baik di dalam rombongan orang-orang gagah bukan perajurit yang menjadi pembantupembantu An Lu Shan. Persahabatannya dengan Liem Toan Ki menjadi makin akrab dan bahkan tumbuh benih-benih cinta kasih di antara kedua orang yang sama nasibnya ini, Liem Toan Ki kehilangan isterinya yang dikawininya baru tiga bulan lamanya, sedangkan Swi Nio kehilangan keperawanannya karena diperkosa oleh seorang pangeran. Akhirnya keduanya bersepakat untuk mengikat perjodohan, namun Swi Nio mengatakan bahwa dia baru mau melangsungkan pernikahan secara resmi apabila sakit hatinya telah terbalas semua! Maka kedua orang ini hidup sebagai dua orang tunangan yang saling mencinta, apalagi karena perjodohan mereka itu direstui oleh An Lu Shan yang pandai mengambil hati orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian yang amat dibutuhkan bantuannya. Pada suatu hari An Lu Shan memanggil Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio, bersama tiga orang tokoh lain yang merupakan orang-orang berkepandaian tinggi di antara para pembantu An Lu Shan. Yang seorang bernama Tan Goan Kok, seorang kakek tinggi besar yang yang terkenal di utara sebagai seorang ahli gwakang yang hebat. Kabarnya, Tan Goan Kok ini biarpun usianya sudah lima puluh tahun lebih, dapat menggunakan kekuatan otot tubuhnya untuk mengangkat seekor kerbau bunting Di samping tenaganya yang besar, juga dia memiliki ilmu silat toya yang sukar dicari bandingannya. Kakek kedua adalah pat-jiu Mokai (Pengemis Iblis Tangan Delapan), seorang kakek yang berusia enam puluh tahun, pakaiannya penuh tambalan biarpun bersih dan baru, selalu memegang sebatang tongkat butut dan siapa pun, bahkan An Lu Shan sendiri, menyebutnya Pangcu (Ketua) padahal kakek jembel ini hanyalah seorang ketua yang tidak mempunyai anak buah! Pat-jiu Mo-kai tidak memimpin suatu perkumpulan pengemis namun nama besarnya sedemikian terkenal sehingga setiap orang pengemis di manapun juga akan selalu menyebutnya Pangcu! Sampai ketua para perkumpulan pengemis juga menyebutnya Pangcu! Ilmu tongkatnya amat tinggi dan kabarnya belum pernah kakek ini dikalahkan lawan selama dalam perantauannya sampai akhirnya dia dapat dibujuk membantu An Lu Shan. Orang ke tiga, berusia lima puluh tahun lebih, berpakaian tosu dan memang dia seorang penganut Agama To, seorang kakek perantau yang disebut Siok Tojin. Berbeda dengan kedua orang kakek pertama, Siok Tojin orangnya pendiam, tidak terkenal, namun ilmu pedangnya amat hebat sehingga ketika dia diuji, ilmu pedangnya itu bahkan mampu menandingi tongkat Pat-jiu Mo-kai! Setelah Liem Toan Ki, Bu Swi Nio, dan tiga orang kakek itu menghadap An Lu Shan yang memanggilnya, Jenderal pemberontak ini lalu menceritakan akan surat dari The Kwat Lin bekas ketua Bu-tong-pai yang mengajak kerjasama dalam menentang Kaisar. "Aku sengaja mengutus Ngo-wi (kalian Berlima) untuk menjajaki hati wanita berilmu tinggi apakah benarbenar dia hendak bersekutu. Bu Swi Nio adalah muridnya, maka aku mengutusnya untuk mengukur hati gurunya. Kalau dia benar-benar hendak bersekutu, tentu dia tidak akan marah kepada muridnya yang telah melarikan diri dan menjadi pembantuku. kau menemani dan menjaga tunanganmu, Toan Ki. Dan Pangcu bersama dua orang Lo-enghiong hendaknya menguji kepandaian mereka yang hendak bersekutu, di samping melindungi mereka berdua ini kalau-kalau terancam bahaya." Demikianlah maka pada pagi hari itu, lima orang kaki tangan An Lu Shan ini telah berada di tepi Rawa Bangkai. Mereka memandang ke arah pulau di tengah-tengah rawa yang tampak dari tempat itu dalam jarak yang cukup jauh dan mereka memandang permukaan rawa dengan wajah membayangkan kengerian. Sudah banyak mereka mendengar akan bahayanya melintasi rawa itu. "Saya hanya baru satu kali mengunjungi tempat ini bersama Subo," terdengar Swi Nio menerangkan ketika dia ditanya oleh teman-temannya, "dan ketika itu kami mengikuti Kiam-mo Cai-li yang membawa kami berlompatan dari tempat ini ke pulau itu. Setiap lompatanya membawanya ke tanah keras dan aman, akan tetapi tentu saja aku tidak bisa mengingat lagi karena dia melompat-lompat ke tanah kiri, kadang-kadang membalik lagi." "Hemmm, tentu merupakan jalan rahasia yang sukar diketahui orang luar," kata Pat-jiu Mo-kai sambil meraba-raba dagunya yang berjenggot panjang. "Dan menurut Kiam-mo Cai-li, katanya meleset sedikit saja merupakan bahaya maut karena di sepanjang jalan penuh dengan jebakan alam. Kadang-kadang dia membawa kami meloncat ke bagian yang ada airnya, sampai saya merasa ngeri, akan tetapi ternyata bagian itu airnya hanya semata kaki, sedangkan tanah yang kelihatan kering di dekatnya, menurut keterangannya, bahkan merupakan tempat berbahaya sekali. Ketika pulang ke Bu-tong-san, Subo sendiri mengatakan bahwa dia tidak akan berani lancang menempuh jalan ini sendirian saja karena dia pun tidak dapat mengingat kembali jalan berliku-liku itu." "Bagaimana kalau kita menggunakan tali yang panjang? Biar kau tidak hafal jalan itu, setidaknya kau pernah melaluinya dan dapat kau mencarinya, Moi-moi. Kita berempat mengikuti dari belakang, menggunakan tali yang ditalikan di pinggangmu sehingga andaikata kau salah jalan dan masuk perangkap, kita dapat menolongmu dengan menarik tali itu," kata Liem Toan Ki kepada kekasihnya. "Begitupun boleh, akan kucoba mengingat-ingat, akan tetapi harus kau sendiri yang memegang ujung tali, Koko, karena aku ngeri!" "Ah, aku tidak setuju! Usul itu tidak tepat, Liem Sicu!" Tiba-tiba Tan Goan Kok berkata dengan suaranya yang parau dan nyaring. "Akan tetapi aku tidak takut, Tan-lo-enghiong!" Swi Nio membantah. "Pula, kalau Liem-koko yang memegang ujung talinya, aku tidak takut apa-apa lagi. Andaikata aku terjeblos, tentu akan dapat cepat ditariknya naik lagi." "Bukan tidak setuju karena takut, melainkan karena kalau hal itu diketahui mereka, tentu akan menjadi bahan ejekan. Perlu apa kita harus mencari-cari jalan rahasia yang disembunyikan orang? Kita harus mencari jalan masuk yang lebih gagah, tidak mencuri-curi seperti segerombolan maling." Bu Swi Nio mengerti dan membenarkan pendapat ini. Mereka berlima lalu duduk di tepi rawa sambil mengerutkan alis, mencari akal bagaimana mereka akan dapat mengunjungi pulau di tengah rawa itu sebagai tamu-tamu yang datang secara gagah. Karena kalau usul Liem Toan Ki dan Swi Nio tadi dilanjutkan, dan sampai terjadi Swi Nio terjebak ke dalam perangkap alam, tentu hal ini akan membuat mereka memandang rendah saja. Akan tetapi, betapapun banyak pengalaman mereka dan betapapun tinggi ilmu kepandaian mereka, belum pernah mereka menghadapi kesukaran seperti sekarang ini. Akhirnya Siok Tojin yang sejak tadi tidak ikut bicara, mengeluarkan suara mengomel, kemudian berkata, "Dapat! Aku teringat akan orang-orang Mongol yang menggunakan akal mencari ikan di rawa-rawa seperti ini!" Empat orang kawanannya memandang ke arah tosu ini dengan wajah gembira dan penuh harapan. "Lekas katakan, Totiang, bagaimanakah akal itu?" Tan Goan Kok bertanya. "Mereka menggunakan bambu-bambu sebagai perahu." "ahh, mana mungkin? Menggunakan perahu menyeberangi rawa ini? Tentu akan mogok di tengah jalan kalau bertemu dengan air yang tertutup tanah dan rumput," bantah Pat-jiu Mo-kai sambil memandang ke rawa dengan alis berkerut. "Kita jangan meniru mereka yang membuat rakit dari bambu. Kita masing-masing menggunakan sebatang bambu saja, ujungnya dibikin runcing," kata Siok Tojin singkat, akan tetapi teman temannya sudah dapat menangkap maksudnya. "Bagus sekali! Tentu kita berhasil! Dengan bambu runcing, kita dapat meluncur melalui apa saja!" Tan Goan Kok berteriak girang. "Hemm, kusangka tidak semudah itu. Kita harus hati-hati, benar-benar mengerahkan ginkang dan sinkang, kalau sampai tergelincir tentu kita celaka dan akan makin menjadi bahaya tertawan lagi. Betapapun juga, akal itu baik sekali. Mari kita mencari bambu dan membuat dayung," kata Pat-jiu Mo-kai yang bersama Siok Tojin dianggap orang tertua dan tertinggi ilmunya. Tak lama kemudian, tampaklah lima orang itu meluncur di atas Rawa Bangkai yang terkenal sukar dilalui orang itu. Dilihat dari jauh, seolah-olah lima orang itu terbang meluncur di atas air rawa! Akan tetapi kalau orang melihat dari dekat barulah tampak bahwa kaki mereka menginjak sebatang bambu besar yang kedua ujungnya telah diperuncing dan mereka menggunakan dayung kayu untuk mendorong bambu yang mereka injak itu meluncur ke tengah. Orang yang tidak memiliki ginkang dan sinkang jangan mencoba-coba untuk menyebrang menggunakan cara seperti ini. Bambu sebatang yang diinjak kaki itu tentu saja amat berbahaya, selain licin juga dapat berputar sehingga kaki dapat terpeleset. Namun, dengan kekuatan sinkang, telapak kaki mereka seolah olah melekat pada batang bambu itu tidak dapat berputar, dan dengan ginkang mereka lima orang lihai kepercayaan An Lu Shan itu dapat memperingan tubuh mereka dan bambu yang mereka injak itu meluncur cepat ke tengah rawa. Mereka adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Yang paling rendah tingkatannya di antara mereka adalah Bu Swi Nio, padahal wanita ini sudah amat lihai karena semenjak kecil dia telah digembleng pula oleh wanita sakti The Kwat Lin, ratu dari Pulau Es! Diam-diam, dari tempat persembunyian mereka, banyak pasang mata mengintai dan memandang dengan kagum ketika lima orang itu meluncur datang ke arah pulau di tengah Rawa Bangkai. Melihat lima orang itu menggunakan sebatang bambu yang diinjak, melihat mereka itu menggunakan kepandaian membunuh ular dan binatang berbisa lain yang menghadang di tengah perjalanan itu, orang-orang Rawa Bangkai menjadi kagum dan segera melaporkan kepada Kiam-mo Cai-li dan The Kwat Lin akan kedatangan lima orang itu. Kedua orang wanita sakti ini segera berunding sambil menanti kedatangan mereka. Melihat bahwa Bu Swi Nio berada di antara mereka, The Kwat Lin menjadi marah sekali. "Keparat," desisnya marah. "Murid itu mengantarkan nyawanya ke sini!" "Ahhh, The-lihiap, mengapa marah? Harap diingat bahwa dia bukanlah muridmu yang dahulu, melainkan seorang pembantu An Lu Shan yang dipercaya. Karena itu, untuk memulai dengan hubungan persekutuan, amatlah tidak baik memusuhi utusan An Lu Shan," kata Kiam-mo Cai-li. The Kwat Lin tercengang dan teringat akan cita-citanya. Memang benar, urusan pribadi harus dikesampingkan kalau dia ingin agar cita-citanya yang amat tinggi untuk putranya itu akan dapat terlaksana. Maka dia lalu mengajak Kiam-mo Cai-li berunding bagaimana untuk menghadapi lima orang itu, utusan-utusan An Lu Shan dimana termasuk bekas muridnya itu. Kiam-mo Cai-li yang amat cerdik lalu memberi nasihat-nasihat sehingga keduanya dapat mengatur siasat. Biarpun penyeberangan itu amat sukar dan mereka berlima harus membunuh banyak ular berbisa, saling bantu membantu ketika batang bambu mereka itu menemui banyak halangan, akhirnya lima orang itu berhasil juga melompat ke atas pulau dimana telah berdiri serombongan orang yang ditugaskan menyambut mereka. Melihat dua puluh lebih orang yang berdiri seperti pasukan menyambut mereka, Pat-jiu Mo-kai segera tertawa bergelak dan berkata, "Ha-ha-ha, sungguh bagus sekali penyambutan Rawa Bangkai terhadap utusan dari An Goan-swe!" Seorang di antara anggauta pasukan itu, yang berjenggot panjang dan bermata sipit, melangkah maju dan memberi hormat. "Selamat datang di Rawa Bangkai! Karena kami tidak tahu bahwa Cuwi yang terhormat datang berkunjung maka kami tidak mengadakan penyambutan di luar rawa. Akan tetapi Cuwi telah memperlihatkan kegagahan yang membuat kami tunduk dan kagum. Sekarang, silahkan Cuwi semua ikut dengan kami menghadap Hong-houw (Ratu)." Diam-diam lima orang itu terkejut juga sungguhpun mereka tahu siapa yang dimaksudkan dengan sebutan ratu itu. Benar-benar bekas ketua Bu-tong-pai adalah seorang wanita yang angkuh dan hendak menerima mereka sebagai seorang ratu! Akan tetapi karena mereka berada di sarang yang berbahaya, mereka tidak banyak cakap melainkan mengikuti pasukan itu menuju ke tengah pulau dimana terdapat bangunan- bangunan yang kuat dan cukup indah. Lima orang utusan An Lu Shan itu diterima oleh The Kwat Lin, Kiam-mo Cai-li Liok Shi, dan Han Bu Ong putra The Kwat Lin, di dalam sebuah ruangan yang luas. Agak pucat muka Swi Nio dan otomatis dia menyentuh tangan Liem Toan Ki yang membalas dengan genggaman seolah olah hendak menghibur kegelisahan calon istrinya itu. Tentu saja Swi Nio merasa takut karena dia sudah mengenal watak subonya yang keras dan kejam, juga maklum betapa lihainya subonya itu. Dia tahu bahwa andai kata subonya berniat buruk, mereka berlima tentu akan tewas semua di tempat itu. "Ibu, itu Swi-suci yang telah minggat datang kembali!" tiba tiba Han Bu Ong berkata sambil menudingkan telunjuknya ke muka Swi Nio. Swi Nio tidak dapat berdiam diri lebih lama lagi, dan dia maju menjatuhkan diri berlutut sambil berkata, "Subo, teecu harap subo sudi mengampunkan teecu." The Kwat Lin memandang tajam sejenak lalu menghela napas dan menggerakkan tangannya. Dia cukup bermata tajam untuk dapat melihat betapa empat orang laki laki yang datang bersama Swi Nio itu bersikap siap siaga dan kalau dia menurutkan hati panas turun tangan mengganggu muridnya itu, tentu empat orang utusan An Lu Shan itu akan membela Swi Nio mati matian. Hal ini sama sekali tidak diharapkannya dan sudah dibicarakannya tadi bersama Kiam-mo Cai-li, maka dia menekan perasaannya dan berkata, "Bangkitlah, engkau pergi dan menjadi kepercayaan An Goanswe, tidak terlalu mengecewakan." Lega bukan main hati Swi Nio dan dia bangkit berdiri lalu berkata kepada Bu Ong, "Sute engkau baik baik saja, bukan?" An Bu Ong yang biarpun masih kecil namun sikapnya sudah seperti orang dewasa itu mencibirkan bibirnya, mendengus seperti orang mengejek, lalu berkata, "Suci, baik sekali engkau, ya? Suheng dibunuh orang, dan ibu sampai lari ke sini, akan tetapi engkau malah minggat dan enak enak saja!" "Bu Ong, diamlah engkau!" The Kwat Lin berkata, lalu melanjutkan kepada Swi Nio, "Swi Nio, tahukah engkau bahwa kakakmu telah tewas?" Swi Nio mengangguk dan air matanya bercucuran dan segera diusapnya. "Teecu sudah mendengar akan hal itu, Subo." "Kalau begitu kita sama-sama mendendam kepada pemerintah. Kita lupakan saja semua urusan lama, Swi Nio, dan baik sekali kalau kita dapat bekerja sama. Agaknya engkau kini sudah dipercaya menjadi utusan An Goanswe, ya?" Swi Nio cepat menjawab dan memperkenalkan teman-temannya. "Teecu hanya menjadi pembantu dan penunjuk jalan saja bersama....dia ini...." Swi Nio menunjuk kepada Liem Toan Ki dan mukanya menjadi merah. "Siapa dia?" The Kwat Lin memandang tajam kepada Liem Toan Ki yang cepat maju menjura dengan hormat. "Maafkan, Pangcu...." "Aku bukan Ketua Bu-tong-pai lagi, aku adalah bekas Ratu Pulau Es!"jawab Kwat Lin ketus. "Maaf, saya bernama Liem Toan Ki dan Bu-moi adalah calon istri saya." "Ibu, dia ini yang pernah menyerbu Bu-tong-pai dan dialah tentunya yang membawa minggat Suci!" tibatiba Bu Ong berkata. Toan Ki diam-diam memuji kecerdikan anak laki-laki itu dan dia terkejut sekali. "Benar demikian, saya yang dahulu menjadi petugas An Goanswe menyelidiki Bu-tong-pai dan kemudian mengajak pergi Bu-moi yang sekarang menjadi calon istri saya." The Kwat Lin mengerutkan alisnya. Laki-laki ini sebenarnya telah menghinanya sebagai bekas Ketua Bu-tong-pai dan sebagai guru Swi Nio, akan tetapi diam-diam dia menerima isyarat mata Kiam-mo Cai-li, maka dia menoleh kepada Swi Nio sambil bertanya, "Benarkah kau menjadi calon isterinya?" Muka Swi Nio menjadi merah sekali. "Benar, Subo. Kami saling mencinta, akan tetapi teecu dan dia berjanji hanya akan melangsungkan pernikahan setelah dendam saya terbalas, yaitu setelah kerajaan sekarang jatuh dan dikuasai An Goanswe." "Hemm, sudahlah. Kalau kau dan calon suamimu ini hanya membantu, siapa yang menjadi utusan An Goanswe menghadap padaku?" "Mereka inilah," Swi Nio menunjuk kepada tiga orang teman-temannya. Dia adalah Pat-jiu Mo-kai, dan Totiang ini adalah Siok Tojin, Lo-enghiongitu adalah Tan Goan Kok. Mereka bertiga yang menjadi utusan An Goanswe. The Kwat Lin memandang tajam kepada tiga orang itu seolah-olah hendak menimbang bobot mereka dengan matanya. Pat-jiu Mo-kai yang tertua dan dianggap pemimpin rombongan apalagi karena dia yang pandai bicara dibandingkan Tan Goan Kok yang kasar dan jujur, apalagi dengan Siok Tojin yang jarang sekali membuka mulut, segera tertawa. "Ha-ha-ha, kami bertiga pun hanyalah pembantu-pembantu rendahan saja dari An Goanswe, akan tetapi kami menerima kehormatan untuk menjadi utusan Beliau menghadap Toannio The Kwat Lin yang namanya terkenal sebagai Ratu Pulau Es dan Ketua Bu-tong-pai, juga menghadap Kiam-mo Cai-li yang juga amat terkenal di dunia Kang-ouw sebagai seorang wanita yang amat lihai dan cerdas sekali. Kami merasa amat terhormat dapat menjadi tamu-tamu di Rawa Bangkai ini." Kiam-mo Cai-li Liok Si yang memang amat cerdas, kini mendahului Kwat Lin dan berkata, "Tidak tahu apakah kedatangan Cuwi ada hubungannya dengan pesan kami kepada An Goanswe" "Dugaan Cai-li benar sekali. Kami berlima adalah utusan An Goanswe untuk menghadap Jiwi dan untuk bicara dengan Jiwi. An Goanswe telah menerima pesan Jiwi dan sebagai jawaban An Goanswe mengutus kami untuk bicara." "Lalu bagaimana keputusan An Goanswe tentang ajakan kami untuk bekerja sama?" The Kwat Lin bertanya. "An Goanswe merasa amat senang menerima surat Jiwi dan tentu saja An Goanswe menerima dengan kedua tangan terbuka uluran kerja sama Jiwi itu. Sudah lama An Goanswe merasa kagum, terutama sekali melihat siasat gemilang yang berhasil baik sehingga Jiwi sekalian dapat menyelundupkan orang menjadi kepercayaan Yang Kui Hui. Hanya sayang, pada saat terakhir siasat gemilang itu mengalami kegagalan karena orang kepercayaan Jiwi tidak dapat menahan nafsu berahinya. Kami diutus oleh An Goanswe untuk menyampaikan pesan bahwa jika Jiwi suka membantu dari dalam, yaitu berusaha menanam tenaga-tenaga bantuan di dalam kota raja dan kalau mungkin di dalam istana agar kelak memudahkan penyerbuan ke kota raja apabila saatnya yang tepat tiba, maka An Goanswe akan berterima kasih sekali." Mendengar pesan An Lu Shan yang di sampaikan oleh Pat-jiu Mo-kai ini, hati kedua orang wanita itu menjadi girang sekali sungguhpun kegirangan itu tidak terbaca di wajah mereka. "Kami yang tidak mempunyai pasukan besar memang tahu diri dan tentu saja hanya akan membantu dari dalam seperti yang diusulkan An Goanswe. Kami dapat menerima usul itu dan sebaiknya kita rencanakan siasat-siasatnya bersama." The Kwat Lin berkata. "Sebelum kita berunding dan mengatur siasat agar dapat kami sampaikan kepada An Goanswe terlebih dahulu kami harus menyampaikan semua pesan Beliau untuk Jiwi. Selain usul itu juga An goanswe mengatakan bahwa pekerjaan membantu dari dalam itu merupakan pekerjaan yang amat rumit, sulit, dan berbahaya. Hanyalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi saja yang akan dapat berhasil dan An Goanswe ingin memperoleh keyakinan bahwa para pembantunya tidak akan gagal." Mendengar kata-kata kakek berpakaian tambalan itu, merahlah wajah The Kwat Lin dan hatinya menjadi panas. "Hemm, ucapanmu itu berarti bahwa kalian hendak menguji kepandaian kami?" Sambil tertawa Kiam-mo Cai-li yang melihat kemarahan kawannya itu bangkit berdiri dan meloncat ke tengah ruangan yang luas itu sambil berkata, "Memang sudah seharusnya demikian! An Goanswe adalah seorang Jenderal besar yang cerdik pandai, tentu akan menguji setiap orang sekutu atau pembantunya. Nah, biarlah aku yang lebih dulu memperlihatkan kepandaian. Siapakah di antara Cuwi berlima yang hendak menguji?" Dengan lagak memandang rendah Kiam-mo Cai-li berdiri dan memandang ke arah lima orang utusan itu. Tentu saja Bu Swi Nio tidak berani bergerak, juga Liem Toan Ki yang sudah maklum akan kehebatan ilmu kepandaian wanita Majikan Rawa Bangkai itu mengerti bahwa dia bukanlah tandingannya. Melihat wanita yang usianya lima puluh tahun itu masih cantik menarik dan memegang sebatang payung, berdiri dengan sikap memandang rendah, Siok Tojin yang sejak tadi diam saja sudah bangkit. Ilmu kepandaian tosu ini amat tinggi terutama ilmu pedangnya, dan di dalam rombongan itu dia merupakan orang ke dua yang terpandai. "Biarlah pinto yang akan menguji," katanya. Pat-jiu Mo-kai mengangguk. Memang yang akan menjadi tukang menguji kepandaian dua orang wanita itu adalah mereka bertiga, dan dia mendengar bahwa kepandaian bekas Ratu Pulau Es itu lebih hebat daripada kepandaian Kiam-mo Cai-li, maka memang sebaiknya kalau Siok Tojin yang menghadapi Kiam-mo Cai-li sedangkan dia nanti yang akan menghadapi The Kwat Lin. Kiam-mo Cai-li memandang tosu itu penuh perhatian, kemudian sambil tersenyum dia berkata, "Kalau aku hanya mampu menandingi Siok Tojin, agaknya belumlah patut aku menjadi tangan kanan Ratu Pulau Es dan akan menjadi kepercayaan An Goanswe, akan tetapi hendak kuperlihatkan bahwa aku akan dapat mengalahkan totiang dalam sepuluh jurus. kalau sampai dalam sepuluh jurus aku tidak mampu mengalahkan Totiang, anggap saja aku tidak becus dan aku akan mengundurkan diri!" Ucapan ini mengejutkan semua utusan itu. Biarpun mereka sudah lama mendengar nama besar datuk wanita yang merupakan iblis betina ini, namun Siok Tojin bukan orang sembarangan. Ilmu pedangnya amat tangkas, hebat dan kuat. Bagaimana wanita itu berani bersombong mengatakan hendak mengalahkannya dalam sepuluh jurus? Namun The Kwat Lin yang dengan pandang matanya yang tajam dapat menilai orang, tenang-tenang saja. Juga Kiam-mo Cai-li bukanlah menyobongkan diri secara ngawur, melainkan dia pun sudah dapat menilai kepandaian tosu itu dari gerakanya maka dia berani menantang akan mengalahkannya dalam sepuluh jurus. Siok Tojin mengerutkan alisnya, perutnya terasa panas. Dia tidak pandai bicara, maka dalam kemendongkolannya dia hanya berkata, "Hemm, seekor kerbau diikat hidungnya, manusia diikat mulutnya!" Ucapan ini mengandung maksud bahwa kalau Kiam-mo Cai-li tidak memenuhi janji yang diucapkan dengan mulut, dia sama dengan seekor kerbau! Setelah berkata demikian, tangan kananya bergerak dan tampaklah sinar berkilau dari pedang yang telah dicabutnya. "Tentu saja mulutku dapat dipercaya, Siok Tojin! Aku akan mengalahkanmu dalam waktu sembilan jurus! Kiam-mo Cai-li berkata sambil mengejek dan tangan kanannya memegang payung yang segera terbuka dan dipakainya, sedangkan tangan kirinya diraba-raba sanggul rambutnya, seperti merapikan padahal diamdiam dia melepas tali rambutnya yang panjang itu. "Ehhh.... celaka.....!!" Siok Tojin berseru, akan tetapi bagaimana dia dapat menghindarkan diri dari serangan ke tiga ini? Kedua tangannya telah menahan dua ancaman maut dan sama sekali tidak bisa dilepaskan. "Plak-plak....!!" Seperti ular hidup mematuk saja layaknya, ujung rambut panjang itu menotok dua kali, membuat ke dua lengan tangan Siok Tojin seketika lumpuh dan pedangnya telah dirampas oleh ujung rambut yang terayun-ayun dan berputar ke atas, membawa pedang itu berputaran di atas kepala. "Bagaimana, Totiang?" Kiam-mo Cai-li bertanya. Sambil menundukan kepalanya, Siok Tojin berkata lirih, "Pinto mengaku kalah." Dan memang dia tahu akan kekeliruannya sekarang, akan tetapi dia harus mengaku bahwa dia telah dikalahkan dalam lima enam jurus saja! Dia tahu pula bahwa lawan tidak hendak mencelakakannya, kakau tidak, tentu ujung rambut itu dapat melakukan totokan maut yang akan menewaskannya. Rambut itu membawa pedang meluncur ke bawah dan melempar pedang menancap di depan kaki Siok Tojin, kemudian dua kali rambut menyambar, dan menotok sehingga terbebaslah tosu itu dari totokan. Siok tojin menghela napas, mengambil pedangnya, menjura lalu tanpa berkata-kata lagi dia menlangkah mundur ke tempat teman-temannya. "Ha-ha-ha, bukan main hebatnya Kiam-mo Cai-li. Pedang payung lihai, kukunya berbahaya, rambutnya hebat, akan tetapi yang lebih hebat lagi adalah kecerdikannya yang memancing kemarahan Siok Tojin! Memang kecerdikan seperti itu amat dibutuhkan dalam tugas bekerja dari dalam yang membutuhkan kecerdikan seperti yang dimiliki Kiam-mo Cai-li. (Kionghi (Selamat)! An Goanswe tentu akan girang sekali mendengar laporan kami tentang diri Kiam-mo Cai-lil!" Kiam-mo Cai-li yang sudah duduk kembali, tersenyum girang. Aihh, Loenghiong Pat-jiu Mo-kai terlalu memuji! katanya dengan bangga dan girang. "Sekarang untuk melengkapi tugas kami yang diberikan oleh An Goanswe, kuharap The-toanio suka memperlihatkan kepandaian," kata pula Pat-jiu Mo-kai sambil melangkah maju menyeret tongkat bututnya. "Dan agaknya terpaksa aku sendiri yang harus maju melayani Toanio." The Kwat Lin masih tetap duduk dan memandang kakek pengemis itu dengan sinar mata tajam penuh selidik, kemudian dengan suar tenang dia berkata, "Siapa lagi yang diutus oleh An Goanswe untuk menguji kami?" "Hanya kami bertiga, dan karena Siok Tojin sudah kalah....." "maka tinggal engkau dan Tan Lo-enghiong itu. Nah, kaulihat Tan Lo-enghiong juga telah membawa senjatanya, membawa sebatang toya, maka sebaiknya kalau kalian berdua maju dan mengeroyokku!" Pat-jiu Mo-kai tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, The-toannio, apakah Toanio juga hendak menggunakan siasat seperti Kiam-mo Cai-li tadi? Ingat, tidaklah mudah untuk memancing kemarahanku!" The Kwat Lin mengerutkan alisnya, lalu melangkah maju. "Siapa yang menggunakan siasat? Tanpa siasat pun, menghadapi kalian berdua aku masih sanggup." Tiba-tiba terdengar suara Han Bu Ong, "Ibu, berikan dia kepadaku! Biar aku yang menandingi pengemis tua itu!" Pat-jiu Mo-kai diam-diam terkejut. Kalau seorang anak belasan tahun berani menghadapinya, tentu ibunya memiliki kepandaian yang hebat sekali. Akan tetapi The Kwat Lin menoleh kepada puteranya dan berkata, "Bu Ong, kita tidak sedang menghadapi musuh, dan pertandingan ini hanya untuk menguji kepandaian saja. Jangan kau ikut-ikut!" Han BU Ong cemberut lalu berkata, "Apalagi hanya dikeroyok dua, biar kalian berlima maju semua, ibu akan dapat mengalahkan kalian dengan satu tangan saja!" Kembali Pat-jiu Mo-kai terkejut. Bocah itu, putera The Kwat Lin, tidak lebih dianggap seperti bocah biasa, dan tentu telah memiliki kepandaian tinggi pula, maka kata-katanya tidak boleh dianggap kosong belaka. Lenyaplah keraguannya dan dia berkata kepada The Kwat Lin, "Memang sesungguhnya aku sendiri dan Tan Goan Kok merupakan orang-orang yang diutus menguji kepandaian Toanio, apakah kami boleh maju bersama menghadapi kelihaian Toanio?" Dengan sikap tak acuh The Kwat Lin berkata sambil menggerakan tangan kirinya, "Majulah, jangan sungkan-sungkan!" Tan Goan Kok yang berwatak kasar itu melompat ke depan. "Hemm, tentu Nyonya rumah memiliki kelihaian yang luar biasa maka menantang kita maju berdua, Pat-jiu Mo-kai!" Pat-jiu Mo-kai mengangguk-angguk. "Hati-hatilah, Tan-sicu." Mereka berdua lalu memasang kuda-kuda di sebelah kanan kiri The Kwat Lin. Pat-jiu Mo-kai memegang tongkat butut dengan tangan kanan seperti memegang sebatang pedang, tongkat itu menuding ke depan dari dadanya, lurus ke depan, sedangkan tangan kirinya menjaga di depan pusar, kedua kaki ditekuk sedikit, agak merapat di depan dan belakang. Tan Goan Kok memegang toyanya dengan kedua tangan, kuda-kudanya kuat sekali, kokoh seperti batu karang dan toya di kedua tangannya itu sedikit pun tidak bergoyang. Melihat dua orang itu sudah memasang kuda-kuda, The Kwat Lin lalu mencabut pedangnya, yaitu Angbwe- kiam dan melangkah maju sambil berkata, Nah silahkan kalian mulai!" "Kami adalah tamu-tamu dan kami maju berdua, tidak pantas kalau kami mulai, silahkan Toanio mulai," kata Pat-jiu Mo-kai yang tidak mau membuka serangan karena dia ingin lawan maju menyerang lebih dulu agar dia atau temannya dapat mengacaukan pertahanan lawan dengan serangan mendadak. The Kwat Lin tersenyum, maklum akan siasat kakek jembel itu. "Nah, sambutlah!" teriaknya dan Pat-jiu Mo-kai kecele kalau hendak melanjutkan siasatnya karena tiba-tiba pedang itu lenyap bentuknya, berubah menjadi sinar yang menyambar ke arah mereka seperti kilat cepatnya sehingga sekali bergerak, pedang itu telah menyerang mereka berdua dalam waktu yang hampir bersamaan! Tentu saja mereka terkejut sekali dan cepat menggerakkan tongkat dan toya untuk menangkis. "Trang...! Cringggg....!!" Pat-jiu Mo-kai dan Tan Goan Kok terhuyung ke belakang. Tenaga yang keluar dari Ang-bwe-kiam sungguh dahsyat, membuat telapak tangan mereka terasa panas dan hampir saja senjata mereka terlepas. Terkejutlah kedua orang itu dan The Kwat Lin diam-diam mentertawakan mereka karena dia memang hendak mengukur lebih dulu kekuatan lawan. Karena merasa penasaran, kini ke dua orang itu maju dari kanan kiri dan mulailah mereka menyerang dengan ganas. Kwat Lin sudah dapat mengetahui bahwa di antara kedua orang pengeroyoknya, tongkat kakek jembel itulah yang lebih lihai maka dia selalu mendahulukan tangkisannya terhadap tongkat itu, baru dia menangkis toya yang menyambar. Dia tahu bahwa kakek Tan Goan Kok yang kasar itu hanyalah menggandalkan tenaga gwakang yang besar, namun makin besar tenaga kasar lawan, makin mudah dia menghadapinya karena sedikit getarkan pedang yang dilakukan dengan pengerahan sinkang cukup membuat telapak tangan Tan Goan Kok terpukul sendiri oleh tangannya. Lewat sepuluh jurus, setelah dia yakin akan ukuran tenaga kedua orang lawannya, Tiba-tiba The Kwat Lin menyarungkan kembali pedangnya dan menghadapi kedua lawan itu dengan tangan kosong. Tentu saja dua orang lawannya cepat menahan senjata dan pat-jiu Mo-kai berseru, Heiii, The-toanio. Kami belum kalah mengapa engkau mengakhiri pertandingan?" "Siapa Mengakhiri? lanjutkanlah serangan kalian, aku menyimpan pedang karena takut rusak." "Huhhh, dengan tangan kosong pun ibu akan mudah mengalahkan kalian!" Mendengar teriakan bocah itu, dua orang kakek itu lalu maju lagi dan menggerakan senjata mereka untuk menyerang. Tongkat pat-jiu Mo-kai melayang dari atas menghantam kepala, sedangkan toya Tan Goan Kok menyambar dari samping menghantam lambung! Mereka terkejut setengah mati melihat lawan itu sama sekali tidak mengelak, hanya miringkan sedikit tubuhnya dan meloncat sedikit. "Bukkk! Bukkkk!!" Tongkat itu dengan kerasnya menghantam leher dan toya itu menghantam pangkal paha, akan tetapi tiba-tiba dua orang kakek itu roboh terguling dalam keadaan lemas tertotok! "Horeeee....!!" Han Bu Ong bersorak melihat betapa dalam segebrakan saja setelah ibunya menyimpan pedang, dua orang pengeroyok itu dapat dirobohkan. Sementara itu, The Kwat Lin cepat membebaskan totokannya dan dua orang kakek itu dapat bangkit sambil memungkut senjata mereka dan memandang dengan mata terbelalak kagum kepada wanita itu. Hampir mereka tidak dapat percaya bahwa mereka dapat dirobohkan hanya dalam segebrakan saja, namun kenyataannya memang demikian dan mengingat akan siasat lawan ini, mereka bergidik dan kagum sekali. Ternyata ketika tadi dia menggunakan pedang, The Kwat Lin hanya ingin mengukur sampai di mana kekuatan dua orang lawannya. Setelah yakin benar, dia menyimpan pedang dan sengaja menerima hantaman yang sudah dia ukur akan dapat diterima oleh leher dan pinggulnnya, kemudian pada saat kedua senjata itu tiba di tubuhnya, menggunakan kesempatan selagi kedua orang kakek itu terkejut melihat lawan tidak mengelak dan menerima pukulan, cepat seperti kilat kedua tangan The Kwat Lin bergerak dan berhasil menotok roboh dua orang kakek yang sama sekali tidak menduga bahwa lawan yang terkena hantaman dua kali itu akan menotok mereka! "Bukan Main!!!" Tan Goan Kok berseru dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Belum pernah selama hidupnya dia bertemu tanding sehebat itu. "Kami mengaku kalah! Kiranya The toanio memiliki kelihaian yang amat luar biasa dan kami akan melaporkan semua ini kelak kepada An Goanswe," kata pat-jiu Mo-kai. The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li girang sekali setelah dapat menundukan para utusan itu, maka pesta lalu diadakan untuk menyambut utusan-utusan An Lu Shan dan sambil makan minum mereka lalu merundingkan dan merencanakan siasat untuk bekerja sama. Dalam kesempatan ini, Pat-jiu Mo-kai mengeluarkan sebuah peti hitam kecil dan menyerahkannya kepada The Kwat Lin sambil berkata, "Harap Toanio suka menerima hadiah tanda persahabatan dari An Goanswe ini." The Kwat Lin menyatakan terima kasih, lalu bersama Kiam-mo Cai-li membuka peti yang terisi emas dan perak dalam jumlah yang cukup banyak. The Kwat Lin lalu melepaskan rantai kalungnya dan menyerahkannya kepada Pat-jiu Mo-kai sambil berkata, "kami tidak mempunyai apa-apa untuk dipersembahkan kepada An Goanswe sebagai tanda persahabatan ini, harap Mo-kai suka menerima dan menyampaikan kepada Beliau." Pat-jiu Mo-kai menerima kalung itu dan mereka berlima terbelalak kagum melihat mata kalung yang amat besar dan indah penuh batu permata yang amat luar biasa. Biarpun mereka bukanlah ahli, namun pengalaman mereka membuat mereka, terutama tiga orang kakek itu dapat menduga bahwa harga kalung ini tidak kalah mahalnya dengan peti dan isinya, hadiah dari An Lu Shan tadi! "Hendaknya di antara pelaporan Cuwi, diberitahukan kepada An Goanswe bahwa kami sama sekali tidak membutuhkan harta benda, melainkan hendaknya An Goanswe mengingat bahwa saya adalah bekas Ratu Pulau Es dan puteraku adalah seorang Pangeran, sedangkan Kiam-mo Cai-li adalah majikan Rawa Bangkai sehingga kelak kalau perjuangan kita berhasil, sudah sepatutnya kalau kami memperoleh kedudukan yang setingkat dengan keadaan dan dengan bantuan kami." Mengertilah tiga orang kakek itu bahwa wanita lihai bekas ratu ini ternyata memiliki ambisi untuk kedudukan tinggi bagi puteranya. Sudah terlalu lama kita meninggalkan Lui Bwee, Ratu Pulau Es yang bernasib sengsara, ibu dari Swat Hong itu. Seoerti telah diceritakan di bagian depan, Liu Bwee meninggalkan Pulau Es, naik perahu dan mencari atau menyusul puterinya, Han Swat Hong yang lebih dulu meninggalkan Pulau Es menuju ke Pulau Neraka hendak menggantikan hukuman yang dijatuhkan oleh Raja Pulau Es atau diri Liu Bwee. Sambil menahan tangisnya, wanita yang menderita sengsara karena madunya ini mendayung perahu secepatnya meninggalkan Pulau Es. Akan tetapi, biarpun semenjak kecil berada di Pulau Es, namun dia belum pernah pergi Ke Pulau Neraka. Siapakah orangnya yang berani pergi ke Pulau Neraka, kecuali mereka yang memang dihukum buang ke pulau terkutuk itu? Karena tidak mengenal jalan, Lui Bwee menjadi bingung, apalagi karena tidak lagi melihat bayangan puterinya. Dia adalah puteri nelayan Pulau Es, tentu saja dia pandai mengemudikan perahu, akan tetapi karena tidak tahu di mana letaknya Pulau Neraka, dia menjadi bingung dan meluncurkan perahunya tanpa arah tertentu, asal meninggalkan Pulau Es sejauh-jauhnya saja. Dia ingin menjauhkan diri dari suaminya yang amat tercinta, dan terutama dari The Kwat Lin, madunya yang telah menghancurkan hidupnya. Setelah sehari semalam berputaran tanpa tujuan dan sama sekali tidak melihat Pulau Neraka atau puterinya, bahkan tidak melihat seorang pun manusia yang dapat dia tanyai di antara gumpalan-gumpalan es yang mengambang di laut dan pulau-pulau kosong yang banyak terdapat di situ, tanpa makan tanpa tidur, akhirnya Liu Bwee terpaksa mendarat di sebuah pulau kosong yang subur. Dia mencari makanan untuk memenuhi tuntutan perutnya yang lapar, kemudian melihat bahwa pulau ini cukup subur dan baik hawanya, dia mengambil keputusan untuk tinggal di pulau itu, betapa selama hidupnya sampai hari akhir. Dia sudah merasa bosan dengan urusan dunia yang hanya mendatangkan kesengsaraan batin belaka. Mulailah Liu Bwee, wanita cantik yang usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun dan masih kelihatan muda sekali itu mengasingkan diri dan bertapa di pulau kosong sampai hampir enam bulan lamanya. Dia sudah menemukan ketentraman batin, melupakan segala urusan duniawi. Namun ada saja sebabnya kalau memang belum jodohnya menjadi pertapa. Pada suatu hari, badai yang amat hebat mengamuk. Badai inilah yang membasahi Pulau Es dan badai ini mengamuk juga di pulau kosong di mana Liu Bwee bertapa itu. Hebat bukan main dan biarpun Liu Bwee tadinya sudah bersembunyi di dalam goa, dia diterjang air laut yang naik ke atas pulau. Berkat ketangkasan dan kepandaiannya, Liu Bwee berhasil menyambar ujung ranting pohon ketika tubuhnya diseret oleh harus ombak laut yang amat kuat dan dia berhasil naik ke puncak pohon kecil yang menyelamatkanya. Akan tetapi, air bergelombang dari arah laut dan dia harus berpegang kepada batang pohon itu kuat-kuat setiap kali air menghantamnya dengan kekuatan yang amat dahsyat. Dan hal ini berlangsung berjam-jam. Betapapun kuatnya Liu Bwee, dia hanya seorang manusia, maka makin lama makin lemaslah tubuhnya karena dia harus berjuang melawan air laut yang dahsyat itu. Setiap kali ombak datang bergulung, hampir menenggelamkan pohon itu dan selain dia harus berpengang kuat-kuat mengerahkan sinkangnya agar jangan sampai terseret oleh air, juga dia harus menahan napas karena iar menghantam seluruh tubuh dan mukanya. "Celaka...." pikirnya ketika untuk kesekian puluh kalinya dia berhasil mempertahankan dirinya dari serangan air laut. "Kalau terus begini, aku tidak akan kuat lagi bertahan...." Liu Bwee melihat ke kanan kiri. Banyak pohon yang sudah tumbang dan dia merasa ngeri. Kalau pohon di mana dia berlindung ini tumbang, dia tentu akan tewas. Sayang dia tidak dapat pindah ke pohon yang tinggi di sana itu, tentu dia akan aman dan air tidak dapat mencapai pohon itu. Kembali datang serangan air, Liu Bwee memejamkan mata, menahan napas dan berpegang eraterat, maklum bahwa yang datang ini adalah ombak yang amat ganas dan kuat. "Haiiii....! Yang di sana itu.....! Berpeganglah kuat-kuat....! Aku akan berusaha menolongmu....!!" Teriakan suara laki-laki ini datang dari arah pohon tinggi tadi. Liu Bwee membuka matanya, melihgat sinar hitam kecil menyambar dari pohon besar itu, akan tetapi pada saat itu, air pun datang menerjang dengan kekuatan yang amat dahsyat. "Oughhh....!" Betapapun kuat kedua tangannya Liu Bwee berpegang pada ranting pohon, namun kekuatan air itu lebih dahsyat lagi. Terdengar batang itu patah dan tubuh Liu Bwee hanyut terseret ombak. Dia sudah putus asa dan menyerahkan jiwa raganya kepada Tuhan. "Matilah aku...." bisiknya. Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya terasa nyeri dan tertahan, kemudian tubuhnya ditarik menuju ke pohon besar! Ketika dia memperhatikan, kiranya tubunya telah terlibat sehelai tali hitam yang amat kuat dan teringatlah dia akan sinar hitam yang tadi menyambar kepadanya sebelum air menghantamnya. Dia maklum bahwa ada orang menolongnya maka bangkit kembali semangatnya untuk melawan maut, mempertahankan hidupnya. Lui Bwee mulai menggerakkan kaki tangannya, berenang agar tidak sampai tengelam dan membiarkan dirinya diseret oleh tali itu ke arah pohon besar yang lebih tinggi itu. Napasnya terengah-engah hampir putus karena tenaganya sudah habis dipergunakan untuk melawan hantaman-hantaman air yang bertubi-tubi tadi. Kalau saja tidak ada tali hitam yang melingkari pinggangnya dan selain menariknya ke arah pohon juga menahannya dari seretan ombak, tentu dia tidak sanggup berenang ke pohon itu. Dia berenang hanya untuk mencegah tubuhnya tenggelam saja. Tahulah dia bahwa nyawanya diselamatkan oleh tali dan diam-diam dia berterima kasih sekali kepada orang yang berada di pohon dan yang belum tampak olehnya itu. Dengan seluruh tenaga yang masih bersisah padanya, Liu Bwee berusaha keras agar dia tidak sampai tenggelam. "Pertahankanlah.... sebentar lagi...." terdengar suara laki-laki tadi dari pohon dan Liu Bwee merasa betapa tubuhnya di tarik makin cepat ke arah pohon karena dari arah laut sudah datang lagi gelombang yang amat dahsyat. Ngeri juga dia menyaksikan gelombang sebesar gunung yang datang bergulung-gulung dari depan seolah-olah seekor naga raksasa yang datang hendak menelannya. "Cepat.... cepatlah!" Dia merintih dan dalam keadaan setengah pingsan dia merasa betapa tubuhnya ditarik atau lebih tepatnya diseret ke arah pohon itu. Akhirnya dia tiba di pohon itu dan sebuah lengan yang kuat, menyambarnya, tubuhnya diangkat ke atas pohon tepat pada saat gelombang itu datang bergulung-gulung. Liu Bwee mengeluh dan tak sadarkan diri! "Aneh....!" Lapat-lapat Liu Bwee mendengar kata-kata "aneh" itu. Akan tetapi seluruh tubuhnya sakit-sakit, kepalanya pening dan tenaganya habis maka dia tidak membuka mata dan membiarkan saja ketika measa betapa ada telapak tangan hangat menyentuh tengkuknya dan dari telapak tangan itu keluar hawa sinkang yang hangat dan yang membantu peredaran jalan darahnya, memulihkan kembali tenaganya secara perlahan-lahan. "Aneh sekali....!" Kini Liu Bwee teringat semua dan mengenal suara itu sebagai suara laki-laki yang menolongnya. Cepat dia membuka matanya dan menggerakan tubuhnya hendak bangkit duduk. Akan tetapi hampir dia menjerit karena tubuhnya limbung dan kalau laki-laki itu tidak cepat menyambar lengannya, tentu dia sudah jatuh terguling dari atas batang pohon yang besar itu, jatuh ke bawah yang masih direndam air laut yang masih berguncang. "Ahhhh....!" Dia berkata lalu mengangkat muka memandang. Seorang laki-laki, usianya tentu sudah empat puluh tahun lebih duduk di atas dahan di depannya. Laki-laki itu berwajah gagah sekali, alisnya tebal matanya lebar dan air mukanya yang penuh goresan tanda penderitaan batin itu kelihatan matang dan penuh ketulusan hati, tubuhnya tegap dan pakaiannya bersih dan rapi, di punggungnya tampak sebatang pedang. Laki-laki itu memandang kepadanya dengan air muka membayangkan keheranan, maka tentu laki-laki ini yang tadi berkali-kali menyerukan kata-kata "aneh" dan tentu laki-laki ini pula yang telah menolongnya karena di dalam pohon itu tidak ada orang lain kecuali mereka berdua. "Engkaulah yang menyelamatkan nyawaku tadi? Aku harus menghaturkan banyak terima kasih atas budi pertolonganmu." Liu Bwee berkata sambil memandang wajah yang gagah dan sederhana itu. Laki-laki itu mengelus jenggot yang hitam panjang, menatap wajah Liu Bwee kemudian berkata, "Harap jangan berkata demikian. Dalam keadaan dunia seolah-olah kiamat ini, alam mengamuk dahsyat tak terlawan oleh tenaga manusia manapun, sudah sepatutnya kalau di antara manusia saling bantu-membantu. Hemmm... sungguh aneh sekali....!" "In-kong (Tuan Penolong), mengapa berkali-kali mengatakan aneh?" tanya Liu Bwee. Orang itu tidak tertawa, hanya mengelus jenggotnya dan menatap wajah Liu Bwee tanpa sungkan-sungkan, seolah-olah dia sedang memandang benda yang aneh dan belum pernah dilihatnya. "Siapa kira di pulau kosong ini, di mana laki-laki pun sukar untuk hidup, terdapat seorang wanita yang masih muda dan cantik jelita." Liu Bwee merasa betapa mukanya menjadi panas dan dia tahu bahwa tentu kulit mukanya menjadi merah sekali dan diam-diam dia memaki dirinya sendiri. Huh, apa artinya kau bertapa sampai berbulan-bulan kalau sekarang mendengar pujian dari mulut seorang laki-laki kau merasa berdebar dan girang, demikian dia memaki dalam hatinya. Untuk menutupi perasaannya, dia pura-pura tidak mendengar dan cepat bertanya, "Bagaimana Inkong bisa tiba di temapt ini? Setahuku, di pulau ini tidak ada orang lain kecuali aku seorang." "Memang aku tidak tinggal di pulau ini, Toa-nio...." Kembali wajah Liu Bwee menjadi mereh mendengar sebutan nyonya besar ini, laki-laki itu terlalu merendahkan diri. "Aku adalah seorang perantau di antara pulau-pulau kosong di sekitar tempat ini, akan tetapi tidak pernah mendarat di sini karena tidak menyangka bahwa di sini ada orangnya. Sekali mendarat di sini, badai mengamuk dan kebetulan sekali aku melihat engkau berjuang melawan maut di pohon kecil itu." "Untung bagiku. engkau seolah-olah diutus oleh Thian untuk datang menolongku." "Aku girang berhasil menyelamatkanmu, dan aku kagum sekali. Belum tentu ada satu di antara seribu orang yang akan dapat bertahan melawan hantaman gelombang air laut sehebat itu berkali-kali, dan kau malah masih kuat berenang. Inilah yang mengherankan aku. Seorang wanita muda....." "Aku tidak muda lagi, usiaku sudah tiga puluh lima tahun...." "Itu masih muda namanya, setidaknya bagiku. Seorang wanita muda...." dan mata laki-laki itu bercahaya penuh tantangan sehingga Liu Bwee tidak membantah lagi, "cantik dan berkepandaian tinggi, bukan orang sembarangan, ini sudah jelas sekali, berada seorang diri di pulau kosong. Siapa tidak akan merasa heran?" "Aku sedang mencari puteriku yang hilang...." "Ah...!" Laki-laki itu terkejut dan memandang penuh perhatian. "Berapakah usianya dan siapa namanya? Aku akan membantumu mencarinya." Dia bicara dengan suara mengandung keperihatinan dan perasaan iba yang jelas sekali nampak sehingga Liu Bwee merasa makin tertarik dan berterima kasih. Jelas baginya bahwa penolongnya adalah seorang laki-laki yang baik hati, sungguhpun kehadirannya di bagian dunia yang amat terasing ini bukanlah hal yang tidak aneh. "Dia sudah dewasa, sekitar enam belas tahun, namanya Han Swat Hong...." "Ahhhh??" Kembali laki-laki itu memotong dengan seruan kaget dan matanya terbelalak memandang Liu Bwee. "She Han....? Apa hubungannya dengan Han Ti Ong?" "Dia anaknya...." Liu Bwee sendiri terkejut karena merasa telah terlanjur bicara maka dia menahan katakatanya. Laki-laki itu terkejut dan jelas terbayang di mukanya betapa jawaban ini sama sekali tidak disangkanya. Matanya memandang Liu Bwee dengan penuh perhatian dan penuh selidik, dan sampai lama dia baru bertanya. "Kalau puterimu itu adalah anak Han Ti Ong berarti bahwa... Paduka adalah Ratu Pulau Es...." Liu Bwee menarik napas panjang. Dia tidak dapat bersembunyi lagi, dan pula, orang yang telah menyelamatkan nyawanya ini memang berhak untuk mengetahui semuanya. Apalagi karena memang penderitaan batinnya adalah karena terkumpulanya rasa penasaran di dalam hatinya yang membutuhkan jalan keluar. Selain ini, sebutan "paduka" amat menyakitkan telinganya. Maka dia kembali menarik napas panjang. "Itu sudah lalu.... sekarang aku bukanlah ratu lagi, melainkan seorang buangan....." "Apa....? Seorang permaisuri dibuang dari Pulau Es?" Liu Bwee lalu menceritakan riwayatnya, menceritakan betapa suaminya, Raja Pulau Es telah mengambil seorang selir bernama The Kwat Lin dan betapa akhirnya karena ulah selir itu, dia difitnah dihukum buang Ke Pulau Neraka! "Puteriku Han Swat Hong, menjadi marah dan lari minggat dari Pulau Es hendak mewakili aku menerima hukuman buang di Pulau Neraka. Aku mengejarnya, akan tetapi tidak berhasil, bahkan aku tersesat ke pulau ini dan karena merasa putus harapan, aku lalu bertapa di sini sampai enam bulan lamanya. Hari ini semestinya penderitaanku berakhir, akan tetapi agaknya Thian masih hendak memperpanjang hukumanku makan aku dapat kauselamatkan...." Tak tertahankan lagi, Liu Bwee menutupi mukanya dan menahan tangisnya, akan tetapi tetap saja dia terisak-isak. "Krekkk! Krekkk!" ranting kayu di depan laki-laki itu telah hancur berkeping-keping karena diremasnya di tangan kanannya. "Kejam! Jahat sekali! Orang yang merasa dirinya bersih adalah sekotor-kotornya orang! Seperti Han Ti Ong dan semua raja di Pulau Es! Menghukumi orang-orang dan membuang mereka ke Pulau Neraka, hidup di neraka yang amat sengsara. Akan tetapi mereka sendiri, Si penghukum itu, melakukan kekejian dan kejahatan bertumpuk-tumpuk dan merasa dirinya benar! Betapa menjemukan! Aku akan mempertaruhkan nyawa untuk menentang kejahatan dan kepalsuan macam ini!" Liu Bwee mengangkat mukanya memandang. Kedua pipinya masih basah oleh air matanya. "Inkong, engkau siapakah dan mengapa seolah-olah menaruh permusuhan dengan Pulau Es?" "Aku bernama Ouw Sian Kok, aku putera tunggal dari ketua di Pulau Neraka." "Ohhh....!!" Kini giliran Liu Bwee yang menjadi kaget setengah mati karena tidak mengira bahwa penolongnya ternyata adalah musuh besar Pulau Es! "Harap Paduka jangan khawatir...." "In-kong, jangan kau menyebutku Paduka. Aku bukanlah seorang permaisuri lagi melainkan seorang buangan seperti engkau pula, kau tahu bahwa namaku Liu Bwee, orang biasa anak nelayan, hanya bekas ratu sekarang menjadi orang buangan." "Hem, baiklah Liu-toanio. Dan akupun tidak suka disebut Inkong, aku lebih tua dari padamu, sebut saja aku Twako. Sebutlah, aku bukanlah musuh langsung dari Pulau Es, karena aku bukan seorang buangan, melainkan keturunan seorang buangan. Akan tetapi aku pun hanya bekas putera Ketua Pulau Neraka, karena sudah lima belas tahun lamanya aku meninggalkan Pulau Neraka, tidak pernah menjenguknya lagi dan menjadi perantau di antara pulau-pulau kosong ini...." Tiba-tiba wajah yang gagah itu kelihatan menyuram. "Eh, kenapakah Ouw-twako? Apa yang terjadi denganmu maka engkau menjadi demikian?" Liu Bwee bertanya, tertarik hatinya. Ouw Sian Kok menghela napas panjang, agaknya tidak suka menceritakan peristiwa masa lalu yang telah merobah jalan hidupnya sama sekali. "Aku memang sudah tidak senang tinggal di Pulau Neraka. Keadaan pulau itu membuat orang yang tinggal di situ menjadi buas, liar dan kejam karena terpaksa oleh kekejaman di pulau itu. Akan tetapi sebagai putera Ketua, aku menekan ketidak senanganku dan terutama karena aku hidup penuh kasih sayang dengan isteriku. Kami mempunyai seorang anak perempuan yang sudah lima belas tahun tidak pernah kulihat. Tuhan menghukum aku. Isteriku yang tercinta itu meninggal dan aku.... aku lalu pergi meninggalkan ayah , anakku, dan Pulau Neraka sampai sekarang." Sehabis bercerita, Ouw Sian Kok menundukkan mukanya dan berkali-kali menghela napas panjang. Liu Bwee memandang dengan mata penuh belas kasihan, bengong dan tidak dapat berkata-kata. Betapa besar persamaan penderitaan di antara mereka. Dia pun kehilangan suami, sunguhpun suaminya masih hidup akan tetapi apa bedanya dengan mati kalau suaminya sudah tidak mencintainya lagi? Dan dia kehilangan anaknya pula, sama benar dengan nasib Ouw Sian Kok yang kehilangan isteri dan anaknya. Hanya bedanya, kalau dia mencari-cari Swat Hong, adalah laki-laki ini sengaja meninggalkan puterinya. "Kasihan engkau, Ouw-twako," katanya sambil menyentuh tangan laki-laki yang telah menolongnya itu. Ouw Sian Kok menghela napas, kemudian tiba-tiba mengangkat mukanya dan tersenyum. "Betapa aneh dan lucunya. Engkau yang bernasib malang ini menaruh kasihan kepada aku! Hemm, isteriku dirampas oleh Tuhan, aku tidak mungkin bisa mendendam. Sebaliknya, suamimu dirampas wanita lain, itu merupakan hal yang lebih menyakitkan hati lagi. Sudahlah, lebih baik kita melupakan semua itu dan yang terpenting kita memperhatikan keadaan kita sendiri, berusaha menghindarkan bahaya. Lihat badai mulai berhenti dan air yang merendam pulau sudah surut dan kembali ke laut, cuaca sudah terang tidak segelap tadi!" Liu Bwee memandang ke bawah lalu ke kanan kiri benar saja, badai telah berhenti. Seketika lupalah dia akan segala kedukaan dan wajahnya berseri. Dia tidak tahu betapa Ouw Sin Kok memandangnya dengan penuh kagum melihat wajah yang cantik itu, dengan air mata yang masih menepel di pipi, kini terenyum dan berseri-seri. "Mari kita turun!" kata Liu Bwee setelah melihat bahwa dengan amat cepatnya air telah meninggalkan pulau, seperti serombongan anak-anak nakal yang pulang ke rumah dipanggil ibunya. Mereka meloncat turun dan menuju ke tepi pantai di mana Ouw San Kok menaruh perahunya. Girang hatinya bahwa sebelum meninggalkan perahu ketika badai mulai mengamuk, dia telah mengikat perahunya dengan kuat sekali pada batu karang sehingga kini perahunya itu masih berada di situ.Akan tetapi perahu Liu Bwee lenyap tak meninggalkan bekas. "Liu-toanio, mari kita berangkat." "Eh, ke mana?" Liu Bwee memandang penuh keheranan dan mengerutkan alisnya. "Ke Pulau Es." "Apa....? Apa maksudmu?" Liu Bwee hampir menjerit. "Aku tidak sudi! Aku tidak mau kembali hanya untuk menerima penghinaan saja." "liu-toanio, seorang wanita seperti Toanio tidak selayaknya hidup sengsara seperti ini. Han Ti Ong telah berlaku sewenang-wenang dan tersesat. Biarlah aku yang akan menegur dan mengingatkannya akan kesesatannya itu, Toanio. Aku tidak rela melihat Toanio diperlakukan dengan tidak adil, aku tidak rela melihat Toanio hidup sengsara. Marilah dan jangan khawatir, aku sebagai seorang laki-laki tentu akan lebih mudah menyadarkan suamimu yang sedang tergila-gila kepada wanita lain itu. Akulah yang bertanggung jawab, dan kupertaruhkan nyawaku untuk itu." Liu Bwee memandang dengan kaget dan terheran-heran, bengong dan seperti terpesona sehingga dia menurut saja ketika diajak naik ke perahu oleh Ouw Sian Kok. Setelah perahu meluncur, barulah dia dapat berkata, "Ouw-twako.... mengapa kau melakukan semua ini untukku? Mengapa engkau menolongku, membelaku mati-matian? Mengapa engkau begini baik kepadaku?" Sambil mendayung perahunya dengan gerakan tangkas dan kuat sekali sehingga perahu itu melucur amat cepatnya di permukaan air laut yang kini amat tenang, setenang-tenangnya seolah-olah raksasa yang habis mengamuk hebat itu kini kelelahan dan kehabisan tenaga, Ouw Sian Kok menjawab tanpa menoleh kepada Liu Bwee, "Engkau begitu sengsara, dan begitu tenang, mengingatkan aku kepada isteriku yang tercinta. Engkau begitu membutuhkan perlindungan, begitu membutuhkan bantuan.Siapa lagi kalau bukan aku yang membantumu, Toanio?" Liu Bwee memandang laki-laki itu dari samping, tak terasa lagi kedua matanya basah dan beberapa butir air mata turun di sepanjang pipinya. Sejenak dia tidak mampu menjawab. Memang dia sudah tidak mempunyai siapa-siapa lagi di dunia ini, hanya Swat Hong yang sekarang tidak diketahuinya berada di mana. Tidak ada seorang pun yang menemaninya, apalagi membelanya. Maka kemunculan laki-laki gagah perkasa ini yang memperlihatkan sikap membelanya mati-matian itu menimbulkan sikap keharuan hatinya, apalagi mendengar betapa laki-laki itu ketika melihat dia teringat akan isterinya tercinta yang telah meninggal dunia, hatinya menjadi terharu sekali dan dia tidak tega untuk menolak lagi. Di samping itu, juga ada rasa sungkan dan malu-malu di dalam hati wanita ini karena dia seperti mendapat bisikan hatinya bahwa laki-laki penolongnya ini menaruh hati kepadanya dan rela membelanya dengan taruhan nyawa! Hal ini bukan membuat dia merasa bangga dan girang seperti yang mungkin akan dirasakannya jika dia masih seorang gadis muda, melainkan mendatangkan rasa sungkan dan malu sehingga pelayaran itu dilanjutkan dengan diam-diam karena Liu Bwee merasa sukar sekali untuk membuka mulut. Beberapa jam berlalu dengan sunyi. Akhirnya Ouw Sian Kok yang merasa tidak tahan berkata, "Toanio, aku mohon maaf sebanyaknya kalau semua ucapanku yang sudah-sudah menyinggung perasaanmu." Liu Bwee menggigit bibirnya. Laki-laki ini, yang gagah perkasa dan budiman harus diakuinya memiliki sifat jantan dan rendah hati. "Tidak ada yang harus dimaafkan," katanya lirih. "Toanio marah kepadaku?" sejenak kemudian Ouw Sian Kok bertanya lagi, sekali ini dia tidak dapat menahan keinginan hatinya lagi untuk tidak menengok dan menatap wajah wanita itu. Kebetulan sekali pada saat itu Liu Bwee juga memandang kepadanya. Sedetik dua pasang mata itu bertemu bertemu, akan tetapi Liu Bwee segera mengalihkan pandang matanya dan menjawab dengan gerakan kepalanya menggeleng. Jawaban ini cukup bagi Ouw Sian Kok. Dengan wajah berseri dan suara gembira dia berkata, "Aku girang bahwa kau tidak marah kepadaku, Toanio." Perahu didayungnya kuat-kuat dan perahu itu meluncur cepat sekali menuju ke tujuan, yaitu Pulau Es yang biarpun tidak pernah didatanginya, namun sudah diketahui di mana letaknya, karena sering kali dalam perantauannya dia memandang pulau itu dari jauh. Kegembiraan besar seperti yang belum pernah dialaminya selama lima belas tahun ini memenuhi hatinya. Kalau saja tidak ada Liu Bwee di situ, kalau saja dia tidak merasa malu, tentu dia akan bernyanyi dengan riang sebagai peluapan rasa gembiaranya. Dua hari dua malam meeka melakukan pelayaran, kalau lapar mereka makan ikan panggang di atas perahu dan minum air es yang mengambang di atas permukaan laut. Akhirnya tibalah mereka di Pulau Es dan dari jauh saja sudah kelihatan perbedaan pulau itu yang amat mengherankan Liu Bwee. "Mengapa begitu sunyi? dan begitu bersih licin? Ouw-twako, cepatlah mendarat, kurasa telah terjadi apaapa di sana," katanya dengan jantung berdebar, tidak saja karena melihat pulau di mana dia dibesarkan sejak kecil itu akan tetapi juga tegang hatinya membayangkan pertemuannya dengan suaminya dan dengan selir suaminya. Setelah perahu menempel di pulau, Liu Bwee meloncat ke darat. Jantungnya berdebar tegang, akan tetapi kini disertai rasa khawatir. Pulau Es berubah bukan main. Mengapa tidak tampak seorang pun? Tak lama kemudian dia berlari diikuti Ouw Sian Kok yang sudah mengikat perahunya. Pria ini pun terheran-heran mengapa pulau yang terkenal sekali di Pulau Neraka sebagai kerajaan itu kelihatan begini sunyi senyap. Ketika mendekati sebuah tanjakan dan tampak Istana Pulau Es, Liu Bwee mengeluarkan seruan tertahan dan mukanya menjadi pucat sekali . "Apa.... apa yang terjadi.....? Dan bangunan-bangunan mereka..... mengapa lenyap? Hanya tinggal istana yang kosong dan rusak..... ahhh..." Terhuyung-huyung Liu Bwee berlari mendekati istana, tetapi diikuti oleh Ouw Sian Kok yang merasa khawatir sekali. Seperti seorang mabok, Liu Bwee berteriak-teriak memanggil orang-orang dan berlari memasuki istana yang sudah kosong itu, diikuti oleh Ouw Sian Kok yang juga merasa heran. Akan tetapi laki-laki ini segera dapat menduga apa yang telah terjadi. "Ke mana...? Mereka semua ke mana ....?" Liu Bwee berdiri di tengah ruangan istana yang dahulu begitu megah dan kini kosong dan sunyi itu. Melihat wajah yang pucat itu, mata yang terbelalak liar, Ouw Sian Kok cepat meloncat dan memegang lengan Liu Bwee, ditariknya keluar dari istana. Setelah tiba di luar istana, Ouw Sian Kok berkata suaranya tegas dan penuh rasa iba, "Liu-toanio, kuatkanlah hatimu. Ingatlah apa yang telah kita alami di pulau kosong itu. Badai itu hebat bukan main, selama hidupku belum pernah mengalami badai sehebat itu. Pulau Es ini tidak begitu jauh dan melihat hebatnya badai, tidak salah lagi bahwa pulau ini pun dilanda badai." Bagaikan kilat cepatnya gerakan Liu Bwee ketika dia membalikan tubuh memandang pria itu, matanya terbelalak. "Ahhh....! Kau benar....! Badai itu! Pulau Es diamuk badai dan disapu bersih oleh badai. Ya Tuhan....!" Liu Bwee mendekap mukanya dengan kedua tangan, menjatuhkan diri berlutut di atas es dan menangis sesenggukan. "Aku khawatir sekali, Tonio, bahwa tidak hanya benda-benda yang disapu bersih dari permukaan pulau ini, melainkan juga para penghuninya. kalau ada penghuninya yang selamat, mustahil mereka meninggalkan pulau. Siapa yang mampu melawan kedahsyatan badai seperti itu?" "Kau benar... ah... suamiku.... aihhh, semua saudaraku di Pulau Es, benarkah kalian tewas semua? Benarkah ini? Ataukah hanya mimpi...?" Seperti orang kehilangan ingatan Liu Bwee mendekati istana, meraba-raba tembok istana dan berbisik-bisik. Melihat ini Sian Kok merasa kasihan sekali akan tetapi karena dia maklum akan kehancuran hati bekas permaisuri Raja Pulau Es itu, dia hanya memandang dan menjaga, mendiamkannya saja. "Ohhh.... mereka semua tewas? Semua tewas....? Siapa percaya.... suamiku begitu gagah perkasa, berilmu tinggi, tak mungkin dia tewas oleh badai...." Liu Bwee berbisik-bisik dan meraba-raba tembok seolah-olah dia hendak bertanya dan mencari keterangan kepada dinding batu itu. Tiba-tiba jari tangannya menyentuh huruf-huruf terukir di situ. Matanya terbelalak memandang dan bibirnya bergerak membaca tulisan yang dikenalnya benar, tulisan suaminya yang dibuat dengan cara mengukir batu itu dengan jari tangannya! "Sin Liong dan Swat Hong, maafkan aku. Thian telah menghukum aku dan membasmi Pulau Es. Pergilah kalian mencari wanita jahat itu, rampas kembali semua pusaka. Dan Bu Ong bukanlah puteraku, dia keturunan Kai-ong." "Ohhh....!!" Liu Bwee memejamkan matanya, kepalanya seperti dipukuli orang dan pandang matanya berkunang. Dia cepat menekankan kedua tangannya pada dinding agar jangan roboh, tidak tahu bahwa Sian Kok sudah meloncat ke dekatnya dan siap menolongnya. Pria ini membaca ukiran huruf di dinding itu dan menggeleng-geleng kepalanya. Dia kagum sekali. Raja Pulau Es benar-benar hebat, dalam saat terakhir melawan badai masih sempat menuliskan huruf secara itu. "Jelas bahwa badai telah membasmi semua isi pulau ini, Toanio," katanya hati-hati. Liu Bwee tersadar. Membuka mata dan kebetulan sekali tangannya meraba bekas cengkeraman jari tangan suaminya pada dinding batu. Melihat itu, tak tertahankan lagi dia sesenggukan. Dia pun dapat membayangkan apa yang terjadi. "Duhai suamiku.... betapa kau menderita hebat...." bisiknya diantara isak tangisnya. Sian Kok memandang bekas cengkeraman jari tangan itu dan dia pun dapat membayangkan Han Ti Ong berusaha menahan dirinya dari seretan air dengan mencengkeram batu dinding. namun, kekuatan badai yang amat dahsyat itu akhirnya menang dan tentu Raja itu diseret dan ditelan gelombang membadai, lenyap dalam perut lautan. Liu Bwee menjatuhkan dirinya berlutut sambil menangis. Kembali tangannya meraba huruf-huruf di bawah. Agaknya huruf-huruf dibuat orang sambil berlutut pula dan di dinding bawah ini juga terdapat bekas cengkeraman jari tangan. Setelah mengusap matanya agar pandangan matanya tidak tertutup air mata, dia membaca lagi, "Bwee-moi, dosaku padamu terlalu besar, maka Thian menghukum aku. Selamat tinggal." Membaca ini, Liu Bwee mengeluarkan suara menjerit lalu tergelimpang dan roboh pingsan. Untung Sian Kok cepat menyambarnya sehingga kepalanya tidak sampai terbentur dinding batu. Sian Kok cepat mengangkat tubuh wanita itu dan matanya menyapu tulisan di bawah itu. Dia menghela napas dan membawa tubuh yang pingsan itu ke dalam istana dan meletakannya ke dalam sebuah kamar. Ketika memeriksanya, dia memperoleh kenyataan bahwa nyonya ini menerima pukulan batin yang hebat sehingga keadaannya gawat. Dengan tergesa-gesa, Sian Kok meninggalkan Liu Bwee, berlari ke perahunya dan cepat mendayung perahunya menuju ke sebuah pulau dan memetik beberapa daun obat yang dikenalnya. Tak lama kemudian dia sudah kembali ke Pulau Es, memasak obat dan mencekokan obat itu ke dalam mulut Liu Bwee. Kemudian dia membantu nyonya itu dengan penyaluran sinkangnya sehingga semalam suntuk dia duduk bersila di dekat Liu Bwee, mengerahkan tenaga agar tubuh nyonya yang pingsan itu tetap hangat. Pada keesokan harinya, Liu Bwee mengeluh dan sadar sehingga menggirangkan hati Sian Kok yang lupa akan keadaan dirinya sendiri yang kehabisan tenaga dan mukanya pucat sekali. Setelah sadar dan teringat lagi, Liu Bwee menangis sesenggukan, dibiarkan oleh Sian Kok yang menganggap tangis itu sebagai obat mujarab. Setelah tangiasnya mereda, Liu Bwee teringat bahwa tahu-tahu dia berada di dalam kamar istana yang kosong itu. Maklumlah dia bahwa dia pingsan dan dibawa ke tempat ini oleh Sian Kok. Dia mengangkat muka, menghentikan tangisnya dan memandang. Dia melihat betapa pria itu pucat mukanya dan kelihatan lelah sekali, maka sebagai seorang ahli, dia dapat menduga sebabnya. "Berapa lamakah aku pingsan di sini, Toako?" "Hemm, semalam suntuk kau pingsan, membuat hatiku gelisah," "Dan selama ini engkau menjagaku, mengerahkan sinkang untuk membantuku, bukan?" "Hemmm...., tak perlu dibicarakan itu. Yang penting, engkau telah siuman kembali dan harap kau suka menjaga kesehatanmu sendiri, jangan terlalu menurutkan perasaan berduka. Toanio, dalam tulisan pesan suamimu itu disebut Sin Liong, siapakah dia?" "Sin Liong adalah murid suamiku, seorang pemuda yang amat baik," Liu Bwee berkata sambil menghapus sisa air matanya. "Kalau begitu, legakan hatimu, Toanio. Biarpun sangat boleh jadi suamimu, seperti semua penghuni Pulau Es, disapu habis oleh badai, namun kurasa puterimu selamat dan baru-baru ini datang pula ke pulau kosong ini." Liu Bwee memandang dengan mata terbelalak. "Bagaimana engkau bisa tahu?" "Aku melihat bekas tapak kaki mereka, tapak kaki seorang wanita dan seorang pria, masih jelas membekas di bagian es yang membeku di atas sana, dan aku juga menemukan ini." Ouw Sian Kok mengeluarkan sehelai saputangan hijau dan memeberikannya kepada Liu Bwee. Liu Bwee menyambar saputangan itu dan kembali matanya yang sudah mengering mencucurkan air mata. Dia mendekap saputangan itu dan berkata, "Benar, ini adalah saputangan pengikat rambut anaku! Di mana tapak-tapak kaki itu, Toako? Ingin aku melihatnya!" Mereka lalu meninggalkan istana menuju ke bagian atas dan benar saja, tampak jelas bekas tapak kaki dua orang, kecil dan besar, tanda bahwa baru saja, mungkin paling lama kemarin, ada dua orang datang ke pulau itu. Seorang laki-laki dan seorang wanita. Siapa lagi kalau bukan Swat Hong dan Sin Liong? "Tidak salah lagi, tentu anaku dan Sin Liong. Akan tetapi di mana mereka sekarang? Aku harus bertemu dengan puteriku, Ouw-twako." Ouw Sian Kok mengerutkan alisnya yang tebal. "Mereka itu adalah orang-orang muda yang lihai dan tentu mereka telah melihat pula tulisan berukir di dinding pesan suamimu. Dan tentu mereka berusaha untuk mencari sampai dapat wanita bernama The Kwat Lin itu." "Kalau begitu, aku akan menyusul mereka, Toako. Tentu mereka melakukan pengejaran ke daratan besar." Ouw Sian Kok mengangguk-angguk. "Kukira dugaanmu tidak keliru. Akan tetapi, Toanio, pernahkah Toanio ke daratan besar di barat sana?" Liu Bwee menggeleng kepala tanpa menjawab, alisnya berkerut karena dia pun merasa bingung dan khawatir, ke mana harus mencari puterinya, padahal menurut penuturan yang didengarnya di Pulau Es, daratan besar amatlah luasnya, seluas lautan yang tiada tepi. Melihat wajah wanita itu, Ouw Sian Kok merasa makin kasihan dan dengan suara penuh semangat dia berkata, "Toanio, jangan khawatir. Di dalam perantauanku, pernah aku mendarat di daratan besar dan biarlah aku menemanimu mencari puterimu Han Swat Hong itu, sekalian menjadi penunjuk jalan." Berseri wajah Liu Bwee dan dia memandang kepada laki-laki itu penuh harapan dan terima kasih, akan tetapi mulutnya berkata, "Ahhh, aku selalu menyusahkan Twako saja...." "Jangan berkata demikian, Toanio. Aku hidup sebatang kara, akan tetapi aku adalah seorang pria. Sedangkan engkau seorang wanita yang masih muda, mana bisa harus hidup bersunyi diri apalagi hendak mencari puterimu di daratan besar? Aku sudah merasa cukup berbahagia kalau Toanio sudi kutemani." "Tentu saja aku girang sekali dan banyak terima kasih atas budimu yang berlimpah-limpah itu, Toako. Semoga kelak Thian saja yang dapat membalasmu karena apakah dayaku untuk membalas kebaikanmu?" Dia menjadi terharu sekali. Dahulu Liu Bwee adalah seorang wanita periang dan jenaka, namun penderitaan batin membuat dia menjadi perasa dan halus budi serta lemah. Ouw Sian Kok tidak menjawab, hanya menjawab dalam hatinya, "Pandang matamu itu sudah merupakan pembalasan yang berlipat ganda bagiku." Berangkatlah kedua orang ini meninggalkan Pulau Es. Pelayaran yang amat sulit dan sukar, namun biarpun dia bekas permaisuri Raja Pulau Es, Liu Bwee di waktu kecil sudah kenyang bermain-main dengan perahu maka dia tidaklah amat menderita bahkan dapat membantu sehingga perjalanan dengan perahu mengarungi lautan luas itu berjalan lancar. "Ha-ha-ha, kalian ini kaki tangan An Lu Shan si Pemberontak Laknat, apakah tidak mendengar siapa adanya Cap-pwe Eng-hiong (Delapan Belas Pendekar) dari Bu-tong-pai? kami adalah patriot-patriot sejati, dan kalian menghendaki supaya kami menyerah? sampai titik darah terakhir akan kami lawan kalian para pemberontak laknat!" Ucapan ini keluar dari mulut seorang laki-laki berusia tiga puluh lebih yang bertubuh tinggi besar dan bersikap gagah perkasa, mewakili tujuh belas orang adik-adik seperguruannya yang kesemuanya bersikap gagah perkasa. Sedikit pun delapan belas orang itu tidak memperlihatkan rasa takut biarpun mereka itu dikurung oleh sedikitnya lima puluh orang prajurit yang berpakaian seragam dan bersenjata lengkap, bahkan mereka mengejek dan menantang komandan pasukan yang tadinya membujuk agar mereka menyerah dan membantu pergerakan An Lu Shan. Mereka terdiri dari delapan belas orang, kesemuanya laki-laki yang bersikap gagah perkasa, berpakaian sederhana dan rambut mereka digelung ke atas. Dengan pedang di tangan, mereka siap menghadapi pengeroyokan lima puluh lebih pasukan pemberontak An Lu Shan itu. Cap-pwe Eng-hiong atau Delapan Belas Pendekar dari Bu-tong-san ini adalah murid-murid dari Kui Tek Tojin, Ketua Bu-tong-pai. Mereka termasuk para anggauta Bu-tong-pai yang meninggalkan Bu-tong-pai ketika The Kwat Lin merebut kekuasaan. Biarpun mereka merupakan orang-orang gagah yang berkepandaian tinggi, namun pada waktu itu The Kwat Lin merebut kekuasaan di Bu-tong-pai, mereka pun tidak dapat berbuat sesuatu. The Kwat Lin adalah termasuk kakak seperguruan mereka, akan tetapi wanita itu memiliki tingkat ilmu kepandaian yang bahkan melebihi guru mereka sendiri, di samping kenyataan bahwa wanita itu telah merampas tongkat pusaka Bu-tong-pai sehingga guru mereka dan para tokoh lain di Bu-tong-pai tidak dapat berkutik lagi. Setelah The Kwat Lin melarikan diri karena gagalnya Swi Liang di istana, para tokoh Bu-tong-pai dipimpin oleh Kui Tek Tojin kembali ke Bu-tong-san dan kedatangan pasukan pemerintah yang menyerbu Bu-tong-pai mereka sambut dengan penjelasan yang menyadarkan pihak pemerintah. Namun, sebagai akibatnya, Bu-tong-pai sekarang mau tidak mau harus memperlihatkan "kebersihannya" dengan jalan membantu pemerintah menentang para pemberontak. Hanya dengan cara inilah Bu-tong-pai dapat membuktikan kesetian mereka kepada pemerintah dan karena itu pula, delapan belas orang murid Kui Tek Tojin itu mulai turun tangan menentang pasukan-pasukan An Lu Shan setiap kali terdapat kesempatan. An Lu Shan menjadi marah mendengar betapa Bu-tong-pai yang dahulu merupakan perkumpulan yang bebas, tidak membantu mana-mana dalam perang pemberontakan, kini mulai membantu pemerintah, maka dia lalu mengirim pasukan untuk membasmi Delapan Belas Pendekar Bu-tong itu. Demikianlah, pada hari itu, selagi delapan belas orang itu menyelidiki kedudukan An Lu Shan di utara, mereka dikepung oleh pasukan itu dan disuruh menyerah, akan tetapi tentu saja delapan belas orang pendekar Bu-tong-pai itu tidak sudi menyerah, bahkan siap untuk melawan mati-matian. Ucapan Song Kiat, Twa-suheng (Kakak Seperguruan Pertama) dari delapan belas orang pendekar itu, mendatangkan kemarahan di hati komandan pasukan yang segera mengeluarkan aba-aba dan menyerbulah hampir enam puluh orang pasukan itu mengeroyok Cap-pwe Eng-hiong. Terjadilah perang kecil yang amat hebat dan segera delapan belas orang pedekar itu terkejut sekali memperoleh kenyataan bahwa pasukan yang mengeroyok mereka itu bukanlah pasukan biasa, melainkan pasukan pilihan yang dipimpin oleh komandan yang memiliki kepandaian tinggi dan para prajuritnya ratarata memiliki ilmu silat yang lumayan. Mereka melawan dengan mati-matian, bantu-membantu dan memutar pedang mereka dengan pengerahan seluruh tenaga dan kepandaian mereka. Tidak percuma delapan belas orang ini dijuluki Cap-pwe Eng-hiong karena gerakan mereka memang cepat dan tangkas serta kuat sekali, sehingga biarpun dikeroyok oleh lawan yang jauh lebih banyak jumlahnya, yaitu setiap orang dikeroyok oleh tiga empat orang lawan, mereka mempertahankan diri dengan baik, bahkan lewat tiga puluh jurus, mulailah ada lawan yang berjatuhan dan terluka parah oleh pedang Cap-pwe Eng-hiong yang mengamuk itu. Dengan gagah perkasa ke delapan belas orang itu mengamuk dan mendesak pasukan An Lu Shan. Berturut-turut robohlah pihak lawan sehingga tempat itu mulai ternoda darah merah dan tubuh para perajurit yang terluka malang melintang menghalangi kaki mereka yang masih bertempur. Diantara lima puluh lebih orang perajurit itu, sudah ada dua puluh lebih yang roboh, bahkan komandannya juga sudah terluka oleh sambaran pedang di tangan Song Kiat. Kemenangan yang sudah tampak di depan mata ini menambah semangat Cap-pwe Eng-hiong, mereka bergerak makin ganas dan cepat dengan niat membasmi semua musuh dan tidak membiarkan seorang pun meloloskan diri. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar sorak sorai dan muncullah kurang lebih seratus orang anak buah pasukan An Lu Shan yang baru tiba dan serta mereta mereka itu menerima aba-aba untuk menyerbu dan membantu kawan-kawan mereka. Kedatangan pasukan baru yang lebih besar lagi jumlahnya ini mengejutkan hati Cap-pwe Eng-hiong yang tidak menyangka-nyangkanya, namun bukan berarti bahwa mereka menjadi gentar, bahkan menambah kegembiraan mereka mengamuk sungguhpun sekali ini mereka segera terkurung dan terdesak hebat karena jumlah musuh jauh lebih besar. Pertempuran yang berat sebelah itu terjadi di daerah pegunungan yang amat sunyi, jauh dari perkampungan, jauh dari dunia ramai. Akan tetapi pada saat pasukan kedua datang menyerbu, di tempat itu muncul pula dua orang yang menonton pertempuran itu dengan alis berkerut dan pandang mata ngeri. Mereka itu adalah seorang laki-laki dan seorang wanita yang bukan lain adalah Ouw Sian Kok dan Liu Bwee! Mereka berdua meninggalkan Pulau Es, telah mendarat di daratan besar dan telah melakukan perjalanan berhari-hari sehingga pada hari itu mereka tiba di pegunungan utara ini. Sebagai orang-orang yang sejak kecil tidak pernah menyaksikan perang, kini penglihatan di depan itu sungguh amat tidak menyenangkan, juga amat mengherankan hati mereka. "Betapa buasnya mereka....!" Liu Bwee berkata lirih. "Hemm, memang sudah banyak kudengar bahwa manusia di dunia ramai, di daratan besar ini, lebih buas daripada binatang-binatang hutan. Manusia-manusia saling bunuh antara sesamanya, dan sekarang kita melihat perang yang begini ganas kejam...." "...dan licik sekali!" Liu Bwee menyambung. "Jumlah yang amat banyak mengeroyok jumlah sedikit, benar-benar tidak mengenal arti kegagahan sama sekali." "Jika tidak keliru dugaanku, yang berjumlah banyak itu tentulah anggauta pasukan, lihat pakaian mereka yang seragam, sedangkan delapan belas orang itu benar-benar harus dipuji kegagahan mereka, biarpun dikeroyok banyak dan didesak hebat, melawan terus dan sedikit pun tidak kelihatan gentar." "Pikiranmu cocok dengan pikiranku, Toako. Memang mereka itu mengagumkan dan karena itu, mari kita bantu mereka." "Cocok, Toanio. Yang lemah harus kita bantu. Mari....!" Ouw Sian Kok dan Liu Bwee lalu meloncat ke depan dan terdengarlah suara melengking tinggi keluar dari mulut kedua orang ini. Begitu mereka menyerbu, dalam segebrakan saja Liu Bwee merobohkan empat orang dengan kaki tangannya sedangkan Ouw Sian Kok merobohkan enam orang yang dilemparlemparkan seperti orang membuang rumput-rumput kering saja! Pasukan menjadi geger dan delapan belas orang pendekar itu melirik dan menjadi kagum dan girang sekali karena sekilas pandang saja maklumlah mereka bahwa laki-laki dan wanita asing yang tiba-tiba membantu mereka itu adalah orang-orang yang luar biasa lihainya! Seorang komandan pasukan menerjang Ouw Sian Kok dengan tombaknya, sebatang tombak bergagang panjang dan dihias ronce merah, sebuah tombak pusaka yang baik sekali. Tombak itu meluncur dan berdesing, menusuk perut Ouw Sian Kok. Laki-laki ini kagum melihat mata tombak yang mengeluarkan cahaya, cepat ia miringkan tubuh sambil mengayun kaki dan tangannya merobohkan dua orang pengeroyok lain, kemudian secepat kilat menangkap tombak itu dengan kedua tangan, lalu menggerakan sinkang membetot dan membalikan tombak sehingga gagang tombak terlepas dari pegangan pemiliknya dan gagang tombak itu terus menghantam tengkuknya membuat komandan itu terjungkal! Liu Bwee yang juga dikeroyok banyak sekali orang sudah berhasil merampas sebatang pedang yang dianggapnya cukup baik dan dengan pedang ini dia mengamuk, setiap senjata lawan yang bertemu dengan pedangnya tentu patah atau terlempar dari pegangan pemiliknya, dan tangan kiri serta kedua kakinya merobohkan setiap lawan yang berani menyerangnya. Amukan kedua orang dari Pulau Es dan Pulau Neraka ini amat hebat, dalam belasan gebrakan saja tidak kurang dari tiga puluh orang anggauta pasukan telah roboh. Hal ini tentu saja menimbulkan kegemparan, membesarkan hati delapan belas orang pendekar, akan tetapi membuat jerih sisa anggauta pasukan. Akhirnya, sisa pasukan merasa tidak kuat dan melarikan diri meninggalkan teman-teman yang terluka! Delapan belas orang pendekar itu berdiri berjajar, beberapa orang di antara mereka menderita luka-luka ringan dan kelihatanlah betapa gagahnya mereka, sedikit pun tidak kelihatan menderita ketika mereka berdiri berjajar di depan kedua orang itu. Song Kiat mewakili saudara-saudaranya, menjura kepada Ouw Sian Kok dan Liu Bwee, diturut oleh tujuh belas orang saudara seperguruannya dan dia berkata, "Kami delapan belas orang seperguruan dari Bu-tong-pai menghaturkan banyak terima kasih kepada Ji-wi Taihiap dan Lihiap yang telah menyelamatkan kami dari pengeroyokan anjing-anjing pemberontak itu. Bolehkan kami mengetahui nama Ji-wi yang mulia?" Liu Bwee hanya memandang dan menyerahkan jawabannya kepada Ouw Sian Kok yang sudah mengelus jenggotnya dan tertawa. "Cuwi amat gagah perkasa, dan bantuan kami berdua tadi tidak ada artinya, Melihat Cuwi dikeroyok, kami berdua menjadi gatal tangan dan maafkan kalau kami mencampuri. Hal ini tidak perlu dibicarakan lagi dan tidak perlu kami memperkenalkan nama hanya ingin kami ketahui, siapakah pasukan itu dan mengapa Cuwi bentrok dengan mereka ?" Delapan belas orang itu saling pandang, kemudian memandang Ouw Sian Kok dengan pata terbelalak heran. Bagaimana mereka tidak akan merasa heran mendengar kata-kata Ouw Sian Kok yang menunjukkan bahwa dua orang perkasa ini sama sekali tidak mengenal keadaan sehingga tidak tahu bahwa pasukan itu adalah pasukan pemberontak An Lu Shan? Melihat kehebatan ilmu silat mereka, Song Kiat dan para sutenya menduga bahwa tentu kedua orang ini adalah pertapa-pertapa sakti yang baru saja turun gunung sehingga sama sekali tidak mengerti akan keadaan dunia. Timbul keinginan mereka untuk mengajak dua orang sakti ini membantu perjuangan mereka, selain mengangkat kembali nama Bu-tong-pai yang telah dirusak oleh The Kwat Lin, juga berbakti kepada negara menentang pemberontakan. "Agaknya Ji-wi tidak tahu akan keadaan di kota raja," Song Kiat berkata. "Kami adalah murid-murid Butong- pai yang membantu pemerintah untuk menghadapi para pembeontak. Pasukan tadi adalah pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Jenderal An Lu Shan. Kami bertugas menyelidiki kedudukan An Lu Shan yang kabarnya kini berpusat di Telaga Utara, akan tetapi baru tiba di sini kami telah dikeroyok oleh pasukaan itu. Melihat kesaktian Ji-wi, demi keselamatan negara dan bangsa, kami mohon sudilah kiranya Ji-wi membantu usaha penyelidikan kami itu." Ouw Sian Kok mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. "Kami berdua tidak ingin terlibat ke dalam permusuhan dan kami sama sekali tidak mengerti dan tidak mengenal siapa itu An Lu Shan dan pemberontakannya. Kalau tadi kami turun tangan membantu adalah karena kami tidak senang melihat jumlah kecil dikeroyok oleh jumlah banyak. Selain itu, kami pun mempunyai sedikit keperluan untuk bertanya kepada Cuwi." Kecewa rasa hati Song Kiat mendengar bahawa dua orang sakti itu tidak mau mencamuri urusan pemerintah, akan tetapi karena mereka berdua sudah menyelamatkan mereka semua dari bahaya maut, dia menyembunyikan kekecewaannya itu dan menjawab dengan ramah, "Silahkan Taihiap kalau hendak bertanya sesuatu tentu kami akan berusaha memberi keterangan sejelasnya dan sedapatnya." "Kami hanya ingin menanyakan kalau-kalau Cuwi pernah bertemu dengan seorang pemuda dan seorang pemudi yang bernama Han Swat Hong. Kami berdua sedang mencari mereka itu dan kami akan merasa berterima kasih sekali andaikata di antara Cuwi ada yang pernah melihat mereka itu." Delapan belas orang pendekar itu saling pandang dan masing-masing mengangkat pundaknya. Tak seorang pun di antara mereka pernah mendengar dua nama yang ditanyakan itu. "Maaf, Taihiap. Agaknya di antara kami tidak ada yang pernah mendengar nama itu, akan tetapi namanama itu telah kami catat dalam hati dan kami akan mencarinya. Hanya kalau sudah kami dapat, ke manakah kami harus melapor kepada Ji-wi?" Liu Bwee menarik napas panjang. "Sudahlah, kalau tidak mengenal sudah saja. Akan tetapi kalian adalah orang-orang Bu-tong-pai, apakah kalian mengenal seorang tokoh Bu-tong-pai yang bernama The Kwat Lin?" Seketika wajah delapan belas orang itu berubah mendengar ini. Mereka terkejut bukan main karena tidak menyangka-nyangka bahwa wanita perkasa itu akan menyebut nama iblis betina yang menjadi musuh besar Bu-tong-pai itu! Timbul kekhawatiran di hati mereka. Dua orang ini memiliki kesaktian yang luar biasa, sama dengan The Kwat Lin dan wanita ini mengenal The Kwat Lin, tentulah segolongan dengan The Kwat Lin! Akan tetapi, Song Kiat memiliki pendapat lain. Dua orang ini terang sekali berbeda dengan The Kwat Lin dan mereka berdua telah membuktikan kegagahan mereka dengan membantu yang lemah tertindas, biarpun belum mengenal. Maka dengan berani, berbeda dengan sute-sutenya yang berpendapat untuk tidak mengaku kenal The Kwat Lin, Song Kiat melangkah maju, menjura kepada Liu Bwee sambil bertanya, "Sebelum saya menjawab, bolehkah saya bertanya apakah Lihiap sahabat dari wanita bernama The Kwat Lin itu?" Liu Bwee membelalakan matanya dan sinar matanya berapi-api. "Sahabat? Apa kau gila? Kalau bertemu, aku akan membunuh iblis betina itu!" Mendengar ini, serta merta Song Kiat menjatuhkan diri berlutut diturut oleh tujuh belas orang sutenya sehingga Liu Bwee dan Ouw Sian Kok menjadi terkejut dan terheran-heran. "Apa... apa artinya ini?" Liu Bwee membentak. "Maafkan, kami berlutut saking girang dan terharunya hati kami mendengar ucapan Lihiap tadi. Kami sudah merasa khawatir sekali kalau-kalau Jiwi mempunyai hubungan baik dengan The Kwat Lin. Kiranya iblis betina itu adalah musuh Jiwi dan kami merasa mendapatkan bantuan untuk menghadapinya, karena iblis betina itu adalah musuh besar Bu-tong-pai." "Ahhh...! Bukankah dia dahulu anak murid Bu-tong-pai? Bagaimana kalian bisa mengatakan bahwa dia musuh besar Bu-tong-pai?" Liu Bwee yang dahulu sudah mendengar riwayat The Kwat Lin bertanya sambil memandang penuh selidik. "Benar, ucapan Lihiap. The Kwat Lin sebenarnya masih terhitung Suci (Kakak Perempuan Seperguruan) kami sendiri karena dia adalah seorang di antaraCap-sha Sin-hiap (Tiga Belas Pendekar), murid-murid dari Supek kami almarhum Kui Bhok Sanjin. Akan tetapi setelah selama belasan tahun dia menghilang, beberapa bulan yang lalu pada suatu hari dia muncul bersama seorang puteranya dan dia menggunakan kepandaiannya yang luar biasa menundukan Suhu kami, Ketua Bu-tong-pai yang sah, bahkan telah merampas tongkat pusaka lambang kekuasaan Ketua Bu-tong-pai. Iblis betina itu merampas Bu-tong-pai dan mengangkat diri sendiri menjadi Ketua Bu-tong-pai....." "Ahhh....! Benar-benar iblis dia!" Liu Bwee memaki. "Dia becita-cita untuk merampas kerajaan, lalu mengirim murinya menyelundup ke istana akan tetapi ketahuan dan muridnya itu dihukum mati. Karena kegagalan ini, the Kwat Lin menjadi buruan pemerintah dan dia kini telah melarikan diri dari Bu-tong-pai yang kini telah dikuasai pula oleh Suhu kami. Karena perbuatan The Kwat Lin itulah, hampir saja Bu-tong-pai dibasmi oleh pemerintah dan untuk membuktikan kesetiaan kami terhadap pemerintah, kini Bu-tong-pai membantu pemerintah menghadapi pemberontak An Lu Shan." Ouw Sian Kok mengangguk-angguk. "Hemmm, kiranya itulah yang menyebabkan kalian bentrok dengan pasukan An Lu Shan hari ini." "Di manakah adanya The Kwat Lin sekarang?" Liu Bwee bertanya. Ingin dia bertemu dengan The Kwat Lin, membalas kejahatan madunya itu dan merampas kembali pusaka Pulau Es seperti dipesan oleh suaminya dengan huruf ukiran di dinding istana Pulau Es itu. Apalagi dengan bantuan Ouw Sian Kok, dia yakin akan dapat membalas dendam kepada madunya yang jahat itu. "Kami rasa dia bersembunyi di Rawa Bangkai dan kalau saja kami sudah selesai dengan tugas kami di Telaga Utara, tentu dengan senang hati kami menemani Jiwi menyerbu ke sana." "Rawa Bangkai? Di mankah itu? Tempat apakah itu" Liu Bwee mendesak penuh semangat karena dia merasa girang bisa memperoleh keterangan di mana adanya musuh besarnya itu. "Rawa Bangkai adalah sebuah temapat yang amat berbahaya dan tidak ada orang berani mengunjunginya karena banyak sudah binatang dan manusia tewas secara mengerikan ketika berada di dekat tempat itu. Konon kabarnya dahulu banyak terdapat bangkai binatang dan mayat manusia di rawa itu sehingga diberi nama Rawa Bangkai. Majikan tempat itu adalah seorang di antara datuk-datuk kaum sesat yang berjuluk Kiam-mo Cai-li, seorang wanita yang amat lihai dan merupakan iblis betina yang ditakuti. Kiam-mo Cai-li telah menjadi sekutu The Kwat Lin dan agaknya sebagai orang buruan dia melarikan diri bersama puteranya ke tempat itu. Akan tetapi, amatlah berbahaya bagi orang-orang asing seperti Jiwi untuk mendatangi tempat berbahaya itu. Kalau Jiwi sudi bersabar sampai kami menyelesaikan tugas kami di Telaga Utara, tentu dengan senang hati kami akan membantu Jiwi, karena The Kwat Lin juga merupakan musuh besar kami." Liu Bwe dan Ouw Sian Kok saling pandang dan ternyata di antara kedua orang ini sudah terdapat saling pengeritan yan mendalam sehingga bentrokan pandang mata mereka saja sudah cukup menjadi pengganti kata-kata perundingan. Liu Bwee mengangguk dan terdengan Ouw Sian Kok berkata, "Baiklah kami berdua akan membantu Cuwi menyelidiki Telaga Utara, karena biarpun kami tidak mempunyai urusan dengan pemberontakan An Lu Shan, setelah tadi kami membantu Cuwi, berarti kami juga dimusuhi tentu saja oleh mereka. Setelah kami membantu Cuwi ke Telaga Utara, harap kelak Cuwi suka membantu menjadi petunjuk jalan kami ke Rawa Bangkai." Berseri wajah delapan belas orang itu dan mereka segera menyatakan setuju. Tentu saja hati mereka girang bukan main. Tempat yang dijadikan markas rahasia oleh An Lu Shan merupakan tempat yang amat sulit dikunjungi, merupakan tempat yang berbahaya sekali dan kabarnya amat sukar memasuki daerah Telaga Utara itu. Kini, dengan bantuan kedua orang sakti ini, hati mereka menjadi besar karena bantuan mereka berdua akan mempermudah penyelesaian tugas mereka. Berangkatlah delapan belas orang itu mengiringkan Liu Bwee dan Ouw Sian Kok menuju ke Telaga Utara yang terletak di dekat tembok besar di utara dan tempat ini merupakan tempat rahasia dari An Lu Shan di mana An Lu Shan mengumpulkan orang-orang gagah untuk membantunya. Di sepanjang jalan, Liu Bwee dan Ouw Sian Kok mendengar banyak penuturan delapan belas pendekar Bu-tong-pai itu tentang orangorang kang-ouw dan tentang pemberontakan An Lu Shan yang mengancam keamanan hidup rakyat jelata. Melihat semangat kepahlawanan delapan belas orang ini, tergeraklah hati Liu Bwee mengingat bahwa dia adalah permaisuri Han Ti Ong dan suaminya juga berdarah keluarga Kaisar di daratan besar, maka dia pun mulai bersemangat untuk membantu mereka menghadapi An Lu Shan. Telaga Utara merupakan telaga yang kecil saja, bergaris tengah paling banyak dua li dan tengahnya terdapat sebuah pulau yang dihubungkan dengan pinggir telaga dengan jembatan buatan. Di atas pulau inilah berdiri sebuah gedung yang menjadi tempat pertemuan bagi An Lu Shan dan para pembantunya, jika dia hendak mengadakan perundingan dengan para tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi untuk membagi-bagi tugas kerja. Biarpun telaga itu tidak berapa besar, namun letaknya di antara puncak-puncak gunung sehingga amat sukar dikunjungi orang, apalagi puncak di mana telaga itu berada, merupakan puncak yang dikelilingi jurang-jurang amat curam sehingga bagi orang luar yang tidak mengenal jalan, merupakan suatu ketidak mungkinan untuk datang ke telaga itu. Berbeda dengan pertempuran-pertempuran resmi, jika mengunjungi telaga ini, An Lu Shan berpakaian seperti rakyat biasa dan tidaklah dikawal oleh pasukan pengawal melainkan oleh belasan orang pengawal yang berpakaian preman pula sehingga kelihatannya seperti sedang berpesiar. Akan tetapi, setiap pengawal-pengawal pilihan yang berilmu tinggi, danpara orang kang-ouw yang mengadakan pertemuan di Telah Utara itu adalah rata-rata orang lihai, baik dari golongan sesat maupun dari golongan bersih yang membantu An Lu Shan dengan pamrih masing-masing. Sebagian besar yang datang dari golongan besih adalah orang-orang kang-ouw yang menaruh dendam kepada kerajaan, dan ada pula yang menganggap bahwa pemberontakan An Lu Shan adalah benar karena menentang raja lalim yang hanya tahu bersenangsenang dengan selir Yang Kui Hui saja tanpa menghiraukan kesengsaraan rakyat sehingga mereka menganggap pemberontakan itu sebagian perjuangan para patriot yang membela bangsa, kebenaran dan keadilan. Tentu saja yang datang dari golongan sesat lain lagi pamrih atau dasar tindakan mereka yang membantu An Lu Shan. Ada yang ingin memperoleh keuntungan harta benda, ada yang menginginkan kedudukan dan kemuliaan. An Lu Shan biarpun kelihatannya kasar, namun selain merupakan seorang jenderal yang ahli dalam ilmu perang, juga merupakan seorang yang amat cerdik. Tentu saja dia pun tahu akan dasar dan pamrih yang terkandung dihati para orang pandai yang membantunya, namun dia pura-pura tidak tahu karena pada waktu itu dia amat membutuhkan tenaga mereka. Tentu saja dia pun sudah bersiap-siap untuk menghadapi semua pamrih mereka itu dan siapa pun yang merasa dapat mengelabuhi An Lu Shan akan kecelik sekali! Biarpun dia merasa aman kalau berada di Telaga Utara, akan tetapi kesukaran mencapai puncak ini bukan merupakan hal yang membuat An Lu Shan menjadi lengah. Diam-diam, secara sembunyi, dia menaruh mata-mata dan penjaga yang melakukan penjagaan di sekitar pegunungan itu secara sembunyi untuk mengikuti setiap gerak-gerik orang yang menuju ke Telaga Utara, juga membayangi gerak-gerik para tokoh kang-ouw yang katanya menjadi pembantu An Lu Shan. Apalagi kalau dia sendiri sedang berada di gedung di telaga itu, penjagaan secara sembunyi dilakukan dengan ketat sekali. Demikianlah, ketika delapan belas orang pendekar Bu-tong bersama Liu Bwee dan Ouw Sian Kok pada pagi hari itu tiba dipegunungan ini, gerak-gerik mereka telah diamat-amati para penjaga rahasia itu dari jauh dan bahkan sudah ada penjaga yang cepat lari ke telaga untuk memberi laporan. An Lu Shan yang mendengar bahwa ada dua puluh orang yang gerak-geriknya lincah dan merupakan orang-orang asing menuju ke telaga, memberi perintah kepada komandan pengawal agar membayangi saja dua puluh orang itu. "Hendak kulihat bagaimana mereka akan dapat mengunjungi telaga tanpa mengetahui jalan rahasia kita," katanya. "Dan biarpun mereka kalau bisa memasuki telaga, setelah mereka masuk, potong jalannya agar mereka tidak dapat keluar pula." Demikian perintahnya. Dia sama sekali tidak merasa gentar karena barisan terpendam yang melindungi berjumlah tidak kurang dari seratus orang, sedangkan lima belas orang pengawal pilihan selalu mendapinginya, belum lagi dua puluh lebih orang kang-ouw yang menjadi sekutunya dan yang tentu akan siap membantunya jika ada bahaya mengancam. Apa artinya dua puluh orang itu? Akan tetapi dia tidak mau memerintahkan membasmi mereka karena dia harus tahu lebih dulu siapa mereka dan apa kehendak mereka mengunjungi Telaga Utara. "Bagaimana mungkin menuju ke dataran di depan itu kalau dikelilingi jurang selebar dan securam ini?" Liu Bwee bertanya dengan penuh keraguan ketika mereka semua berdiri didepan jurang yang ternganga lebar di depan mereka. Jurang itu lebarnya kurang lebih dua puluh lima meter dan curam sehingga melompati jurang ini mendatangkan ancaman bahaya maut yang mengerikan. Tanpa bersayap, mana mungkin orang melompatinya begitu saja? Ouw Sian Kok mengerutkan alisnya. "Apakah semua keliling gunung ini di halangi jurang seperti ini?" Song Kiat orang tertua dari Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong, mengangguk. "Kami sudah menyelidiki tempat ini dengan seksama dan memang telaga di gunung itu dikelilingi olrh jurang-jurang. Bagian yang paling sempit hanya bagian ini, maka kita harus menyeberang melalui tempat ini." "Hemm, bagaimana caranya kalian hendak menyeberang?" tanya Ouw Sian Kok penuh keraguan. Dia sendiri yang memiliki kepandaian jauh melampaui mereka, merasa ragu-ragu untuk mempertaruhkan nyawa meloncati jurang selebar ini. "Rintangan ini telah kami pelajari dan perhitungkan masak-masak sebelum kami berangkat ke sini, Taihiap. Harap jangan khawatir karena kami telah memperoleh akal untuk menyeberang. Kalau kita turun ke jurang kemudia merayap naik, amat sukar dan lebih berbahaya, maka jalan satu-satunya adalah membuat jembatan manusia dari sini ke seberang jurang." "Jembatan manusia? Apa maksudmu dan bagaimana caranya?" tanya Liu Bwee. "Harap Lihiap jangan khawatir karena kami sudah melatih diri dan berhasil baik. Kalau jembatan sudah terbentuk, harap Taihiap dan Lihiap suka menyeberang lebih dulu dan melindungi kami di seberang sana." "Baik, lekas kerjakan sebelum tampak ada penjaga di seberang!" kata Ouw Sian Kok. Dengan hati kagum Liu Bwee dan Ouw Sian Kok menyaksikan betapa delapan belas orang pendekar itu beraksi. Seorang di antara mereka, yang betubuh tinggi besar dan jelas membayangkan tenaga yang hebat, berdiri di tepi jurang, memasang kuda-kuda dan mengarahkan Tenaga Sakti Ban-kin-liat sehingga kedua kakinya seolah-olah berakar di dalam tanah yang diinjaknya. Di dalam latihannya, apalagi orang berkaki kuat ini sudah memasang kuda-kuda seperti itu, enam ekor kuda pun tidak akan mampu menarik kedua kakinya terlepas dari tanah! Dia berdiri memasang kuda-kudanya di belakang sebongkah batu yang menonjol sedikit dari dalam tanah, batu yang merupakan batu raksasa tertanam di tepi jurang itu. Kemudian, seorang saudaranya melompat dan berdiri di atas pundaknya. Disusul pula oleh loncatan orang ke tiga dan ke empat sehingga mereka berdiri tersusun, masing-masing berdiri di pundak saudaranya dengan tegak dan sedikit pun tidak bergoyang seolah-olah merupakan sebatang pohon yang kokoh! Setelah itu, orang ke lima merayap naik melalui tubuh empat orang saudaranya, terus berdiri di atas pundak orang yang berada paling atas, disusul oleh orang ke enam yang berdiri di atas pundak orang ke lima dan demikian seterusnya sampai ada tujuh belas orang berdiri susun menyusun amat tingginya, namun sedikit pun tidak bergoyang dan orang yang berada paling bawah kelihatan tidak bergeming, seolah-olah beban enam belas orang banyaknya itu tidak terasa amat berat baginya! Kemudian atas aba-aba Song Kiat yang berada paling atas, kaki maing-masing yang tadinya menginjak pundak orang dibawahnya itu merosot ke belakang pundak dan kedua betisnya ditangkap oleh kedua tangan orang bawah, dan pada saat itu, susunan orang itu mendoyong ke depan dan terus mendoyong dengan cepatnya seperti akan runtuh ke dalam jurang. Orang ke delapan belas yang tidak ikut naik tadi, kini membantu orang paling bawah, memasang kuda-kuda dan memegangi kedua kaki orang terbawah yang sudah mengait pada tonjolan batu tadi. Melihat ini, Liu Bwee dan Ouw Sian Kok merasa cemas sekali. Mereka mulai mengerti bagaimana cara mereka itu membentuk sebuah jembatan manusia, akan tetapi cara itu sungguh amat berbahaya, selain membutuhkan ginkang dan sinkang yang kuat, ketangkasan yang terlatih, juga membutuhkan nyali yang amat besar karena sekali saja meleset atau sedikit saja salah perhitungan, bisa mengakibatkan tewasnya delapan belas orang itu terjerumus kedalam jurang! Kini susunan orang itu telah melintang dan orang teratas telah berhasil mencapai seberang dan menyambar akar pohon yang amat kuat, yang berdiri di seberang. Maka jadilah "jembatan" istimewa itu! Sunguh merupakan demonstrasi ketangkasan yang luar biasa dan berbahaya bukan main! Sejenak Liu Bwee dan Ouw Sian Kok tercengang, penuh keheranan dan kagum. Baru mereka sadar ketika terdengar suara orang yang memegangi kaki orang terbawah tadi, "Taihiap dan Lihiap, silahkan menyeberang lebih dulu agar dapat melindungi kami di seberang sana!" Kata-kata ini menyadarkan kedua orang itu dan ketika Liu Bwee memandang kepada Ouw Sian Kok, putera Ketua Pulau Neraka ini mengangguk. Dengan tombak rampasan di tangannya, Ouw Sian Kok tanpa ragu-ragu lagi lalu melangkah dan "Menyeberang" melalui jembatan manusia yang sambung menyambung dan menelungkup itu sambil mengerahkan ginkangnya. Dia melangkah dengan cekatan dan ringan sekali sehingga tak lama kemudian Ouw Sian Kok telah tiba di seberang sana, lalu melambaikan tangannya kepada Liu Bwee yang memandang dengan kagum. Setelah melihat betapa Ouw Sian Kok menyeberang Liu Bwee lalu mencontoh perbuatan temannya itu. Dengan pedang rampasan di tangan kanan, dengan hatihati sambil mengerahkan ginkangnya, Liu Bwee mulai menyeberangi "jembatan" istimewa itu dan melangkah sambil mengatur keseimbangan tubuhnya. Betapapun lihainya, Liu Bwee tidak berani menengok ke bawah karena dia merasa ngeri juga! Akhirnya dia berhasil mencapai tepi seberang dan meloncat ke bawah pohon dekat Ouw Sian Kok sambil berkata, "Mereka benar-benar merupakan pendekar- pendekar yang mengagumkan." Ouw Sian Kok mengangguk dan merasa girang bahwa dan Liu Bwee telah mengambil keputusan untuk membantu delapan belas orang gagah ini. Setelah dua orang itu menyeberang dengan selamat, orang ke delapan belas yang berada paling belakang, lalu mengeluarkan suara teriakan sebagai isyarat kepada saudara-saudaranya, kemudian orang terakhir juga memegangi kedua betis orang ke tujuh belas dan melompat ke bawah jurang! Liu Bwee hampir menjerit karena ngerinya menyaksikan betapa jembatan manusia itu seolah-olah putus di ujung sana dan kalau tadi ketika membentuk jembatan mereka saling berdiri di pundak orang di bawahnya, kini mereka saling bergantungan pada kaki orang yang berada di atasnya. Yang mengerikan adalah ketika susunan orang yang delapan belas banyaknya ini meluncur ke bawah dari ujung sana dan agaknya akan terbanting hancur pada dinding karang di seberang sini. Namun, dengan cekatan dan terlatih, maasing-masing kini hanya merangkul kedua kaki teman di atas dengan sebuah lengan saja sedangkan tangan yang bebas dipergunakan untuk mendorong ke depan, ke arah dinding karang ketika tubuh mereka terhayun dekat dinding. Akhirnya, selamatlah rangkaian orang ini tergantung di sepanjang dinding karang dan kini yang paling berat baginya adalah Song Kiat karena dia merupakan orang pertama paling atas yang mengunakan kekuatan kedua tangannya, bergantung pada akar pohon dan menahan berat tujuh belas orang sutenya itu yang bergantung pada kakinya! Pantas saja twasuheng ini menjadi orang pertama karena memang tugasnya paling berat, dan ji-suheng (kakak seperguruan ke dua belas) dari delapan orang pendekar itulah yang menjadi orang terakhir, yaitu Si Tinggi Besar tadi. Ouw Sian Kok mengangguk kagum ketika bersama Liu Bwee dia melihat betapa orang yang bergantung paling bawah kini mulai merayap naik ke atas, disusul oleh orang ke dua, ketiga dan seterusnya sehingga tak lama kemudian, kedelapan belas orang itu telah dapat meloncat ke tepi dengan selamat! "Bagus! Cuwi memang pantas menjadi Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong!" Ouw Sian Kok memuji. "Taihiap terlalu memuji. kami telah melihat daerah ini dan penyeberangan secara membuat jembatan tadi telah kami latih selama berbulan-bulan baru hari ini kami berani mencoba menyeberangi tempat ini. Sekarang selanjutnya kami hanya mengharapkan bantuan Jiwi, karena An Lu Shan memiliki banyak sekali kaki tangan yang amat lihai. Menurut penyelidikan kami, pada saat ini, Telaga Utara kosong sehingga kita boleh menyelidiki dengan aman karena kalau jenderal pemberontak itu tidak berada di sini, penjagaan tidaklah demikian kuat." Ouw Sian Kok menoleh ke kanan kiri, lalu menghela napas dan berkata, "Kuharap saja Cuwi (Saudara Sekalian) tidak sampai membuat salah perhitungan. Menurut penglihatanku, tempat rahasia seorang berpangkat tinggi tentulah selalu dijaga ketat dan tempat ini kelihatan begitu sunyi senyap, seperti sebuah pulau kosong saja. Hal ini bahkan menimbulkan kecurigaan...." "Apapun yang akan terjadi, setelah kita berada di sini, akan kita hadapi bersama. Ouw-toako, tidak perlu kita khawatir." Liu Bwee menghibur. Mereka lalu begerak maju memasuki daerah itu dan tak lama kemudian tibalah mereka di tepi telaga dan sudah tampak bangunan besar yang berada di tengah telaga. Selama itu, tidak nampak seorang pun penjaga sehingga Ouw Sian Kok merasa makin khawatir dan curiga. "Hemm, hanya ada dua kemungkinan. Mereka telah pindah dan meninggalkan tempat ini, atau kita masuk perangkap!" Baru saja Ouw Sian Kok mengeluarkan kata-kata ini, terdengar suara tertawa disusul suara gerakan banyak orang dan muncullah puluhan orang dari jembatan telaga maupun dari belakang pohon dan semak-semak. "Celaka, kita terjebak...!" Song Kiat berseru. "Taihiap Lihiap, kita kembali saja!" Tergesa-gesa delapan belas orang pendekar itu memutar tubuh dan lari kembali ke jurang di mana mereka menyeberang tadi, diikuti oleh Ouw Sian Kok dan Liu Bwee. Akan tetapi, begitu tiba di tepi jurang, Song Kiat menjadi pucat dan memandang ke depan dengan mata terbelalak, demikian pula para sutenya. Ternyata di tempat penyeberangan itu, di sebelah sana tampak berbaris pasukan yang siap dengan busur dan anak panah mereka. Dengan adanya pasukan panah itu tidak mungkin lagi bagi mereka untuk melarikan diri dengan membentuk jembatan manusia seperti tadi. Tentu mereka akan dihujani anak panah dan akan tewas semua. Melihat betapa delapan belas orang pendekar itu kebingungan, Ouw Sian Kok berkata dengan suara agak kecewa, "Mengapa Cuwi menjadi bingung setelah berhadapan dengan musuh?" "Taihiap tidak tahu, memang benar dugaan Taihiap tadi bahwa kita terperosok ke dalam perangkap. Penyelidikan kita yang sudah-sudah pun agaknya sudah diketahui oleh orang-orang An Lu Shan. Ternyata secara diam-diam An Lu Shan berada di sini, lengkap dengan semua pembantunya dan hal ini amatlah berbahaya." "Berbahaya atau tidak, kita sudah menghadapinya dan perlu apa bingung? Kebingungan hanya akan membuat kita tidak tenang dan lemah. Hadapilah apa saja yang kita temui, berbahaya maupun tidak. Apa gunanya hidup sebagai pendekar kalau matinya seperti pengecut?" Mendengar ucapan Ouw Sian Kok ini, bangkitlah semangat kepahlawanan delapan belas orang murid Bu-tong-pai itu. "Ucapan Taihiap tepat sekali! Maafkan kalau tadi kami bingung karena hal ini sama sekali tidak kami duga-duga dan apalagi kami telah mengajak Jiwi ke sini, berarti kami menyeret Jiwi ke dalam bahaya pula." "Hidup memang merupakan keadaan yang penuh bahaya, tergantung kita menghadapinya." Liu Bwee berkata. Memang bagi wanita yang sudah mengalami banyak kesengsaraan, apalagi sejak kecil tinggal di Pulau Es, bahaya bukanlah apa-apa dan merupakan hal yang wajar. "Kalau begitu, mari kita ke telaga dan kita hadapi An Lu Shan sendiri. Setelah menghadapi dia, tugas kami berubah, tidak lagi melakukan penyelidikan melainkan kalau perlu menewaskan jenderal pemberontak itu!" Song Kiat berkata penuh semangat sambil mencabut pedangnya. Gerakan ini diikuti oleh tujuh belas orang sutenya dan dengan berlari cepat mereka kembali ke telaga di mana telah menanti An Lu Shan dan semua pembantunya. Akan tetapi mereka tercengang ketika tiba ditempat itu, mereka melihat An Lu Shan sendiri diiringkan oleh puluhan orang yang bermacam-macam bentuk dan keadaannya, menanti dengan sikap tenang, sama sekali tidak memperlihatkan sikap permusuhan, akan tetapi mereka juga melihat betapa tempat itu telah dikurung oleh banyak sekali orang-orang yang bersenjata lengkap! Delapan belas orang itu tidak tahu harus berkata apa, akan tetapi mereka sudah siap untuk melawan dengan nekat dan mati-matian apabila diserang oleh pasukan yang demikian banyaknya. Ternyata memang An Lu Shan telah mengatur perangkap ini. Ketika mendengar pelaporan dari anak buahnya yang berhasil menyelamatkan diri betapa delapan belas orang pendekar dari Bu-tong-pai yang tadinya sudah hampir dapat dibasmi itu diselamatkan oleh dua orang laki-laki dan wanita yang memiliki kesaktian luar biasa, An Lu Shan merasa tertarik sekali dan cepat dia mengatur persiapan untuk menyambut mereka. "Mereka tentu akan mengunjungi tempat ini," katanya. "Biarkan mereka menyeberang dan jangan menurunkan tangan besi sebelum mendapatkan perintahku. Aku ingin untuk bicara dulu dengan mereka, siapa tahu kita dapat membujuk mereka untuk bekerja sama, terutama dua orang sakti itu." Demikianlah, karena memandang rendah kecerdikan An Lu Shan, delapan belas orang murid Butong- pai itu masuk ke dalam perangkap yang memang telah dipasang oleh jenderal itu. Kalau dia menghendaki, tadi ketika delapan belas orang itu membuat jembatan manusia, tentu dengan mudah dia akan membasmi mereka. "Hemm, Cuwi tentulah Bu-tong Cap-pwe Enghiong yang gagah perkasa," terdengar An Lu Shan berkata dengan suaranya yang nyaring penuh wibawa, kasar dan tidak memakai banyak sopan santun pula. "Ada keperluan apakah Cuwi mengunjungi tempat kami ini?" Karena tidak mungkin lagi berpura-pura atau membohong, maka sesuai dengan wataknya sebagai pendekar, Song Kiat menjawab dengan suara lantang, "Kami datang untuk membunuh Jenderal pemberontak An Lu Shan!" Tentu saja jawaban ini membuat marah para pembantu jenderal itu, yang sudah kelihatan gatal tangan untuk membasmi musuh, akan tetapi An Lu Shan menggerakkan tangan ke atas mencegah dan dia berkata lagi, ditujukan kepada delapan belas orang pendekar itu, akan tetapi diam-diam matanya yang tajam menyapu dengan penuh selidik kepada laki-laki setengah tua yang memegang tombak dan wanita cantik yang memegang pedang di dekat delapan belas pendekar itu. "Sungguh kami merasa heran sekali mengapa para orang gagah di Bu-tong-pai masih juga belum sadar? Pemerintah yang dikuasai Kaisar lalim selain menyia-nyiakan sebuah perkumpulan besar seperti Bu-tongpai, juga telah menghinanya menganggap Bu-tong-pai sebagai perkumpulan orang jahat. Sekarang, Cuwi malah membela Kaisar, bukankah itu namanya penjilatan? Apakah orang-orang gagah demikian rendah dirinya, menjilat-jilat kalau dihina oleh pihak yang lebih tinggi?" "Kami bukan membela Kaisar atau pemerintah, kami membela rakyat dan negara dari gangguan pemberontak!" Song Kiat berteriak lantang. An Lu Shan tertawa. "Ha-ha-ha, bagus sekali! Demikianlah semestinya watak seorang pendekar yang berjiwa pahlawan. Kalau begitu antara Cuwi dan kami terdapat kecocokan. Kami bukanlah pemberontak, melainkan pejuang yang memperjuangkan nasib rakyat kecil yang tertindas oleh kelaliman Kaisar yang hanya tahu bersenang-senang belaka.Marilah kita bersama-sama mengenyahkan pemerintahan lalim ini untuk membangun sebuah pemerintahan yang akan dapat mendatangkan kemakmuran kepada rakyat jelata. Dengan demikian, barulah tidak percuma kita hidup sebagai manusia, terutama sebagai manusia yang berjiwa gagah." Ucapan yang keluar dari mulut An Lu Shan terdengar penuh semangat kepahlawanan dan memang jenderal ini merupakan seorang ahli bicara yang amat pandai sehingga sejenak delapan belas orang itu saling pandang dengan bingung. Tiba-tiba Liu Bwee yang biarpun hanya seorang wanita namun pernah menjadi Permaisuri Raja Pulau Es, yang merasa masih sedarah dengan Kaisar daratan besar, dan sudah banyak pula membaca kitab sejarah sehingga mengerti sedikit akan politik, berkata yang ditujukan kepada delapan belas orang gagah itu, " Orang gagah harus memiliki pendirian. Sifat suka berbalik pikiran dan mudah terbawa angin adalah sifat ular kepala dua dan merupakan sifat yang paling rendah dan berbahaya." Mendengar ucapan ini, sadarlah pendekar dari Bu-tong-pai itu dan Song Kiat berteriak, "Jenderal An Lu Shan! Tidak ada gunanya engkau mencoba untuk membujuk kami! Kami tidak membutuhkan pangkat, tidak membutuhkan harta, tidak membutuhkan nama besar sebagai pemberontak! kami harus mempertahankan pendirian kami, harus membela dan mematuhi perintah Ketua dan guru kami dengan darah dan nyawa!" Kedua pihak sudah "panas", akan tetapi An Lu Shan masih bersabar, mengangkat tangannya, menahan anak buahnya, lalu berkata, "Terserah pemilihan Cuwi dari BU-tong-pai. Akan tetapi karena Jiwi yang datang bersama Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong merupakan manusia-manusia sakti yang cerdik pandai, ingin kami mengenal mereka dan mengapa pula Jiwi mencampuri urusan Bu-tong-pai yang memusuhi kami." "Kami berdua hanyalah orang-orang yang kebetulan lewat dan melihat kegagahan Bu-tong Cap-pwe Enghiong, kami berdua sudah mengambil keputusan untuk membantu mereka. Tentu saja ini adalah tanggung jawab kami dan tidak ada sangkut pautnya dengan kalian," kata Ouw Siang Kok. "Harap Jiwi suka mempertimbangkan, dan kami menjamin bahwa Jiwi kelak akan menerima penghargaan dari kekuasaan yang memerintah negara, dari rakyat dan dari dunia kang-ouw yang banyak membantu kami. Jiwi tidak perlu membantu kami menghadapi orang-orang Bu-tong-pai, asal Jiwi suka lepas tangan, kami sudah amat berterima kasih dengan Jiwi." An Lu Shan yang bermata tajam dan dapat menduga bahwa dua orang itu amat lihai, berusaha membujuk Ouw Sian Kok dan Liu Bwee. "Jenderal An Lu Shan," tiba-tiba Liu Bwee berkata, suaranya penuh wibawa dan sikapnya agung seperti seorang ratu bicara kepada seorang bawahannya. "Engkau tentu maklum bagi seorang yang gagah perkasa dan budiman, janji adalah lebih berharga dari pada nyawa, dan bagi seorang gagah, nyawa bukan merupakan benda yang terlalu disayangkan, sedikitnya tidaklah melebihi kehormatan dan nama. Kematian bukan apa-apa dan kami yang sudah berjanji kepada Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong, tentu tidak mungkin dapat mundur lagi. Nah, kami semua telah siap, apapun yang akan kaulakukan, kami akan hadapi dengan pertaruhan nyawa." An Lu Shan tercengang dan sampai lama tak mampu menjawab, memandang kepada Liu Bwee dengan penuh penyesalan. Mana hatinya tidak akan menyesal melihat seorang wanita sehebat itu berdiri di pihak musuh? Terpaksa dia menggerakkan tangannya dan bergeraklah para pengawalnya menerjang maju! Liu Bwee dan Ouw Sian Kok yang sudah bersatu hati itu seperti mengerti isi hati masing-masing, maka hampir berbareng mereka berdua menggerakan kaki meloncat ke arah An Lu Shan. Mereka maklum bahwa menghadapi lawan yang jauh lebih besar jumlahnya, mereka harus berlaku cerdik dan sedapat mungkin mereka harus lebih dulu merobohkan pimpinan lawan. Kalau pemimpin seperti An Lu Shan itu dapat ditangkap, tentu yang lain akan tunduk, atau kalau sampai dapat dibunuh, hal ini tentu akan melumpuhkan semangat lawan. Melihat gerakan mereka berdua. An Lu Shan terkejut. Memang dia sudah mendengar pelaporan anak buahnya bahwa dua orang ini lihai sekali, akan tetapi tidak disangkanya bahwa mereka akan dapat bergerak secepat itu, seperti dua sinar halilintar saja menyambar ke arahnya. Dia berteriak dan cepat menjatuhkan diri ke belakang sehingga dua orang penyerang itu langsung dihadapi oleh tokoh-tokoh kang-ouw yang berdiri di kanan kiri dan belakangnya. "Trang-cringggg-cringggg....!!" Para tokoh kang-ouw itu terkejut bukan main. Sekaligus ada empat orang yang melindungi An Lu Shan dan menangkis pedang dan tombak di tangan Liu Bwee dan Ouw Sian Kok, akan tetapi empat orang itu terhuyung ke belakang karena mereka bertemu dengan tenaga yang amat dahsyat! Ouw Sian Kok yang ingin agar penyerbuan delapan belas orang pendekar itu berhasil dlam waktu singkat dan tidak perlu terjadi pembunuhan besar-besaran, sudah mengunakan ginkangnya yang amat hebat, tubuhnya melucur ke depan mengejar An Lu Shan yang hendak menyelamatkan diri ke belakang para pembantu dan para pengawalnya. Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati An Lu Shan ketika melihat tiba-tiba dia diancam oleh sebatang tombak yang dipegang oleh orang yang seperti "terbang" di atasnya! Dia pun bukanlah seorang biasa, melainkan seorang panglima yang sudah banyak pengalamannya bertempur, memiliki pula ilmu silat campuran yang lihai dan tenaganya kuat bukan main. Melihat betapa dia terancam, secepat kilat tangan kanannya bergerak dan bgitu pedangnya tercabut, tampak sinar terang yang menyilaukan mata. Kemudian pedangnya menangkis ke arah tombak yang mengurungnya dengan sinar tombak. "Trakkkk!" Tombak di tangan Ouw Sian Kok itu patah-patah! Tentu saja tombak biasa itu tidak mampu melawan pedang Tiong-gi-kiam hadiah dari Kaisar kepada An Lu Shan ini, yang merupakan sebatang pedang pusaka kuno yang amat ampuh. Akan tetapi Ouw Sian Kok yang berilmu tinggi itu, tidak menjadi gugup, bahkan dia mampu menggerakan sisa gagang tombaknya menotok pergelangan tangan kanan An Lu Shan dengan kecepatan sedemikian rupa sehingga serangan ini tidak tampak dan tahu-tahu tangan Jenderal itu telah tertotok dan pedangnya terampas oleh Ouw Sian Kok! Kini para pengawal dan orang-orang kang-ouw telah mengurungnya dan berhasil melindungi An Lu Shan yang cepat menyelinap ke belakang sambil berteriak marah karena selain pedangnya terampas, hampir saja dia celaka, "Serbu mereka! Basmi mereka semua, jangan beri ampun seorangpun juga!" An Lu Shan adalah seorang yang cerdik dan pandai memikat hati orang untuk membantunya, akan tetapi, di waktu marah, dia berubah menjadi seorang yang amat kejam dan tidak mengenal ampun, sesuai dengan latar belakang hidupnya yang liar dan ganas. Terjadilah pertempuran yang amat seru di tepi telaga itu. Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong, Liu Bwee, dan Ouw Sian Kok, mengamuk dengan hebatnya sungguhpun Liu Bwee dan Ouw Sian Kok selalu merobohkan lawan tanpa membunuh mereka. Di antara mereka berdua dan An Lu Shan sama sekali tidak terdapat permusuhan, apalagi dengan para anak buah Jenderal itu, sama sekali tidak ada urusan dengan mereka, maka tentu saja mereka tidak sampai hati untuk melakukan pembunuhan dan hanya merobohkan mereka dengan tendangan, dorongan tangan kiri, totokan atau ada juga yang tersambar pedang akan tetapi tidak terluka parah yang membahayakan nyawa mereka. Berbeda dengan sepak terjang Liu Bwee dan Ouw Sian Kok yang biarpun mengiriskan namun tidak pernah membunuh, sebaliknya delapan belas orang pendekar dari Bu-tong-pai itu mengamuk dengan mengerikan. Mereka seperti segerombolan harimau yang haus darah, pedang mereka berkelebatan dan kalau ada pihak lawan yang roboh tentu roboh dalam keadaan yang mengerikan sekali, terobek perut mereka atau tersayat leher mereka hampir putus, atau tertembus dada mereka oleh pedang sehingga begitu roboh mereka berkelojotan dan nyawa mereka melayang tidak lama kemudian. Delapan belas orang pendekar dari Bu-tong-pai itu seolah-olah menyebar maut di antara para pengawal An Lu Shan. Hal ini membuat An Lu Shan marah sekali dan cepat dia memerintahkan pengawal-pengawal pribadinya untuk meninggalkannya dan menyerbu lawan. Juga para tokoh kang-ouw tidak ada yang menganggur, sebagian menghadapi Liu Bwee dan Ouw Sian Kok yang amat lhai, sebagian pula kini menghadapi delapan belas orang pendekar Bu-tong-pai itu. Dan kini pasukan pengawal yang menjaga di sekitar tempat itu sudah berkumpul semua sehingga lebih dari seratus orang anak buah An Lu Shan mengurung dan mengeroyok musuh. Betapapun gagahnya delapan belas orang pendekar Bu-tong-pai itu, menghadapi pengeroyokan lawan yang jumlahnya jauh lebih banyak, apalagi setelah para pengawal pribadi An Lu Shan dan orang-orang kangouw maju akhirnya mereka roboh juga seorang demi seorang! Tak lama kemudian, Bu-tong Cap-pwe Enghiong yang gagah perkasa itu tewas seorang demi seorang setelah melakukan prlawanan sampai titik darah terakhir dan setelah masing-masing merobohkan sedikitnya dua orang lawan! Tempat itu yang biasanya menjadi tempat pertmuan dan peristirahatan bagi An Lu Shan, hati itu berubah menjadi tempat yang penuh dengan noda darah dan penuh dengan mayat manusia yang malang melintang. Mengerikan! Liu Bwee dan Ouw Sian Kok juga terdesak hebat. Mereka adalah orang-orang yang memiliki tingkat ilmu silat lebih tinggi daripada tokoh-tokoh kang-ouw yang berada di situ, bahkan ilmu silat mereka termasuk ilmu yang aneh dan tidak dikenal oleh para lawan. Biarpun banyak sudah, sedikitnya ada dua puluh orang yang roboh tak berdaya oleh mereka, namun mereka seperti dua ekor belalang dikeroyok semut yang banyak dan dekat. Akhirnya, sebuah hantaman dengan toya yang mengenai lutut kanan Liu Bwee membuat nyonya perkasa ini terjungkal dan dia lalu ditubruk oleh empat orang lawan, ditotok dan dibelenggu, lalu diseret pergi sebagai seorang tawanan. Betapapun juga, orang-orang kang-ouw itu masih merasa segan untuk membunuh wanita yang amat mereka kagumi ini. Melihat Liu Bwee tertawan, Ouw Sian Kok mengeluarkan pekik melengking dan pekik ini saja sudah cukup untuk merobohkan beberapa orang pengeroyok yang kurang kuat sinkangnya, disusul dengan berkelebatnya Tiong-gi-kiam di tangannya membuat belasan batang senjata lawan beterbangan dan robohlah lima enam orang lagi! Bukan main hebatnya sepak terjang Ouw Sian Kok yang sudah marah itu. "An Lu Shan, bebaskan Liu-toanio atau.... akan kubasmi kalian semua! Aku Ouw Sian Kok dari Pulau Neraka tidak biasa mengeluarkan ancaman kosong belaka!" Saking marah dan khawatir melihat Liu Bwee ditawan, Ouw Sian Kok lupa diri dan menyebut-nyebut Pulau Neraka. Terkejutlah semua orang mendengar ini. Mereka tidak pernah tahu di mana adanya Pulau Neraka, akan tetapi di dalam dongeng mereka mendengar bahwa Pulau Es dan Pulau Neraka merupakan pulau-pulau tempat tinggal para dewata dan siluman yang memiliki ilmu yang amat luar biasa! "Kalian tidak tahu dia itu adalah bekas Permaisuri dari Pulau Es! Bebaskan dia!" teriaknya lagi sambil menendang dengan kedua kakinya secara berantai, merobohkan empat orang di antara para pengeroyoknya. Kembali semua orang terkejut, termasuk An Lu Shan. Pulau Es? Benarkah apa yang dikatakan laki-laki gagah perkasa itu? Ataukah hanya gertak sambal saja agar wanita yang tertawan itu dibebaskan? Selagi semua orang ragu-ragu, terdengarlah suara ketawa, "Heh-heh-heh, anak-anak nakal, kiranya masih ada yang tinggal di antara penghuni Pulau Es dan Pulau Neraka! Hemmm, hayo kalian berdua ikut saja bersamaku karena bukan di sinilah tempat kalian!" Suara ini halus dan perlahan saja, namun anehnya mengatasi semua suara dan terdengar dengan jelas oleh mereka semua. Ketika An Lu Shan dan anak buahnya memandang, ternyata yang muncul adalah seorang kakek bercaping lebar yang mereka kenal sebagai kakek Nelayan yang suka memancing ikan di telaga. Karena kakek itu bersikap halus dan tidak pernah bicara, maka An Lu Shan hanya menyuruh anak buahnya mengamat-amati saja. Kakek itu sudah berbulan-bulan memancing ikan di telaga dan sama sekali tidak mengganggu, juga sama sekali tidak mencurigakan, maka kini kemunculannya dalam keadaan yang menegangkan itu benar-benar amat mengherankan hati orang. Ouw Sian Kok yang mendengar ucapan itu, terkejut sekali dan cepat dia memandang. Ketika melihat seorang kakek berpakaian sederhana tambal-tambalan, bertopi caping lebar nelayan, memegang tangkai pancing dari bambu dan dipinggangnya tergantung sebuah kipas bambu, dia cepat memandang wajah kakek itu dan melihat wajah yang sudah tua akan tetapi dengan sepasang mata yang tajam penuh wibawa. Tahulah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek yang lihai, maka otomatis dia mengira bahwa tentu ini merupakan seorang tokoh kang-ouw yang menjadi kaki tanan An Lu Shan pula. Maka lebih baik turun tangan lebih dulu sebelum lawan tangguh ini mendahuluinya, pikir Ouw Sian Kok. "Sudah tua bangka masih banyak pamrih mencampuri urusan pemberontakan!" bentaknya dan pedangnya mengeluarkan sinar, lenyap bentuknya berubah menjadi sinar bergulung-gulung ketika dia meloncat dan memutar senjata itu menyerang. Dengan tenang kakek itumenghadapi penyerangan ini, sikapnya seperti seorang tua menghadapi seorang anak yang nakal. Karena menduga bahwa kakek itu tentu amat lihai, maka Ouw Sian Kok tidak bersikap tanggung-tanggung sekali ini, pedangnya meluncur dengan amat cepatnya dan dia membuka serangan. Akan tetapi tiba-tiba kakek itu memutar pancingnya dan terdengarlah suara bersuitan nyaring sekali. Ouw Sian Kok bersikap waspada dan ketika tangkai yang terbuat dari bambu panjang itu menyambar ke depan menyambutnya, dia cepat menggerakan pedangnya yang ampuh dengan mengerahkan tenaga sinkang untuk membabat putus bambu itu. Namun, bambu itu seperti hidup bergerak mengikuti sinar pedangnya, berkejaran dengan sinar pedangnya tidak pernah tersentuh, dan tahu-tahu Ouw Sian Kok merasa betapa tubuhnya terangkat ke atas. Ternyata bahwa ketika kakek itu memutar bambu yang menjadi tangkai pancing, tali pancingnya berputaran sedemikian cepatnya sampai tidak tampak karena tali itu kecil saja, dan tahu-tahu mata pancing itu telah mengait punggung baju Ouw Sian Kok sehingga seolah-olah Ouw Sian Kok dijadikan "ikan" yang terkena pancing! Ouw Sian Kok terkejut dan marah, dia bergerak hendak membabat tali pancing di atas punggungnya, akan tetapi tiba-tiba tubuhnya yang tergantung itu berputar cepat sekali. Dia diputar-putar di atas kepala kakek itu sehingga kalau sampai tali itu diputuskan dengan tangannya, tentu tubuhnya akan terlempar dan terbanting keras tanpa dia mampu mencegahnya karena tubuhnya sudah berputaran seperti kitiran di udara. Semua orang memandang dengan mata terbelalak dan mulut ternganga, kaget dan kagum melihat betapa mudahnya kakek tua itu membuat Ouw Sian Kok yang sakti itu tidak berdaya sama sekali! Ouw Sian Kok merasa malu dan marah. Dikerahkannya sinkangnya dan dia telah menggunakan ilmu memberatkan tubuhnya. Seketika tubuhnya yang masih berputar-putar itu agak menurun dan bambu itu melengkung seolah-olah tidak kuat menahan tubuhnya. "Tidak buruk....!" Kakek itu berseru kagum juga , akan tetapi karena dia masih memutar-mutar hasil pancingannya itu dengan amat cepatnya, Ouw Sian Kok tidak dapat melepaskan diri dan hanya melirik ke arah kakek itu dengan pandang mata penuh kemarahan dan kadang-kadang mencoba untuk menggerakan pedang membacok ke arah tubuh kakek itu. Tiba-tiba terdengar suara Liu Bwee, "Ouw-toako, jangan melawan....! Locianpwe, mohon Locianpwe sudi mengampuninya.....!!" Mendengar seruan Liu Bwee ini Ouw Sian Kok terkejut dan dia menghentikan usahanya untuk menyerang atau membebaskan diri, lalu berkata, "Harap Locianpwe sudi memaafkan kalau saya bersikap kurang ajar!" "Heh-heh-heh, ternyata Pulau Neraka belum merusakmu , orang muda!" tali pancing itu mengendur dan tahu-tahu Ouw Sian kok telah mendapatkan dirinya berada di atas tanah. Dia berdiri tak bergerak, hanya menoleh ke arah Liu Bwee yang kini sudah terbelenggu dan dijaga ketat. Kakek itu lalu menghadap ke arah An Lu Shan yang berdiri di tempat aman, kemudian berkata halus, "An-goan-swe harap suka memenuhi permintaan seorang tua seperti aku agar suka membebaskan wanita itu." Sudah kita ketahui bahwa An Lu Shan adalah seorang yang amat cerdik. Melihat keadaan kekek itu, dia pun maklum bahwa orang tua itu amat sakti dan menghadapi seorang kakek seperti itu, lebih baik bersahabat daripada memusuhinya. Kalau ingin berhasil dalam mengejar cita-cita, berbaiklah dengan sebanyak mungkin orang pandai, demikian pedoman hatinya. Maka tanpa ragu-ragu lagi dia memberi isyarat kepada orang-orangnya untuk membebaskan Liu Bwee. Tentu saja isyarat ini tidak ada yang berani membantahnya sungguhpun para anak buah dan pembantunya merasa khawatir akan sikap An Lu Shan ini. Di situ terdapat tiga orang lawan tangguh, yang seorang sudah tertawan mengapa dibebaskan lagi? Bukankah ini merupakan perbuatan bodoh dan berbahaya? Liu Bwee yang sudah terbebas dari totokan dan belenggu, segera menghampiri kakek itu dan menjatuhkan diri berlutut. "Locianpwe...." katanya dan melanjutkan katanyadengan tangis yang menyedihkan. Kakek itu mengangguk-angguk. "Sudahlah, sudahlah, aku sudah tahu semua yang menimpa dirimu dan Pulau Es. Sudah semestinya demikian, ditangisi pun tidak akan ada gunanya." Liu Bwee sadar mendengar ucapan ini dan cepat menghapus air matanya, lalu berkata kepada Ouw Sian Kok, "Ouw-twako, Beliau ini adalah kakek dari suamiku yang telah lama meninggalkan pulau dan mengasingkan diri sebagai seorang pertapa. Baru sekarang aku dapat bertemu dengan Beliau...." Mendengar ini, terkejutlah hati Ouw Sian Kok. Kalau orang tua ini kakek dari Han Ti Ong, berarti kakek ini dahulunya adalah Raja Pulau Es atau setidaknya tentu pangeran! Dan tentu ilmunya sudah amat tinggi, karena dia tadi sudah merasakan kelihaian kakek ini, hatinya makin tunduk dan dia pun menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu di samping Liu Bwee. "Teecu Ouw Sian Kok mohon maaf sebesarnya kepada Locianpwe," katanya. Kakek itu terkekeh, "Heh-heh-heh, kalian ini dua orang muda memang tidak pernah bertobat! Sudah puluhan tahun hidup menghadapi bermacam penderitaan, masih saja tidak mau merobah dan mencari keributan pula di sini. Kalian berdua mempunyai bakat baik sekali untuk mempelajari hidup dan marilah kalian ikut bersamaku! Kalau kalian tidak mau, aku pun tidak akan memaksa, akan tetapi kelak kalian hanya akan menemui kekecewaan dan kesengsaraan belaka. Sebaliknya, kalau kalian suka ikit bersamaku, segala hal mungkin saja terjadi. Liu Bwee dan Ouw Sian Kok saling pandang dan biarpun mulut mereka tidak saling bicara, namun hati mereka sudah saling menerima geteran dan mereka tahu bahwa ke mana pun mereka pergi, asal mereka tidak berpisah, mereka akan meresa cukup kuat, berani tabah dan bahagia! Maka keduanya lalu mengangguk-angguk tanpa bicara lagi. Kakek itu merasa girang, lalu menoleh ke arah An Lu Shan. "An-goanswe, telah berbulan-bulan aku menyaksikan gerakanmu dan engkau memang pantas menjadi penggempur kelemahan kerajaan. Bukan urusanku untuk mencampuri. Nah, perkenankan kami bertiga pergi dari sini." An Lu Shan cepat melangkah maju dan mengangkat kedua tangannya ke depan dada, "Locianpwe, saya mohon petunjuk Locianpwe mengenai perjuangan kami!" Jenderal ini maklum bahwa membujuk mereka untuk membantunya amatlah sukar, maka sedikitnya dia ingin memperoleh petunjuk dan nasihat dari kakek sakti itu.Mendengar ini, kakek itu lalu memutar-mutar pancingnya yang mengeluarkan suara bersuitan dan makin lama makin nyaring kemudian terdengar suara itu melengking seperti suling dan berlagu! Barulah terdengar suaranya seperti orang bernyanyi, diiringi suara seperti suling yang timbul dari tali yang diputar cepat itu. "Yang lama akan terguling yang baru menggantikannya, yang baru akan menjadi lama dan ada yang lebih baru pula! Yang tua akan mati diganti yang muda, yang muda akan menjadi tua mati dan diganti pula! Apakah yang kekal di dunia ini? Yang menyebabkan kematian dan kesengsaraan akan dilanda kematian dan kesengsaraan ayah dan anak menyukai kekerasan akan menjadi korban kekerasan pula! Suara melengking dan nyanyian terhenti, semua orang tercengang dan diam, pikiran bekerja memecahkan arti nyanyian itu dan ketika mereka memandang tiga orang itu telah pergi dari situ. Barulah para pengawal sadar dan hendak mengejar, akan tetapi An Lu Shan berkata, "Jangan ganggu mereka!" Para pengawal yang mengikuti dari jauh kemudian melapor kepada An Lu Shan betapa kakek itu menggandeng tangan Ouw Sian Kok dan Liu Bwee melompati jurang yang amat lebar kemudian lenyap di balik gunung! An Lu Shan menghela napas panjang, mengingat-ingat dan mencoba memecahkan arti nyanyian itu, menyuruh orangnya menuliskan nyanyian kakek itu. Dia merasa girang ketika orangorangnya yang terkenal ahli sastra menguraikan nyanyian yang merupakan ramalan baik baginya. Yang lama akan terguling yang baru akan menggantikannya. Hal ini saja sudah jelas berarti bahwa perjuangannya menggulngkan pemerintahan lama pasti akan berhasil. Apalagi bait-bait terakhir yang mengatakan bahwa ayah dan anak menyukai kekerasan akan menjadi korban kekerasan pula. Ditafsirkannya bahwa ayah dan anak tentulah Kaisar dan Putera Mahkota yang tentu akan dibunuhnya kalau dia berhasil merebut tahta kerajaan. Memang demikianlah semua manusia. Selalu menafsirkan segala sesuatu dengan kepentingan dan keinginan hatinya sendiri seolah-olah segala sesuatu yang tampak di dunia ini khusus diperuntukan dirinya belaka! Kenyataannya kelak akan terbukti bahwa biarpun An Lu Shan behasil merampas tahta kerajaan, namun dia tidak dapat lama menikmati hasil pembunuhan besar-besaran dalam perang pemberontakan itu, karena tidak lama kemudian dia dan puteranya berturut-turut dibunuh oleh kaki tangannya sendiri! Orang memang selalu lupa akan kenyataan hidup bahwa yang baru lambat laun akan menjadi lama juga, yang muda akan menjadi tua pula. Manusia selalu dibuai oleh khayal, selalu dipermainkan oleh pikirannya sendiri yang menjangkau jauh ke masa depan, menjangkau segala sesuatu yang tidak ada atau yang belum dimilikinya. Manusia tidak mau melihat apa adanya, tidak mau memperdulikan "yang begini" melainkan selalu mengarahkan pandang matanya kepada "yang begitu" yaitu sesuatu yang belum ada, yang menimbulkan keinginan hatinya untuk memperolehnya. Manusia lupa bahwa "yang begitu" tadi, artinya belum diperolehnya, kalau sudah diperoleh dan berada di tangannya akan menjadi "yang begini" pula dan mata akan tidak mempedulikan lagi karena sudah memandang pula kepada "yang begitu", ialah hal lain yang belum dimilikinya. Betapa akan berada jauh keadaan hidup apabila kita menunjukan pandang mata kita kepada "yang begini", kepada apa adanya, mempelajari, mengertinya sehingga terjadilah perubahan karena dengan mengerti kebiasaan yang buruk, mengerti dengan sedalam-dalamnya, otomatis kebiasaan itu pun terhentilah. Dengan mengerti sedalamnya akan keadaan sekarang, saat ini, apa adanya setiap detik, benda apapun juga, di manapun juga, mengandung keindahan murni yang tidak dapat diperoleh keinginan. Lenyaplah batas yang memisahkan indah dan buruk, senang dan susah, utung dan rugi, aku dan engkau, dan kalau sudah begini, baru kita tahu apa artinya cinta kasih, apa artinya kebenaran, kemurnian, kesucian dan apa artinya sebutan Tuhan yang biasanya hanya menjadi kembang bibir belaka. Kita tinggalkan dulu Liu Bwee dan Ouw Sian Kok yang ikut pergi bersama kakek nelayan sakti yang bukan lain adalah kakek dari Han Ti Ong, bekas Raja Pulau Es yang telah puluhan tahun lamanya meninggalkan pulau itu dan merantau di tempat-tempat sunyi sebagai pertapa yang mengasingkan diri dari dunia ramai. Sudah terlalu lama kita meninggalkan Sin Liong dan Swat Hong, maka marilah kita mengikuti perjalanan dua orang itu. Seperti telah dituturkan di bagian depan, Sin Liong dan Swat Hong saling bertemu kembali di lereng puncak Gunung Awan Merah tempat tinggal Tee-tok Siangkoan Houw. Setelah mendengar tentang Bu-tong-pai yang dikuasai oleh The Kwat Lin yang memang sedang mereka cari-cari, Sin Lion bersama Swat Hong lalu meninggalkan lereng Awan Merah, turun gunung dan dengan cepat pergi menuju ke Pegunungan Bu-tong-san. Biarpun kedua orang muda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi ini telah menggunakan ilmu berlari cepat dan hanya mengaso apabila mereka merasa lapar dan terlalu lelah saja, namun karena jaraknya yang amat jauh, kurang lebih sebulan kemudian barulah mereka tiba di lereng Pegunungan Bu-tong-san. Di kaki gunung tadi mereka telah memperoleh petunjuk dari seorang petani di mana letak Bu-tong-pai, yaitu di atas sebuah di antara puncak-puncak Pegunungan Bu-tong-san. "Hati-hatilah, sumoi, kita sudah tiba di daerah Bu-tong-pai." Sin Liong berkata ketika mereka berhenti sebentar di bawah pohon untuk melepas lelah sambil menghapus keringat dari dahi dan leher. "Hemm, kita hanya berurusan dengan The Kwat Lin, urusan pribadi yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan Bu-tong-pai. Kita harus menyatakan ini kepada semua orang Bu-tong-pai, kalau mereka tidak mau mengerti dan hendak membela The Kwat Lin, kita hantam mereka pula!" Hati Sin Liong merasa khawatir sekali. Memang akibatnya amat berlawanan setelah bertemu dengan sumoinya ini. Girang dan juga khawatir. Serba susah. Dia tentu saja girang sekali dapat bertemu dengan sumoinya dalam keadaan selamat dan sehat. Akan tetapi di samping rasa girang ini, juga dia kini selalu dilanda kekhawatiran akan sifat Swat Hong. Andaikata dia sendiri saja yang datang ke Bu-tong-pai, tentu dia akan membujuk agar The Kwat Lin mengembalikan pusaka-pusaka Pulau Es dan dia tidak akan menuntut hal ini. Akan tetapi, setelah pergi bersama Swat Hong, dia tahu bahwa tentu gadis ini akan menimbulkan keributan.
Bersambung...

No comments:

Post a Comment